Matahari semakin lelah untuk terus bertahan. Ia merunduk masuk ke dalam peraduan di balik bumi. Udara menjelang malam terasa semakin dingin, menusuk tulang Alonzo yang terdiam di depan gerbang Istana De Luca. Pikirannya hanya terletak pada keselamatan Lynea saja.
"Panggilkan David! Suruh dia menemui aku di markas!" seru Alonzo pada penjaga gerbang sembari membalikkan badan. Ia hendak kembali menemui tuannya.
"Bagaimana?” Enrico menunggu kembalinya Alonzo di depan pintu ruang keluarga.
“Nona Lynea masih menolak, Tuan. Tapi sa—”
“Bodoh! Kemana otakmu itu? Kenapa tidak kamu paksa dia kembali?” hardik Enrico memarahi pesuruhnya.
“Apakah saya harus menggendongnya, Tuan? Saya rasa, tidak pantas bila saya menyentuh calon istri Anda,” jawab Alonzo menunduk tanpa berani menatap wajah tuannya.“Jangan sebut dia calon istriku! Aku masih jijik dengan kenyataan itu! Pokoknya bawa dia kembali! Atau kamu akan saya pecat!” ancam Enrico semakin murka.“Apakah perlu membawa beberapa pengawal bersama saya saat membawa Nona Lynea kembali, Tuan?”“Untuk apa? Menangkapnya? Apakah kamu seorang diri saja tidak bisa membawa dia? Jangan katakan kamu kalah menghadapi dia?”“Untuk melindunginya, Tuan. Kita tidak tahu isi surat warisan kakek Anda sudah berdampak seperti apa kepada yang lain,” jelas Alonzo menjabarkan bahwa nyawa Lynea bisa menjadi sasaran utama para majikan yang sedang berebut harta.“Hmmm … betul juga. Bawalah lima pengawal bersamamu. Pastikan dia kembali dengan cara apapun! Seret kalau perlu!”Alonzo kembali mengangguk layaknya seorang prajurit menerima titah komandannya.***Lynea sedang menenangkan diri di apartemen kecil miliknya. Bangunan yang besarnya sama dengan kamar saat dia di istana De Luca. Hanya saja, di sini tempat tidur, kamar mandi, ruang tamu dan dapur menjadi satu.Kalimat Romario terus terngiang di telinganya. Menerima uang dua trilyun, menikah dan memiliki anak dengan seorang Enrico De Luca.Seorang lelaki, berusia tiga puluh tahun yang memiliki kegemaran meniduri wanita asing. Hatinya masih merasakan mual yang sama.Gila! Semua ini sungguh gila! Siapa yang sebenarnya tidak menginginkan semua kekayaan itu? Menjadi istri salah satu orang terkaya dan tertampan di San Angelo? Sungguh impian jadi nyata. Padahal, ia sama sekali tidak pernah mengimpikan hal ini.
Lynea termenung. Mengapa Fransiscus menginginkan agar ia menikahi Enrico? Kadang saat sore mereka mengobrol, Fransiscus mengungkapkan kekuatirannya pada Enrico akibat kebiasaannya bermain wanita. Apakah semua ini berdasarkan hal itu? Atau ada niat lain dari sang kakek?
Lalu apa pula maksud Alonzo mengatakan berdasarkan pengalamannya tadi? Bahwa sebaiknya Lynea menerima perintah Enrico demi keselamatannya sendiri? Semua seperti kepingan puzzle yang belum dapat tersambung dengan jelas.TOK! TOK! TOK!Pintu apartemen digedor dengan keras dari luar. Lynea terkesiap. Baru saja ia merenung mengenai keselamatan dirinya sendiri, tiba-tiba ada seseorang mendatanginya. Ia mengintip dari lubang kecil di bagian atas pintu. Hatinya menjadi sedikit lebih tenang ketika melihat wajah Alonzo sedang tersenyum dan melambaikan tangan.Meski bingung bagaimana Alonzo bisa mengetahui alamat apartemen dan keberadaannya di sini, Lynea tetap membuka pintu.
“Ada apa?” Ia bertanya gugup karena melihat lima bodyguard yang dibawa Alonzo.“Periksa seluruh ruangan!” perintah Alonzo pada anak buahnya.“Eh, untuk apa? Ini rumahku! Kamu jangan masuk sembarangan!” cegah Lynea berlari-lari mencegah para bodyguard agar tidak memasuki kamar tidurnya.“Sedan cokelat di ujung perempatan jalan, Bos!” seru David, kepala bodyguard dari samping jendela kamar tidur Lynea.Sebuah teropong kembali ia masukkan ke dalam saku jasnya.
Alonzo tersenyum getir. Ia kemudian memberikan isyarat kepada Lynea agar memasuki kamarnya dengan perlahan, seolah tidak ada apa-apa.“Di ujung perempatan jalan, Nona akan melihat sedan cokelat tua. Percayalah, orang di dalamnya sedang menunggu Anda keluar rumah,” bisik Alonzo tidak menampakkan diri secara jelas di depan jendela.Ia menghindar agar tidak terlihat oleh orang yang di dalam sedan cokelat tersebut.“Hah? Untuk apa menungguku? Siapa dia?” Lynea semakin kebingungan.“Dia dijuluki The Janitor. Kerjaannya membersihkan orang-orang yang kehadirannya tidak diinginkan,” jawab David membuat Lynea setengah mati ketakutan.“Apa? Ini semua gila, Alonzo! Kenapa aku?”“Karena Nona akan segera menjadi Nyonya Besar De Luca.”“Aku tidak mau menikahi Tuan Enrico! Lelaki itu maniak! Dia itu seperti budak nafsu!” sewot Lynea membuat David dan teman-temannya seketika tertawa terbahak.“Diam!” bentak Alonzo tidak senang tuan mudanya ditertawakan oleh para bodyguard.“Maaf, Bos. Tapi perkataan Nona Lynea memang sangat lucu, juga benar,” sahut David masih sedikit terkekeh.“Nona, saya mohon kemas kembali pakaian anda dan segera kembali ke rumah Tuan De Luca. Beliau ingin berbicara dengan Anda,” pinta Alonzo ingin segera membawa kembali Lynea.“Suruh saja Tuan Enrico yang terhormat dan teramat jahat itu mendatangiku, kalau memang ia membutuhkan aku!” tolak Lynea ketus.Lagi-lagi David bersama keempat temannya terkekeh mendengar jawaban Lynea. Raut wajah Alonzo mulai terlihat tidak sabar.“Kita sama-sama tahu, Tuan Enrico tidak mungkin melakukannya, Nona! Kalian berlima berhentilah tertawa, atau aku taruh kalian jadi satpam di mini market!” ucapnya kesal. Sekali lagi David berusaha menahan tawanya.“Baiklah, kalau Anda tidak percaya, silahkan turun sampai di pinggir jalan. Mungkin dengan begitu Nona akan percaya?” usul Alonzo.“Baik. Usul yang bagus, aku setuju. Ayo kita turun,” jawab Lynea.David dan Luigi segera mengambil posisi di depan Lynea. Sementara ketiga body guard lain mengawal dari belakang. Salah satu dari mereka membawa koper biru tua yang ternyata belum di buka sama sekali oleh Lynea."Kenapa koperku dibawa?" tanya Lynea bingung. "Sekalian Nona kembali ke rumah De Luca," jawab Alonzo terus menatap ke arah depan."Eh? Aku tidak mau kembali!" protes Lynea tapi tidak dihiraukan oleh Alonzo. Matanya fokus menatap ke arah depan.
Begitu sampai di ujung tangga lantai satu, semua mata terbelalak melihat sosok yang hendak masuk dari arah pintu utama.“The Janitor!” bisik David pada Alonzo.“Jangan ada yang menyerang terlebih dahulu!” perintah Alonzo tegas.Ia memajukan diri ke depan tubuh Lynea, melindungi wanita calon istri tuannya.Orang yang mereka juluki The Janitor menghentikan langkahnya saat melihat Lynea telah dikelilingi oleh enam lelaki bertubuh kekar dan berparas sangar. Ia mengetahui bahwa tidak akan mungkin bisa memenangkan pertempuran ini.Perlahan The Janitor memundurkan langkah sambil terus menaruh tangan di dalam saku jaketnya. Hal serupa juga dilakukan oleh keenam lelaki yang mengerubungi Lynea. Mereka semua mundur perlahan dan menaruh tangan di dalam jas sambil berdiri penuh siaga.Suasana sangat mencekam. Lynea bisa merasakan jantungnya seakan berhenti berdenyut. “Nona percaya sekarang? Nona tahu apa yang ada di dalam jaketnya?” gumam Alonzo serius menatap Lynea ketika The Janitor telah mengilang. “Pi-pistol?” tanya Lynea gugup dan pucat pasi.Alonzo mengangguk. Ia kembali mengeluarkan tangannya dari jas. Lynea dapat sekilas melihat pistol kecil berwarna hitam dengan gagang cokelat keemasan, terpasang kokoh di sabuk belakang Alonzo.Selama ia menjadi perawat Fransiscus, belum pernah sekalipun melihat Alonzo membawa pistol dan dalam kondisi berjaga seperti barusan.“Kita bisa pergi sekarang?” David menyela sambil mengisyaratkan kepada anak buahnya untuk segera berangkat.“Aku menemui Tuan Enrico bukan berarti setuju untuk menjadi istrinya!” ucap Lynea merasa malu karena akhirnya ia terpaksa ikut dengan Alonzo. Ia kuatir bila tetap tinggal di apartemen maka namanya akan tinggal menjadi kenangan. “Nona bisa katakan itu sendiri kepada Tuan Enrico.”***SUV hitam berkaca gelap maksimal memasuki halaman rumah megah De Luca. Lynea dan Alonzo sudah kembali dan siap menemui Enrico. Mereka segera turun lalu melewati tangga marmer kokoh yang menjulang tinggi di depan pintu masuk.
“Tuan Muda sedang di kamarnya,” jawab seorang pelayan perempuan saat ditanya oleh Alonzo.
“Tuan Enrico, kami sudah kembali!” serunya mengetuk pintu.
“Masuk!” jawab Enrico berteriak dari dalam.
“Apakah perempuan tadi masih di sini?” Kembali Alonzo bertanya pada pelayan tadi.
“Tidak, Tuan Alonzo. Dia sudah pulang diantar oleh supir.”
Alonzo mengangguk. Kini ia yakin untuk membuka pintu. Kondisi sudah aman tanpa harus melihat wanita telanjang lagi di dalam kamar.
Lynea mengikuti langkah Alonzo memasuki kamar Enrico. Sama sekali ia tidak pernah tahu bagaimana isi kamar cucu kesayangan Fransiscus ini. Saking kagumnya dengan kemewahan di dalam kamar, Lynea menoleh ke kanan dan ke kiri, tanpa melihat ke depan.
Bruk!!!
Ia menabrak tubuh basah Enrico. Lelaki itu hanya menggunakan handuk dengan rambut yang masih basah menetes, mengenai dada bidangnya.
Lynea menelan ludah begitu melihat enam kotak lambang kemaskulinan tertata rapi bagaikan tuts piano di atas pusar Enrico.
“Sudah puas memandangi tubuhku? Suka dengan apa yang kamu lihat?” sindir Enrico sinis.
Lynea ingin sekali membalas omongan sengit Enrico. Namun, ia kuatir akan semakin memperpanjang masalah.
“Apa sudah ada yang menunggu?” lanjut Enrico bertanya pada Alonzo.
“The Janitor, Tuan,” jawab Alonzo singkat.
“Hmmm ... luar biasa memang mereka ini,” gumam Enrico menghela napaas berat.
“Kamu! Perawat Kampungan! Siapa namamu?” bentak Enrico pada Lynea.
“Lynea, Tuan. Terima kasih sudah bertanya. Saya kira, Tuan akan selamanya memanggil saya begitu,” jawab Lynea kesal dan sedikit menyindir.
Enrico berdehem kemudian duduk di atas ranjang masih hanya dengan menggunakan handuk. Matanya nakal namun tajam memperhatikan Lynea dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Demi apa Kakek menyuruhku menikahi kamu? Benar-benar suatu hukuman dan penyiksaan yang sempurna darimu, Tua Bangka!” maki Enrico mendongakkan kepala ke atas, seakan sedang berbicara dengan arwah kakeknya.
“Saya tidak mau menikahi Anda, Tuan Enrico. Semakin cepat anda umumkan bahwa kita tidak akan menikah, maka semua menjadi semakin baik. Hidup saya tidak akan terancam lagi,” sahut Lynea menundukkan kepala, kuatir dibentak lagi oleh sang Tuan Muda.
“Heh! Kurang ajar! Memang kamu siapa bisa menolak aku? Cari mati kamu?”
“Alonzo! Siapa nama kekasih Linen ini?”
“Lynea, Tuan. Bukan Linen," celetuk Lynea kesal.
“Siapa suruh kamu berbicara? Diam!” bentak Enrico kembali.
“Nona Lynea tidak memiliki kekasih, Tuan. Ia hanya memiliki seorang adik bernama Bryant, yang sedang bekerja di Restoran Be Blessed,” jawab Alonzo cepat.
“Alonzo? Dari mana kamu tahu semua ini?” Lynea geram bercampur heran.
“Dia tahu segalanya. Termasuk yang dia tahu adalah, kamu dan adikmu akan aku lempar ke jalan bila kamu tidak mau menikah denganku!”
“Dia juga tahu kamu memiliki seorang bibi bernama Sybil di kota Antoina. Aku hanya ingin mengatakan, bahwa dunia ini sepi bila tanpa keluarga. Paham?”
“Intinya, jika kamu menolak aku, hanya kesengsaraan dan kesendirian yang akan kamu alami! Oleh karena itu, tiga bulan lagi kita menikah!” lanjut Enrico menyeringai.
“Tapi, Tuan, sa—”
“Kita menikah tiga bulan lagi! Titik! Kalau kamu terus menolak, maka kamu, adikmu, dan bibimu bisa mengatakannya sendiri pada Fransiscus! Di alam baka sana! Akan aku pastikan kalian bertemu!” ancam Enrico menggebrak kayu dipannya.
"BERSAMBUNG"
(ON NEXT CHAPTER) :
“Kita menikah dan memiliki anak hanya di atas kertas. Saat warisan cair aku akan memberikan sepuluh persen kepadamu.”
Enrico terlihat santai saa tberbicara memiliki anak hanya di atas kertas. Lynea terkesiap mendengarnya. Hati macam apa yang sedang ia hadapi?
“Lima puluh persen!” sanggahnya berani.
“Apa-apaan? Kamu pikir kamu siapa?” bentak Enrico. “Aku orang yang akan kamu tiduri lalu mengandung anakmu! Lima puluh persen atau semua ini batal!”*****
Lynea hanya bisa menunduk dan terdiam ketika Tuan Muda De Luca itu mengancam akan mencelakai dia atau keluarganya, bila menolak untuk menikah dalam tiga bulan ke depan. Sesekali ia melirik kepada Alonzo yang juga hanya tertunduk tanpa bisa berbuat apa-apa.“Mengapa Anda memaksa saya seperti ini, Tuan? Pernikahan bukan sesuatu untuk dipermainkan. Pernikahan itu suci dan seba—”“Diam! Aku tidak menyuruh kamu ceramah, Linen!” bentak Enrico memotong ucapan Lynea.“Lynea, bukan Linen!”“Kalau aku bilang Linen, ya Linen!” Kembali Enrico berteriak sampai matanya mendelik karena sangat emosi menghadapi Lynea.“Kita menikah dan memiliki anak hanya di atas kertas. Saat warisan cair aku akan memberikan sepuluh persen kepadamu.”Enrico terlihat santai saat berbicara memiliki anak hanya di atas kertas. Lynea terkesiap mendengarnya. Hati macam apa yang sedang ia hadapi?“
Suasana di kamar Enrico benar-benar kacau. Bila sebelum ini hanya suara erangan dan desah kenikmatan yang muncul, malam ini telah berganti dengan jerit tangis dan ketakutan. Alonzo sangat iba melihat Lynea diperlakukan kasar oleh Tuan Mudanya. Ia ingin melerai dan melarang Enrico agar tidak menyakiti wanita manis itu, tapi ia tidak ada kuasa sama sekali. Lynea menjerit sejadi-jadinya. Ia langsung berdiri dan berlindung di balik tubuh besar Alonzo. Namun, Enrico tidak peduli. Ia seperti hewan buas yang terus mengejar mangsa di depan mata. "Aku tidak mau!" jerit Lynea makin menangis dan ketakutan, “jangan tarik bajuku! Jangan perkosa aku!” Alonzo akhirnya memberanikan diri untuk melindungi Lynea. Ia sedikit menghalangi gerak Enrico dengan menyembunyikan separuh tubuh wanita itu di belakangnya. “Maaf, Tuan. Tapi Nona Lynea belum pernah memiliki kekasih sebelumnya,” sela Alonzo mencoba membuat tuannya berhenti dan memahami kondisi
Eddy Milano adalah seorang designer kenamaan yang dipilih Enrico untuk membuat pakaian pertunangan mereka. Nama besarnya sudah terkenal di seluruh penjuru negeri. Hanya orang berlimpah harta saja yang mampu membeli masterpiece darinya.Lynea selama ini hanya bisa membayangkan memakai salah satu gaun Eddy Milano untuk acara pernikahannya. Sama sekali ia tidak menyangka, bahwa ia akan berada di sini berbicara langsung dengan sang designer. Terlebih lagi, betapa kehadirannya di situ sangat dihormati. Semua tentu tidak lepas dari keberadaan Enrico De Luca bersamanya.“Lumayan,” jawab Enrico singkat, mengomentari tampilan Lynea.“Ah, kalau lumayan, maka aku tidak setuju! Ayo kita cari gaun yang lain saja kalau begitu!” sela Eddy Milano tampak kecewa.“Untuk seorang Enrico De Luca, kecantikan adalah kesempurnaan. Ayo, Sayangku! Mari kita cari gaun lain yang akan digandrungi tunanganmu!” ajak sang designer me
Jantung Enrico semakin kencang berdetak ketika ia melihat Lynea sudah tidak sadarkan diri. Tangan wanita itu terus mengucurkan tetesan darah akibat luka sobek. Perasaan marah semakin menguasai emosinya.“Kalau kalian tidak bisa mendapatkan orang tadi dalam waktu satu minggu ke depan, akan kubuang tubuh kalian ke danau di halaman belakang!” teriaknya mengancam.Alonzo dan David saling pandang dengan mimik ketakutan. Keduanya pun bingung bagaimana seseorang bisa ternyata sudah ada di dalam kamar mandi wanita menunggu kedatangan Lynea di sana.“Saya curiga ada mata-mata di antara anak buah, Tuan. Siapa saja yang tahu kalau Nona Lynea akan bersama Tuan mendatangi Bellevue siang ini?” tanya Alonzo menganalisa.“Mana aku tahu? Itu tugas kalian, bukan?” hardik sang Tuan Muda menggebrak kaca jendela saking marahnya, sampai kaca tersebut bergetar.Seketika suasana kembali menjadi hening. Baik
Kamar perawatan VVIP Rumah Sakit Mariano Galli telah kedatangan seorang pasien penting yaitu calon istri Enrico De Luca, ahli waris dari kerajaan bisnis keluarga besar De Luca. Seorang dokter bernama Gabriel muncul di saat Lynea merasa hari-hari kelamnya tidak akan berakhir. Kehadirannya seolah memberikan harapan bagi mantan perawat itu, bahwa hari-hari ke depan akan lebih baik. “Selamat saya ucapkan untuk kalian berdua yang akan segera menikah,” ucap Gabriel tersenyum kepada Lynea. “Dokter datang untuk memeriksa bukan? Segera periksa, lalu pergilah!” hardik Enrico tajam menatap Gabriel. Dokter muda itu menjadi salah tingkah. Tentu sebelumnya ia sudah diberi tahu bahwa pasien di kamar ini adalah VVIP sehingga ia harus memberikan pelayanan yang terbaik. Mendapati sikap Enrico seperti ini, ia tidak ingin membantah atau mencari masalah. Gabriel segera mendekat dan memeriksa kondisi Lynea. Ia mendengarkan degup jantung kekasih masa lalunya melalui
Suasana remang malam di dalam kamar Enrico terasa semakin hangat karena ia sedang bercinta dengan seorang wanita yang baru saja ia kenal dua hari lalu. Mereka berkenalan melalui salah seorang rekan bisnisnya saat makan siang bersama di sebuah restoran. Naima, nama wanita itu. Rambutnya merah kecokelatan bergelombang. Kulitnya putih bersih dengan bibir tebal merah alami. Wanita seperti ini yang selalu digandrungi oleh Enrico. “Aku ingin bersamamu selalu, Enrico,” bisik Elena saat Enrico mulai mencumbunya. “Aaahhh… Aaahh… Yeaahh…!” desahnya semakin menggeliat di atas ranjang. Mendengar suara kenikmatan Naima membuat Enrico semakin bergairah dan bersemangat melakukan berbagai serangan. Lidahnya memainkan kedua gundukan kenyal di dada Naima. Saat mencapai sebuah lingkaran kecil berwarna merah muda, ia berhenti dan mulai menghisapnya perlahan. “Damn! Aduuuuh, aku … aaah … enak sekali!” racau Naima menarik-narik sprei dengan jemari lentiknya. Kakiny
Wajah Gabriel mengisyaratkan kekhawatiran terhadap keselamatan Lynea. Ia telah mendengar dari berbagai orang tentang sepak terjang Enrico sebagai Pangeran De Luca yang sangat dimanja dan dibiarkan berbuat apa pun yang ia inginkan oleh mendiang Fransiscus. Dokter itu tidak percaya bahwa takdir mempertemukan mereka kembali, hanya untuk melihat kekasih masa kecilnya sudah akan dinikahi oleh seseorang yang menurutnya, sangat tidak pantas untuk mendapatkan Lynea. "Kamu terlalu baik untuk seseorang seperti Enrico De Luca. Hatimu terlalu bersih untuknya," cetus Gabriel berbisik. "Kalau saja aku memiliki mesin waktu, tentu aku akan kembali pada detik itu. Saat dimana aku harus pergi ...." Ia tak meneruskan kalimatnya. Lynea tersenyum pahit sambil memandang wajah prihatin Gabriel. Hatinya bersorak karena pada sorot mata lawan bicaranta itu, masih tersirat sebuah rasa cinta. "Berhati-hatilah, Lynea. Aku harap kamu bisa pergi dari keadaan ini," pun
Rangkaian bunga memenuhi berbagai sudut ruangan Party Hall di hotel bintang lima yang paling terkenal di seluruh kota San Angelo. Wanginya sungguh harum semerbak, menyenangkan bagi mereka yang tengah berkumpul untuk melihat dari dekat, seperti apa calon istri seorang Enrico De Luca. Wanita mana yang menurut mereka, sangat beruntung menjadi Nyonya Besar di kerajaan bisnis keluarga De Luca?Seandainya saja mereka tahu, bahwa segala kemewahan yang melekat pada diri Lynea saat ini tidak akan pernah bisa membuatnya bahagia secara penuh. Seandainya saja mereka tahu, bahwa wanita itu lebih memilih untuk melepas semua dan kembali menjadi manusia merdeka seperti sebelumnya.“Senyumlah, kamu akan masuk surat kabar dan media lainnya di seluruh negeri,” gumam Enrico memaksa Lynea untuk melepaskan wajah gundahnya.“Aku sudah tersenyum sejak sejam yang lalu. Aku lelah, wajahku pegal rasanya!” protes Lynea masih memasang senyum kaku di wajahnya.
Sudah hampir satu tahun sejak Lynea menandatangani surat perceraiannya. Ia tetap tinggal di rumahnya yang berada di desa kecil, kota San Aguira. Bryant memilih untuk tetap bekerja di kota San Angelo dan menjadi kepala keamanan untuk kantor utama Maximo Corporation. Setiap dua atau tiga minggu sekali ia selalu pulang menemui Lynea dan keponakannya. Kabar tentang Enrico sering diceritakan oleh Bryant. Namun demikian, Lynea tidak pernah terlalu bersemangat untuk mendengarkannya. Bagaimana ia masih menyimpan luka dan harapan yang tak pernah pudar terhadap hubungan mereka, kadang membuat hatinya semakin sakit. Enrico pun masih sering menanyakan pada Bryant bagaimana kondisi Lynea dan David. Setiap Bryant kembali ke desa, Enrico selalu membawakan hadiah-hadiah mahal untuk anaknya. Kata Bryant, Enrico selalu menanyakan apakah kini Lynea sudah memiliki tambatan hati yang baru? Setiap mendengar bahwa Lynea masih sendiri, Tuan Besar De Luca hanya terdiam kemudi
Dalam temaram kendaraan menuju kantor polisi, Lynea menatap tak percaya pada selembar kertas di tangannya. Enrico setuju untuk bercerai dengannya.“Apakahah dia bersalah? Kamu yang memaksa bercerai, padahal dia hampir gila karena kamu pergi!” Kembali Romario menyindir secara terang-terangan.“Paman, ayolah bantu aku! Lalu sekarang aku harus bagaimana?” rengek Lynea kesal. Sampai kapan ia dan Enrico harus seperti ini.“Aku tidak tahu. Aku hanya pengacara. Kalian yang menikah. Berbicaralah satu sama lain, hati ke hati.”“Kenapa dia tidak datang malam ini? Apa dia tidak tahu kalau aku hampir mati? Apa dia tidak sadar pacarnya mau membunuhku, dan kini pacarnya itu sudah mati?” gusar Lynea.“Telepon saja langsung. Tanyakan sendiri,” jawab Romario santai. “Aku teleponkan Enrico untukmu saat ini juga.”Hati Lynea berdetak lebih cepat. Debaran rindu atau rasa bersalah menjadi sa
Cinta, sebuah rasa sejuta cerita Madu pelepas dahaga Racun pembunuh jiwa Hidup mati karenanya Cinta, mendatangkan obsesi Untuk saling memiliki Tak rela bila harus berakhir Sabit kalam menjelma tahir “Kamu baik-baik saja, Lyn?” Gabriel terengah-engah datang, langsung memeluk kekasihnya. Belum bisa mengucap apa-apa karena rasa shock yang bergulir sepanjang hari, yang ditanya hanya terdiam berlinang kepedihan. “Semua sudah berakhir, Lyn. Besok kita akan pergi meninggalkan ini semua. Hanya kamu, aku, dan anak-anak kita,” lanjut Gabriel mendekap erat. Tubuh yang bergetar, hati yang dingin, dan kunci kebahagiaan yang telah entah kemana. Lynea tertegun menatap sang dokter dengan hampa. “Aku … ti-tidak bisa … ikut de-denganmu,” gumamnya datar, ringan, dan gamang. “Apa maksudmu? Kita sudah berjanji untuk saling setia dan bersama selamanya! Baru tadi pagi kamu dan aku menyusuri sungai masa
Pandang Lynea mengabur. Rasanya semua ini terlalu berat untuk dijalani dalam waktu satu hari. Apakah penderitaan akan berakhir? Mengapa dunia begitu kejam padanya?Dimanakah bahagia itu? Apakah memang benar ada wujud nyata dari sebuah kata tersebut? Kalau memang hidupnya berhak merasakan, kenapa semua sulit sekali didapatkan?“Ga-Gabriel sudah memiliki i-istri? Sejak ka-kapan kalian me-menikah?” Terbata-bata dan bergetar ia bertanya.Lagi, air mata mengalir begitu saja. Rasa itu bahkan seperti sudah mati. Hancur berkeping, terserak di atas tanah begitu saja menunggu gersang.“Sejak lima tahun lalu, Nyonya,” jawab Avril mulai berkaca-kaca pada matanya.“Hai, Kristin. Ayo, ikut Tante. Kita lihat adek bayi, mau?” Jenna mengajak gadis cilik itu menjauh dari dua wanita dewasa yang akan segera runtuh bersamaan.Kristin melirik pada ibunya. Ketika sang ibu menganggukkan kepala, ia menerima uluran tangan Jenna dan
Ombak tenang menghiasi sungai kecil. Dua anak Adam menyusuri perlahan. Sang wanita membiarkan tangannya digenggam erat oleh teman prianya. Wajah mereka berseri, tidak kalah indah dengan gaung alam dan udara senja.“Kamu bahagia atau tidak, Lyn?” tanya Gabriel menatap begitu lembut.“Bersamamu? Aku bahagia. Selama ini aku sudah salah arah,” jawab Lynea tersenyum lalu mengacak-acak sedikit rambut teman masa kecilnya.Tiba-tiba Gabriel berlutut di hadapannya. Tangan kanan mengambil sesuatu dari kantong jaket. Sebuah kotak kain mungil berwarna biru tua.“Aku tahu kamu masih menjadi istri orang dan sedang dalam proses cerai, tetapi aku begitu terobsesi dan jatuh cinta padamu,” ucap Gabriel. Perlahan ia membuka kotak itu.Sebuah cincin emas putih dengan berlian mungil berbentuk hati di tengahnya dipersembahkan untuk Lynea.“Maukah kamu menikah denganku? Be my wife, for all eternity,” pintanya memberi
Enough is enough, begitu kata pepatah. Cukup sudah semua ini membuat hidup Lynea begitu kacau dan naik turun seperti roller coaster. Tidak ada lagi yang harus dipikirikan. Dua kali sudah Enrico bercinta dengan Elena saat masih menyandang status sebagai suaminya. “Terima kasih karena telah membuka mataku, Elena. Kini aku mengetahui, seperti apa suamiku sebenarnya. Kamu bisa mengambilnya. Aku tidak butuh lelaki yang tidak setia padaku.” Lynea menegakkan kepala, berbicara dengan anggun dan tegas. Jika harga diri adalah satu-satunya yang tersisa dari dirinya, maka ia akan menjaganya dengan sebaik mungkin. Tidak ada yang boleh menghancurkan seutas harga diri tersebut. “Lyn, aku minta maaf,” pinta Enrico berniat mengikuti langkah istrinya yang mulai meninggalkan ruangan. Lynea tidak menoleh sama sekali, apa lagi menjawab. Baginya keberadaan Enrico tidak lebih dari sebuah kisah usang. Terus saja berulang tanpa ada akhir bahagia. “Kamu! Wanita ular!”
Sekian pasang mata menatap cemas ketika pintu ruang operasi dibuka dan seorang perawat keluar memanggil keluarga Alonzo. Felix segera berdiri dan maju menghampiri sang perawat.“Saya kakaknya,” ucapnya.“Operasi Tuan ALonzo telah selesai. Ternyata ada tiga peluru yang masuk dalam tubuhnya.”“Apakah Alonzo hidup?” Enrico menyela.“Beliau telah melewati masa kritis selama dua jam terakhir. Tubuhnya menunjukkan repson yang baik terhadap obat-obatan yang kami berikan. Kini kondisinya sudah stabil, tapi masih dalam bius total sampai dua hari ke depan.”“Terima kasih, Tuhan!” jerit Lynea melompat dan memeluk Enrico.Dia lupa kalau sedang menjauhi sang suami. Semua kembali bernapas lega mendengar kabar baik ini. Ketegangan seketika menghilang. Felix menitikkan air mata bahagia, dan langsung di seka oleh jemarinya. Tidak ada air mata bagi lelaki tangguh yang melewati berbagai peperangan. Na
“Alonzo! Bangun, buka matamu! Alonzo, ayolah! Bangun, bangun! Kamu tidak boleh pergi dengan cara seperti ini!” Enrico menepuk-nepuk pipi orang kepercayaan dan sahabat terbaiknya. “Siapkan helikopter!” seru Felix kepada anak buahnya melalui speaker telinga. “Paramedik!” teriak Kapten Abrahm berulang. Orang-orang berbaju putih berlambang palang merah datang, membawa tandu dan kotak pertolongan pertama. Mereka segera menekan luka tembak di dada Alonzo dan menutupnya dengan perban. Tubuh yang sudah tidak sadarkan diri itu kemudian diangkat oleh empat orang ke atas tandu. “Parkir helikopter di halaman belakang saja! Adikku harus ke rumah sakit saat ini juga!” Felix terus memerintah anak buahnya. Ketika mereka melintas di antara kursi-kursi sidang, jenazah Viery sedang tergeletak di atas lantai dengan darah menggenang sangat banyak. Alessia berlutut di samping tubuh sang kakak yang sudah tidak bernyawa. Ia menangis dan berteriak, sangat memilukan.
“Enrico?” tanya Gabriel melirik ke ponsel Lynea.“Hmm, dia telah mencoba menghubungiku sejak kemarin.”“Kamu benar-benar masih cinta padanya? Orang seperti dia, Lyn?”Lynea terdiam. Ia sendiri tidak tahu jawaban dari pertanyaan itu. Ada sesuatu yang membuatnya begitu terikat pada sang suami, dan itu bukan hanya karena Enrico adalah ayah dari putranya. Seolah ada aura khusus yang membuat dirinya, dan juga ratusan wanita lain tidak bisa berhenti mencintainya.Ya, dia memang kaya raya, tapi Lynea tidak pernah memedulikan itu semua. Tampan? Sangat! Akan tetapi, Gabriel pun memiliki wajah baby face yang diidolakan para dokter wanita di rumah sakit.Enrico memiliki jiwa yang misterius. Di sana, ada kekerasan, tetapi juga kelembutan. Penuh dendam, namun juga mencari kedamaian. Serba kekerasan, hanya saja ia juga begitu mencintai istrinya.“Aku tidak tahu, Gabriel. Semua ini terlalu menyesakkan dan membingun