Lynea sedang mengalami hati yang berbunga. Ia membayangkan sejumlah harta akan diberikan padanya melalui warisan Fransiscus. Tidak hanya uang, namun bisa juga berupa mobil klasik maupun benda berharga lainnya.
Ia hendak menuruni tangga saat terlihat Alonzo masih ada di belakangnya. Diputuskan untuk menunggu teman satu-satunya di Istana De Luca ini agar bisa turun bersama menuju ruang keluarga.
“Tuan Enrico, sudah saatnya pembacaan warisan!” panggil Alonzo kemudian mengetuk-ngetuk pintu kamar sang majikan.
Setelah lebih dari lima menit dan tiga puluh ketukan, keluarlah Enrico hanya dengan memakai selembar selimut untuk menutupi area vitalnya.
Entah saking cueknya atau memang Tuan Muda itu tidak cukup pintar untuk menutupi seluruh bokongnya. Lynea dapat melihat sedikit bongkahan kekar diantara lipatan selimut Enrico.
“Suruh saja Paman Romario naik ke kamarku! Biar dia bacakan di sini!” Enrico menolak untuk turun.
“Maaf, Tuan. Hanya saja, seluruh keluarga Anda berada di bawah. Tuan Bernard, Nyonya Belezza dan anak-anak mereka semua telah berkumpul.” Alonzo terus menunduk, tidak berani menatap ke dalam kamar Enrico. Di sana, Gilda masih telentang tanpa tertutup apapun karena selimutnya dipakai Enrico keluar kamar.
“Sialan! Mengganggu saja!” umpat Enrico entah pada siapa.
“Heh! Alonzo! Suruh perawat kampungan itu berhenti menatapku! Katakan padanya untuk cepat pergi! Fransiscus sudah mati!” Begitu kasar ucapan Enrico kepada Alonzo dan Lynea.
“Baik, Tuan Muda,” jawab Alonzo membungkukkan badan.
Lynea memaki dalam hati mendapat umpatan begitu hina dari seorang Enrico De Luca. Ia segera memalingkan wajah dan menuruni tangga menuju ruang pertemuan.
Alonzo kemudian mengekor di belakang Lynea begitu pintu kamar telah ditutup dan dibanting oleh Enrico. Sudah dua puluh tahun ia bekerja untuk keluarga ini. Tugas pertamanya kala itu adalah untuk setiap hari berkeliling rumah sambil memunguti berbagai kotoran serta dedaunan yang jatuh.
Pertama kali ia masuk, Enrico masih berusia sepuluh tahun, sementara dirinya sendiri berusia tujuh belas tahun. Namun, sepertinya pemuda sombong itu telah melupakan semua jasa Alonzo yang pernah dipanggil “Kakak” saat dirinya masih kecil.
***
“Selamat datang, Nona Stefanson. Silahkan duduk,” sapa Romario, pengacara kepercayaan keluarga De Luca. Masalah hukum apapun, Romario adalah kuncinya. Ia dan Fransiscus telah bersahabat seperempat abad lebih.
Seisi ruangan memandang aneh pada Lynea. Bagaimana tidak? Status sosial mereka seperti Venus dan Mars. Sangat berbeda jauh. Semua yang ada di ruangan ini, menyandang nama De Luca. Bisa dipastikan harga pakaian salah satu dari mereka pasti lebih mahal daripada gaji satu bulan Lynea.
Tidak hanya memandang aneh, namun juga merendahkan dan tentunya berbisik mencibir. Mendapati hal ini, Lynea mulai merasa risih. Keringat dingin mulai terasa membasahi kening.
“Untuk apa saya di sini, Tuan Romario?” tanya Lynea gugup.
“Mendengar pembacaan warisan, tentunya. Hei, Alonzo! Dimana Enrico?” seru Romario terlihat kesal karena batang hidung yang mancung dari cucu kesayangan almarhum tidak juga muncul.
“Pasti dia sedang berpesta dengan perempuan genit yang baru saja ia kenal di pemakaman tadi,” desis Alessia menyenderkan kepala pada pundak Belezza, sang ibunda.
“Mana ada wanitanya Enrico yang tidak genit?” sambung Bernard menanggapi cibiran Alessia.
Mereka semua adalah anak keturunan dari Fransiscus De Luca. Anak pertamanya, yaitu Inzaghi, meninggal karena kecelakaan mobil bersama sang istri. Merekalah orang tua Enrico.
Setelah Inzaghi, ada Belezza dan yang terakhir adalah Bernard. Semuanya kini sedang duduk tegang menunggu Romario mulai membacakan surat wasiat dari pendiri kerajaan bisnis De Luca.
“Ayo, mulai bacakan!” Tiba-tiba suara Enrico bergema di ruangan. Ia hanya memakai celana panjang kain dengan hem yang terbuka pada bagian kancing depan.
Bulu dadanya tipis namun cukup terlihat, menambah kesan maskulin dan lelaki sejati, pada tubuh atletik yang tinggi tersebut.
“Sudah puas? Berapa ronde?” cibir Viery, kakak Alessia melirik sinis karena melihat begitu banyak tanda merah di dada dan leher sepupunya.
“Sudah puas sekali! Aku bukan kamu, yang tidak bisa mendapatkan perempuan, kecuali kamu keluarkan Lamborghini-mu,” balas Enrico santai.
“Huh! Sombong!” sahut Angelic, anak Bernard, juga sepupu Enrico.
“Semuanya fokus pada suara saya!” perintah Romario mulai menyobek amplop bersegel, membuat seluruh manusia di dalam ruang itu menahan napas.
“Bersama ini saya, Franciscus De Luca, menyatakan bahwa di saat saya telah tiada, seluruh harta dan kekayaan saya akan jatuh kepada …”
Romario berhenti beberapa detik. Sepertinya ia sedang menguatkan diri untuk bisa meneruskan kalimat-kalimat selanjutnya.
“Seluruh harta dan kekayaan saya akan jatuh kepada … Lynea Stefanson!”
“Apaaaa!” seisi ruangan kompak menjerit.
“Warisan diberikan kepada Nona Lynea, dengan berbagai syarat! Dengarkan dulu!” Keras suara pengacara senior itu menenangkan seisi ruangan.
“Kamu perempuan ular! Apa yang kamu lakukan terhadap ayahku? Kamu sihir dia?” maki Belezza mengacungkan telunjuk persis di depan wajah Lynea yang masih kebingungan. Napasnya terengah-engah menahan emosi.
“Duduklah, Tante! Biarkan saja dulu perawat kampungan itu! Kita harus dengarkan kelanjutan warisan kakek!” ucap Enrico terus memanggil Lynea dengan sebutan Perawat Kampungan.
Meskipun terdengar sangat kasar dan menyakitkan, Lynea telah membeku sehingga kalimat apapun tidak bisa menembus ke dalam hatinya.
Suasana kembali hening. Hanya terdengar Alonzo sedang menata beberapa teko teh di atas cofee table sehingga menimbulkan suara dentingan ketika gelas-gelas itu beradu.
“Seluruh harta akan diserahkan kepada Lynea Stefanson, dengan syarat …” Kembali Romario berhenti berucap. Bola matanya melirik pada Enrico sambil tersenyum simpul.
“Ah, ayolah! Apa yang kamu tunggu Paman Roma? Jangan bermain sandiwara seperti ini!” gerutu Enrico mendengus kesal.
“Syaratnya adalah kamu menikah dengan Lynea!” sahut Romario menahan entah tawa atau iba. Dalam hatinya ia mengetahui pernikahan tidak pernah ada dalam kamus hidup Enrico.
“Saya ulangi! Fransiscus ingin, agar Enrico menikahi Lynea. Syarat harta ini jatuh kepada kalian berdua adalah dengan pernikahan,” ucapnya menjelaskan lagi untuk yang kedua kalinya.
Enrico hanya bisa mendelik dan membuat huruf O di mulutnya. “Itu tidak mungkin!” hardiknya pada Romario.
“Ini gila! Ayah sudah gila! Apa-apaan ini?” teriak Bernard melompat berdiri dan berjalan gelisah maju mundur di tengah ruangan. Mata pria berusia lima puluh lima tahun itu menatap Lynea marah.
“Kakek sungguh tidak punya hati! Semua diberikan kepada perawat kotor ini?” Alessia mulai kalap.
Ia mendekati Lynea dengan pandangan mengerikan. Kedua matanya memicing, penuh aura kebencian.
“Pasti dia telah mencuci otak kakek! Wanita brengsek!” sambung Angelic meradang.
Lynea mendengar semua makian yang ditujukan kepadanya dengan samar. Ia tidak lagi mendengar dengan jelas. Telinga dan hatinya justru sedang memutar ulang permintaan Fransiscus agar ia menikah dengan cucunya.
“Diamlah kalian semua! Paman Roma belum selesai!” hardik Enrico membentak seluruh keluarganya.
“Kamu! Perawat Kampungan! Dengarkan semuanya sampai selesai!” lanjutnya membentak Lynea tanpa mau menyebut nama sang perawat.
“Dengarkan semua! Enrico dan Lynea harus menikah untuk mendapatkan harta berupa uang cash sebesar dua triliun, lima buah perusahaan utama beserta seluruh asetnya termasuk hotel dan resort. Lalu, rumah yang sedang kita tempati saat ini dan dua ratus kilogram batangan emas yang tersimpan di safe deposit.”
Lynea melongo mendengar daftar kekayaan Fransiscus. Memang ia tahu bahwa mendiang bosnya itu termasuk salah satu orang terkaya di seluruh penjuru negeri.
Hanya saja seluruh nominal yang telah diucapkan Romario terdengar seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Namun, syarat yang diajukan terlalu berat untuk bisa dipenuhi. Ia tidak mungkin menikah dengan Enrico.
“Jika disetujui, kalian harus menikah paling lambat tiga bulan ke depan. Pernikahan tersebut harus dilakukan dengan sungguh-sungguh.”
“Selain itu, dalam satu tahun pertama pernikahan kalian, Lynea harus sudah hamil, kecuali dokter menyatakan kondisi yang memang tidak memungkinkan untuk itu.”
“Tua bangka, kamu benar-benar sudah gila!” maki Enrico sambil berdiri tepat di depan lukisan kakeknya.
Gila! Semua ini makin terasa gila untuk Lynea. Menikah lalu hamil dengan anak Enrico? Lelaki sombong, kasar, manja dan penuh nafsu itu? Membayangkan seranjang dengannya saja sudah memberikan rasa mual pada perut Lynea.
“Untuk yang lain, kalian mendapat tiga ratus milyar dibagi sama rata untuk keluarga Bernard dan Belezza. Koleksi mobil antik Fransiscus, vila pribadi di pantai dan gunung. Tiga mini market dan dua rumah mewah di tengah kota juga akan dibagi kepada kalian berdua. Ketentuan tersebut semuanya ada di sini!”
Beberapa detik suasana kembali menjadi sunyi. Semua saling tatap. Bahkan kali ini Enrico melirik dan menatap Lynea dengan tajam. Tatapan pertamanya setelah setahun saling berdampingan, walau terpisah oleh dinding kamar.
Dengan mengumpulkan segala keberanian, kekuatan, daya dan upaya, Lynea mulai mengutarakan apa yang ada di dalam hatinya.
“Sa-saya menolak se-semua warisan ini, Pak Romario. Saya ti-ti-tidak menginginkannya sama sekali.” Lynea terbata-bata mengucapkan penolakannya. Ia lebih baik hidup apa adanya namun bebas dari keluarga De Luca yang terlihat mengerikan.
“Kalau kamu menolak, semua uang, tanah, aset dan juga emas yang menjadi hakmu dan Enrico, akan diberikan kepada yayasan sosial. Kemudian perusahaan akan dibagi tiga sama rata dengan Enrico, Belleza dan Bernard,” jelas pengacara tersebut menghela napas berat. Warisan sahabatnya ini memang sudah diduga akan menimbulkan konflik berkepanjangan.
“Sungguh sayang bukan, membuang uang dua trilyun begitu saja?” gumamnya menggelengkan kepala.
“Kalian berdua diberi waktu tiga hari untuk memutuskan, apakah bisa saling jatuh cinta dan menikah atau tidak?” lanjut Romario memijit keningnya sendiri. Ia pun merasa pusing dengan semua ini.
“Sudah saya putuskan dan jawabannya tidak! Saya sudah memiliki seorang kekasih dan kami bahagia. Mohon maaf, tapi saya tetap akan menolak,” tegas Lynea berdiri dari kursinya.
“Saya pamit undur diri. Tugas saya di rumah ini sudah selesai. Terima kasih semua. Sampai jumpa lagi.” Lynea segera berdiri dan menggeret koper biru tua besar menuju pintu keluar.
“Alonzo!” teriak Enrico terdengar sangat marah. Sekali lirikan, sang pesuruh sudah paham keinginan tuannya.
Ia segera menaruh gelas-gelas teh dan berlari mengejar Lynea yang sudah mendekati pintu keluar.
“Nona! Nona Lynea! Dengarkan saya dulu!” kejar Alonzo tergopoh-gopoh.
Lynea menoleh sambil tetap berjalan menuju pagar utama dimana sebuah taksi telah sedari tadi menunggunya.
“Maaf, Nona. Menurut pengalaman saya, sebaiknya anda menyetujui permintaan Tuan Enrico, demi keselamatan anda sendiri,” saran Alonzo menatap kuatir pada Lynea.
“Kamu serius? Bagaimana aku bisa hidup berdampingan dengan makhluk kasar itu? Tidak akan!” tolak Lynea berapi-api.
“Anda belum mengenalnya lebih dalam. Tuan Enrico sebenarnya adalah orang baik,” sanggah Alonzo sedikit terengah-engah.
“Tidak, Tuan Alonzo! Aku tidak mau menikah dengan dia! Maafkan aku, selamat tinggal!”
“Tolonglah, Nona! Jangan pergi! Saya kuatir anda akan mengalami hal yang buruk!” cegah Alonzo menghadang.
“Apa maksudmu?” Lynea mengernyitkan dahi.
“Uang adalah sesuatu yang mengerikan karena bisa mencelakai siapa pun. Kembalilah, Nona. Saya kuatir anda akan terluka,” pinta Alonzo benar-benar serius.
“Aku tidak mengerti! Kamu sebenarnya mau mengatakan apa, Alonzo? Aku tidak takut! Sudah, selamat tinggal!” Lynea berlari sekencang mungkin sambil terus menggeret kopernya menuju pintu gerbang utama jauh di depan.
"BERSAMBUNG"
(ON NEXT CHAPTER)
Matahari semakin lelah untuk terus bertahan. Ia merunduk masuk ke dalam peraduan di balik bumi. Udara menjelang malam terasa semakin dingin, menusuk tulang Alonzo yang terdiam di depan gerbang Istana De Luca. Pikirannya hanya terletak pada keselamatan Lynea saja. "Panggilkan David! Suruh dia menemui aku di markas!" seru Alonzo pada penjaga gerbang sembari membalikkan badan. Ia hendak kembali menemui tuannya. "Bagaimana?” Enrico menunggu kembalinya Alonzo di depan pintu ruang keluarga. “Nona Lynea masih menolak, Tuan. Tapi sa—” “Bodoh! Kemana otakmu itu? Kenapa tidak kamu paksa dia kembali?” hardik Enrico memarahi pesuruhnya. “Apakah saya harus menggendongnya, Tuan? Saya rasa, tidak pantas bila saya menyentuh calon istri Anda,” jawab Alonzo menunduk tanpa berani menatap wajah tuannya. “Jangan sebut dia calon istriku! Aku masih jijik dengan kenyataan itu! Pokoknya bawa dia kembali! Atau k
Lynea hanya bisa menunduk dan terdiam ketika Tuan Muda De Luca itu mengancam akan mencelakai dia atau keluarganya, bila menolak untuk menikah dalam tiga bulan ke depan. Sesekali ia melirik kepada Alonzo yang juga hanya tertunduk tanpa bisa berbuat apa-apa.“Mengapa Anda memaksa saya seperti ini, Tuan? Pernikahan bukan sesuatu untuk dipermainkan. Pernikahan itu suci dan seba—”“Diam! Aku tidak menyuruh kamu ceramah, Linen!” bentak Enrico memotong ucapan Lynea.“Lynea, bukan Linen!”“Kalau aku bilang Linen, ya Linen!” Kembali Enrico berteriak sampai matanya mendelik karena sangat emosi menghadapi Lynea.“Kita menikah dan memiliki anak hanya di atas kertas. Saat warisan cair aku akan memberikan sepuluh persen kepadamu.”Enrico terlihat santai saat berbicara memiliki anak hanya di atas kertas. Lynea terkesiap mendengarnya. Hati macam apa yang sedang ia hadapi?“
Suasana di kamar Enrico benar-benar kacau. Bila sebelum ini hanya suara erangan dan desah kenikmatan yang muncul, malam ini telah berganti dengan jerit tangis dan ketakutan. Alonzo sangat iba melihat Lynea diperlakukan kasar oleh Tuan Mudanya. Ia ingin melerai dan melarang Enrico agar tidak menyakiti wanita manis itu, tapi ia tidak ada kuasa sama sekali. Lynea menjerit sejadi-jadinya. Ia langsung berdiri dan berlindung di balik tubuh besar Alonzo. Namun, Enrico tidak peduli. Ia seperti hewan buas yang terus mengejar mangsa di depan mata. "Aku tidak mau!" jerit Lynea makin menangis dan ketakutan, “jangan tarik bajuku! Jangan perkosa aku!” Alonzo akhirnya memberanikan diri untuk melindungi Lynea. Ia sedikit menghalangi gerak Enrico dengan menyembunyikan separuh tubuh wanita itu di belakangnya. “Maaf, Tuan. Tapi Nona Lynea belum pernah memiliki kekasih sebelumnya,” sela Alonzo mencoba membuat tuannya berhenti dan memahami kondisi
Eddy Milano adalah seorang designer kenamaan yang dipilih Enrico untuk membuat pakaian pertunangan mereka. Nama besarnya sudah terkenal di seluruh penjuru negeri. Hanya orang berlimpah harta saja yang mampu membeli masterpiece darinya.Lynea selama ini hanya bisa membayangkan memakai salah satu gaun Eddy Milano untuk acara pernikahannya. Sama sekali ia tidak menyangka, bahwa ia akan berada di sini berbicara langsung dengan sang designer. Terlebih lagi, betapa kehadirannya di situ sangat dihormati. Semua tentu tidak lepas dari keberadaan Enrico De Luca bersamanya.“Lumayan,” jawab Enrico singkat, mengomentari tampilan Lynea.“Ah, kalau lumayan, maka aku tidak setuju! Ayo kita cari gaun yang lain saja kalau begitu!” sela Eddy Milano tampak kecewa.“Untuk seorang Enrico De Luca, kecantikan adalah kesempurnaan. Ayo, Sayangku! Mari kita cari gaun lain yang akan digandrungi tunanganmu!” ajak sang designer me
Jantung Enrico semakin kencang berdetak ketika ia melihat Lynea sudah tidak sadarkan diri. Tangan wanita itu terus mengucurkan tetesan darah akibat luka sobek. Perasaan marah semakin menguasai emosinya.“Kalau kalian tidak bisa mendapatkan orang tadi dalam waktu satu minggu ke depan, akan kubuang tubuh kalian ke danau di halaman belakang!” teriaknya mengancam.Alonzo dan David saling pandang dengan mimik ketakutan. Keduanya pun bingung bagaimana seseorang bisa ternyata sudah ada di dalam kamar mandi wanita menunggu kedatangan Lynea di sana.“Saya curiga ada mata-mata di antara anak buah, Tuan. Siapa saja yang tahu kalau Nona Lynea akan bersama Tuan mendatangi Bellevue siang ini?” tanya Alonzo menganalisa.“Mana aku tahu? Itu tugas kalian, bukan?” hardik sang Tuan Muda menggebrak kaca jendela saking marahnya, sampai kaca tersebut bergetar.Seketika suasana kembali menjadi hening. Baik
Kamar perawatan VVIP Rumah Sakit Mariano Galli telah kedatangan seorang pasien penting yaitu calon istri Enrico De Luca, ahli waris dari kerajaan bisnis keluarga besar De Luca. Seorang dokter bernama Gabriel muncul di saat Lynea merasa hari-hari kelamnya tidak akan berakhir. Kehadirannya seolah memberikan harapan bagi mantan perawat itu, bahwa hari-hari ke depan akan lebih baik. “Selamat saya ucapkan untuk kalian berdua yang akan segera menikah,” ucap Gabriel tersenyum kepada Lynea. “Dokter datang untuk memeriksa bukan? Segera periksa, lalu pergilah!” hardik Enrico tajam menatap Gabriel. Dokter muda itu menjadi salah tingkah. Tentu sebelumnya ia sudah diberi tahu bahwa pasien di kamar ini adalah VVIP sehingga ia harus memberikan pelayanan yang terbaik. Mendapati sikap Enrico seperti ini, ia tidak ingin membantah atau mencari masalah. Gabriel segera mendekat dan memeriksa kondisi Lynea. Ia mendengarkan degup jantung kekasih masa lalunya melalui
Suasana remang malam di dalam kamar Enrico terasa semakin hangat karena ia sedang bercinta dengan seorang wanita yang baru saja ia kenal dua hari lalu. Mereka berkenalan melalui salah seorang rekan bisnisnya saat makan siang bersama di sebuah restoran. Naima, nama wanita itu. Rambutnya merah kecokelatan bergelombang. Kulitnya putih bersih dengan bibir tebal merah alami. Wanita seperti ini yang selalu digandrungi oleh Enrico. “Aku ingin bersamamu selalu, Enrico,” bisik Elena saat Enrico mulai mencumbunya. “Aaahhh… Aaahh… Yeaahh…!” desahnya semakin menggeliat di atas ranjang. Mendengar suara kenikmatan Naima membuat Enrico semakin bergairah dan bersemangat melakukan berbagai serangan. Lidahnya memainkan kedua gundukan kenyal di dada Naima. Saat mencapai sebuah lingkaran kecil berwarna merah muda, ia berhenti dan mulai menghisapnya perlahan. “Damn! Aduuuuh, aku … aaah … enak sekali!” racau Naima menarik-narik sprei dengan jemari lentiknya. Kakiny
Wajah Gabriel mengisyaratkan kekhawatiran terhadap keselamatan Lynea. Ia telah mendengar dari berbagai orang tentang sepak terjang Enrico sebagai Pangeran De Luca yang sangat dimanja dan dibiarkan berbuat apa pun yang ia inginkan oleh mendiang Fransiscus. Dokter itu tidak percaya bahwa takdir mempertemukan mereka kembali, hanya untuk melihat kekasih masa kecilnya sudah akan dinikahi oleh seseorang yang menurutnya, sangat tidak pantas untuk mendapatkan Lynea. "Kamu terlalu baik untuk seseorang seperti Enrico De Luca. Hatimu terlalu bersih untuknya," cetus Gabriel berbisik. "Kalau saja aku memiliki mesin waktu, tentu aku akan kembali pada detik itu. Saat dimana aku harus pergi ...." Ia tak meneruskan kalimatnya. Lynea tersenyum pahit sambil memandang wajah prihatin Gabriel. Hatinya bersorak karena pada sorot mata lawan bicaranta itu, masih tersirat sebuah rasa cinta. "Berhati-hatilah, Lynea. Aku harap kamu bisa pergi dari keadaan ini," pun
Sudah hampir satu tahun sejak Lynea menandatangani surat perceraiannya. Ia tetap tinggal di rumahnya yang berada di desa kecil, kota San Aguira. Bryant memilih untuk tetap bekerja di kota San Angelo dan menjadi kepala keamanan untuk kantor utama Maximo Corporation. Setiap dua atau tiga minggu sekali ia selalu pulang menemui Lynea dan keponakannya. Kabar tentang Enrico sering diceritakan oleh Bryant. Namun demikian, Lynea tidak pernah terlalu bersemangat untuk mendengarkannya. Bagaimana ia masih menyimpan luka dan harapan yang tak pernah pudar terhadap hubungan mereka, kadang membuat hatinya semakin sakit. Enrico pun masih sering menanyakan pada Bryant bagaimana kondisi Lynea dan David. Setiap Bryant kembali ke desa, Enrico selalu membawakan hadiah-hadiah mahal untuk anaknya. Kata Bryant, Enrico selalu menanyakan apakah kini Lynea sudah memiliki tambatan hati yang baru? Setiap mendengar bahwa Lynea masih sendiri, Tuan Besar De Luca hanya terdiam kemudi
Dalam temaram kendaraan menuju kantor polisi, Lynea menatap tak percaya pada selembar kertas di tangannya. Enrico setuju untuk bercerai dengannya.“Apakahah dia bersalah? Kamu yang memaksa bercerai, padahal dia hampir gila karena kamu pergi!” Kembali Romario menyindir secara terang-terangan.“Paman, ayolah bantu aku! Lalu sekarang aku harus bagaimana?” rengek Lynea kesal. Sampai kapan ia dan Enrico harus seperti ini.“Aku tidak tahu. Aku hanya pengacara. Kalian yang menikah. Berbicaralah satu sama lain, hati ke hati.”“Kenapa dia tidak datang malam ini? Apa dia tidak tahu kalau aku hampir mati? Apa dia tidak sadar pacarnya mau membunuhku, dan kini pacarnya itu sudah mati?” gusar Lynea.“Telepon saja langsung. Tanyakan sendiri,” jawab Romario santai. “Aku teleponkan Enrico untukmu saat ini juga.”Hati Lynea berdetak lebih cepat. Debaran rindu atau rasa bersalah menjadi sa
Cinta, sebuah rasa sejuta cerita Madu pelepas dahaga Racun pembunuh jiwa Hidup mati karenanya Cinta, mendatangkan obsesi Untuk saling memiliki Tak rela bila harus berakhir Sabit kalam menjelma tahir “Kamu baik-baik saja, Lyn?” Gabriel terengah-engah datang, langsung memeluk kekasihnya. Belum bisa mengucap apa-apa karena rasa shock yang bergulir sepanjang hari, yang ditanya hanya terdiam berlinang kepedihan. “Semua sudah berakhir, Lyn. Besok kita akan pergi meninggalkan ini semua. Hanya kamu, aku, dan anak-anak kita,” lanjut Gabriel mendekap erat. Tubuh yang bergetar, hati yang dingin, dan kunci kebahagiaan yang telah entah kemana. Lynea tertegun menatap sang dokter dengan hampa. “Aku … ti-tidak bisa … ikut de-denganmu,” gumamnya datar, ringan, dan gamang. “Apa maksudmu? Kita sudah berjanji untuk saling setia dan bersama selamanya! Baru tadi pagi kamu dan aku menyusuri sungai masa
Pandang Lynea mengabur. Rasanya semua ini terlalu berat untuk dijalani dalam waktu satu hari. Apakah penderitaan akan berakhir? Mengapa dunia begitu kejam padanya?Dimanakah bahagia itu? Apakah memang benar ada wujud nyata dari sebuah kata tersebut? Kalau memang hidupnya berhak merasakan, kenapa semua sulit sekali didapatkan?“Ga-Gabriel sudah memiliki i-istri? Sejak ka-kapan kalian me-menikah?” Terbata-bata dan bergetar ia bertanya.Lagi, air mata mengalir begitu saja. Rasa itu bahkan seperti sudah mati. Hancur berkeping, terserak di atas tanah begitu saja menunggu gersang.“Sejak lima tahun lalu, Nyonya,” jawab Avril mulai berkaca-kaca pada matanya.“Hai, Kristin. Ayo, ikut Tante. Kita lihat adek bayi, mau?” Jenna mengajak gadis cilik itu menjauh dari dua wanita dewasa yang akan segera runtuh bersamaan.Kristin melirik pada ibunya. Ketika sang ibu menganggukkan kepala, ia menerima uluran tangan Jenna dan
Ombak tenang menghiasi sungai kecil. Dua anak Adam menyusuri perlahan. Sang wanita membiarkan tangannya digenggam erat oleh teman prianya. Wajah mereka berseri, tidak kalah indah dengan gaung alam dan udara senja.“Kamu bahagia atau tidak, Lyn?” tanya Gabriel menatap begitu lembut.“Bersamamu? Aku bahagia. Selama ini aku sudah salah arah,” jawab Lynea tersenyum lalu mengacak-acak sedikit rambut teman masa kecilnya.Tiba-tiba Gabriel berlutut di hadapannya. Tangan kanan mengambil sesuatu dari kantong jaket. Sebuah kotak kain mungil berwarna biru tua.“Aku tahu kamu masih menjadi istri orang dan sedang dalam proses cerai, tetapi aku begitu terobsesi dan jatuh cinta padamu,” ucap Gabriel. Perlahan ia membuka kotak itu.Sebuah cincin emas putih dengan berlian mungil berbentuk hati di tengahnya dipersembahkan untuk Lynea.“Maukah kamu menikah denganku? Be my wife, for all eternity,” pintanya memberi
Enough is enough, begitu kata pepatah. Cukup sudah semua ini membuat hidup Lynea begitu kacau dan naik turun seperti roller coaster. Tidak ada lagi yang harus dipikirikan. Dua kali sudah Enrico bercinta dengan Elena saat masih menyandang status sebagai suaminya. “Terima kasih karena telah membuka mataku, Elena. Kini aku mengetahui, seperti apa suamiku sebenarnya. Kamu bisa mengambilnya. Aku tidak butuh lelaki yang tidak setia padaku.” Lynea menegakkan kepala, berbicara dengan anggun dan tegas. Jika harga diri adalah satu-satunya yang tersisa dari dirinya, maka ia akan menjaganya dengan sebaik mungkin. Tidak ada yang boleh menghancurkan seutas harga diri tersebut. “Lyn, aku minta maaf,” pinta Enrico berniat mengikuti langkah istrinya yang mulai meninggalkan ruangan. Lynea tidak menoleh sama sekali, apa lagi menjawab. Baginya keberadaan Enrico tidak lebih dari sebuah kisah usang. Terus saja berulang tanpa ada akhir bahagia. “Kamu! Wanita ular!”
Sekian pasang mata menatap cemas ketika pintu ruang operasi dibuka dan seorang perawat keluar memanggil keluarga Alonzo. Felix segera berdiri dan maju menghampiri sang perawat.“Saya kakaknya,” ucapnya.“Operasi Tuan ALonzo telah selesai. Ternyata ada tiga peluru yang masuk dalam tubuhnya.”“Apakah Alonzo hidup?” Enrico menyela.“Beliau telah melewati masa kritis selama dua jam terakhir. Tubuhnya menunjukkan repson yang baik terhadap obat-obatan yang kami berikan. Kini kondisinya sudah stabil, tapi masih dalam bius total sampai dua hari ke depan.”“Terima kasih, Tuhan!” jerit Lynea melompat dan memeluk Enrico.Dia lupa kalau sedang menjauhi sang suami. Semua kembali bernapas lega mendengar kabar baik ini. Ketegangan seketika menghilang. Felix menitikkan air mata bahagia, dan langsung di seka oleh jemarinya. Tidak ada air mata bagi lelaki tangguh yang melewati berbagai peperangan. Na
“Alonzo! Bangun, buka matamu! Alonzo, ayolah! Bangun, bangun! Kamu tidak boleh pergi dengan cara seperti ini!” Enrico menepuk-nepuk pipi orang kepercayaan dan sahabat terbaiknya. “Siapkan helikopter!” seru Felix kepada anak buahnya melalui speaker telinga. “Paramedik!” teriak Kapten Abrahm berulang. Orang-orang berbaju putih berlambang palang merah datang, membawa tandu dan kotak pertolongan pertama. Mereka segera menekan luka tembak di dada Alonzo dan menutupnya dengan perban. Tubuh yang sudah tidak sadarkan diri itu kemudian diangkat oleh empat orang ke atas tandu. “Parkir helikopter di halaman belakang saja! Adikku harus ke rumah sakit saat ini juga!” Felix terus memerintah anak buahnya. Ketika mereka melintas di antara kursi-kursi sidang, jenazah Viery sedang tergeletak di atas lantai dengan darah menggenang sangat banyak. Alessia berlutut di samping tubuh sang kakak yang sudah tidak bernyawa. Ia menangis dan berteriak, sangat memilukan.
“Enrico?” tanya Gabriel melirik ke ponsel Lynea.“Hmm, dia telah mencoba menghubungiku sejak kemarin.”“Kamu benar-benar masih cinta padanya? Orang seperti dia, Lyn?”Lynea terdiam. Ia sendiri tidak tahu jawaban dari pertanyaan itu. Ada sesuatu yang membuatnya begitu terikat pada sang suami, dan itu bukan hanya karena Enrico adalah ayah dari putranya. Seolah ada aura khusus yang membuat dirinya, dan juga ratusan wanita lain tidak bisa berhenti mencintainya.Ya, dia memang kaya raya, tapi Lynea tidak pernah memedulikan itu semua. Tampan? Sangat! Akan tetapi, Gabriel pun memiliki wajah baby face yang diidolakan para dokter wanita di rumah sakit.Enrico memiliki jiwa yang misterius. Di sana, ada kekerasan, tetapi juga kelembutan. Penuh dendam, namun juga mencari kedamaian. Serba kekerasan, hanya saja ia juga begitu mencintai istrinya.“Aku tidak tahu, Gabriel. Semua ini terlalu menyesakkan dan membingun