"Ibu, Malvin ingin piknik," ucap Malvin yang sudah berusia lima tahun sembari bermanja di atas pangkuan sang ibu.Viola yang mendengar hal itu tersenyum dan mengangguk. "Kita akan piknik. Tapi, Malvin mau berjanji sesuatu pada Ibu terlebih dahulu?" tanya Viola.Malvin lalu duduk dengan tenang di atas pangkuan Viola yang tengah duduk sembari bersandar di ruang bersantai. "Janji apa, Ibu?" tanya Malvin."Malvin mau janji untuk bersikap lebih baik pada teman-teman Malvin di kelompok bermain?" tanya Viola sembari tersenyum dan mengusap kening putranya yang tumbuh tampan serta cerdas.Malvin yang mendengar hal itu mengernyitkan keningnya. Ia jelas tidak mau berjanji, karena ia sama sekali tidak menyukai teman-temannya yang berada di kelompok bermain. Tentu saja, hal itu bisa terbaca dengan mudah oleh Viola. Namun, Viola sama sekali tidak berkata apa pun. Ia mengamati putranya dalam diam, membiarkannya untuk mempertimbangkan jawaban seperti apa yang akan ia berikan padanya. Malvin ini meman
Viola mengeringkan rambutnya yang masih basah karena dirinya baru selesai mandi. Ia menatap jendela dan sadar betul jika ini sudah larut malam. Sudah waktunya bagi Viola untuk beristirahat dengan nyaman. Sayangnya Viola tidak bisa melakukan hal itu karena merasa cemas. Ezra—kakaknya—belum pulang. Itu tentu saja membuat Viola cemas. Apalagi dengan fakta bahwa akhir-akhir ini Ezra selalu pulang menjelang pagi dengan keadaan mabuk. Viola takut jika suatu saat nanti, Ezra membuat masalah karena kebiasaan mabuknya itu. Akhir-akhir ini, Ezra memang selalu mabuk-mabukan setelah dirinya dipecat dari pekerjaannya di sebuah pabrik. Karena ada PHK massal, Ezra pun termasuk dalam salah satu buruh yang di-PHK.
Viola berusaha berteriak meminta tolong pada siapa pun yang ada di sekitarnya. Namun, dirinya tidak bisa melakukan hal itu karena mulutnya ditutup rapat oleh kain. Begitu pula dengan pandangannya yang ditutup dengan sempurna, saat ini bahkan Viola tidak mengetahui di mana dirinya berada. Viola hanya bisa meringkuk dengan penuh rasa takut. Sebelum dibawa paksa oleh para pria yang menagih hutang kakaknya, Viola dengan jelas mendengar alasan mengapa dirinya dibawa seperti ini. Viola dijadikan barang jaminan oleh Ezra. Meskipun Viola tahu jika Ezra melakukan hal itu ketika mabuk, tetapi Viola tetap merasa sangat kecewa. Viola bertanya-tanya, mengapa kakaknya bisa melakukan hal ini padanya?
Dafa memukuli kemudi dengan emosinya yang meluap-luap. Ia benar-benar frustasi karena tidak bisa menyelematkan Viola. Dafa memang salah, jika saja tadi dirinya tidak lebih dulu meluapkan kemarahannya pada Ezra, ia masih memiliki peluang untuk menyelamatkan Viola. Ia melirik bar yang berada di seberang jalan. Sekarang sudah malam, dan bar tersebut sudah mulai ramai. Bar itu memang bukan hanya tempat bagi orang-orang menikmati minuman dan musik, tetapi ada layanan seks komersial yang menjadi penyumbang penghasilan terbesar bagi bar. Dafa sendiri sudah tahu masalah ini, tetapi Dafa berpikir dirinya tidak perlu mengusik usaha orang lain, selama dirinya tidak dirugikan. Sayangnya, tindakan Dafa itu malah membuat dirinya lebih rugi di lain hari.
“Apa kau sudah menemukannya?” tanya Dafa pada temannya yang tengah menarikan jemarinya di atas keyboard laptop.Teman Dafa berdecak karena jengkel dengan ketidaksabaran Dafa. “Hei, aku ini Alex, memangnya apa yang tidak bisa aku lakukan? Sekarang lebih baik kau diam, sementara aku bekerja,” ucap Alex—teman Dafa—memberikan peringatan pada Dafa.Tentu saja Dafa memilih untuk diam seperti apa yan
Viola terbangun dan kembali berada di ruangan pengap yang lembab. Namun, kali ini ruangan tidak terlalu gelap seperti sebelumnya. Viola tersentak dan segera memeriksa tubuhnya dan sama sekali tidak melihat hal yang aneh, dan bisa memastikan jika dirinya belum disentuh sama sekali. Hanya saja, gaun yang dikenakan olehnya sudah raib, dan kini tersisa sepasang pakaian dalam mini yang sebelumnya belum pernah Viola kenakan. Wajah Viola memerah, entah dirinya harus bersyukur atau tidak atas situasinya saat ini. Gadis satu itu pun menghela napas panjang. Namun jika dipikirkan lebih saksama, rasanya ia patut bersyukur. Jika dirinya tidak pingsan saat dicium dengan kasar, sepertinya Viola tidak akan bisa selamat seperti ini.
“Ya, marahlah padaku. Lalu maki aku dengan suara manismu itu. Karena selanjutnya, aku hanya akan membuatmu mendesah karena merasakan kenikmatan yang belum pernah kau rasakan,” ucap Gerald lalu mulai mencumbu Viola. Tamat sudah, Viola benar-benar diterkam oleh predator.Viola yang sama sekali tidak memiliki pengalaman dalam hubungan dengan lawan jenis, apalagi dalam berhubungan seks tentu saja tidak bisa mengimbangi serangan Gerald. Ia bahkan tidak bisa mencuri napas saat Gerald menciumnya dengan ganas, untungnya Gerald masih memiliki sedikit kebaikan hingga dirinya melepaskan ciuman tersebut guna memberikan kesempatan pada Viola untuk mengisi paru-parunya dengan oksigen. Tentu saja, salah satu tangan Gerald masih sibuk menggoda bagian intim Viola yang mulai bereaksi sesuai dengan harapan Gerald. Ia menyeringai saat melihat Viola yang menggeliat berusaha menjauhkan dirinya dari sentuhan ahlinya.
Viola mengedipkan matanya, tetapi tidak berusaha untuk bergerak dari posisinya saat ini. Masih seperti sebelumnya, setiap membuka mata Viola masih saja berada di ruangan pengap yang terasa lembab ini. Tanpa cahaya matahari, tanpa bisa ke luar dan mengetahui keadaan sekitar, Viola hanya bisa menghitung hari dari makanan yang ia terima secara rutin tiap harinya. Tentu saja, Viola masih memiliki asa untuk melarikan diri dari tempat mengerikan ini. Namun, tubuh Viola terasa begitu lemah. Setiap harinya, Viola selalu dientuh oleh Gerald yang seganas predator memangsa targetnya. Dua hingga tiga jam setelah Viola selesai makan malam, Gerald selalu datang dan membuat Viola begadang melayani Gerald di atas ranjang.