Kalenderku warnanya hitam semua, kecuali hari Minggu
“Membenciku? Kenapa?” Laura spontan bertanya. Dia sangat terkejut oleh pernyataan Jake. Sebelum mendapat jawaban, Jake membuka pintu di depannya. Kemudian menarik tangan Laura yang ada di lengannya agar semakin merapat. “Tidak perlu membahas masalah yang menyedihkan di hari istimewa ini. Tersenyumlah ….” Jake tersenyum begitu tepuk tangan mengiringi kedatangan mereka. Laura yang tadinya penasaran akan kalimat yang diucapkan Jake, mendadak kembali gugup. Semua orang kini menyorot dirinya. Debaran jantung Laura kian menggila begitu langkah kakinya semakin mendekat di depan altar. Asher berdiri dengan gagah menanti Laura. Tak ada senyuman di wajah Asher. Laura pikir, Asher sedang marah dengan mata menyorot tajam padanya. ‘Kenapa dia melihatku seperti itu? Apakah dia masih marah gara-gara Noah masuk ke kamar tadi malam? Tapi, itu ‘kan bukan salahku!’ Kini, Laura berdiri berhadap-hadapan dengan Asher. Mereka kemudian melakukan ritual yang sama seperti pernikahan sebelumnya. Namun, kal
Jantung Asher hampir meledak melihat reaksi Laura. Wanita itu benar-benar menggemaskan. Dia ingin sekali melahap bulat-bulat istrinya sekarang juga. Asher sampai tak sadar tengah memajukan wajahnya untuk menciumi seluruh wajah Laura. Tetapi, Laura tahu apa yang hendak Asher lakukan. Laura pun mendorong pelan pipi Asher menggunakan jari telunjuknya. “Apa yang akan kau lakukan di tempat umum seperti ini?” Asher mengerjapkan mata ketika tersadar. “Untuk menunjukkan jika kita bahagia karena saling memiliki,” kilahnya. “Juga untuk memberi peringatan pada semua wanita itu jika aku adalah milikmu. Jangan menghindar … kemarilah … kau harus berani unjuk gigi untuk mempertahankan suamimu.” Laura mencubit perut Asher karena pria itu malah semakin memajukan bibirnya. Dia malu bukan main ketika melihat beberapa tamu berbisik-bisik sambil tertawa saat melihat ke arahnya. Orang-orang yang menyaksikan mereka, menganggap jika kedua pasangan pengantin itu saling mencintai dan tak sabar melewati mal
“Kenapa harus tempat ini lagi? Kemarin, kau sudah memaksaku untuk mengambil foto di sini.” Asher menyeringai misterius. Dia yang berdiri di belakang Laura, menundukkan kepala sambil berbisik, “Bukalah pintu itu … hadiahmu ada di dalam sana.” Laura membuka pintu kamar 501 dengan ragu. Ketika dia berhasil membuka pintu itu, kedua matanya terbuka lebar dengan mulut ternganga. “A-apa … siapa … siapa dia?” Laura tercengang bukan main ketika melihat seorang pria yang duduk terikat di kursi dengan mulut tersumpal kain putih. Pria itu menggelengkan kepada dengan kuat. Wajahnya merah padam dan suaranya hanya terdengar erangan tak jelas, seperti ingin mengatakan sesuatu.“Jared Baker … entah dengan nama apa dia berkenalan denganmu karena orang ini sering menggunakan nama lain setiap berkenalan dengan wanita. Dia adalah orang yang ingin menggaulimu malam itu.” Mulut Laura terbuka semakin lebar. Jadi, ini hadiah yang dimaksud Asher? Lalu … apa yang harus dilakukan Laura kepada pria itu? Laur
Asher melepas kalung di lehernya, kemudian memakaikan kalung peninggalan Callista di leher Laura. “Hadiahku yang terakhir.” “Ini … milikku.” Kenapa Asher memberikan sebagai hadiah? Entahlah … yang pasti, Laura bahagia telah mendapatkan kalungnya lagi. Dia mengusap liontin itu penuh kasih sayang, seakan-akan jejak ibunya masih tertinggal di sana. Asher baru menyadari, betapa berharga kalung itu bagi Laura. Dia sudah tahu tentang ibu Laura, pemilik pertama memiliki kalung itu. Namun, Asher tak menyelidiki kehidupan Callista lebih jauh lagi.“Sampai kapan kita di sini? Aku ingin pulang.” Laura menatap langit-langit yang sekarang menjadi terang karena hari telah beranjak siang. Tak ada bedanya menginap di hotel atau tinggal di rumah. Asher hanya mencumbu Laura sepanjang waktu, seperti tak ada hari esok. “Mau bagaimana lagi? Kita tidak membawa pakaian. Kau mau keluar menggunakan gaunmu yang sudah terkena keringat?” Asher sebenarnya bisa menyuruh orang untuk membawakan pakaian untuk me
“Apa maksud Paman Jake berkata seperti itu? Papaku … dia ….” Laura tiba-tiba teringat ketika dirinya masih delapan tahun, Simon terlihat sangat mencintai ibunya. Semua perhatian Simon curahkan pada Callista dan Laura. Hingga suatu hari, Simon berubah. Simon sering pulang larut malam. Dia juga tak pernah mengajak istri dan anaknya hanya sekedar jalan-jalan. Sedangkan sebelumnya, Simon selalu meluangkan waktu bersama mereka. Entah hanya berkeliling kota atau mengunjungi tempat wisata. Laura selalu berpikir jika perubahan Simon tersebut karena pekerjaannya. Namun, apa yang dikatakan Jake? Ayah dan ibu tirinya berhubungan dengan kematian ibu kandungnya? Sejak menikah dengan Gilda, Simon memang banyak berubah. Tetapi, apakah benar Simon sanggup menyingkirkan istrinya semudah itu? Kenapa ...?Laura tak dapat memercayainya. Lebih tepatnya, Laura tak mau memercayai jika ayah kandungnya dapat berbuat setega itu pada ibunya. Walaupun dia dapat melihat keyakinan yang begitu besar dari wajah
Kamar milik pengantin baru yang sebenarnya sudah menikah lebih dulu itu jarang sekali terbuka. Hanya ketika pelayan mengantar makanan atau membersihkan kamar, Laura dapat melihat orang lain, selain Asher. “Biarkan aku keluar untuk bertemu dengan Mama,” pinta Laura. Hampir dua hari, Laura tak diizinkan keluar dari kamar. Asher bersikeras ingin pergi bulan madu, tetapi Laura selalu menolak. Alhasil, Asher mengurung Laura, dengan alasan ingin mendapatkan suasana bulan madu yang sebenarnya, tanpa gangguan keluarga mereka. “Mau ke pantai, puncak, atau hutan belantara?” Asher kembali menanyakan pilihan lokasi bulan madu mereka. “Aku menyarankan kita bulan madu di rumah kayu yang berada di tengah hutan. Tidak akan ada yang bisa mendengar suara desahanmu.”Laura tak menjawab, kemudian masuk ke kamar mandi sambil diam-diam menyambar ponselnya. Tak ada pilihan lain, kecuali minta tolong kepada pamannya. Jemari Laura yang lentik mengetikkan sebuah pesan ajakan jalan-jalan pada pamannya. Laura
“Sedang apa kau di sini?” Suara Asher terdengar berat dan menekan. Agaknya, pria itu tak senang melihat keponakannya dekat-dekat dengan mendiang Callista yang baru sekali ini dikunjunginya. “P-Paman ….” Noah sontak berdiri dan memandangi tiga orang di hadapannya. Wajah Noah terlihat kusut dengan mata sembab. ‘Apa yang dilakukan Noah di sini?’ Laura masih ingat jika Noah dulu dekat dengan Callista. Tetapi, Laura baru tahu jika Noah sering pergi ke pusara ibunya. Percikan hangat menggelenyar di hati Laura. Kenangan masa kecil bersama Noah dan Callista hadir dalam benaknya. Mereka bertiga, dulu sering menghabiskan waktu bersama. Noah Kecil pernah berjanji akan selalu melindungi Laura. Namun, janji masa lalu tak lantas dapat membawa masa depan sesuai dengan harapan. Laura dan Noah telah memilih jalan mereka masing-masing. Meskipun demikian, Laura masih menganggap Noah berarti baginya. Terbukti dari getaran dalam dada Laura yang kembali terasa ketika teman masa kecilnya masih menginga
“Bagaimana bisa tempat ini jadi milikmu?” Laura membuka mata lebar ketika menyadari sesuatu. “Kau ... membeli tempat ini?” Asher menegakkan badan dan sedikit membusungkan dada ketika ditatap Laura penuh kekaguman. “Tidak ada yang tidak bisa aku lakukan,” ujar Asher datar, seolah-olah hal tersebut sangat wajar baginya. Laura menangkup mulut dengan kedua telapak tangannya. Dia lalu berjalan cepat ke arah Asher. Asher membentangkan kedua lengannya untuk menerima pelukan dan ucapan terima kasih dari sang istri. Salah satu sudut mulutnya terangkat, lalu tiba-tiba berkedut-kedut. Laura ternyata hanya berjalan melewati Asher untuk masuk ke dalam rumah kenangan itu. “Pft ….” Jake menggigit bibir bawahnya agar tak dikira sedang mentertawakan tingkah konyol Asher. Dia pun mengikuti keponakannya untuk melihat tempat yang disukai kakak kandungnya. Jake berbalik ke arah Asher yang masih mematung di tempat, lalu menepuk bahu pria itu dari belakang. “Terima kasih. Kau benar-benar hebat,” puji Ja