Karena pasti ada pembaca yang sedang menjalankan ibadah puasa, dan cerita ini mengandung unsur 18+, maka update bab akan dilakukan setelah jam 6 sore atau malam hari ya.
Semalam, Rangga tiba-tiba mengunjungi kamar Alan. Alan sudah menduga sebelumnya karena Rangga selalu waspada setiap kali tinggal satu atap dengan Rachel. Tak disangka, pria tampan yang masih belum terlalu terlihat tanda penuaan di wajahnya itu menitikkan air mata di depannya. Rangga menceritakan tentang Rachel dari kecil hingga dewasa. Sehingga dia larut dalam kesedihan dan haru atas semua yang pernah mereka lalui bersama. ‘Rachel tidak berhenti merengek dan bahkan menangis karena aku melarangnya berhubungan denganmu. Aku pernah berjanji akan selalu membuat Rachel bahagia setelah semua yang terjadi padanya karena kesalahanku. Jangan sia-siakan kesempatan dariku, Alan Ruiz. Jika Rachel sampai menangis atau tidak bahagia karenamu, aku bersumpah akan membuatmu menderita seumur hidup.’ Alan tak akan menyia-nyiakan kesempatan besar itu. Lampu hijau telah menyala. Kali ini, Alan akan membuat gadisnya bahagia. Bukan hanya demi memenuhi janjinya kepada sang calon mertua, melainkan karena be
“Kau ... mengandung?” Asher tak mengindahkan kata-kata Laura yang menyatakan dirinya hanya salah bicara. “Ada apa, Mama? Kenapa Mama berteriak-teriak?” sahut Collin dengan mata berkaca-kaca hampir menangis. Sementara itu, Claus menunduk dengan kedua tangan mengepal. Dia sepertinya merasa sangat bersalah. Apalagi, wajah Laura tampak sangat marah. Claus kemudian menarik lengan Collin menjauh dari orang tua mereka. “Kita bermain di sana saja,” tunjuknya ke arah kolam ikan. “Tapi, Mama sedang marah ....” “Sudah! Ikut saja denganku!” Claus pun menyeret Collin pergi. Laura sendiri bingung dengan situasi saat ini. Dia memalingkan muka ke arah Claus dan Collin yang berlari-lari menjauh. “Claus, Collin! Tunggu Mama!” seru Laura seraya melangkah ke arah kedua anak kembarnya. Akan tetapi, Asher langsung menghalangi jalannya. “Laura Smith! Sejak kapan kau mengandung!?” Laura tak bisa melihat lurus ke arah sang suami. “Oh, ayolah ... aku hanya asal bicara karena pusing mendengar kalian bic
Asher melesat dengan cepat ke depan Laura. Dia mendorong kaki Laura mundur perlahan. “Jangan sampai terinjak kakimu yang berharga!” sergah Asher. Asher bahkan tak peduli Simon mau menikah atau tidak. Yang terpenting, kaki istrinya tak terkena pecahan cangkir. “Sayang!” Asher gegas menangkap Laura yang limbung dan hampir terjatuh. “Apa yang terjadi padamu?” “Aku ... hanya terkejut-” “Papa! Panggilkan Ruben sekarang! Secepatnya! Lima menit! Tidak ... satu menit, dia harus sampai di sini sekarang!” teriak Asher kepada Adam. Adam tak menyangka jika Asher belum memberi tahu Laura tentang pernikahan ayahnya. Dia juga ikut terkejut saat Laura menjatuhkan nampan hingga menimbulkan suara keras. Apalagi, Asher juga membentak-bentak dirinya. Putra yang Adam tangisi karena dikira sedang sekarat itu, tega meneriaki dan menyuruh-nyuruh dirinya. “Cepat, Papa!” seru Asher. Adam segera tersadar dari kesedihan dan keterkejutan saat Asher berteriak dan membopong Laura dengan panik pergi dari tem
Laura bersungut-sungut kesal sepanjang persiapan acara. Asher sengaja menyibukkan diri memerintahkan orang-orang mengatur ruangan. “Ada acara apa ini, Lau? Theo tiba-tiba mengajakku datang ke sini. Aku sampai meninggalkan Evelyn di rumah Papa,” ujar Emma yang baru saja duduk di sebelah Laura. “Oh, kau sudah datang ... bagaimana kabar Evelyn, Em? Dia sudah bisa apa? Kenapa tidak diajak kemari sekalian bersama kakek-neneknya?” Laura sengaja mencecar Emma dengan banyak pertanyaan karena tak bisa menjawab pertanyaan Emma. Emma langsung menceritakan kelucuan Evelyn dan Theo sehari-hari hingga lupa dengan rasa penasarannya. Lalu, Alice yang lama tak ikut perkumpulan keluarga itu pun ikut bergabung bersama mereka. “Wah, Alice sekarang jadi lebih cantik! Rugi sekali kau menikah dengan Noah. Ha ha! Bagaimana kabar Aleah?” seru Emma sambil memeluk Alice. “Aleah jadi banyak tingkah akhir-akhir. Aku tidak bisa meninggalkannya sendiri. Dia sedang bersama neneknya sekarang,” tunjuk Alice ke ara
Hillary memungut ponsel dengan tangan gemetaran. Dia menunduk cukup lama hingga mengganggu orang yang akan masuk ke dalam ruangan itu. “Nona, kau menghalangi jalanku,” ujar suara dingin di belakang Hillary. Hillary menoleh ke belakang, melihat tubuh tinggi menjulang. “Maaf, Tuan Dion.” Pijakan kaki Hillary gontai. Dion dengan sigap menangkap lengannya. “Kau tidak apa-apa?” Dalam sekejap, Hillary melihat raut kekhawatiran dari wajah Dion. Akan tetapi selang beberapa detik, ekspresi Dion kembali datar. Hillary menarik lengannya. “Aku baik-baik saja. Sepatuku rusak sepertinya .... Terima kasih, Tuan.” “Tidak masalah.” Dion tampaknya belum tahu tentang acara Asher tersebut. Dia kemarin langsung pergi begitu selesai makan malam. “Ada acara apa di sini?” Suara pria lain menyahut pertanyaan Dion dari koridor. “Om! Astaga! Aku baru saja diberi tahu kalau Om Rangga mau mengadakan acara di sini. Kenapa sudah ramai? Apa aku terlambat? Ada acara apa ini?” cerca Nevan. Sementara dua orang i
“Kudengar, Hillary Smith semalam menemuimu saat kami sudah pulang?” tanya Rangga begitu bertemu dengan Alan. Hari ini, Alan dan Rachel akan mencoba baju untuk digunakan di acara pertunangan mereka enam hari lagi. Baru saja datang dan belum sempat duduk, Rangga sudah menodong Alan dengan pertanyaan yang telah diduganya sebelum datang. “Duduk dulu, Alan. Mas Rangga ini bagaimana … Alan sampai tidak jadi duduk begitu,” tegur Vina. Alan kemudian duduk di kursi ruang tamu kediaman Cakrawala. “Benar. Aku juga sudah memberi tahu Hillary agar dia menemuiku ketika ada orang lain di sekitar kalau ada perlu denganku lagi.” “Apa kalian berselingkuh?” tanya Rangga datar dan tak bermaksud menuduh. “Siapa yang berselingkuh, Ayah!?” Rachel datang-datang langsung mengerucutkan bibirnya. Alan bukan tak mau menjawab pertanyaan Rangga. Saat ini, dia sedang terpesona oleh kekasihnya yang terlihat menawan. Dengan balutan gaun kuning lembut selutut, Rachel terlihat sangat menyegarkan mata. Seperti bua
Rachel mendorong Alan dengan kasar. “Kak Alan!” Lalu melihat ke kanan-kiri mencari Rangga. “Astaga!” Alan juga terkejut dengan perbuatannya sendiri. Beruntung, Rangga masih menelepon seseorang di luar. Alan tak jadi kehilangan bibirnya. Vina juga sibuk berbincang dengan perancang busana sehingga tak begitu memperhatikan gerakan singkat itu. “Maaf, Rachel. Aku ... tidak ... sengaja ...,” sesal Alan seolah telah melakukan dosa besar. “Jangan marah ....” “Lain kali jangan menciumku waktu ada orang lain,” bisik Rachel, lalu berjalan ke tempat Vina untuk menunjukkan gaun yang dikenakannya. Alan tercenung meresapi kata-kata Rachel. ‘Jadi, kalau tidak ada orang, Rachel juga mau dan mengizinkanku, bukan?’ Alan memejamkan mata sambil menghela napas panjang. Dia ingin membersihkan pikiran dari bayang-bayang ciuman panas waktu itu. Namun, setiap matanya terpejam, bayangan itu justru semakin jelas.Alan sudah menunggu sangat lama dan tak bisa bersabar lagi. Dia ingin segera menikahi Rachel d
[Apa yang akan kau lakukan besok? Aku libur dan ingin berbincang denganmu seharian.] Hillary mengetuk-ngetukkan jemari di meja rias sambil membaca pesan terakhir Alan Palsu empat belas jam yang lalu. Sejak semalam, jemari Hillary gatal ingin mengetik sesuatu untuk membalas pesan itu. Namun, sampai detik ini, dia masih berhasil mengendalikan diri agar tak lagi menghiraukan si palsu. “Kenapa dia tidak mengirim pesan lagi?” gumam Hillary gelisah. Selama empat tahun, Alan Palsu selalu mengucap selamat pagi, mengingatkan dirinya agar tak melupakan sarapan, juga memberinya semangat ketika sampai di tempat kerja. “Apa dia marah karena aku tidak membalas pesannya?” Hillary menepuk kedua pipinya dengan keras. “Tidak! Aku yang seharusnya marah karena dia sudah menipuku!” Kendati demikian, hatinya tak bisa tenang sebelum mendengar kabar Alan Palsu. ‘Jangan-jangan, dia sudah mendengar pertunangan Alan dan Rachel .... Dia pasti berpikir kalau aku sudah tahu bahwa dia bukan Alan yang kukenal.