Sisa berapa bab lagi ya kira-kira? *menghitung kata
“Kak Alan tidak sedang menganggapku sebagai Kak Laura, bukan?” Rachel tahu betapa Alan menyayangi Laura, setelah dia mendengar cerita dari Emma. Hampir jarang ada pria yang mau menikahi wanita yang sedang mengandung anak dari pria lain jika bukan karena cinta. Rachel penasaran, apakah Alan masih menyimpan sedikit perasaan cinta kepada Laura? “Benar. Aku dulu pernah mengajak Laura ke tempat ini. Tetapi, saat bersamamu, aku sungguh lupa pernah ke tempat ini bersama Laura. Aku sempat teringat di saat bus yang membawa kita ternyata menuju tempat ini tadi, tetapi langsung lupa dalam beberapa detik.” Dari pengalaman teman-temannya yang memiliki kekasih, Alan biasanya mendengar kebohongan kecil teman-teman prianya kepada kekasih mereka. Bukan karena benar-benar ingin berbohong. Namun, para wanita itu sepertinya lebih suka mendengar kebohongan yang membuat hati mereka tenang. Ada pula pria yang jujur dan tak menutup-nutupi apa pun sesuai permintaan kekasihnya. Hasilnya, wanita itu akan tet
Silau …. Alan menutup wajah dengan lengannya. Dia tak bisa melihat apa pun, kecuali cahaya di sekelilingnya. Meski dia masih merasakan tangan Rachel dalam genggamannya. Apakah dirinya sedang bermimpi seperti yang sudah-sudah. Jika benar, Alan akan sangat kecewa. Namun, suara orang-orang berdatangan mulai menyadarkan dirinya. Alan Ruiz dan Rachel kini berdiri di tengah sorotan cahaya layaknya dua pemeran utama dalam sebuah panggung besar. “Ketemu juga kalian!” seru suara pria yang familier. Orang-orang yang merupakan pengawal Rangga mulai berdatangan mengelilingi Alan dan Rachel. Seolah mereka adalah kriminal yang telah lama dicari-cari dan tak akan membiarkan mereka kabur. Dion sedang berjalan ke arah mereka dengan langkah tegap. Dia menghela napas panjang dan melambaikan tangan agar anak buahnya mematikan lampu sorot tersebut. Jika bukan karena Rangga yang menyuruh mereka ikut mencari keberadaan Rachel dan Alan, Dion tak akan kesulitan. Dengan banyaknya orang yang melapor padan
Asher Smith tak pernah membenci Alan Ruiz. Biarpun Asher sempat cemburu ketika teringat Alan pernah melamar Laura, tetapi Asher tahu jika Alan bukan pria tak tahu malu yang akan berusaha merebut istrinya. Akan tetapi, ketika melihat pemandangan di depannya, Asher rasanya ingin tertawa. Alan bicara dengan tegas. Namun, setelah semua orang terdiam, wajahnya kembali tegang, bibirnya pun gemetaran. Sungguh, Asher tak membenci Alan. Tetapi, Asher tak keberatan menyaksikan Alan dipukul Rangga Cakrawala atas kekurangajarannya. Gara-gara Alan, citra Asher sebagai orang tua yang mengasuh Rachel selama Rangga tak ada menjadi hancur. Berjam-jam dia bicara sampai mulutnya pegal, tetapi Alan dengan mudah merusaknya. Selain itu, Asher sempat diabaikan saat mengomentari Alan. “Wah, berani sekali kau, Alan Ruiz! Kalian katanya pergi ke pantai … jangan-jangan, kau ingin meniruku dan Laura? Kau pasti ingin merasakan sensasi mendebarkan dengan Rachel di pantai,” tuduh Asher. Entah mengapa, Asher sel
Laura menyeret Asher keluar dari kamar itu. Dia tahu jika Asher masih ingin mendengarkan pembicaraan mereka. Asher bukan lagi mengkhawatirkan Rachel. Laura bisa melihat dengan sangat jelas dari sorot mata sang suami yang berbinar-binar jika dia sedang menanti kegemparan yang akan terjadi. “Sebentar lagi makan malam. Kita harus mencari Claus dan Collin, Sayang! Mereka pasti bermain petak umpet bersama Papa dan Hanna.” “Kakiku lemas, tidak bisa bergerak. Sebentar lagi, biar ototku lemas dulu,” dalih Asher. Laura mencebik kesal. “Kau hanya ingin ikut campur, bukan? Berikan mereka privasi, Sayang.” Laura berusaha keras menyeret badan Asher yang katanya masih lemah tak berdaya. “Kau ini … aku harus menjaga Rangga, kalau-kalau dia mau memukul Alan,” gerutu Asher sepanjang jalan. Langkah Asher terhenti ketika melihat Simon terhimpit di antara dua lemari besar bersama Hanna. “Sedang apa lagi mereka?” tunjuk Asher. “Mereka sedang bermain … petak umpet.” Laura menjawab dengan ragu. Sebab,
Rangga segera menghentikan pembicaraan itu. “Laura pasti sudah menunggu kita di ruang makan. Kita ke sana dulu.” Selagi mereka menuju ruang tamu, Rangga melihat Alan dari kepala hingga ujung kaki. Selama ini, Rangga telah membantu Alan memperbaiki sikapnya yang terkadang terlalu lunak kepada orang-orang yang datang mengganggu. Alan telah lulus dalam ujian-ujian sulit darinya. Tak jarang Rangga mengirim gadis-gadis muda untuk merayu Alan. Namun, Alan tak sekali pun tergoda oleh gadis-gadis itu. Alan pun langsung tegas menolak mereka. Tak seperti dulu, ketika Alan tak tega menolak Hillary yang ingin berteman dengannya dengan menunjukkan wajah memelas. Namun, tetap saja masih ada yang mengganjal di hati Rangga. Dia rasanya ingin menangis kala membayangkan Rachel berumah tangga dan akan melupakan dirinya. Rangga mengutuk waktu yang cepat berlalu. Dia ingin kembali ke masa lalu, di mana dirinya masih menjadi ayah dari ketiga anak-anak yang masih lugu dan tak mengenal cinta kepada law
Pagi-pagi buta, Rachel berjinjit-jinjit menuju pintu kamar tamu yang terletak paling ujung koridor. Dia memutar kenop pintu perlahan agar tak menimbulkan sedikit pun suara. “Kak Alan,” bisik Rachel sangat lirih hingga menyerupai embusan angin. Terang saja Alan tak terbangun. Jarak antara pintu dan ranjang pun berjauhan. Rachel tak bisa berteriak membangunkan Alan untuk mengajaknya jalan-jalan pagi. Sebab, ada si penjaga yang masih tidur pulas di dekat kekasihnya. Siapa lagi kalau bukan sang ayah tercinta …. Rachel kemudian masuk dengan pelan-pelan. Akhirnya, kaki yang susah payah melangkah itu mencapai dekat ranjang. Dia berjongkok sambil menatap Alan yang belum menyadari kedatangannya. Kemudian, jemarinya yang usil menusuk-nusuk pipi Alan sambil cekikikan lirih. “Kak Alan, ayo lari-lari pagi. Aku sering melihat orang berkencan di taman. Aku juga mau melakukannya …,” bisik Rachel. Alan tampaknya sedang mimpi indah hingga tak terbangun. Rachel kini membelai-belai mata, hidung, d
Semalam, Rangga tiba-tiba mengunjungi kamar Alan. Alan sudah menduga sebelumnya karena Rangga selalu waspada setiap kali tinggal satu atap dengan Rachel. Tak disangka, pria tampan yang masih belum terlalu terlihat tanda penuaan di wajahnya itu menitikkan air mata di depannya. Rangga menceritakan tentang Rachel dari kecil hingga dewasa. Sehingga dia larut dalam kesedihan dan haru atas semua yang pernah mereka lalui bersama. ‘Rachel tidak berhenti merengek dan bahkan menangis karena aku melarangnya berhubungan denganmu. Aku pernah berjanji akan selalu membuat Rachel bahagia setelah semua yang terjadi padanya karena kesalahanku. Jangan sia-siakan kesempatan dariku, Alan Ruiz. Jika Rachel sampai menangis atau tidak bahagia karenamu, aku bersumpah akan membuatmu menderita seumur hidup.’ Alan tak akan menyia-nyiakan kesempatan besar itu. Lampu hijau telah menyala. Kali ini, Alan akan membuat gadisnya bahagia. Bukan hanya demi memenuhi janjinya kepada sang calon mertua, melainkan karena be
“Kau ... mengandung?” Asher tak mengindahkan kata-kata Laura yang menyatakan dirinya hanya salah bicara. “Ada apa, Mama? Kenapa Mama berteriak-teriak?” sahut Collin dengan mata berkaca-kaca hampir menangis. Sementara itu, Claus menunduk dengan kedua tangan mengepal. Dia sepertinya merasa sangat bersalah. Apalagi, wajah Laura tampak sangat marah. Claus kemudian menarik lengan Collin menjauh dari orang tua mereka. “Kita bermain di sana saja,” tunjuknya ke arah kolam ikan. “Tapi, Mama sedang marah ....” “Sudah! Ikut saja denganku!” Claus pun menyeret Collin pergi. Laura sendiri bingung dengan situasi saat ini. Dia memalingkan muka ke arah Claus dan Collin yang berlari-lari menjauh. “Claus, Collin! Tunggu Mama!” seru Laura seraya melangkah ke arah kedua anak kembarnya. Akan tetapi, Asher langsung menghalangi jalannya. “Laura Smith! Sejak kapan kau mengandung!?” Laura tak bisa melihat lurus ke arah sang suami. “Oh, ayolah ... aku hanya asal bicara karena pusing mendengar kalian bic