Keponakanmu dalam bahaya, Ash! *pura-pura tuli sambil berguling-guling di pantai
Bukan hanya keberuntungan Julian saat Asher meminta Laura menenangkan dirinya dengan liburan di pantai. Sejak piknik bersama di kapal pesiar, Julian sudah melihat gelagat aneh Asher yang sering melihat ke arah pantai. Terkadang, Asher tersenyum mesum dan meremas gemas pinggang Laura pada waktu itu. Julian juga mendapat laporan dari anak buahnya jika Asher memiliki banyak tempat liburan di luar imajinasinya, seperti rumah pohon misalnya. Dengan mengandalkan informasi dan seringai mesum Asher, Julian dapat menebak jika Asher ingin bersenang-senang dengan Laura di pantai. Hal tersebut diperkuat oleh pembicaraan Asher dan Laura saat bercinta di kapal, serta penolakan tegas Laura yang bersuara agak keras. Julian tak banyak ambil pusing dan hanya menikmati suasana. Hingga dirinya mendengar dari Asher sendiri jika Hillary menjambak rambut Rachel. Otak cepat Julian dalam berpikir langsung teringat kejadian itu dan sesuatu yang diinginkan Asher. Julian perlu menyingkirkan Asher untuk sesaat
“Richard ....” Hillary menangkup mulut dengan ujung kedua telapak tangan. Akhir-akhir ini, banyak sekali yang membuat dirinya lelah dan banyak pikiran. Namun, lamaran Richard yang mendadak, dan meski bukan di tempat istimewa, Hillary sangat bahagia mendengarnya. “Aku punya banyak kekurangan yang sudah kau tahu ... tapi, aku tulus mencintaimu, Hillary Smith .... Aku berjanji akan selalu membahagiakanmu sampai akhir ....” Richard kembali mengulang pertanyaannya, “Maukah kau menikah denganku?” Hillary mengangguk tanpa kata. Tenggorokannya terasa kering oleh kegugupan dan kebahagiaan yang melanda. Richard mengambil cincin dari kotak perhiasan hitam, lalu menyelipkan cincin itu di jari manis Hillary. “Apa pun yang terjadi, aku akan menikah denganmu.” “Richard ....” Hillary memeluk Richard penuh kasih sayang. “Kau tidak seharusnya membeli cincin mahal di saat bisnismu belum berkembang. Apa pun yang kau beri, aku akan dengan senang hati menerima.” Richard tak menjawab. Entah mengapa ha
Astaga ... Alan rasanya ingin menangis. Ujian cinta yang dilaluinya kian berat. Bukan berasal dari Rangga, melainkan dari Rachel sendiri. ‘Bagaimana aku juga tahu? Aku melajang sejak lahir, Rachel! Aku juga ingin tahu ... sangat sangat ingin tahu!’ jerit Alan dalam hati. Kendati demikian, Alan menunjukkan raut wajah tenang. “Kau akan tahu jika saatnya tiba nanti ....” Rachel menunduk malu. “Selama ini, aku selalu mencari tahu sendiri setiap rasa penasaran yang menghantuiku. Aku tidak bisa merasa penasaran terus-menerus atau mengabaikannya.” Alan melompat-lompat sambil berteriak resah dalam benaknya. Namun, dia tak mungkin menunjukkan di depan Rachel. “Masih ada hal lain yang seharusnya kau pikirkan. Misalnya ...” ‘Misalnya apa?’ Alan tak bisa memikirkan apa pun. Bayangan yang muncul di kepalanya hanya bibir merah muda gadis di depannya, yang kian banyak hingga memenuhi otaknya. Benak Alan hanya dipenuhi warna merah muda. Hingga dia tak sadar meninggalkan percakapan dan justru me
Seperti dugaan, kedua orang tua Hillary menentang rencana pernikahannya. Meski Hillary hanya memancing pembicaraan ke arah pernikahan dengan Richard tanpa mengatakan dengan jelas jika pria itu telah melamar dirinya, hasilnya tetap sama saja. Namun, Richard tak menyerah. Setelah diberi tahu Hillary, dia tetap mendatangi kediaman orang tua Hillary walaupun hasilnya tetap sama. “Aku akan pergi dari rumah kalau Papa dan Mama tidak merestuiku dan Richard! Lagi pula, aku sendiri yang akan menjalani pernikahan, bukan kalian!” Alhasil, Hillary mendapat tamparan keras dari Teressa. Orang tua Hillary telah membesarkan putri semata wayang mereka dengan sebaik-baiknya dan Hillary seenak hati akan pergi dari rumah, hanya demi pria yang terbukti hanya memanfaatkan dirinya. Setelah Paul dan Teressa mengusir Richard, mereka menghubungi Asher untuk meminjam pengawal. Hillary tak diizinkan pergi menemui Richard. Keluar rumah pun harus diikuti banyak pengawal. Pengamanan semakin ketat kala Asher tel
Seluruh anggota badan Asher yang seakan meleleh tadi siang, sekarang kembali normal. Di sore hari menjelang malam, embusan angin dingin di tepi pantai kian terasa. Saat ini, Asher sedang duduk memanggang ikan seperti manusia purba. Sebelumnya, dia membuat api dengan kayu bakar, menjaring ikan di laut, dan hanya memakai celana dalam. Sementara Laura tidur santai di kursi dekat gubuk sambil mengipasi badan Asher. Dia tak mau ikut membantu karena kesal dengan sang suami. Kendati demikian, Laura masih melayani Asher yang tak suka berkeringat akibat berada di dekat perapian. Demi bisa merealisasikan fantasi liarnya, Asher tak mengizinkan ada orang datang menyiapkan apa pun di sana. Laura tak bisa memasak, apalagi membuat api dengan kayu bakar. Laura juga sudah kelaparan sejak tadi dan mengajak Asher keluar ke restoran lebih dulu. Tetapi, Asher dengan tegas menolak. Mereka hanya liburan selama dua hari di akhir pekan. Asher akan menggunakan waktu sebaik-baiknya untuk melakukan apa pun y
Alan mendorong kening Hillary sampai mundur ke belakang. “Aku tidak mau tahu tujuanmu bersikap aneh seperti ini. Seperti kataku tadi, jangan menggangguku lagi setelah aku memaafkanmu.” Alan sangat yakin jika Hillary memiliki tujuan terselubung mendekati dirinya. Tak mungkin orang bisa berubah hanya dalam sehari. Apalagi, orang itu adalah Hillary. Hillary pun sangat tergila-gila kepada Richard. Mana mungkin cinta membara akan berubah hanya semalam. Alan merasa perlu menarik batasan yang jelas agar tak terjebak dalam permainan rumit wanita itu. “Oh, ayolah, Alan ....” Hillary tak menyerah. Dia mengusap lembut kerah kaos Alan dengan tatapan menggoda. “Apa kau benar-benar menyukai anak kecil itu? Hubunganmu dengannya akan menjadi rumit di kemudian hari. Denganku, kau bisa-” “Cukup!” Alan menepis kasar tangan Hillary. “Hubunganku dengan Rachel tidak ada sangkut pautnya denganmu. Aku juga tidak peduli dengan kehidupanmu!” tegas Alan, lalu berbalik pergi. Harga diri Hillary terluka oleh
Langit hitam dengan jutaan bintang di atas sana, mendadak seperti terbelah dua dengan sambaran kilatan petir yang begitu besar. Ketiga pria di dalam mobil sampai tak bisa berkata-kata mendengar keputusan Rachel yang mendadak dan mencengangkan. Julian Cakrawala yang berjanji akan menjaga Rachel, tentu saja tak terima. “Jangan sembarangan, Rachel! Kau ingin membunuhku!?” bentak Julian. Sungguh, Julian sebenarnya tak mau meninggikan suara di depan anak-anak. Biarpun dia dulu sangat kejam dan masih tersisa kelicikan dalam dirinya, Julian tetap sangat menyukai anak-anak, apalagi keluarganya sendiri. Rachel pun masih seperti anak kecil baginya. Di samping kursi kemudi, Nevan menampar pipinya sendiri. Pendengarannya mungkin salah. Bocah yang dulu selalu bermain bersamanya sejak kecil, mengalami banyak hal dengannya, dan selalu menjadi adik kecilnya, kini mengajak seorang pria tinggal bersama? “Apa kau gila!?” pekik Nevan. Dan pria terakhir diam membeku di tempat. Jiwa Alan Ruiz terasa
‘Siapa ...? Emma? Atau jangan-jangan, ayah mertua punya mata-mata yang menaruh kamera kecil di kantorku?’ Sebelum Alan menjawab pertanyaan Rangga, dia perlu lebih dulu mengetahui apakah Rangga memang benar-benar memata-matai dirinya atau hanya berasumsi? Jika Alan salah menjawab, dia mungkin tak akan bisa bangun lagi keesokan harinya. “Apa kau kehilangan fungsi pita suaramu?” Namun, tak mungkin Alan lari ke kantor dan memeriksa ruangan itu untuk menemukan kamera pengawas tersembunyi. Rangga tak akan membiarkan dirinya jika tak segera menjawab pertanyaan itu. “Tidak. Anda salah paham. Aku belum pernah mencium Rachel ....” “Belum?” geram Rangga. “Jadi, kau berencana untuk menciumnya?” ‘Tentu saja, Ayah! Aku akan mencium dan menggagahi putrimu nanti setelah kami menikah!’ jerit Alan dalam hati. “Benar ....” Alan terbawa suasana oleh pemikirannya. “Tidak- maksudku, aku akan melakukannya setelah kami menikah nanti.” Melihat keringat mengalir di dahi Alan, padahal ruangan itu san