V : Udah menjelang sesi akhir. Akhirnya akan selesai 🙃 A : Katakan sekali lagi!! Kau ingin berhenti menulis tentang hidupku? *menatap tajam sambil mengambil pisau V : 🥶🥶
“Kak Alan, kenapa duduk sendiri di sini?” Rachel membawakan makanan ringan untuk Alan. Dave saat ini sedang mengantar Fionna ke kamar kecil. Rachel jadi punya kesempatan mencari tahu tentang kepribadian Alan. Rachel tak ingin membuat Dave berpikir bahwa dirinya sejenis gadis lain yang suka menggoda pria. Untuk saat ini, Rachel hanya penasaran kepada pria yang lebih bersinar dari emas di sampingnya. Biarpun tertarik kepada Alan, Rachel perlu menyelidiki sifat dan perilakunya. Lagi pula, Rachel hanya menyukai Alan dan belum mau berpacaran. Perjalanannya masih panjang untuk mengenal cinta. Dia ingin memilih-milih pria yang tepat menyanding dirinya kelak dan tak mau terburu-buru memutuskan bahwa ketertarikannya merupakan cinta. ‘Suka dan cinta itu berbeda,’ batin Rachel membenarkan diri sendiri. “Beginilah aku. Seperti lubang hitam di antara jutaan bintang-bintang di angkasa.” Alan terkesiap ketika menyadari dirinya tak sengaja mengungkap isi di hati. “Maksudku, aku memang suka duduk
[Selamat bekerja, Kak. Semoga harimu menyenangkan.] Alan tersenyum melihat pesan singkat dari Rachel. Dia bahkan baru saja bangun dan belum siap-siap bekerja. Teringat dengan dugaan tentang Rachel yang mungkin menyukai dirinya, senyuman itu memudar. Alan dilema .... Dia ingin membalas pesan Rachel karena tak suka mengabaikan orang-orang di sekitarnya. Namun, jika dia terus bertukar pesan dengan Rachel, bagaimana jika tebakannya benar? Alan tak mau memberi harapan palsu kepada gadis itu. “Yang benar saja, Alan Ruiz. Dia masih sekolah.” Namun, bukankah sebentar lagi Rachel lulus sekolah? Alan menampar pipinya sendiri. Malu oleh pemikiran sempit ketika membayangkan dirinya akan berhubungan dengan gadis yang terlalu muda darinya. Tetapi, bukankah semalam dia mengatakan kepada Dave, bahwa usia yang terpaut jauh tak akan berpengaruh apa pun dalam hubungan asmara? Seperti Jake dan Carla, maupun Asher dan Laura .... “Argh!” Alan berguling seraya menggosok wajahnya dengan bantal. Dia me
Telapak tangan Hillary terasa perih setelah menampar pipi Alan. Dia segera menyesal karena bertindak terlewat batas. Di depan Hillary, Alan mengepalkan tangan dengan wajah memerah. Seumur hidupnya, baru sekali ini dia ditampar orang. Bahkan, Ben dan Pamela pun tak pernah main tangan saat dirinya melakukan kesalahan. Dan sekarang, dia tak merasa berbuat apa pun yang merugikan Hillary, tetapi wanita itu berani menamparnya. Jika di hadapannya saat ini bukanlah seorang wanita, Alan pasti akan membalas tamparan itu. Segila apa pun dirinya, tak mungkin dia melukai wanita. Itulah yang diajarkan kedua orang tuanya. Meski sebelumnya dia hanya tak suka dengan kepribadian Hillary, Alan jadi benar-benar membencinya. “Kau ... pergi dari sini sekarang,” geram Alan dengan merendahkan suara. Hillary terkesiap melihat cara Alan menatap dirinya. Selama bertunangan dengan Alan, pria itu selalu tersenyum meskipun tak menyukai sesuatu. Kalaupun marah, Alan tak akan menunjukkan ekspresi dingin seperti
‘Aku berdebar-debar karena gadis kecil ini? Yang benar saja, Alan Ruiz!’ Alan ingin menampar diri sendiri supaya tersadar, tetapi tak mungkin dia lakukan di depan Rachel. “Kak Alan? Tidak jadi memesan makanan?” Rachel mengguncang tangan Alan yang bertengger di meja. ‘Sial! Kenapa halus sekali tangannya? Ya ampun, dia masih seperti bayi, Alan! Tentu saja tangannya halus!’ “Kak Alan!?” Alan tersentak dan segera menarik tangannya. Dia merasakan tanda-tanda bahaya jika terus bersentuhan dengan Rachel. “A-ah, iya ... sebentar Kakak pilihkan.” Rachel mengikik geli melihat Alan gemetaran memegang daftar menu hingga terbalik. “Kak Alan suka teka-teki?” “Maksudnya?” “Itu ... yang sedang Kakak pegang terbalik.” Rachel ingin tertawa terbahak-bahak, tetapi dia menahan diri agar tetap terlihat tenang. Alan gegas membalik daftar menu dengan gerakan gugup. ‘Memalukan sekali .... Argh!!!’ “Aku lihat, wajah Kak Alan tadi terlihat kusut sekali waktu jalan dengan temanmu. Kakak sedang ada masal
“Sayang ... angkat dulu ... teleponnya ...,” suruh Laura dengan napas tersengal-sengal. Suara nyaring di ponsel Asher terdengar hampir tiga puluh menit lamanya. Asher tak berniat menjawab selagi dirinya masih berolahraga panas dengan Laura di atas ranjang. Hingga suara panggilan mati dengan sendirinya. Asher melumat bibir Laura agar dirinya kembali fokus saat ponselnya kembali berdering. Dia menggeram marah dan mempercepat pergerakan badan hingga membuat Laura memekik tertahan oleh bibirnya. “Sial,” umpat Asher selagi menikmati puncak kepuasan. Dia gegas menyambar ponsel di nakas dengan posisi badan yang masih sama, tanpa melepaskan Laura yang meronta-ronta di bawah kuasanya. “Minggir dulu!” Laura mendorong dada Asher meskipun sia-sia belaka. Asher mengabaikan Laura, tetapi tetap menatapnya. Dia mengangkat telepon Hillary dengan dada kembang-kempis. “Kau tidak tahu jam berapa sekarang!?” bentak Asher. Waktu masih menunjukkan pukul sembilan lebih tiga puluh menit. Belum terlalu
“Sebelum minta tolong pada orang yang tidak mengenalmu, bukankah kau harus memperkenalkan diri lebih dulu?” “Aku Cindy, kekasih mantan tunanganmu. Sebaiknya kita bicara secara langsung saja. Aku mohon ....” Cindy menangkup tangan di depan dada penuh permohonan. “Tidak kita bicara dari sini saja.” Alan kembali duduk di kursi balkon yang dekat dari penyekat. Alan selalu merasa dirinya memiliki masalah besar dengan kepribadiannya. Bukan hal yang buruk, tetapi cukup merepotkan. Dia tak bisa mengabaikan orang yang terlihat menyedihkan dan patut dikasihani. Cindy mengeluarkan air mata tanpa suara dan tiada henti. Dengan terpaksa, Alan mau mendengar wanita itu meski enggan. Namun, mereka hanya bicara dari balkon masing-masing. Alan juga ingin tahu, bagaimana bisa wanita itu mengenal dirinya? Sementara Alan baru saja pindah di apartemen itu. Dia pun tidak setiap waktu pulang ke sana. “Kau tiba-tiba memanggil namaku, sedangkan aku masih baru di sini. Dari mana kau tahu tentangku?” selidi
Rachel tercenung sambil menatap kosong Emma yang sedang menata bekal makan siang untuknya. Selama tinggal bersama Emma dan Theo dulu, dia selalu dibuatkan bekal makan siang dan uang saku meskipun selalu menolak. Emma sepertinya sedang belajar mengasuh anak dengan Rachel. Sama seperti Theo, yang meskipun sering membuat Rachel kesal, dia tetap memperlakukan Rachel seperti anaknya walau gadis itu sudah belasan tahun. Namun, bukan itu yang menjadikan gadis itu termenung sambil menghela napas berulang-ulang. Bayangkan saja jika pria yang dia sukai, ternyata memiliki sisi yang agak ... memalukan. Bagaimana mungkin pria dewasa seperti Alan masih mengompol? ‘Apa Kak Alan sakit?’ “Rachel, kau melamunkan apa dari tadi?” Emma membuyarkan lamunan Rachel. “Aku tidak melamun ....” Tak mungkin Rachel bertanya kepada Emma. Bisa-bisa Alan membenci dirinya karena menyebarkan aibnya. “Kalau ada masalah, ceritakan padaku. Apa kau gugup menanti nilai ujianmu?” Rachel tersenyum tanggung. “Tidak, Ka
Bola mata Dave bergetar saat membaca namanya yang biasa ada di daftar urutan teratas, kini bergeser di bawah nama Rachel. Dia membuka sedikit mulut hingga lupa menangkupkannya lagi. Rachel menatap iba teman sekaligus saingannya. “Maafkan aku, Dave. Kau sudah belajar keras, tetapi aku merebut posisimu.” Bukan itu masalah Dave saat ini. Tak masalah dia meraih peringkat kedua. Dia tak akan rugi apa pun, selama masih bisa diterima di universitas yang diinginkannya. Akan tetapi, rencana Dave menjerat Rachel akhirnya gagal. Mereka mungkin tak akan pernah bertemu lagi. Rachel mungkin akan kembali ke negaranya untuk melanjutkan kuliah. Dan yang lebih parah, Rachel bisa menikah dengan Alan, bahkan sebelum dirinya menunjukkan kesuksesan. Meski hari ini sangat cerah dengan langit biru di luar sana, tampaknya Dave tetap sedang mengalami mimpi buruk. Dia sangat kecewa dan merasa tak berdaya. “Dave, jangan menangis ....” Rachel menunjukkan ekspresi prihatin meski batinnya tertawa jahat. ‘Akhir