Udah lama Gilda nggak muncul..
Victor berulang kali membujuk Nora makan, tetapi wanita itu tetap meringkuk di dalam selimut. “Sayang, mandi dulu sekarang kalau tidak mau makan, “ bujuk Victor. Hanya dengan mandi, Nora mau beranjak dari kasur. Nora selalu ingin tampil mengesankan setiap kali bertempur di ranjang dengan suaminya. Sebab, dia ingin segera memiliki anaknya sendiri. Bayi yang kata Victor akan mencintai, percaya, dan mau menjaga dirinya. “Angkat aku, Vic, badanku lemas,” pinta Nora seraya menjulurkan kedua tangan. Victor segera menyambut dan mengangkat badan Nora. “Bagaimana tidak lemas? Kau seharian ini belum makan apa-apa.” Dia lalu menggendong Nora ke kamar mandi. Nora dan Victor berendam di air hangat sambil menggosok tubuh satu sama lain. Victor ingin mengatakan maksudnya mengenai kunjungan ke penjara. Akan tetapi, dia khawatir justru membuat Nora mengamuk, sebab Nora tak mau membicarakan masalah Gilda. Victor tak begitu tahu detail masalah Nora dan Gilda. Yang dia ketahui hanya tentang Gilda yan
Sebelum Simon pulang bersama Noah dan keluarga lain, Laura menyiapkan sarapan istimewa bersama. Asher tetap bersikeras supaya bisa tinggal berdua saja dengannya. Laura tak bisa mencegah keinginan sang suami mengusir halus keluarga mereka satu persatu. “Sayang sekali kita harus pulang sekarang. Aku masih ingin liburan di sini. Udaranya sangat menyegarkan dan jauh dari kebisingan kendaraan,” keluh Ariana. “Mama bisa tinggal di sini kalau mau. Aku perlu bekerja, tidak seperti Paman Asher yang tidur saja menghasilkan banyak uang. Kondisi perusahaan juga sedang tidak baik,” balas Noah santai sambil menyuap makanan. Sebelum Asher membuka mulut untuk memprotes, Ariana lebih dulu berkata, “Untuk apa melihat Asher dan Laura bermesraan setiap hari? Itu sangat menyebalkan.” Ariana mengguncang singkat badannya, seolah-olah sedang merinding luar biasa. Kemarin, dia sempat melihat ke arah jendela. Meski hanya Asher yang bertelanjang dada yang terlihat, dia tahu apa yang dilakukan adiknya. Apal
“Nora, Papa Simon ingin bicara denganmu sebentar.” Victor terpaksa memanggil Simon dengan sebutan papa supaya Nora lebih nyaman dan merasa punya keluarga. “Papa Simon?” Asher tersenyum sinis. Dia mendadak menaikkan alisnya. “Oh, kau pasti sangat ingin jadi adikku, bukan? Pantas saja selama ini kau terobsesi padaku.” Dia mengangguk-angguk seolah ucapannya benar. “Siapa yang mengizinkanmu ikut ke sini!?” geram Victor dengan suara pelan. “Jangan kurang ajar di rumahku ....” “Cepat keluar atau kupukul saja pria yang terobsesi jadi adikku ini!” seru Asher seraya ditarik Laura menjauh. “Sayang! Kau tidak sopan sekali! Hargailah pemilik rumah ini!” Asher terkekeh-kekeh sambil mengusap puncak kepala Laura selagi mereka turun dari tangga. “Ini agak menyenangkan. Victor ternyata ingin jadi adikku, Sayang. Pantas saja dia sampai menjebakku, dan akhirnya aku berakhir denganmu. Ternyata, dia sangat peduli padaku.” “Jangan mengada-ada!” “Tunggu ... mungkinkah Victor dan Nora bekerja sama unt
Sejak awal Laura dan Nora menjadi saudara tiri, mereka jarang sekali berkomunikasi. Laura lebih banyak mengurung diri di kamar atau menghabiskan waktu bersama Emma. Sementara Nora selalu berada di sisi Simon dan Gilda, seolah-olah Laura tak ada di sana. Itu semua masih dapat diterima Laura. Akan tetapi, Nora telah melakukan banyak hal yang sangat merugikan dirinya dan beberapa kasus yang belum bisa Laura lupakan sepenuhnya. Setelah melihat sendiri kondisi Nora, anggapan Laura tentang adik tiri yang kejam itu sedikit menghilang dan masih sebagian tertinggal dalam hati. Setiap kali melihat Nora, Laura akan teringat kepada semua perbuatan buruknya, juga Gilda yang telah membunuh Callista. Namun, untuk terakhir kali, Laura ingin bicara dengan Nora. Setelahnya, dia tak akan lagi mau ikut campur urusan wanita itu. Apa pun yang terjadi, Laura akan menulikan telinga dan tak peduli. Setelah keduanya duduk terdiam dalam waktu yang cukup lama, Nora akhirnya bertanya, “Kakak, mau bicara apa?”
“Ada masalah apa, Sayang? Apa tentang yang dikatakan Theo pagi tadi?” Laura menaruh kopi di atas meja yang ada di salah satu kamar tamu dan telah disulap sebagai ruang kerja dadakan. Asher masih fokus melihat berkas dalam layar tablet. Dia sesekali menyeringai membaca dokumen yang baru saja dikirimkan oleh Theo. Sosok orang yang menyaingi toko perhiasan miliknya berasal dari luar negeri. Mereka menyandang gelar perusahaan nomor satu di negara tersebut. Apa mereka tidak meninjau lokasi lebih dulu? Atau memang sengaja? “Mereka kurang hati-hati.” Itulah yang membuat Asher tersenyum. Meskipun toko perhiasan baru itu jauh lebih besar, orang-orang di negaranya akan tetap setia membeli produk perusahaannya. Asher tak melihat adanya keterkaitan antara dirinya dan perusahaan yang baru melebarkan sayap di negaranya itu. Tak ada pula sebuah tantangan, baik kepada pribadi ataupun kepada perusahaan Smith Group. Namun, membuka toko yang lebih besar dari toko kesayangan Asher Smith tak bisa di
Asher membaca proposal yang diberikan remaja pemilik toko perhiasan itu. Dia menyeringai setelah menyelesaikan lembar terakhir.“Baca ini!” titah Asher kepada Theo.Theo kemudian duduk dan mulai membaca. Dia tak mendengar percakapan Asher dan remaja tadi. Tetapi, saat mengantar keluar, Theo tak melihat sesuatu yang mencurigakan dari remaja itu.Seperti Asher, Theo agak terkejut sebab cara penulisan proposal tersebut sangat rapi, tak seperti buatan anak sekolah. Dia agak ragu jika si remaja menyusun proposal itu sendiri tanpa bantuan seorang profesional. Apalagi, dia menawarkan sesuatu yang cukup menggiurkan bagi Smith Group.“Dia bilang membuat proposal itu saat kita menelponnya tadi. Apa kau bisa percaya kata-katanya?” Seringai itu belum hilang dari bibir Asher.“Saya agak ragu …,” ungkap Theo. “Jadi, dia menawarkan bahan baku kepada kita karena memiliki tambang emas sendiri .... Pantas saja, harga perhiasan di tokonya lebih murah.”“Kau belum menyelidiki latar belakang keluarganya?”
Keributan di depan ruang kelas Dave akhirnya berakhir. Datangnya pemuda tampan itu membuat Beth terdiam dengan tatapan terpesona. “Apa yang kau lihat!?” sergah Rachel. “Maaf, Kak, aku hanya sedikit berdebat dengan temanmu.” Beth menyelipkan rambut di belakang telinga dengan tingkah genit, mengabaikan Rachel yang semakin terlihat tak senang. “Dasar, anak-anak muda,” ujar si pemuda lirih. Rachel menarik temannya menjauh dari ruang kelas. “Jangan berlagak kau jauh lebih tua dariku di saat usia kita hanya terpaut satu tahun!” “Aku memang lebih tua darimu, dan selisih usia kita setahun lebih, Rachel.” “Terserah, pokoknya hanya satu tahun! Lalu, bagaimana keadaan Kak Nana? Sudah lebih baik?” “Kondisinya masih kritis. Sepertinya, aku akan masuk kuliah bersamamu saja dan fokus mengurus hal lain dulu.” Dave memiringkan kepala melihat gadis itu dengan cermat. ‘Dia gadis normal, tidak terlihat cacat sedikit pun, bahkan jauh dari kata cacat ....’ Rasa penasaran Dave pun menghilang begitu
“Ough!” Asher ingin sekali menjitak Rachel. Rasa sebal itu kembali menguasai. Ketenangan Asher pun menghilang meskipun dia masih dapat mengendalikan wajahnya. “Rachel!” sergah Vina selagi menarik Rachel mundur. “Putri Anda menggemaskan sekali,” geram Asher seraya meremas jabatan tangannya. Rangga mendadak murka. ‘Menggemaskan katanya?’ Sebelum pergi ke negara ini, Rangga sudah menelusuri bisnis-bisnis yang ada. Tentunya, dia tahu siapa Asher Smith. Sosok hebat Asher Smith, kini berubah sepenuhnya dalam cara pandang Rangga Cakrawala. Ditambah lagi, fakta bahwa Asher menikahi wanita yang usianya jauh lebih muda darinya. Bisa jadi, Asher Smith sedang mengincar putrinya yang menggemaskan! Rangga membalas jabatan tangan Asher lebih kencang. Merasa tertantang, Asher justru kian erat meremas tangan Rangga. Dia pria itu tersenyum samar, saling menatap dengan tajam. Lalu tiba-tiba terdengar suara tawa dari si pembuat onar, Rachel. Rachel menepuk-nepuk tangannya di atas tautan tangan A