Akankah Nora berubah? Atau kumat lagi waktu ketemu Laura?
“Vic, aku tidak yakin mereka akan senang melihatku.” Nora saat ini sedang berdandan cantik di depan meja rias. Victor tersenyum sambil melingkarkan kalung indah di leher Nora. “Siapa yang tidak akan senang melihat istri cantikku?” Mata Nora berbinar-binar melihat liontin berlian berbentuk hati kecil yang menggantung di lehernya. Dia mengusap lembut tangan Victor yang bersandar di bahunya. “Kau dapat uang dari mana bisa membeli ini? Cantik sekali ... aku suka ....” “Walaupun aku sudah tidak sekaya Asher Smith, aku masih bisa membelikanmu perhiasan. Kau ini ada-ada saja. Menyewa banyak pengawal untukmu saja aku masih mampu.” Victor membusungkan dada dengan bangga. Nora berbalik memeluk Victor. “Terima kasih!” Salah satu yang dulu membuat Victor berselingkuh adalah sikap Nora yang selalu menghargai pemberiannya. Meski Nora sempat berubah, Nora selalu terlihat bahagia setiap kali menerima hadiah apa pun darinya. Tak seperti Abigail yang memiliki segalanya. Perhiasan yang bernilai ra
Melihat gelagat Nora yang mulai gelisah, Victor menggenggam tangannya dengan kedua tangan. Berharap jika Nora akan jauh lebih tenang. “Nora, lihat depanmu ... sepertinya, Laura masih ingat makanan kesukaanmu,” bisik Victor. Nora mengalihkan pandangan pada makanan yang dikatakan Victor. Kali ini, Victor benar saat menebak makanan favorit Nora. “Laura pasti sengaja menyiapkan makanan ini untukmu.” Victor bicara di dekat telinga Nora. “Aku tiba-tiba jadi lapar.” Apakah Laura benar-benar sengaja menyiapkan itu semua untuknya? Mendadak, rasa marah Nora menguap. Berganti dengan haru yang menyelimuti kalbu. Matanya berembun karena masih ada orang yang mengingat makanan kesukaannya. Dan orang tersebut justru wanita yang dibencinya. Nora mulai mengingat pesan Victor supaya dirinya melupakan dendam dan amarah kepada orang-orang yang pernah menyakiti hatinya, juga membuatnya iri. Ternyata, Victor memang benar. Semua orang di sekelilingnya tampak bahagia karena tak memiliki pikiran jahat s
Sayup-sayup terdengar suara tangisan bayi yang tertangkap indra pendengaran Nora. Dia mendadak teringat oleh bayi yang pernah ada di rahimnya. Tangisan bayi itu membuat dirinya begitu sedih. Rasa sesal menjalar dalam dada. Nora mengira jika pikirannya sedang tak waras karena berkumpul dengan orang-orang ini. Sehingga dia berhalusinasi mendengarkan suara bayi. Akan tetapi, suara itu kian terdengar nyata. “Aku ingin ke toilet,” ujar Nora kepada Laura dan Ariana yang sedang berbincang. “Mau diantar?” Laura berbaik hati menawarkan. “Tidak usah. Aku sekalian mengajak Victor pulang, Kak- Nyonya Laura.” Nora ke kamar mandi untuk mencuci wajah. Dia tak peduli dengan riasannya dan hanya ingin menyegarkan diri. Namun, setelah keluar dari kamar mandi, suara bayi itu kembali terdengar. Nora pun mengikuti arah datangnya suara. ‘Oh, ternyata Alice dan bayinya ....’ Nora lega karena dia tidak gila karena mendengar suara bayi yang tak nyata. Dia lalu menjemput Victor yang sedang bicara dengan
Victor berulang kali membujuk Nora makan, tetapi wanita itu tetap meringkuk di dalam selimut. “Sayang, mandi dulu sekarang kalau tidak mau makan, “ bujuk Victor. Hanya dengan mandi, Nora mau beranjak dari kasur. Nora selalu ingin tampil mengesankan setiap kali bertempur di ranjang dengan suaminya. Sebab, dia ingin segera memiliki anaknya sendiri. Bayi yang kata Victor akan mencintai, percaya, dan mau menjaga dirinya. “Angkat aku, Vic, badanku lemas,” pinta Nora seraya menjulurkan kedua tangan. Victor segera menyambut dan mengangkat badan Nora. “Bagaimana tidak lemas? Kau seharian ini belum makan apa-apa.” Dia lalu menggendong Nora ke kamar mandi. Nora dan Victor berendam di air hangat sambil menggosok tubuh satu sama lain. Victor ingin mengatakan maksudnya mengenai kunjungan ke penjara. Akan tetapi, dia khawatir justru membuat Nora mengamuk, sebab Nora tak mau membicarakan masalah Gilda. Victor tak begitu tahu detail masalah Nora dan Gilda. Yang dia ketahui hanya tentang Gilda yan
Sebelum Simon pulang bersama Noah dan keluarga lain, Laura menyiapkan sarapan istimewa bersama. Asher tetap bersikeras supaya bisa tinggal berdua saja dengannya. Laura tak bisa mencegah keinginan sang suami mengusir halus keluarga mereka satu persatu. “Sayang sekali kita harus pulang sekarang. Aku masih ingin liburan di sini. Udaranya sangat menyegarkan dan jauh dari kebisingan kendaraan,” keluh Ariana. “Mama bisa tinggal di sini kalau mau. Aku perlu bekerja, tidak seperti Paman Asher yang tidur saja menghasilkan banyak uang. Kondisi perusahaan juga sedang tidak baik,” balas Noah santai sambil menyuap makanan. Sebelum Asher membuka mulut untuk memprotes, Ariana lebih dulu berkata, “Untuk apa melihat Asher dan Laura bermesraan setiap hari? Itu sangat menyebalkan.” Ariana mengguncang singkat badannya, seolah-olah sedang merinding luar biasa. Kemarin, dia sempat melihat ke arah jendela. Meski hanya Asher yang bertelanjang dada yang terlihat, dia tahu apa yang dilakukan adiknya. Apal
“Nora, Papa Simon ingin bicara denganmu sebentar.” Victor terpaksa memanggil Simon dengan sebutan papa supaya Nora lebih nyaman dan merasa punya keluarga. “Papa Simon?” Asher tersenyum sinis. Dia mendadak menaikkan alisnya. “Oh, kau pasti sangat ingin jadi adikku, bukan? Pantas saja selama ini kau terobsesi padaku.” Dia mengangguk-angguk seolah ucapannya benar. “Siapa yang mengizinkanmu ikut ke sini!?” geram Victor dengan suara pelan. “Jangan kurang ajar di rumahku ....” “Cepat keluar atau kupukul saja pria yang terobsesi jadi adikku ini!” seru Asher seraya ditarik Laura menjauh. “Sayang! Kau tidak sopan sekali! Hargailah pemilik rumah ini!” Asher terkekeh-kekeh sambil mengusap puncak kepala Laura selagi mereka turun dari tangga. “Ini agak menyenangkan. Victor ternyata ingin jadi adikku, Sayang. Pantas saja dia sampai menjebakku, dan akhirnya aku berakhir denganmu. Ternyata, dia sangat peduli padaku.” “Jangan mengada-ada!” “Tunggu ... mungkinkah Victor dan Nora bekerja sama unt
Sejak awal Laura dan Nora menjadi saudara tiri, mereka jarang sekali berkomunikasi. Laura lebih banyak mengurung diri di kamar atau menghabiskan waktu bersama Emma. Sementara Nora selalu berada di sisi Simon dan Gilda, seolah-olah Laura tak ada di sana. Itu semua masih dapat diterima Laura. Akan tetapi, Nora telah melakukan banyak hal yang sangat merugikan dirinya dan beberapa kasus yang belum bisa Laura lupakan sepenuhnya. Setelah melihat sendiri kondisi Nora, anggapan Laura tentang adik tiri yang kejam itu sedikit menghilang dan masih sebagian tertinggal dalam hati. Setiap kali melihat Nora, Laura akan teringat kepada semua perbuatan buruknya, juga Gilda yang telah membunuh Callista. Namun, untuk terakhir kali, Laura ingin bicara dengan Nora. Setelahnya, dia tak akan lagi mau ikut campur urusan wanita itu. Apa pun yang terjadi, Laura akan menulikan telinga dan tak peduli. Setelah keduanya duduk terdiam dalam waktu yang cukup lama, Nora akhirnya bertanya, “Kakak, mau bicara apa?”
“Ada masalah apa, Sayang? Apa tentang yang dikatakan Theo pagi tadi?” Laura menaruh kopi di atas meja yang ada di salah satu kamar tamu dan telah disulap sebagai ruang kerja dadakan. Asher masih fokus melihat berkas dalam layar tablet. Dia sesekali menyeringai membaca dokumen yang baru saja dikirimkan oleh Theo. Sosok orang yang menyaingi toko perhiasan miliknya berasal dari luar negeri. Mereka menyandang gelar perusahaan nomor satu di negara tersebut. Apa mereka tidak meninjau lokasi lebih dulu? Atau memang sengaja? “Mereka kurang hati-hati.” Itulah yang membuat Asher tersenyum. Meskipun toko perhiasan baru itu jauh lebih besar, orang-orang di negaranya akan tetap setia membeli produk perusahaannya. Asher tak melihat adanya keterkaitan antara dirinya dan perusahaan yang baru melebarkan sayap di negaranya itu. Tak ada pula sebuah tantangan, baik kepada pribadi ataupun kepada perusahaan Smith Group. Namun, membuka toko yang lebih besar dari toko kesayangan Asher Smith tak bisa di