“Brama bukan tidak bisa lupa, dia susah menerima kalau aku bisa melepaskannya secepat itu. Egonya terluka, nanti juga dia bosan sendiri.”Jagat menatap Rinjani serius. “Seyakin itu? Kalau seandainya, Brama benar-benar punya rasa ke kamu, apa kamu akan kembali padanya?”Rinjani tertegun, pertanyaan itu seakan melemparkannya kembali ke masa-masa dia masih memimpikan balasan cinta Brama.“Nggak akan.”“Kita hanya berandai-andai, jawab saja.”Rinjani berpikir sejenak, kemudian tersenyum manis. “Walaupun Brama memiliki rasa padaku, dia tidak akan memilihku. Perasaan bukan prioritas utamanya, untuk Brama, banyak hal yang jauh lebih penting dibanding itu.”Setelah lima tahun bersama Brama, dan begitu lama mengenalnya, Rinjani tahu, Brama bukan laki-laki jahat. Pria itu hanya memiliki prioritas yang berbeda.Perasaan hanya untuk memberi warna dalam hidup, tapi bukan itu yang utama. Dibanding kewajiban dan ambisinya, semua rasa itu nyaris tidak penting.“Kamu begitu kenal sama dia?”“Menurut
“Om dan Tante nggak akan pernah menyetujui keputusanmu!”Gadis itu mengatupkan mulutnya rapat hingga giginya saling beradu kuat. Dia benar-benar kehabisan akal dengan sikap Brama ini.“Itu biar jadi urusanku.”"Brama cukup! Ini semua sudah nggak lucu!" Suaranya meninggi, hampir melengking. "Di mana mau ditaruh mukaku kalau pertunangan ini batal?”Dia sangat aktif mengunggah semua moment persiapan pertunangan ini ke sosial medianya. Dia akan jadi pusat semua berita gosip kalau sampai pertunangan ini gagal.Satu Indonesia akan memandangnya dengan pandangan kasihan. Itu baru satu masalah, belum lagi respon keluarganya.Kiara menggigit bibir bawahnya. "Kita sudah setuju—""Kita cuma setuju untuk bertunangan! Aku tidak pernah berjanji menuruti semua tantrum tidak penting itu." Mulut Brama sekejam itu, dan Kiara benar-benar merasakan itu. Dia tidak peduli apakah yang mendengar itu akan sakit hati atau terluka.“Sorry, aku Cuma terlalu emosi tadi. Mungkin aku kecapekan mengurus semua
Percikan cahaya dari lampu kristal menggantung di ruang makan mewah itu memantul di wajah masing-masing orang di rumah itu yang saat ini sedang terdiam tanpa mengatakan apapun.Pertanyaan yang terlalu tiba-tiba itu membuat orangtua Brama terdiam. Mereka tidak menyangka kalau pembicaraannya akan secepat itu menuju ke sana. “Maaf, kami bukan bermaksud terburu-buru, hanya saja sebelum pertunangan, kami ingin agar semua hal penting dibahas dulu, sebelum melangkah lebih jauh.”Ibu Kiara menjelaskan dengan senyum di wajah. Namun, tatapan matanya tertuju jelas ke Brama.Sikap Brama malam ini membuat wanita paruh baya itu kurang senang. “Brama, kamu sudah berkomitmen mau serius sama Kiara, tapi sejauh ini tante belum melihat keseriusanmu. Bagaimana tante akan mempercayakan anak tante ke kamu?”Ditanyai seperti itu, Brama masih diam. Di sebelahnya, Kiara sudah gugup. Dia takut, Brama akan menyinggung orangtuanya.“Bentuk keseriusan apa yang tante ingin lihat?” Brama bertanya
“Itu hal yang sangat normal, kan?” Brama bertanya dengan nada heran, seakan dia tidak mengerti keterkejutan semua orang itu.Kebanyakan keluarga seperti mereka akan melakukan perjanjian pisah harta sebelum menikah. Dengan tujuan untuk melindungi aset masing-masing. Dan untuk menghindari adanya kehilangan harta kalau seandainya terjadi perceraian.Bahkan ayah dan ibu Kiara sendiri melakukan itu. Namun, keluarga Brama tidak menerapkan sistem itu. Kiara menyentuh lengan Brama dengan gemetar. Wajahnya nyaris tidak bisa tersenyum lagi sekarang.“Kamu menghina kami?” Ayah Kiara tidak terima. “Sepertinya hanya sebatas ini keseriusan keluarga kalian! Kalaupun tidak dengan Brama, Kiara masih bisa memilih laki-laki lain di luar sana!”“Pa, bukan begitu maksud Brama. Perjanjian pisah harta ini, adalah kesepakatan kami berdua. Brama sudah bilang sebelumnya. Dan setelah menimbang semuanya aku rasa itu adalah keputusan yang bijak.”“Kiara! Kamu ini masih muda! Belum tahu apa yang penting! Ma
"Keluarga mereka terlalu serakah!"Ayah Brama mendengus marah. “Mereka pikir, mereka bisa mendapatkan saham Abiyasa semudah itu?! Jangan mimpi!”Setelah pertemuan tadi, pada akhirnya orangtua Brama dan Kiara menemukan titik tengah untuk membicarakan kembali mas kawin itu setelah acara pertunangan.Itupun terjadi setelah Kiara dan Brama kembali ke ruangan itu dan Kiara mengatakan kalau mereka berdua membatalkan perjanjian pisah harta itu.Saat Kiara mengatakan itu, Brama hanya diam saja tidak membantah. Kiara akhirnya lega melihat semuanya berakhir dengan cukup aman. Setidaknya, Brama tidak lagi berusaha untuk menentangnya lagi. Meskipun dia berbohong ke keluarganya tentang perjanjian itu. Pembicaraan panjang melelahkan itu akhirnya selesai dan mereka pulang ke rumah.Brama sengaja tidak membawa supir hari itu dan memilih mengemudikan mobil sendiri.Orangtuanya duduk di belakang masih menggerutu dengan semua yang terjadi tadi.Ibu Brama menyandarkan kepala ke jendela, matanya
Brama tersenyu misterius. “Suruh HRD untuk bilang kalau kau menolak perubahan gaji itu.”“Kalau karyawan protes?”Sistem gaji itu tidak bijak dari sisi perusahaan, karena di satu sisi mereka sudah memberikan gaji dan bonus yang cukup besar, terutama bila dibandingkan dengan perusahaan lain yang sejenis.Tetapi, masalah gaji dan bonus, tentu saja karyawan akan antusias menerima berita baik itu. Kalau setelah ini Brama yang menolak, bukan tidak mungkin ada suara tidak puas yang muncul di karyawan.“Biarkan saja. Semakin banyak api semakin bagus.” Dia berniat mengguncang perusahaan untuk mengokohkan posisinya. Semakin banyak badai akan semakin bagus untuk rencananya.“Kamu benar-benar ambil risiko kali ini. Rencanamu yang sebelumnya jauh lebih berhati-hati dari ini. Meski waktunya lebih panjang tapi kemungkinan gagalnya lebih kecil.”“Aku tidak punya banyak waktu.” Di benaknya langsung terbayang wajah Rinjani. Suka atau tidak, Brama harus mengakui kalau posisi Rinjani di hatinya jau
Hari demi hari berlalu. Kevin semakin menggembangkan kekuasaannya di perusahaan itu. Sikapnya yang sangat royal membuat karyawan juga mulai menjilatnya.Pujian demi pujian membuat Kevin semakin lupa diri. Sekarang, setiap omongan Natasha dianggap seperti ejekan untuknya.Setiap kali Natasha berusaha mengajari atau memberikan informasi Kevin selalu menganggap itu seperti sebagai tantangan. “Berhenti mengguruiku! Bilang ke bosmu untuk berhenti mengaturku. Aku sudah mengerti semuanya. Ingatkan dia untuk menyetujui sistem gaji yang baru itu.”“Tapi pembagian gaji yang sekarang itu sudah cukup tinggi. Kalau ditambah tanpa ada alasan yang jelas, itu akan membuat biaya operasional membengkak tanpa ada keuntungan.”“Kamu pikir aku ini bodoh?!” Kevin menunjuk bahu Natasha dan mendorongnya ke belakang. “Aku tahu itu! Tapi dengan gaji yang lebih besar, karyawan juga akan lebih semangat bekerja!”Natasha mendengus mendengar itu. Dia sendiri adalah karyawan dan dia mengerti betul pola piki
Kiara melotot mendengar ucapan Kevin itu. Sementara Brama masih tidak bereaksi, Kiara sudah lebih dulu emosi mendengar itu.“Pergi! Kamu nggak diundang!” serunya tertahan.Untungnya suara Kiara tidak begitu keras, ditambah suasana juga sedang penuh dengan suara orang berbincang-bincang, hanya beberapa orang saja yang menoleh ke arah mereka.Brama menahan Kiara dan menariknya mundur. “Jangan membuat keributan yang tidak perlu.”Kiara mendelik marah ke arah Kevin lalu menoleh ke Brama dengan tidak puas. “Kenapa anak haram papamu bisa datang ke acara ini?” tanyanya kesal.Di kalangan mereka, keberadaan anak haram bukanlah sesuatu yang baru. Demi mencari pasangan yang setara, seringkali pernikahan itu hanya pernikahan bisnis, di mana baik pria maupun wanita berhak mencari kesenangan lain di luar sana.Meski selalu ada peringatan agar tidak memiliki anak lain di luar sana, tetapi seringkali itu tidak bisa terpenuhi.Entah karena simpanan yang mengincar kedudukan yang lebih
Rinjani terdiam. Dia masih merasa berat menerima uang itu karena itu bukan haknya. “Jangan membuatku merasa bersalah. Aku tidak membantu kamu apapun kalau kamu bahkan menolak ini.”Jagat berjanji ini adalah kerja sama, tapi dengan apa yang terjadi dia merasa tanggung jawab yang harus dipikul Rinjani jauh lebih berat.“Kamu bisa menggunakan uang ini untuk membayar biaya penalty itu, daripada kamu terus-terusan nggak nyaman di kantor itu.”Jagat menawarkan.Rinjani terdiam. “Sayang uangnya,” gumamnya. Apalagi ini bukan uang yang dia hasilkan. Kalau dipakai begitu saja dia akan merasa sangat berhutang.“Kita sekarang adalah suami istri, uangku adalah uang kamu. Kalaupun kamu memakai uang itu, itu nggak akan mengganggu keuangan keluarga kita.”“Bukan itu masalahnya.”“Aku bisa menunjukkan semua uang yang aku punya beserta aset dan investasi supaya kamu tenang.”Jagat benar-benar mencoba terbuka pada Rinjani. Namun, Rinjani buru-buru menolak.“Sekarang, ini aku simpan, nanti akan aku
Jagat tersenyum ringan. “It’s okay. Aku sudah tahu ceritanya kok. Kamu juga tahu pernikahanku dengan Rinjani seperti apa. Aku bisa mengerti hal seperti itu.”Celia menghembuskan napas lega melihat reaksi Jagat yang cukup santai."Dengar baik-baik," Celia menunjuk Jagat dengan garpu. "Perlakukan Rinjani dengan baik! Kalau kamu sakiti Rinjani, aku akan—""Celia!" Rinjani memotong.“Nggak papa.” Jagat menenangkan Rinjani. “Aku tahu, aku pasti akan memperlakukan dia dengan baik. Kamu tenang saja.”Celia mengacungkan jari jempolnya ke arah Jagat. “Aku harap kamu tepati janji itu.”Jagat tertawa, ketegangan sedikit mencair. Suasana makan malam itu menjadi menyenangkan karena Jagat juga pandai membawa suasana.Selesai makan malam, Jagat permisi ke kamar mandi meninggalkan Celia bersama Rinjani di sana.“Not bad,” gumam Celia tiba-tiba.“Apanya?” Rinjani menyuapkan tiramisu ke mulutnya dengan wajah bingung.“Jagat.” Celia menjelaskan. “Dia jauh lebih supel daripada Brama, dan yang terpent
Dunia seakan berhenti berputar saat itu untuk Brama. “A-apa?”Dia meragukan pendengarannya sendiri.“Aku sudah menikah," ulang Rinjani lagi lebih tegas.“Nggak! Kamu bohong!”Rinjani menggelengkan kepalanya. “Aku serius. Aku sudah menikah dengan Jagat.”"Kapan?" suara Brama serak.Rinjani tidak segera menjawab. Dia mengambil jaketnya dari kursi, bersiap pergi. Di ambang pintu, dia berhenti."Beberapa minggu lalu, aku harap kamu bisa berbahagia untuk aku.”Pintu tertutup pelan.Brama tetap berdiri di tengah kamar, tangan menggenggam erat bingkai tempat tidur hingga buku-buku jarinya memutih.Berbahagia katanya? Bagaimana dia harus berbahagia mendengar semua itu? Bohong! Rinjani pasti bohong! Dia tidak percaya ini! Rinjani sama sekali tidak ada mengambil izin apapun beberapa saat ke belakang.Kapan dia punya waktu untuk menikah?Brama mencari semua alasan kalau Rinjani hanya berbohong, tapi tangannya gemetar saat itu.Ekspresi wajah Rinjani tadi terbayang-bayang di depan wajahnya d
Layar komputer Brama memancarkan cahaya biru yang menerpa wajah pria itu. Tangannya mengetik cepat, sementara di sebelahnya, tumpukan laporan keuangan dan dokumen analisis pasar berserakan. Di sudut meja, secangkir kopi yang sudah dingin tak tersentuh.Wajah Brama sedikit pucat dan perutnya mulai terasa perih tapi dia menolak untuk berhenti.“Bram, kamu mending istirahat dulu. Wajahnya sudah betul-betul pucat.” Andre mengingatkan.“Sedikit lagi ini semua selesai. Aku tidak bisa berhenti sekarang.”Andre menggaruk alisnya kehabisan akal. Semenjak kejadian itu Brama benar-benar bekerja keras untuk mengembalikan kembali stabilitas perusahaan. Saking fokusnya bahkan makanan yang dibeli tadi siang belum sempat di makan Brama hingga sekarang.“Kalau begitu aku akan membeli makanan untukmu. Makanan yang di atas meja itu sudah dingin. Setelah pemberitaan saham miliknya ditambah dukungan keluarga Kiara, dan dibantu dengan laporan keuangan yang positif membuat kondisi saham perlahan mula
Setelah semua masalah itu, akhirnya orangtua Kiara juga tidak bisa menahan diri lagi dan menyuruh Brama datang ke rumah mereka. Ditodong pertanyaan begitu, Brama menjawab dengan tenang. "Masalah utamaku sederhana," ujar Brama sambil memutar gelas di tangannya. "Aku tidak punya saham cukup untuk mengendalikan perusahaan.”“Ya, kapan papamu akan memindahkan saham itu atas namamu? Karena kalau begini aku tidak melihat kemungkinan kamu bisa tetap menjadi direktur utama.”“Om tenang saja, aku sudah memiliki saham cukup sekarang.” Brama menjelaskan. “Aku akan menyelesaikan masalah ini secepatnya, proyek itu tidak akan ada masalah.”“Seberapa yakin kamu?”“Aku cukup percaya diri, tapi ....” Brama menahan ucapannya.Ayah Kiara menunggu jawaban pria itu dengan sabar. "Akan lebih meyakinkan kalau keluarga Natapradja juga memberikan saham untuk Kiara, dan mempublikasikan itu ke publik. Itu akan menunjukkan kepercayaan Om ke relasi ini dan meyakinkan pemegang saham juga kalau Natapradja it
Pintu kantor Brama tertutup rapat ketika Rinjani masuk. Cahaya dari jendela memanjang di atas meja kerjanya yang berantakan dengan dokumen.“Bapak memanggil saya?”Sejak hubungan mereka berubah, sebutan Rinjani ke Brama juga berubah-ubah sesuai dengan suasana pada saat itu. Karena profesionalitas yang terkadang masih tercampur dengan sisa rasa."Aku butuh laporan proyek-proyek berhasil beserta keuntungannya sepanjang kuartal ini," ujar Brama tanpa menoleh, jarinya mengetuk keyboard dengan cepat. "Susun rapi untik dipublish besok."Rinjani mengangguk, meski tahu Brama tidak melihatnya. "Aku sudah siapkan draft-nya. Tinggal diperinci lagi."Brama akhirnya memandangnya, matanya dingin seperti es. "Bagaimana dengan proyek yang kamu pegang sekarang? Progress?""Semua sudah dimulai. Tahap satu berjalan lancar," jawab Rinjani, berusaha tenang. "Semua masalah di lapangan juga sudah diperiksa. Seharusnya ini bisa berjalan lancar sampai selesai.”Rinjani benar-benar meneliti semuanya dan me
Di saat Rinjani kebingungan dengan peran barunya sebagai istri, keesokan harinya keadaan tidak banyak berubah antara dia dan Jagat.Karena keadaan ibu Jagat, Jagat harus terus tidur di rumah sakit. Sehingga tidak ada pembahasan di mana mereka akan tinggal dan bagaimana menghadapi rumah tangga yang dibangun dadakan itu.Beberapa hari setelah itu, Rinjani juga mulai fokus kembali ke pekerjaannya. Apalagi semua skandal itu membuat dia semakin sibuk di kantor.Hari ini akhirnya Brama memutuskan untuk memberikan klarifikasi ke media tentang semua masalah yang terjadi. Rinjani harus membantu menyiapkan semuanya.Acara itu mereka lakukan di kantor dan sehingga semua tempatnya juga harus disiapkan.“Pak Kevin, nanti juga usahakan menjawab dengan diplomatis.” Rinjani menyerahkan brief yang sudah dia siapkan untuk Kevin. “Dua jam lagi di mulai, perhatikan lagi apa yang boleh dan nggak boleh disampaikan ke publik.”Dia juga menyerahkan brief ke Brama sebagai formalitas. Tahu pria itu hanya ak
Kondisi menjadi benar-benar kacau. Radit membantu membawa ayah Jagat untuk diperiksa dokter, Rinjani juga langsung menenangkan Jagat.Orangtuanya yang berurusan dengan penghulu dan juga saksi. Semuanya terjadi begitu cepat sampai Rinjani tidak bisa berpikir rasanya.Jagat bagai pria yang kehilangan jiwanya saat itu. Dia menatap ke pintu tempat ibunya diperiksa kemudian ke arah ayahnya dibawa Radit.“Rin, bagaimana kalau aku kehilangan kedua orangtuaku?” gumamnya kosong.“Semuanya akan baik-baik saja, aku yakin Om dan Tante akan kuat.” Jagat menghela napas panjang, sekarang bernapas saja terasa berat untuknya. Rinjani hanya bisa mengusap punggung pria itu berupaya menenangkan.Rinjani menatap jauh ke depan dengan tatapan bingung. Kenapa semua ini terjadi dengan begitu tiba-tiba? Saat itu, dia melihat seorang perempuan beramput pendek menatap ke arah mereka.Perempuan yang sama dengan yang dia lihat beberapa waktu lalu saat ibu Jagat dioperasi.Rinjani hafal wajahnya karena ekspr
“Ada pengkhianat di perusahaan!” Kalimat itu muncul dan bahkan tersebar di seluruh perusahaan sore di hari yang sama rapat itu berakhir.Karena rapat itu tidak menemukan hasil, Brama masih menduduki jabatannya sementara waktu. Tentu saja, Brama harus menemukan solusi untuk masalah itu, sampai rapat berikutnya.Tetapi rentetan berita itu masih belum selesai, sore itu berita baru mencuat lagi ke publik. ‘Rapat direksi Abiyasa berakhir tanpa solusi. Direksi terpecah dua antara pendukung Brama dan pendukung Kevin. Siapakah yang akan berakhir jadi pemenang?’“Siapa sih yang menjual berita itu ke media?”“Mana aku tahu, kayanya notulen yang ada di dalam atau sekretaris direksi?”“Bisa saja direksi juga menjual berita itu kan?”“Ah nggak mungkin direksi itu memegang saham juga, masa mereka mau rugi sih?”“Siapa saja memangnya karyawan yang ikut meeting hari ini?”Desas-desus mulai tersebar dengan sangat cepat di kantor itu. Berbagai versi bahkan mulai bermunculan. Brama membiarkan sem