“5% terlalu sedikit. Akan sulit untuk meyakinkan mama kalau hanya segitu! Setidaknya 10%.”Ayah Brama menggelengkan kepalanya cepat. “Nggak bisa lebih dari itu. Kalau begitu, keluarga kita bukan lagi pemegang saham terbesar. Itu akan membuat pemegang saham punya niat lain.”“Saham itu tidak berpindah ke orang lain, Cuma masalah waktu sampai itu berubah nama jadi namaku .”Mendengar nada arogan di suara Brama, ayahnya jadi sedikit lega. Setidaknya, di depannya Brama menunjukkan kalau dia masih hijau. Anaknya itu masih tidak bisa menahan ambisinya.“5% atau tidak sama sekali. Sikap ambiusmu ini terlalu ceroboh untuk jangka panjang. Papa belum tenangTerjebak antara rasa bangga punya penerus yang kompeten tapi di saat yang sama takut tersingkirkan membuat pria itu menemukan kekurangan Brama seperti penghibur yang menjaga keseimbangan perasaan pria paruh baya itu.Pemindahan saham dari ayah ke anak itu sudah berlangsung dari generasi kakek mereka. Itu adalah aturan turun-temurun.Kalau
Alis Kevin terangkat penuh kemenangan saat dia mengatakan itu. Dagunya terangkat angkuh, seakan menantang Brama.Brama sama sekali tidak menganggap serius ucapan adik beda ibunya itu. “Papa mau bicara!” Seringai di wajah Kevin penuh dengan provokasi. Brama menerima ponsel itu dengan wajah datar.“Halo?”“Kenapa kamu menolak Kevin? Kamu sudah berjanji sama papa!” Kalimat tuduhan itu langsung menyapa telinganya, membuat Brama rahang Brama menegang menahan rasa tidak nyaman itu. Kalau ini bukan ayahnya, sudah dari tadi dia mengakhiri panggilan itu.“Aku menunjuknya sebagai project leader.”Ayah Brama terdiam sejenak mendengar itu. “Project leader? Dia baru saja masuk, apa tidak terlalu terburu-buru?”Brama mendengus malas mendengar itu. Ternyata, ayahnya masih bisa berpikir logis juga.“Dia merasa posisi MT terlalu rendah, tenang saja, aku sudah memberikan seorang sekretarisku untuk membantunya beradaptasi. Apa lagi yang kurang?”“Biar papa yang bicara dengannya.”Brama kembali
Natasha menatap Kevin bingung, tidak mengerti maksud pertanyaan pria itu. “Maksud bapak?” tanyanya sopan. “Kamu tahu aku adiknya Brama?”Kevin bertanya sambil menjatuhkan tubuhnya di kursi itu dan mengangkat kakinya ke meja berselonjor santai. Kepala Natasha bergerak ke bawah mengiyakan. “Pak Brama sudah bilang ke saya, dan menyuruh saya untuk membantu semua keperluan Pak Kevin selama di kantor,” jelasnya.Kevin menatap Natasha malas-malasan, wajah Natasha sama sekali bukan tipenya, wajah tegas dengan penampilan kaku dan kacamata yang membuatnya tampak lebih dominan.“Apa Mas Brama nggak bisa ngasih sekretaris lain yang lebih cantik?”Natasha tidak menanggapi. Dia langsung menyerahkan tablet yang ada di tangannya ke Kevin.“Ini semua bahan yang harus bapak tahu tentang proyek yang akan dikerjakan ini. Karena waktunya sudah cukup mendesak, bapak hanya punya waktu dua hari untuk paham semuanya. Dua hari lagi kita akan mulai meeting dengan semuanya.”Kevin melebarkan matanya mend
“Brama bukan tidak bisa lupa, dia susah menerima kalau aku bisa melepaskannya secepat itu. Egonya terluka, nanti juga dia bosan sendiri.”Jagat menatap Rinjani serius. “Seyakin itu? Kalau seandainya, Brama benar-benar punya rasa ke kamu, apa kamu akan kembali padanya?”Rinjani tertegun, pertanyaan itu seakan melemparkannya kembali ke masa-masa dia masih memimpikan balasan cinta Brama.“Nggak akan.”“Kita hanya berandai-andai, jawab saja.”Rinjani berpikir sejenak, kemudian tersenyum manis. “Walaupun Brama memiliki rasa padaku, dia tidak akan memilihku. Perasaan bukan prioritas utamanya, untuk Brama, banyak hal yang jauh lebih penting dibanding itu.”Setelah lima tahun bersama Brama, dan begitu lama mengenalnya, Rinjani tahu, Brama bukan laki-laki jahat. Pria itu hanya memiliki prioritas yang berbeda.Perasaan hanya untuk memberi warna dalam hidup, tapi bukan itu yang utama. Dibanding kewajiban dan ambisinya, semua rasa itu nyaris tidak penting.“Kamu begitu kenal sama dia?”“Menurut
“Om dan Tante nggak akan pernah menyetujui keputusanmu!”Gadis itu mengatupkan mulutnya rapat hingga giginya saling beradu kuat. Dia benar-benar kehabisan akal dengan sikap Brama ini.“Itu biar jadi urusanku.”"Brama cukup! Ini semua sudah nggak lucu!" Suaranya meninggi, hampir melengking. "Di mana mau ditaruh mukaku kalau pertunangan ini batal?”Dia sangat aktif mengunggah semua moment persiapan pertunangan ini ke sosial medianya. Dia akan jadi pusat semua berita gosip kalau sampai pertunangan ini gagal.Satu Indonesia akan memandangnya dengan pandangan kasihan. Itu baru satu masalah, belum lagi respon keluarganya.Kiara menggigit bibir bawahnya. "Kita sudah setuju—""Kita cuma setuju untuk bertunangan! Aku tidak pernah berjanji menuruti semua tantrum tidak penting itu." Mulut Brama sekejam itu, dan Kiara benar-benar merasakan itu. Dia tidak peduli apakah yang mendengar itu akan sakit hati atau terluka.“Sorry, aku Cuma terlalu emosi tadi. Mungkin aku kecapekan mengurus semua
Percikan cahaya dari lampu kristal menggantung di ruang makan mewah itu memantul di wajah masing-masing orang di rumah itu yang saat ini sedang terdiam tanpa mengatakan apapun.Pertanyaan yang terlalu tiba-tiba itu membuat orangtua Brama terdiam. Mereka tidak menyangka kalau pembicaraannya akan secepat itu menuju ke sana. “Maaf, kami bukan bermaksud terburu-buru, hanya saja sebelum pertunangan, kami ingin agar semua hal penting dibahas dulu, sebelum melangkah lebih jauh.”Ibu Kiara menjelaskan dengan senyum di wajah. Namun, tatapan matanya tertuju jelas ke Brama.Sikap Brama malam ini membuat wanita paruh baya itu kurang senang. “Brama, kamu sudah berkomitmen mau serius sama Kiara, tapi sejauh ini tante belum melihat keseriusanmu. Bagaimana tante akan mempercayakan anak tante ke kamu?”Ditanyai seperti itu, Brama masih diam. Di sebelahnya, Kiara sudah gugup. Dia takut, Brama akan menyinggung orangtuanya.“Bentuk keseriusan apa yang tante ingin lihat?” Brama bertanya
“Itu hal yang sangat normal, kan?” Brama bertanya dengan nada heran, seakan dia tidak mengerti keterkejutan semua orang itu.Kebanyakan keluarga seperti mereka akan melakukan perjanjian pisah harta sebelum menikah. Dengan tujuan untuk melindungi aset masing-masing. Dan untuk menghindari adanya kehilangan harta kalau seandainya terjadi perceraian.Bahkan ayah dan ibu Kiara sendiri melakukan itu. Namun, keluarga Brama tidak menerapkan sistem itu. Kiara menyentuh lengan Brama dengan gemetar. Wajahnya nyaris tidak bisa tersenyum lagi sekarang.“Kamu menghina kami?” Ayah Kiara tidak terima. “Sepertinya hanya sebatas ini keseriusan keluarga kalian! Kalaupun tidak dengan Brama, Kiara masih bisa memilih laki-laki lain di luar sana!”“Pa, bukan begitu maksud Brama. Perjanjian pisah harta ini, adalah kesepakatan kami berdua. Brama sudah bilang sebelumnya. Dan setelah menimbang semuanya aku rasa itu adalah keputusan yang bijak.”“Kiara! Kamu ini masih muda! Belum tahu apa yang penting! Ma
"Keluarga mereka terlalu serakah!"Ayah Brama mendengus marah. “Mereka pikir, mereka bisa mendapatkan saham Abiyasa semudah itu?! Jangan mimpi!”Setelah pertemuan tadi, pada akhirnya orangtua Brama dan Kiara menemukan titik tengah untuk membicarakan kembali mas kawin itu setelah acara pertunangan.Itupun terjadi setelah Kiara dan Brama kembali ke ruangan itu dan Kiara mengatakan kalau mereka berdua membatalkan perjanjian pisah harta itu.Saat Kiara mengatakan itu, Brama hanya diam saja tidak membantah. Kiara akhirnya lega melihat semuanya berakhir dengan cukup aman. Setidaknya, Brama tidak lagi berusaha untuk menentangnya lagi. Meskipun dia berbohong ke keluarganya tentang perjanjian itu. Pembicaraan panjang melelahkan itu akhirnya selesai dan mereka pulang ke rumah.Brama sengaja tidak membawa supir hari itu dan memilih mengemudikan mobil sendiri.Orangtuanya duduk di belakang masih menggerutu dengan semua yang terjadi tadi.Ibu Brama menyandarkan kepala ke jendela, matanya
“Bukan gitu. Aku dan sudah selesai. Tidak ada lagi yang bisa dibicarakan, tapi kamu berbeda.”“Tahu darimana kamu?”“Insting?” Rinjani tersenyum canggung. Dia sendiri tidak tahu jelas cerita dua orang itu. Namun, dia tidak bisa melupakan tatapan gadis berambut pendek itu.Selama ini dia menyimpan semuanya karena tidak bisa menemukan waktu yang tepat. Mereka semua masih fokus dengan pemulihan ibu Jagat.Masih selalu ada debar-debar kecemasan di dalam hati mereka semua, takut kalau tiba-tiba kondisi ibu Jagat itu drop lagi. Ditambah semua kesibukan dan usaha untuk beradaptasi dengan kehidupan pernikahan itu membuat Rinjani baru bisa menemukan waktu yang tepat saat ini.Sekarang, setelah keadaan lebih stabil ditambah hubungan mereka yang terus jalan di tempat tanpa kemajuan. Semua itu membuat Rinjani merasa perlu bicara pada Jagat.“Insting?” Jagat menatap Rinjani skeptis. “Kondis kita sekarang mirip. Belum bisa sepenuhnya lepas dari masa lalu, tapi tidak pernah sedikit pun terli
Brama menatap keluar jendela. Di seberang jalan, sebuah keluarga muda berjalan sambil tertawa—ayah, ibu, dan anak kecil di antaranya."Aku baik-baik saja," bohongnya, menyesap kopi yang sudah dingin.Ibu Brama meraih tangannya. Untuk pertama kalinya sejak kecil, Brama merasakan sentuhan hangat ibunya tanpa jarak.“Mama selalu menganggap Rinjani gadis yang baik. Hanya saja, karena latar belakangnya mama tidak pernah membayangkan kalau kalian akan bersama.”Jauh di dalam dirinya sudah sangat tertanama kalau pernikahan itu harus setara secara ekonomi.Dia sangat bangga pada Brama dan berharap anaknya itu mendapatkan yang terbaik. Tentu saja, seorang anak pembantu tidak akan pernah masuk radarnya.Karenanya saat pertama kali dia tahu, wanita itu merasa dikhianati. Dikhianati oleh pembantu yang sudah begitu lama bekerja dengannya, dikhianati oleh anaknya sendiri.Tetapi sekarang, dia mempertanyakan kembali, apa sepenting itu.“Dia gadis yang baik, dia pantas mendapatkan yang terbaik.”“Apa
Ayah Brama diam lama. “Apa kamu benar-benar nggak akan membantu papa?”Brama menggelengkan kepalanya. “Baiklah kalau begitu. Biar papa pikirkan sebentar.”Wajah pria paruh baya itu terlihat keruh. Dia sulit menerima kenyataan yang ada di depan mata.Siapa yang tidak punya simpanan dan selingkuhan di sekitar mereka? Kenapa hanya dia yang diceraikan istrinya? Laki-laki itu benar-benar merasa kehilangan muka.Ini semua karena perempuan itu yang terusDia langsung menelepon Ratri, ibu Kevin itu. Suara ayahnya melengking, tidak seperti biasanya. "Kenapa kamu mengirim semua foto-foto itu ke istriku!!”Brama menggosok pelipisnya. Dia bisa mendengar suara cempreng ibu Kevin dari speaker telepon—suara yang dibuat-buat polos, tapi terlalu bernada kemenangan."Aku tidak mengerti, Sayang. Maksud kamu apa?”“Jangan pura-pura bodoh! Karenamu, istriku tahu tentang kehamilan itu dan mau menceraikanku?!”“Cerai? Bagus dong? Bukankah ini yang kita tunggu? Sekarang kita bisa menikah dan anak kita ngga
“Aku tidak akan menandatangani surat cerai itu! Kita sudah terlalu tua untuk berpisah! Jangan jadi seperti anak-anak lah!"Brama menyenderkan tubuhnya ke jendela, menyeruput kopi dinginnya dengan tenang yang sengaja dibuat-buat. "Kalau Papa sadar sudah tua," ujarnya, mata menyipit menatap ayahnya, "Kenapa papa masih nggak bisa mengontrol kelamin!" Wajah ayahnya memerah. "Anak kurang ajar! Apa begini caramu bicara ke papa sekarang? Sudah merasa berkuasa setelah punya saham? Merasa paling hebat sekarang?”Setelah perusahaan stabil, dan menyadari kalau Brama memegang saham dalam jumlah sangat besar, ayah Brama memikirkan semuanya dan menyadari kalau semua itu adalah bagian dari rencana Brama.Dia tidak menyangka di luar pengawasannya ternyata Brama memiliki jauh lebih banyak uang dari yang dia bayangkan."Sudah cukup." Ibu Brama berdiri, suaranya seperti pisau es. Tangannya meraih tas kulit di sampingnya, mengeluarkan amplop cokelat tebal. "Aku sudah terlalu jijik hidup denganmu."“
Lampu kamar temaram, menciptakan bayangan yang bergerak lambat di dinding. Kiara melingkarkan lengan di leher Brama, jari-jarinya bermain dengan rambut pendek di tengkuknya. Napasnya hangat di telinga Brama, beraroma anggur mahal dan parfum yang menggoda.Tangan Kiara merayap ke bawah, membuka kancing pertama kemeja Brama. Jantungnya berdebar kencang—kemenangan sudah di depan mata.Tapi tubuh Brama kaku. Begitu jemari Kiara menyentuh kulit dadanya, gambaran Rinjani melintas di pikirannya. Ini bukan Rinjani! Aromanya salah! Bentuk tubuhnya salah! Bahasa tubuhnya salah!Brama menangkap pergelangan Kiara dengan kasar, mendorongnya menjauh. Napasnya tersengal, seperti orang yang baru tersadar dari mimpi buruk.Kiara tersentak terkejut. “Kenapa?!” Brama tidak menjawab. Dia bangkit dari tempat tidur, merapikan kemejanya dengan gerakan kasar."Ini sudah larut," katanya, mengambil jaket dari kursi. "Sebaiknya kita pulang."Kiara tidak berusaha menahannya. Dia duduk di tepi tempat tidur, m
***Andre masuk ke ruang kerja Brama dan langsung mengenyitkan hidungnya. Tirai jendela tertutup rapat, mengurung asap rokok yang menggantung di udara. Tumpukan dokumen berserakan di atas meja, beberapa halaman tercecer di lantai, diinjak oleh sepatu mahal yang tak pernah lagi diseka ke lusuhnya.Brama mengetik dengan kecepatan gila, jari-jarinya menari di atas keyboard seperti orang kesurupan. Layar komputernya memancarkan cahaya biru yang menyayat mata, memantulkan bayangan wajahnya yang semakin tajam—pipinya cekung, mata berkantung hitam, rambut acak-acakan."Kamu nggak tidur semalaman lagi?” Andre membuka pintu yang menghubungkan ke balkon luar untuk mengeluarkan semua asap rokok itu. “Ini sudah pagi, Bram.”"Aku tahu jam berapa sekarang," Brama menjawab tanpa menoleh, suaranya serak.Andre masuk, menginjak dokumen yang tergeletak di lantai. "Om menelepon lagi. Dia marah—" "Biarkan dia marah." Brama menyela, menekan tombol save dengan keras. “Kalau bisa marah berarti dia masih s
Rinjani terdiam. Dia masih merasa berat menerima uang itu karena itu bukan haknya. “Jangan membuatku merasa bersalah. Aku tidak membantu kamu apapun kalau kamu bahkan menolak ini.”Jagat berjanji ini adalah kerja sama, tapi dengan apa yang terjadi dia merasa tanggung jawab yang harus dipikul Rinjani jauh lebih berat.“Kamu bisa menggunakan uang ini untuk membayar biaya penalty itu, daripada kamu terus-terusan nggak nyaman di kantor itu.”Jagat menawarkan.Rinjani terdiam. “Sayang uangnya,” gumamnya. Apalagi ini bukan uang yang dia hasilkan. Kalau dipakai begitu saja dia akan merasa sangat berhutang.“Kita sekarang adalah suami istri, uangku adalah uang kamu. Kalaupun kamu memakai uang itu, itu nggak akan mengganggu keuangan keluarga kita.”“Bukan itu masalahnya.”“Aku bisa menunjukkan semua uang yang aku punya beserta aset dan investasi supaya kamu tenang.”Jagat benar-benar mencoba terbuka pada Rinjani. Namun, Rinjani buru-buru menolak.“Sekarang, ini aku simpan, nanti akan aku
Jagat tersenyum ringan. “It’s okay. Aku sudah tahu ceritanya kok. Kamu juga tahu pernikahanku dengan Rinjani seperti apa. Aku bisa mengerti hal seperti itu.”Celia menghembuskan napas lega melihat reaksi Jagat yang cukup santai."Dengar baik-baik," Celia menunjuk Jagat dengan garpu. "Perlakukan Rinjani dengan baik! Kalau kamu sakiti Rinjani, aku akan—""Celia!" Rinjani memotong.“Nggak papa.” Jagat menenangkan Rinjani. “Aku tahu, aku pasti akan memperlakukan dia dengan baik. Kamu tenang saja.”Celia mengacungkan jari jempolnya ke arah Jagat. “Aku harap kamu tepati janji itu.”Jagat tertawa, ketegangan sedikit mencair. Suasana makan malam itu menjadi menyenangkan karena Jagat juga pandai membawa suasana.Selesai makan malam, Jagat permisi ke kamar mandi meninggalkan Celia bersama Rinjani di sana.“Not bad,” gumam Celia tiba-tiba.“Apanya?” Rinjani menyuapkan tiramisu ke mulutnya dengan wajah bingung.“Jagat.” Celia menjelaskan. “Dia jauh lebih supel daripada Brama, dan yang terpent
Dunia seakan berhenti berputar saat itu untuk Brama. “A-apa?”Dia meragukan pendengarannya sendiri.“Aku sudah menikah," ulang Rinjani lagi lebih tegas.“Nggak! Kamu bohong!”Rinjani menggelengkan kepalanya. “Aku serius. Aku sudah menikah dengan Jagat.”"Kapan?" suara Brama serak.Rinjani tidak segera menjawab. Dia mengambil jaketnya dari kursi, bersiap pergi. Di ambang pintu, dia berhenti."Beberapa minggu lalu, aku harap kamu bisa berbahagia untuk aku.”Pintu tertutup pelan.Brama tetap berdiri di tengah kamar, tangan menggenggam erat bingkai tempat tidur hingga buku-buku jarinya memutih.Berbahagia katanya? Bagaimana dia harus berbahagia mendengar semua itu? Bohong! Rinjani pasti bohong! Dia tidak percaya ini! Rinjani sama sekali tidak ada mengambil izin apapun beberapa saat ke belakang.Kapan dia punya waktu untuk menikah?Brama mencari semua alasan kalau Rinjani hanya berbohong, tapi tangannya gemetar saat itu.Ekspresi wajah Rinjani tadi terbayang-bayang di depan wajahnya d