Tanpa mengakhiri panggilannya, dia langsung menekan tombol pengeras suara di ponselnya, lalu membuka aplikasi yang dimaksud Celia itu dan melihat apa yang diunggah oleh adiknya itu.Mata Rinjani seketika melebar melihat story Radit. Di sana ada foto saat Jagat menyematkan cincin di jarinya, dan ada satu kalimat di bagian bawah foto itu.‘Selamat untuk Kalian! Semoga lancar sampai pernikahan.’ Tidak cukup sampai di sana, dia juga menekan tag pada akun Rinjani dan Jagat. Rinjani hanya terlalu sibuk tadi sehingga dia tidak sempat melihat ponselnya.Rinjani tidak pernah berencana menyebarluaskan tentang beritanya dan Jagat. Tetapi, dia lupa menyampaikan hal itu pada Radit.Sekarang, Rinjani hanya bisa menyesal dan menyalahkan dirinya sendiri. “Kamu sudah gila? Orangtua kamu juga setuju? Apa kamu bahkan kenal dengan laki-laki itu?”“Namanya Jagat Cel,” gumam Rinjani lemah.“Persetan dengan namanya! Apa kamu bahkan tahu hal lain selain namanya?” Celia terdengar sangat kesal, dia
Rinjani melihat beberapa panggilan tidak terjawab dari Brama saat dia berjalan kembali ke rumah sakit dengan membawa makan malam.Dia memutuskan mengabaikan semua itu dan bahkan menghilangkan semua nada dering ponselnya agar tidak terganggu.Sampai dia di depan ruang operasi itu, lampu rumah sakit masih terang meski makin larut. Tulisan "Operasi Berlangsung" masih menyala menunjukkan kalau operasi itu belum selesai. Ponsel di tangannya bergetar lagi—lagi-lagi Brama. Jari-jemarinya mengepal erat sebelum akhirnya memutuskan untuk mengabaikan panggilan itu.Tidak sekarang. Tidak saat seperti ini.Dia tidak ingin perhatiannya bercabang di saat yang tidak perlu. Dia tidak punya energi lagi untuk mendengar apa yang hendak dikatakan Brama.Di sudut ruangan, Jagat mondar-mandir seperti harimau dalam sangkar, wajahnya pucat di bawah lampu"Jagat, ini aku bawa makanan, kamu dan Om makan dulu." Rinjani menyerahkan plastik makanan yang dibawanya.Jagat sedikit terkejut, dia hendak mengatakan k
Radit mengira dia akan menyerah begitu saja? Itu bukan sikapnya. Dia akan berusaha menemukan apapun yang dia inginkan. Untungnya, Andre―asisten yang disuruhnya mencari tahu tentang Jagat menemukan informasi pria itu dengan cepat.Akun pribadi itu benar-benar petunjuk yang memudahkan pekerjaan mereka.“Halo, Bram. Itu aku sudah mengirimkan semua yang aku temukan tentang Jagat. Dia itu konsultan bisnis yang cukup terkenal.”“Apa kamu tahu dia sekarang ada di mana?”Andre sudah bekerja cukup lama dengan Brama, dia sudah terbiasa dengan sikap seenaknya atasannya itu.Gaji besar yang dia terima, rasanya sebagiannya untuk menutupi sikap otoriter pria itu.“Aku dengar, ibunya sakit dan sedang dioperasi di rumah sakit sekarang.” Andre menyebut nama rumah sakit tempat ibu Jagat berada.“Operasi?” Brama mengerutkan kening bingung, kenapa Rinjani tukar cincin di hari yang sama dengan hari operasi itu?“Ya, dia sudah komplikasi, perawat yang kerja di sana bilang kalau hari ini ibu Ja
“Berhenti berusaha mengatur hidup Rinjani. Dia juga manusia yang punya pikirannya sendiri. Anda sudah memilih untuk tidak melibatkan dia dalam setiap rencana Anda, jangan berubah pikiran di tengah jalan.”“Jangan bersikap seolah tahu semuanya!” Brama benar-benar membenci sikap Jagat itu.Dia merasa dijadikan bahan tontonan yang menggelikan.“Anda benar, dan saya juga tidak perlu tahu semuanya.” Pandangan Jagat tertoleh ke arah ruang operasi itu, matanya menyimpan banyak sekali perasaan yang tidak bisa diungkapkan saat itu.Brama mengumpat dalam hatinya, tidak menyangka kalau keputusan yang dibuatnya malah menjadi bumerang untuknya sendiri.Dia sengaja menyinggung klausul penalty besar itu, berharap bisa mengikat Rinjani di sisinya selama dia melakukan semua rencananya. Ironisnya, justru itulah yang mendorong Rinjani ke pelukan orang lain.Brama menatap Rinjani yang tertidur lelah di sofa rumah sakit melalui kaca jendela. Tangannya mengepal."Kalau tidak ada lagi yang mau dibicarakan,
Brama merasa lidahnya kelu. Dia sangat benci sikap Rinjani yang seperti ini. Dalam sikap lembut dan suara lirihnya, jauh dalam hatinya, Rinjani adalah orang yang sangat keras kepala.Seperti saat dia bertahan bersama Brama, meskipun dia jarang mendapatkan respon antusias dari pria itu, dengan segala masalah dan tantangan yang dia hadapi.Kini, saat dia memutuskan untuk pergi, Brama tidak bisa menahan gadis itu sama sekali.“Aku nggak pernah mengatakan hubungan kita berakhir! Itu hanya keputusanmu sepihak.”"Brama, hubungan kita nggak terikat apapun. Baik aku atau kamu bebas pergi kapan saja." Itu adalah ketakutan Rinjani selama menjalin hubungan dengan Rinjani menatap Brama dengan lembut. "Kita sudah selesai sejak lama. Kamu hanya kurang terbiasa dengan keadaan ini. Cepat atau lambat, kamu juga akan beradaptasi.”Brama berdiri sendirian di ruangan itu, sekarang mulutnya kelu. Dia tidak tahu bagaimana cara membuat Rinjani bertahan.Dia tidak tahu apa yang bisa mempertahankan agar g
“5% terlalu sedikit. Akan sulit untuk meyakinkan mama kalau hanya segitu! Setidaknya 10%.”Ayah Brama menggelengkan kepalanya cepat. “Nggak bisa lebih dari itu. Kalau begitu, keluarga kita bukan lagi pemegang saham terbesar. Itu akan membuat pemegang saham punya niat lain.”“Saham itu tidak berpindah ke orang lain, Cuma masalah waktu sampai itu berubah nama jadi namaku .”Mendengar nada arogan di suara Brama, ayahnya jadi sedikit lega. Setidaknya, di depannya Brama menunjukkan kalau dia masih hijau. Anaknya itu masih tidak bisa menahan ambisinya.“5% atau tidak sama sekali. Sikap ambiusmu ini terlalu ceroboh untuk jangka panjang. Papa belum tenangTerjebak antara rasa bangga punya penerus yang kompeten tapi di saat yang sama takut tersingkirkan membuat pria itu menemukan kekurangan Brama seperti penghibur yang menjaga keseimbangan perasaan pria paruh baya itu.Pemindahan saham dari ayah ke anak itu sudah berlangsung dari generasi kakek mereka. Itu adalah aturan turun-temurun.Kalau
Alis Kevin terangkat penuh kemenangan saat dia mengatakan itu. Dagunya terangkat angkuh, seakan menantang Brama.Brama sama sekali tidak menganggap serius ucapan adik beda ibunya itu. “Papa mau bicara!” Seringai di wajah Kevin penuh dengan provokasi. Brama menerima ponsel itu dengan wajah datar.“Halo?”“Kenapa kamu menolak Kevin? Kamu sudah berjanji sama papa!” Kalimat tuduhan itu langsung menyapa telinganya, membuat Brama rahang Brama menegang menahan rasa tidak nyaman itu. Kalau ini bukan ayahnya, sudah dari tadi dia mengakhiri panggilan itu.“Aku menunjuknya sebagai project leader.”Ayah Brama terdiam sejenak mendengar itu. “Project leader? Dia baru saja masuk, apa tidak terlalu terburu-buru?”Brama mendengus malas mendengar itu. Ternyata, ayahnya masih bisa berpikir logis juga.“Dia merasa posisi MT terlalu rendah, tenang saja, aku sudah memberikan seorang sekretarisku untuk membantunya beradaptasi. Apa lagi yang kurang?”“Biar papa yang bicara dengannya.”Brama kembali
Natasha menatap Kevin bingung, tidak mengerti maksud pertanyaan pria itu. “Maksud bapak?” tanyanya sopan. “Kamu tahu aku adiknya Brama?”Kevin bertanya sambil menjatuhkan tubuhnya di kursi itu dan mengangkat kakinya ke meja berselonjor santai. Kepala Natasha bergerak ke bawah mengiyakan. “Pak Brama sudah bilang ke saya, dan menyuruh saya untuk membantu semua keperluan Pak Kevin selama di kantor,” jelasnya.Kevin menatap Natasha malas-malasan, wajah Natasha sama sekali bukan tipenya, wajah tegas dengan penampilan kaku dan kacamata yang membuatnya tampak lebih dominan.“Apa Mas Brama nggak bisa ngasih sekretaris lain yang lebih cantik?”Natasha tidak menanggapi. Dia langsung menyerahkan tablet yang ada di tangannya ke Kevin.“Ini semua bahan yang harus bapak tahu tentang proyek yang akan dikerjakan ini. Karena waktunya sudah cukup mendesak, bapak hanya punya waktu dua hari untuk paham semuanya. Dua hari lagi kita akan mulai meeting dengan semuanya.”Kevin melebarkan matanya mend
“Bukan gitu. Aku dan sudah selesai. Tidak ada lagi yang bisa dibicarakan, tapi kamu berbeda.”“Tahu darimana kamu?”“Insting?” Rinjani tersenyum canggung. Dia sendiri tidak tahu jelas cerita dua orang itu. Namun, dia tidak bisa melupakan tatapan gadis berambut pendek itu.Selama ini dia menyimpan semuanya karena tidak bisa menemukan waktu yang tepat. Mereka semua masih fokus dengan pemulihan ibu Jagat.Masih selalu ada debar-debar kecemasan di dalam hati mereka semua, takut kalau tiba-tiba kondisi ibu Jagat itu drop lagi. Ditambah semua kesibukan dan usaha untuk beradaptasi dengan kehidupan pernikahan itu membuat Rinjani baru bisa menemukan waktu yang tepat saat ini.Sekarang, setelah keadaan lebih stabil ditambah hubungan mereka yang terus jalan di tempat tanpa kemajuan. Semua itu membuat Rinjani merasa perlu bicara pada Jagat.“Insting?” Jagat menatap Rinjani skeptis. “Kondis kita sekarang mirip. Belum bisa sepenuhnya lepas dari masa lalu, tapi tidak pernah sedikit pun terli
Brama menatap keluar jendela. Di seberang jalan, sebuah keluarga muda berjalan sambil tertawa—ayah, ibu, dan anak kecil di antaranya."Aku baik-baik saja," bohongnya, menyesap kopi yang sudah dingin.Ibu Brama meraih tangannya. Untuk pertama kalinya sejak kecil, Brama merasakan sentuhan hangat ibunya tanpa jarak.“Mama selalu menganggap Rinjani gadis yang baik. Hanya saja, karena latar belakangnya mama tidak pernah membayangkan kalau kalian akan bersama.”Jauh di dalam dirinya sudah sangat tertanama kalau pernikahan itu harus setara secara ekonomi.Dia sangat bangga pada Brama dan berharap anaknya itu mendapatkan yang terbaik. Tentu saja, seorang anak pembantu tidak akan pernah masuk radarnya.Karenanya saat pertama kali dia tahu, wanita itu merasa dikhianati. Dikhianati oleh pembantu yang sudah begitu lama bekerja dengannya, dikhianati oleh anaknya sendiri.Tetapi sekarang, dia mempertanyakan kembali, apa sepenting itu.“Dia gadis yang baik, dia pantas mendapatkan yang terbaik.”“Apa
Ayah Brama diam lama. “Apa kamu benar-benar nggak akan membantu papa?”Brama menggelengkan kepalanya. “Baiklah kalau begitu. Biar papa pikirkan sebentar.”Wajah pria paruh baya itu terlihat keruh. Dia sulit menerima kenyataan yang ada di depan mata.Siapa yang tidak punya simpanan dan selingkuhan di sekitar mereka? Kenapa hanya dia yang diceraikan istrinya? Laki-laki itu benar-benar merasa kehilangan muka.Ini semua karena perempuan itu yang terusDia langsung menelepon Ratri, ibu Kevin itu. Suara ayahnya melengking, tidak seperti biasanya. "Kenapa kamu mengirim semua foto-foto itu ke istriku!!”Brama menggosok pelipisnya. Dia bisa mendengar suara cempreng ibu Kevin dari speaker telepon—suara yang dibuat-buat polos, tapi terlalu bernada kemenangan."Aku tidak mengerti, Sayang. Maksud kamu apa?”“Jangan pura-pura bodoh! Karenamu, istriku tahu tentang kehamilan itu dan mau menceraikanku?!”“Cerai? Bagus dong? Bukankah ini yang kita tunggu? Sekarang kita bisa menikah dan anak kita ngga
“Aku tidak akan menandatangani surat cerai itu! Kita sudah terlalu tua untuk berpisah! Jangan jadi seperti anak-anak lah!"Brama menyenderkan tubuhnya ke jendela, menyeruput kopi dinginnya dengan tenang yang sengaja dibuat-buat. "Kalau Papa sadar sudah tua," ujarnya, mata menyipit menatap ayahnya, "Kenapa papa masih nggak bisa mengontrol kelamin!" Wajah ayahnya memerah. "Anak kurang ajar! Apa begini caramu bicara ke papa sekarang? Sudah merasa berkuasa setelah punya saham? Merasa paling hebat sekarang?”Setelah perusahaan stabil, dan menyadari kalau Brama memegang saham dalam jumlah sangat besar, ayah Brama memikirkan semuanya dan menyadari kalau semua itu adalah bagian dari rencana Brama.Dia tidak menyangka di luar pengawasannya ternyata Brama memiliki jauh lebih banyak uang dari yang dia bayangkan."Sudah cukup." Ibu Brama berdiri, suaranya seperti pisau es. Tangannya meraih tas kulit di sampingnya, mengeluarkan amplop cokelat tebal. "Aku sudah terlalu jijik hidup denganmu."“
Lampu kamar temaram, menciptakan bayangan yang bergerak lambat di dinding. Kiara melingkarkan lengan di leher Brama, jari-jarinya bermain dengan rambut pendek di tengkuknya. Napasnya hangat di telinga Brama, beraroma anggur mahal dan parfum yang menggoda.Tangan Kiara merayap ke bawah, membuka kancing pertama kemeja Brama. Jantungnya berdebar kencang—kemenangan sudah di depan mata.Tapi tubuh Brama kaku. Begitu jemari Kiara menyentuh kulit dadanya, gambaran Rinjani melintas di pikirannya. Ini bukan Rinjani! Aromanya salah! Bentuk tubuhnya salah! Bahasa tubuhnya salah!Brama menangkap pergelangan Kiara dengan kasar, mendorongnya menjauh. Napasnya tersengal, seperti orang yang baru tersadar dari mimpi buruk.Kiara tersentak terkejut. “Kenapa?!” Brama tidak menjawab. Dia bangkit dari tempat tidur, merapikan kemejanya dengan gerakan kasar."Ini sudah larut," katanya, mengambil jaket dari kursi. "Sebaiknya kita pulang."Kiara tidak berusaha menahannya. Dia duduk di tepi tempat tidur, m
***Andre masuk ke ruang kerja Brama dan langsung mengenyitkan hidungnya. Tirai jendela tertutup rapat, mengurung asap rokok yang menggantung di udara. Tumpukan dokumen berserakan di atas meja, beberapa halaman tercecer di lantai, diinjak oleh sepatu mahal yang tak pernah lagi diseka ke lusuhnya.Brama mengetik dengan kecepatan gila, jari-jarinya menari di atas keyboard seperti orang kesurupan. Layar komputernya memancarkan cahaya biru yang menyayat mata, memantulkan bayangan wajahnya yang semakin tajam—pipinya cekung, mata berkantung hitam, rambut acak-acakan."Kamu nggak tidur semalaman lagi?” Andre membuka pintu yang menghubungkan ke balkon luar untuk mengeluarkan semua asap rokok itu. “Ini sudah pagi, Bram.”"Aku tahu jam berapa sekarang," Brama menjawab tanpa menoleh, suaranya serak.Andre masuk, menginjak dokumen yang tergeletak di lantai. "Om menelepon lagi. Dia marah—" "Biarkan dia marah." Brama menyela, menekan tombol save dengan keras. “Kalau bisa marah berarti dia masih s
Rinjani terdiam. Dia masih merasa berat menerima uang itu karena itu bukan haknya. “Jangan membuatku merasa bersalah. Aku tidak membantu kamu apapun kalau kamu bahkan menolak ini.”Jagat berjanji ini adalah kerja sama, tapi dengan apa yang terjadi dia merasa tanggung jawab yang harus dipikul Rinjani jauh lebih berat.“Kamu bisa menggunakan uang ini untuk membayar biaya penalty itu, daripada kamu terus-terusan nggak nyaman di kantor itu.”Jagat menawarkan.Rinjani terdiam. “Sayang uangnya,” gumamnya. Apalagi ini bukan uang yang dia hasilkan. Kalau dipakai begitu saja dia akan merasa sangat berhutang.“Kita sekarang adalah suami istri, uangku adalah uang kamu. Kalaupun kamu memakai uang itu, itu nggak akan mengganggu keuangan keluarga kita.”“Bukan itu masalahnya.”“Aku bisa menunjukkan semua uang yang aku punya beserta aset dan investasi supaya kamu tenang.”Jagat benar-benar mencoba terbuka pada Rinjani. Namun, Rinjani buru-buru menolak.“Sekarang, ini aku simpan, nanti akan aku
Jagat tersenyum ringan. “It’s okay. Aku sudah tahu ceritanya kok. Kamu juga tahu pernikahanku dengan Rinjani seperti apa. Aku bisa mengerti hal seperti itu.”Celia menghembuskan napas lega melihat reaksi Jagat yang cukup santai."Dengar baik-baik," Celia menunjuk Jagat dengan garpu. "Perlakukan Rinjani dengan baik! Kalau kamu sakiti Rinjani, aku akan—""Celia!" Rinjani memotong.“Nggak papa.” Jagat menenangkan Rinjani. “Aku tahu, aku pasti akan memperlakukan dia dengan baik. Kamu tenang saja.”Celia mengacungkan jari jempolnya ke arah Jagat. “Aku harap kamu tepati janji itu.”Jagat tertawa, ketegangan sedikit mencair. Suasana makan malam itu menjadi menyenangkan karena Jagat juga pandai membawa suasana.Selesai makan malam, Jagat permisi ke kamar mandi meninggalkan Celia bersama Rinjani di sana.“Not bad,” gumam Celia tiba-tiba.“Apanya?” Rinjani menyuapkan tiramisu ke mulutnya dengan wajah bingung.“Jagat.” Celia menjelaskan. “Dia jauh lebih supel daripada Brama, dan yang terpent
Dunia seakan berhenti berputar saat itu untuk Brama. “A-apa?”Dia meragukan pendengarannya sendiri.“Aku sudah menikah," ulang Rinjani lagi lebih tegas.“Nggak! Kamu bohong!”Rinjani menggelengkan kepalanya. “Aku serius. Aku sudah menikah dengan Jagat.”"Kapan?" suara Brama serak.Rinjani tidak segera menjawab. Dia mengambil jaketnya dari kursi, bersiap pergi. Di ambang pintu, dia berhenti."Beberapa minggu lalu, aku harap kamu bisa berbahagia untuk aku.”Pintu tertutup pelan.Brama tetap berdiri di tengah kamar, tangan menggenggam erat bingkai tempat tidur hingga buku-buku jarinya memutih.Berbahagia katanya? Bagaimana dia harus berbahagia mendengar semua itu? Bohong! Rinjani pasti bohong! Dia tidak percaya ini! Rinjani sama sekali tidak ada mengambil izin apapun beberapa saat ke belakang.Kapan dia punya waktu untuk menikah?Brama mencari semua alasan kalau Rinjani hanya berbohong, tapi tangannya gemetar saat itu.Ekspresi wajah Rinjani tadi terbayang-bayang di depan wajahnya d