Hari sudah menjelang malam ketika Enrico kembali dari bekerja. Ia dengan wajah yang tampak lelah, segera masuk ke dalam Mansion dan tersenyum bahagia ketika Francesca sudah menyambutnya dengan teh madu.
"Menyegarkan sekali." Enrico tersenyum setelah menegak secangkir teh madu.
Lelaki itu merasa bahagia karena Francesca tidak lagi terlalu dingin dan lebih bisa bersikap normal. Meskipun, wanita itu masih saja tak banyak bicara pada Enrico.
Pria itu kemudian mendekatkan diri pada Francesca, menangkup pipi gadis itu dengan kedua tangan, ia menempelkan keningnya dan mendesah. "Kau tahu seberapa besar aku merindukan dirimu. Aku menyukai saat kebersamaan kita di pulau, hanya kau dan aku."
"Pulau …."
"Maafkan a
"Kau wanita bodoh! Bagaimana bisa dirimu tak dapat melakukan tugas yang mudah?" bentak Leonardo dengan berapi-api. "Jangan hina aku, Pria bodoh! Gara-gara kau yang tidak bisa menahan budak liar itu, semuanya jadi kacau." balas Rebecca tak kalah sengit. "Kau yang terlalu lama bertindak. Bagaimana bisa, gadis itu yang meminumnya! " Leonardo tidak mau disalahkan begitu saja. "Gadis jalang itu tiba-tiba saja masuk dan menyambar minuman itu. Aku baru saja hendak mencekoki Enrico, bisa-bisanya dia berlagak cemburu. Apa hak dia untuk cemburu!" Amarah Rebecca berkobar-kobar dengan wajah yang merah padam. Dia tidak bisa menerima kegagalannya. Apalagi melihat langsung kemesraan yang seharusnya dia rasakan dari Enrico.
"Aku tidak mau hamil! Aku tidak mau hamil!"Francesca berteriak histeris."Apa yang kau katakan! Bagaimana bisa seorang wanita tidak menginginkan anak?" Enrico memutar tubuh Francesca dan memandang wanita itu dengan tatapan tak mengerti."Aku tidak mau anak darimu! Aku tidak mau!""Kau …." Suara Enrico tercekat. Ia tidak tahu harus berkata apa.Setelah percintaan mereka yang dahsyat, di saat Enrico sudah terbang ke awan-awan, tiba-tiba Francesca menghempaskan dirinya dengan sangat keras. Sakit! Hati Enrico seakan tercabik-cabik dengan keras.Di saat dia menginginkan seorang anak dari rahim Fra
"Francesss … Francesca! Bagaimana kabarmu. Mommy sangat merindukan dirimu, Sayang.""Mommy, Frances juga rindu dengan Mommy. Rindu semuanya." ucap Francesca dengan senyuman di wajahnya.Hari ini setelah Enrico berangkat bekerja, Francesca segera melakukan video call dengan Diana. Dia berlatih memasang senyuman manis pada wanita yang kasih sayangnya melebihi wanita yang melahirkan dirinya.Masih jelas teringat kesepakatan atau mungkin lebih tepatnya ancaman yang diucapkan Enrico kepadanya. Francesca memerlukan sosok ibu untuk menenangkan kegundahan hatinya, tanpa harus menceritakan permasalahan yang ia hadapi."Kenapa kau tidak datang menemuiku, Frances. Haruskah mommy datang ke Italy mengunjungimu, bertemu dengan pria yang sudah m
Di sebuah rumah yang sangat besar dengan penjagaan ketat tampak seorang wanita cantik sedang gelisah. Ia berjalan mondar-mandir tanpa henti dengan tangan yang terkepal memukul tangan lainnya.Gerakannya yang tak menentu itu membuat para pelayan mundur dengan menundukan kepala. Satu tindakan yang salah saja, akan mengakibatkan diri mereka celaka.Wanita itu mulai menengadahkan wajahnya menatap ke arah sosok pria setengah baya yang masih tegap. Pria itu masuk dengan senyum khas yang tersungging di wajahnya.Rambut hitam kelam berombak dan klimis, ditambah dengan kumis di wajahnya yang bersih, membuat pria berusia lima puluh lima tahun itu tampak lebih muda lima tahunan.Pria itu duduk di sebuah kursi kayu yang sudah diberi bantalan empuk. Ia menyilangkan kakinya dan
Maka disinilah Bruno Varoni berada saat ini, di dalam Mansion Enrico. Pria itu duduk dengan angkuh layaknya seorang penguasa. Ia meniupkan cerutu ke arah Francesca yang duduk di hadapannya."Tuan, bisakah anda mematikan cerutu tersebut?" pinta Francesca dengan sopan."Aku menyukai cerutu ini, kenapa harus aku matikan?" tanyanya sinis dengan nada suara yang lembut."Baiklah jika begitu. Silahkan, menikmati cerutu Anda, saya permisi." Francesca beranjak dari duduknya."Beginikah sopan santun dalam menerima tamu penting?" Bruno tidak suka dengan cara Francesca yang tampak tidak menghormatinya."Tamu penting? Saya tidak mengenal Anda dan lagi pula kedatangan Anda bukan untuk mencari saya, bukan?" Francesca dengan tenang men
"Kau sudah berani menantangku. Kita lihat bagaimana aku akan menghancurkan dirimu dan seluruh orang yang kau perdulikan. Aku akan membuatmu menangis darah!"Bruno Varoni berdiri dengan menuding ke arah Enrico. Wajahnya sudah menghitam karena emosi yang tidak dapat ia kendalikan. Seorang donatur yang selama ini ia manfaatkan kelemahannya, bersikap tidak peduli.Enrico tidak begitu saja menyahuti kemarahan pria tua itu. Ia bersikap tenang dan menatap sekutu yang berubah menjadi musuh dengan senyuman tipis.Enrico menjentikan jemarinya, tak lama kemudian seorang pengawal telah datang di dekat mereka."Tuan Bruno Varoni. Akan aku jaga keluargaku sebaik mungkin. Aku tidak akan melakukan kesalahan yang sama dengan membiarkan benalu menggerogoti kami. Jika ada pihak
"Kakak! Apa yang kau lakukan dengan Gubernur gila itu? Kau memutuskan untuk menjauhi dia? Kau tahu apa akibatnya?" Leonardo menemui Enrico di ruang kerjanya dengan penuh kemarahan."Tenanglah Leonardo." Enrico meletakan kacamata bacanya dan memijit keningnya."Tenang bagaimana? Dia sudah menyebarkan desas desus mengenai perusahaan kita!"Leonardo melemparkan sebuah koran yang baru saja dia baca. Di bagian depan koran tersebut tampak jelas dituliskan, jika Gubernur Bruno Varoni menegaskan akan mengecek data perusahaan yang dikhawatirkan melakukan tindakan manipulasi data pajak. Dia menekankan pada perusahaan besar yang melakukan ekspor impor.Bukan itu saja, di sana tampak juga berita besar jika Rebecca Varoni, artis besar sedang dalam keadaan depresi akibat dikhian
Hari sudah larut malam, namun Enrico masih berada di dalam ruang kantornya. Pria itu memutuskan untuk tetap tinggal di pabrik. Wartawan yang berkumpul di luar gedung, membuat Enrico memutuskan untuk tetap tinggal.Sebenarnya ia bisa saja menghindari wartawan dengan mudah. Tetapi pria itu memilih untuk terkurung dalam ruang kantornya di dalam pabrik pengolahan minyak zaitun, berkutat dalam pekerjaan dan segala cara untuk menghadapi Gubernur.Enrico lebih takut dengan perasaan yang berkecamuk dalam hatinya, ia khawatir akan berakhir menyakiti Francesca. Monster dalam dirinya terus mengaum, memberontak dengan kuat.Enrico bahkan terpaksa mengkonsumsi obat penenang untuk menghentikan Monster yang berusaha kembali menguasai pikirannya."Tuan, Anda harus beristirah