Maka disinilah Bruno Varoni berada saat ini, di dalam Mansion Enrico. Pria itu duduk dengan angkuh layaknya seorang penguasa. Ia meniupkan cerutu ke arah Francesca yang duduk di hadapannya.
"Tuan, bisakah anda mematikan cerutu tersebut?" pinta Francesca dengan sopan.
"Aku menyukai cerutu ini, kenapa harus aku matikan?" tanyanya sinis dengan nada suara yang lembut.
"Baiklah jika begitu. Silahkan, menikmati cerutu Anda, saya permisi." Francesca beranjak dari duduknya.
"Beginikah sopan santun dalam menerima tamu penting?" Bruno tidak suka dengan cara Francesca yang tampak tidak menghormatinya.
"Tamu penting? Saya tidak mengenal Anda dan lagi pula kedatangan Anda bukan untuk mencari saya, bukan?" Francesca dengan tenang men
"Kau sudah berani menantangku. Kita lihat bagaimana aku akan menghancurkan dirimu dan seluruh orang yang kau perdulikan. Aku akan membuatmu menangis darah!"Bruno Varoni berdiri dengan menuding ke arah Enrico. Wajahnya sudah menghitam karena emosi yang tidak dapat ia kendalikan. Seorang donatur yang selama ini ia manfaatkan kelemahannya, bersikap tidak peduli.Enrico tidak begitu saja menyahuti kemarahan pria tua itu. Ia bersikap tenang dan menatap sekutu yang berubah menjadi musuh dengan senyuman tipis.Enrico menjentikan jemarinya, tak lama kemudian seorang pengawal telah datang di dekat mereka."Tuan Bruno Varoni. Akan aku jaga keluargaku sebaik mungkin. Aku tidak akan melakukan kesalahan yang sama dengan membiarkan benalu menggerogoti kami. Jika ada pihak
"Kakak! Apa yang kau lakukan dengan Gubernur gila itu? Kau memutuskan untuk menjauhi dia? Kau tahu apa akibatnya?" Leonardo menemui Enrico di ruang kerjanya dengan penuh kemarahan."Tenanglah Leonardo." Enrico meletakan kacamata bacanya dan memijit keningnya."Tenang bagaimana? Dia sudah menyebarkan desas desus mengenai perusahaan kita!"Leonardo melemparkan sebuah koran yang baru saja dia baca. Di bagian depan koran tersebut tampak jelas dituliskan, jika Gubernur Bruno Varoni menegaskan akan mengecek data perusahaan yang dikhawatirkan melakukan tindakan manipulasi data pajak. Dia menekankan pada perusahaan besar yang melakukan ekspor impor.Bukan itu saja, di sana tampak juga berita besar jika Rebecca Varoni, artis besar sedang dalam keadaan depresi akibat dikhian
Hari sudah larut malam, namun Enrico masih berada di dalam ruang kantornya. Pria itu memutuskan untuk tetap tinggal di pabrik. Wartawan yang berkumpul di luar gedung, membuat Enrico memutuskan untuk tetap tinggal.Sebenarnya ia bisa saja menghindari wartawan dengan mudah. Tetapi pria itu memilih untuk terkurung dalam ruang kantornya di dalam pabrik pengolahan minyak zaitun, berkutat dalam pekerjaan dan segala cara untuk menghadapi Gubernur.Enrico lebih takut dengan perasaan yang berkecamuk dalam hatinya, ia khawatir akan berakhir menyakiti Francesca. Monster dalam dirinya terus mengaum, memberontak dengan kuat.Enrico bahkan terpaksa mengkonsumsi obat penenang untuk menghentikan Monster yang berusaha kembali menguasai pikirannya."Tuan, Anda harus beristirah
"Pagi Kak Conrad, tumben sepagi ini kau sudah meneleponku?" Francesca baru saja menggeliat dari tidurnya yang tak bisa lelap. Ia melirik ke arah jam di dinding yang menunjukan pukul enam pagi, itu artinya pukul dua belas malam di Miami. Sungguh mengherankan jika Conrad menghubunginya pada jam seperti ini. Apakah ada hal yang penting? "Apa ada sesuatu yang terjadi?" tanyanya panik. "Kau ini, harusnya aku yang bertanya padamu." sahut Conrad dengan jengkel. "Padaku?" Francesca mengernyitkan keningnya. "Aku sedang dalam perjalanan menuju bandara. Malam ini juga aku akan menuju ke Venice." ujar Conrad. "Kakak mau menemuiku atau ada perjalanan bisnis?" Francesca menegakkan tubuhny
Serra tidak dapat berbuat apapun lagi. Ia hanya memandangi punggung Francesca yang sudah menjauhinya. Gadis pelayan yang masih muda itu memutuskan untuk memberitahukan kemauan Francesca pada Devonte."Aku tidak bisa mencegahnya lagi, Devonte. Nyonya akan sangat curiga jika aku menghalangi dirinya," ucap Serra dengan resah. "Bagaimana keadaan tuan Enrico, apakah dia baik-baik saja?"Terdengar helaan napas panjang Devonte di seberang sana. Serra menanti dengan cemas tindakan yang harus diambilnya."Biarkan Nyonya Francesca datang ke perusahaan. Mungkin dengan melihat bagaimana dia mencemaskan tuan, hatinya bisa tersentuh dan peprangan batin dapat dikendalikan.""Baiklah. Davonte ...." Serra menghela napas panjang sebelum mengeluarkan apa yang ada di dalam benaknya.
"Ini aku, ibu dari anakmu," lirih suara Francesca terdengar. Tangannya masih tetap menahan tangan Enrico menempel di perutnya.Sesaat Enrico terdiam, ia memejamkan mata dengan rahang yang mengeras, berusaha menahan monster yang menguasai pikirannya. Francesca melihat perjuangan keras pria yang sudah menyentuh hatinya, ia merasa sangat terluka.Tanpa pikir panjang, wanita itu mengangkat punggungnya dan merengkuh tengkuk Enrico. Gerakan Francesca yang tiba-tiba mendaratkan ciuman di bibir Enrico, membuat tubuh pria itu yang semula tegang menjadi lemah.Enrico terdiam tanpa membalas kecupan yang ditempelkan oleh Francesca dengan penuh kemesraan. Air mata menetes di pipi pria tampan berrmata biru yang masih mengalami peperangan batin."Keluar …," bisik Enrico perlahan
Francesca dan Serra saling berpandangan. Wajah mereka seketika tegang. Francesca yang sedari tadi berjalan dengan gelisah seketika terpaku. "Enrico …," bisiknya lirih. Ia mengusap perutnya yang seketika terasa kaku, saat tubuhnya menegang dan jantungnya berdegup dengan kencang. "Frances, kemarilah." Serra menarik lengan Francesca untuk bersembunyi di balik lemari buku. Di ruang kerja Devonte yang tak seberapa besar, tidak ada lagi ruangan bagi mereka untuk menyembunyikan diri. Serra menyembunyikan Francesca di belakang tubuhnya. "Apa yang terjadi Serra? Kenapa ada suara tembakan? Apa Enrico baik-baik saja?" Nafas Francesca memburu, wajahnya pucat. "Arghh …." "Frances!" Serra kebingungan melihat keadaan
"Enricoooo!" Seketika gelap menyelubungi pandangan Francesca.Tubuh wanita hamil itu lunglai tak bertenaga, beruntung sekali Conrad dengan cepat menangkap Francesca yang pingsan dan hampir jatuh. Ia memeluk adik satu ibu itu penuh rasa khawatir."Tuan muda!" Greg mendorong sebuah kursi yang beroda ke arah Conrad. Pemikiran tangkas di saat darurat.Kekacauan itu seketika berhenti. Perhatian mereka yang tengah baku hantam terarah pada suara benturan keras, yang disebabkan jatuhnya tubuh Enrico dan Gubernur."Tuan Muda …." Serra hendak berlari ke arah pagar pembatas, namun tangan seorang dari pengawal Conrad menariknya dengan cepat."Kita harus pergi sekarang juga!"