"Aaarkkkk!" Francesca memekik ketika merasakan tarikan di rambutnya. Dia seketika menjadi marah. Gadis itu dengan sekuat tenaga memutar tubuhnya, hingga Rebecca yang duduk di atas punggung Francesca menjadi terkejut.
Rebecca berguling di bawah gadis itu. Punggung halusnya membentur tanah dengan keras. Francesca langsung menaiki tubuh wanita itu, kemudian tangannya dengan keras menahan bahu Rebecca sementara tangan lainnya menampar wanita itu.PLAK! PLAK! Dua tamparan keras diterima Rebecca tanpa bisa menghindar. Ini pertama kali dalam hidupnya, Francesca bersikap bar-bar. Tidak pernah sebelumnya dia berkelahi dengan siapapun. Tekanan yang dia rasakan selama di pulau ini, membangkitkan sikap petahanan diri."Aaargghhh!" Rebecca menjerit kesakitan. Pipinya memerah dan air mata mulai merembes keluar karena rasa sakit yang dia terima. Wanita itu marah dan berusaha membalas tamparan gadis itu.Francesca masih menghimpit tubuhSaat mendengar bunyi air sungai yang bergemericik, Enrico membalikan tubuhnya. Seketika tubuh pria itu membeku, matanya terpana menatap keindahan cipataan Tuhan dalam wujud Bidadari tak bersayap.Gadis itu berenang dengan kepala yang timbul dan tenggelam. Berputar ke depan dan ke belakang. Saat kepalanya tersembul, wajah cantik yang polos itu begitu mempesona.Jantung Enrico berdegub kencang, ketika melihat bidadari itu duduk di sebuah batu yang besar. Ia bersenandung dengan lirih sambil menggosok tubuhnya. Kulit halus dan bersih itu tersembul di sela-sela kain yang melilit tubuhnya.Pria tampan bermata biru dengan alis gelapnya yang sangat sempurna itu, tak dapat mengalihkan pandangan matanya pada sosok gadis tersebut. Tubuh gadis itu tidak terekspos, seperti halnya wanita-wanita bebas dengan bikini yang sering dia lihat.Tapi ... ada keindahan yang membuatnya terpana. Ia terpesona dengan segala perasaan yang tak dia m
Rebecca memandangi Francesca dengan mata yang ingin menguliti. Semalaman ia menunggu Enrico membawa gadis itu kembali, tapi hingga dirinya terlelap, mereka belum juga kembali.Dan pagi ini, dia melihat budak liar itu dalam keadaan baik-baik saja. Lalu apa hukuman yang sudah diberikan Enrico padanya? Hal itu membuat Rebecca semakin tidak suka. Pikiran dan perasaannya diliputi dengan tanda tanya.Mereka makan semeja lagi. Enrico, Rebecca dan Francesca. Rebecca semakin risih mengetahui dia duduk semeja dengan seorang budak, yang berderajat lebih rendah daripada seorang pelayan. Bahkan budak itu itu menyuapi Enrico dan makan satu alat makan dengan pria tampan itu."Berikan padaku, sendok dan garpu milik Enrico!" pinta Rebecca dengan ketus, saat dia melihat Enrico sudah selesai makan. Dia tahu, selanjutnya adalah giliran gadis itu yang akan menyatu dengan saliva pria tampan disampingnya.Francesca tersenyum dalam
Sepeninggal Enrico menuju perkebunan, Rebecca mulai melancarkan aksinya. Wanita itu dengan diikuti oleh Eva, menggedor pintu kamar Francesca.Sebenarnya Francesca enggan membuka pintu kamar, tetapi suara berisik yang ditimbulkan oleh kedua wanita itu, membuat ia terpaksa membukanya."Kau, Budak liar sudah berani berlagak ya!" Rebecca menerobos masuk dan melihat seisi kamar."Apa kau tahu? Baju yang kau kenakan ini, semua Enrico yang membelikannya untukku." Rebecca menepiskan pakaian yang dikenakan oleh Francesca dengan sombong."Tapi ... tidak apa-apa, kau pakai saja semua baju bekas itu. Enrico sudah membiarkan diriku membeli pakaian baru lainnya. Lagipula aku adalah anak Gubernur yang terhormat," ujar Rebecca dengan angkuh."Nona, bisakah anda memberiku beberapa pakaianmu yang indah ini?" pinta Eva dengan mata yang berbinar."Tentu saja. Kau adalah penjilat terbaik yang aku miliki." Dengan an
Tak pernah sebelumnya terjadi pada Enrico, sebuah perasaan rindu yang menyesakan. Dia adalah tipe pria yang sabar dalam menyelesaikan segala sesuatu, pekerjaan atau permasalahan.Tetapi ... saat ini bahkan dia berkali-kali ingin meninggalkan perkebunan. Rasa tak sabar menanti matahari bergulir ke arah barat, ternyata sangat menyiksa.Pria itu tak mengerti kenapa dia harus meloncat dengan cepat ke atas si Brown dan memacunya dengan cepat ke arah Kastil. Yang dia inginkan adalah melihat keadaan budak liarnya.Wanita yang seharusnya menjadi pelampiasan dendam dan amarah itu, entah mengapa perlahan bergeser menjadi wanita yang ingin dia lindungi. Perasaan benci itu entah mulai kapan bergeser.Saat tiba di Kastil, dia bahkan tidak menambatkan kudanya. Membiarkan seorang pekerja untuk melakukan hal itu. Lelaki tampan itu langsung masuk ke dalam Kastil melewati Serra yang mengangguk hormat menyapanya.Tapi ... kamar yang bi
Enrico memandang heran pada Francesca yang masih berdiri dengan sikap kaku. Setelah semua kebaikannya, gadis ini sudah berani melawan. Enrico tiba-tiba merasa terlalu memanjakan budak liar itu."Sudahlah, Sayang. Biarkan saja dia pergi. Biar aku saja yang menemanimu makan. Aku suapi yaa, aaa ...." Rebecca menyondorkan sendok yang berisi campuran kentang tumbuk dan sepotong daging.Francesca bisa melihat dari sudut matanya, saat Enrico menghindari suapan dari Rebeca. Bahkan pria itu mendorong tangan wanita cantik itu me jauhi dirinya."Aku bisa makan sendiri!" Dengan gerakan kasar pria yang bertangan kekar dan kulit terbakar matahari, memotong daging lalu memakannya.Francesca masih berdiri bagaikan seorang robot di dekat mereka. Dalam hati dia menggerutu kesal dengan penolakan Enrico. "Hi ih dasar Monster Jelek! Giliran Nona Rebecca menyuapimu, kenapa harus menolak! Menyusahkan saja. Semoga wan
"Enrico sayang. Dari mana saja kau, aku sudah menunggumu sedari tadi." Bibir Rebecca tampak mengerucut manja dengan suara yang berombak lembut.Wanita itu menghampiri Enrico dan berganyut di lengan pria tampan, yang berjalan ke arah tempat duduk tanpa menghiraukan pertanyaannya.Rebecca sudah berganti pakaian saat ini. Dia mengenakan gaun bergaris dada rendah dengan memamerkan anggota tubuhnya. Buah dada berukuran besar itu tersembul sempurna, begitu menggoda. Di bagian bawah gaun yang ia kenakan, terbelah hampir sebatas pangkal paha.Wanita cantik yang memiliki rambut hitam berkilauan, berjalan dengan langkah gemulai. Ia dengan sengaja menyibakan belahan gaun dan memamerkan pahanya yang halus.Rebecca menghampiri Enrico yang duduk menatap taman depan. Gerbang besar itu sengaja di buka sehingga deburan ombak tampak dengan jelas.Wanita dengan dandanan menggoda itu, duduk di samping Enrico. Di
Enrico benar-benar terkejut dengan apa yang dia lihat di hadapannya saat ini. Bukan sosok tubuh telanjang yang membuatnya terkejut. Tapi pemilik dari tubuh indah itu lah yang membuat dirinya merasa sangat heran saat ini.Bagaimana bisa wanita itu berada di kamar ini. Apa yang dia lakukan di tempat ini. Enrico yang masih terpaku dengan heran menatap wajah wanita di hadapannya. Ia tidak beraksi saat wanita itu mendekatinya dan menutup pintu kamar.Rebecca yang memutuskan untuk tidur, sudah melepaskan gaun tanpa bra. Dia hanya mengenakan celana dalam segitiga runcing, saat Enrico tiba-tiba membuka pintu kamar.Meskipun diawali dengan rasa terkejut. Rebecca sangat senang sekali ketika mengetahui jika yang datang adalah Enrico.Tanpa merasa malu sedikitpun, wanita yang sedang telanjang itu tersenyum lembut, melangkah dengan kaki yang menyilang, mendekati Enrico.Dia dengan sengaja menempelkan tubuhnya pada tubuh
"Nona ... ssttt kemari?" Eva menarik tangan Rebecca ke arah luar Kastil.Dia membawa Rebecca ke belakang sebuah pohon. Gadis itu menoleh ke sana dan kemari sebelum berbicara."Apaan sih Eva? Mau apa kita di sini?" tanya Rebecca gusar."Duh, Nona. Sebentar saya memastikan tidak ada yang mendengar pembicaraan kita.""Maksudmu?""Nona tahu, semalam tuan Enrico keluar dari kamar siapa?"Rebecca tersenyum. "Ooo ... ternyata kau sudah tahu?""Loh, Nona sudah tahu?" Eva merasa heran melihat Rebecca tersenyum sendiri."Tentu saja aku tahu, Bodoh. Enrico semalam keluar dari kamarku. Kita habis bermesraan, ah ... luar biasa indah rasanya." Rebecca memejamkan mata, mengingat pelepasannya dengan membayangkan sentuhan Enrico."Ooo ... berarti saya salah lihat ya." Eva mengernyitkan keningnya."Salah lihat, memangnya apa yang kau lihat?" Kali ini ganti Rebecca yang mer
SATU TAHUN KEMUDIAN "Kau sudah pastikan kalau bekal Frans sudah disiapkan Denisa?" Napas Francesca tersengal ketika menanyakan hal itu. "Iya sudah. Jangan mengkhawatirkan hal itu. Frans akan baik-baik saja." Enrico tampak memegang tangan Francesca dengan cemas. Butiran keringat dingin menghiasi kening wanita cantik yang bertambah pucat itu. Tangan dinginnya dalam genggaman tangan Enrico yang hangat. "Frans … apakah … dia menanyakanku?" Sesaat setelah rasa sakitnya mereda Francesca kembali mengkhawatirkan Frans, anak sulungnya. "Tentu saja. Dia sangat merindukanmu. Kau harus kuat dan sehat ya. Kami memerlukan dirimu." Enrico dengan sabar mengelus rambut Francesca.
"Duh, Kak Francesca cakep banget." Anna menautkan tangannya di lengan kakak perempuannya. "Kau juga cantik sekali Anna dan kau juga sangat menawan. Tak di sangka kalian bisa tampil sangat anggun dan dewasa." Di tengah keluarganya, Francesca merasa kebahagiaannya nyaris sempurna. "Kita 'kan sudah dewasa bukan anak-anak lagi," sahut Anna dan Adelaide bersamaan. "Iya, sudah bisa berpacaran." Francesca menertawakan wajah mereka yang seketika manyun. "Apa ada yang sudah memiliki pacar?" "Anna itu banyak yang 'nembak' tapi dia suka pilih-pilih." "Apaan sih, Adelle!" Semburat merah muda membuat wajah Anna bertambah cantik. "Benarkah? Sssttt pacaran saja, jangan seperti
"Nyonya Francesca Torres? Mari lewat sini." Seorang wanita yang anggun menghampiri Francesca.Francesca menatap heran ke arah seorang wanita tak dikenalnya yang bergaun indah. Sebuah alat terselip di telinga yang membuat dia bisa berkomunikasi dengan orang lain. Wanita itu segera memimpin langkah dan memisahkan Denisa dari Francesca. Meskipun heran Francesca tetap mengikuti langkah wanita yang membawa dirinya ke pintu utama.Anggukan kecil dari wanita tersebut merupakan tanda yang dimengerti oleh pengawal, mereka segera membuatkan pintu.Mata hazel Francesca seketika menyipit ketika melihat kemewahan dan kemeriahan acara di dalamnya. Dia termangu menatap ratusan pasang mata yang seketika menatap ke arahnya seolah mereka sudah menantikan kehadirannya.Musik lembut k
Francesca mematut dirinya di depan cermin, perubahan penampilan yang sangat luar biasa terjadi pada dirinya saat ini. Wajah polos, imut dan manis itu telah berubah penuh riasan memukau yang sangat dewasa dan anggun.Dia hampir tak percaya ketika Leonardo mengirimkan seorang penata rias untuk memoles wajahnya dengan warna-warni yang senada. Kecantikan Francesca tampak lebih menonjol setelah tangan-tangan tampil tersebut menghiasi wajahnya. Wajah mungilnya terlihat sangat berbeda membuatnya merasa seakan menatap sosok lain di pantulan cermin."Anda luar biasa cantik dan sangat anggun, Nyonya. Bagaikan putri dalam dongeng." Perias itu memuji kecantikan Francesca. Dia berulang kali memutari tubuh wanita cantik yang baru saja dia dandani.“Sedikit parfum lagi anda akan spektakuler." Perias itu memilih b
"Bagaimana jika mereka bahagia tanpa kehadiranku?" Francesca mengulang pertanyaan Leonardo dengan putus asa.Hati wanita itu seakan terguncang mendengar perkataan Leonardo. Benarkah kehadirannya selama ini tidak pernah memberikan kebahagian? Bagaimana mungkin semua kebahagiaan yang mereka rasakan selama beberapa bulan ini hanya sandiwara?Apakah Enrico begitu marah padanya sehingga harus pergi begitu saja.Jikalau sedari awal dia menceritakan kepada Enrico mengenai status dirinya, apakah semua ini tidak akan terjadi?"Apakah Enrico berkata seperti itu padamu?" Francesca tampak sangat tertekan.Leonardo mengangkat kedua bahunya acuh seraya menyandarkan punggung ke bangku dan menatap ke arah taman. Dia mengalihkan p
"Dad! Apa passport Anna, Adel dan Archie sudah siap?" Anna menghubungi Andrew Knight melalui video call."Sudah beres, Princes.""Lalu, kapan kita mulai berangkat?" Adelaide tiba-tiba sudah di samping saudara kembarnya."Sudah tidak sabar semua ya, my Princes?" Andrew semakin senang menggoda kedua putri kembarnya yang beranjak dewasa."Iyalah, ini kan pertama kalinya kami bisa keluar negeri." serentak Adel dan Anna menjawab perkataan Daddy Andrew."Bukannya kalian sudah pernah ke Indonesia?""Beda Daddy. Ini pertama kali kita ke Eropa dengan pesawat pribadi." Anna mencibir ke arah Andrew Knight."Benar! Iya kalau kak Conrad
Francesca benar-benar merasa terpuruk. Keadaannya sangat labil dan lemah. Wanita cantik itu terlihat kacau dan terus menangis meskipun tidak sekeras sebelumnya. Serra sudah membawa Francesca kembali ke Mansion utama dan menemani wanita itu untuk berbaring di tempat tidur, tapi Francesca menolak dan bersikeras untuk menanti kedatangan Enrico dan Frans di ruang tamu. Francesca bahkan tidak menyentuh makanan yang tersedia hanya segelas coklat hangat yang dipaksakan oleh Serra. Aroma manis dan rasanya yang legit hanya bisa sedikit saja menenangkan hati Francesca. “Ini sudah malam Serra … mereka tidak juga kembali." Suaranya terdengar serak. "Cobalah berpikir tenang dan positif. Enrico tidak mungkin menjauhkan dirim
"Wah, ada telol ayam di kepala Flans dah sekalang." Tangan mungil Frans menggosok keningnya yang sudah membengkak sebesar telur ayam.Gerakan lucu dari wajah imut yang meringis membuat Enrico tertawa sedangkan Francesca tersenyum lebar. Enrico tak hentinya membelai kepala Frans penuh kasih sayang."Muka Flans jelek ya?" Bibir mungil Flans tampak manyun."Nggak. Frans lucu, Frans tetap tampan meskipun ada telur di sini." Enrico memencet dahi anaknya."Aow! Sakit Pappa." Frans menjerit dengan sorot mata marah."Iya, maafkan Pappa. Frans kalau jalan hati-hati ya, tidak perlu berlari dengan kencang apalagi di atas lantai marmer, licin.""Tadi Flans kangen Pap
Baru saja Devonte berbalik dari pintu ruangan Enrico, dia harus kembali berhadapan dengan Francesca. Tak dapat dia gantikan wajah kecemasan dengan senyuman tenang, karena wanita itu sudah menyadarinya."Apa terjadi sesuatu? Kenapa kau tampak muram?" pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Francesca hanya dijawab dengan hembusan nafas Devonte."Apa terjadi sesuatu dengan Enrico? Kalian bertengkar? Bagaimana keadaannya saat ini?" Francesca bergerak maju melewati Devonte dan hendak memegang gagang pintu."Jangan masuk."Tangan Francesca berhenti untuk menggerakkan gagang pintu, dia membalikan tubuhnya dan menatap heran ke arah Devonte."Dia sudah tahu." Perkataan sepintas Devonte masih menimbulkan pert