"Hentikan! Aku lapar." Awalan yang tegas diakhiri dengan kalimat mendesah.
Kali ini tangan Enrico dari belakang memaksa masuk di balik penyangga bukit kembar yang sangat lembut. Remasan lembut dan ciuman di leher Francesca membuat gadis itu merasa terlena.Namun, kekerasan hati, membuat dirinya menyangkal respon tubuh. Ia mencengkeram tangan Enrico yang masih meremas dadanya dengan lembut."Tolong hentikann ... akan memalukan jika seseorang datang," rintih Francesca.Enrico dengan enggan melepaskan tangannya dari dada Francesca, membalikan tubuh gadis itu dan mulai mengecup bibirnya. Dia tidak bermaksud melepaskan gadis yang sudah berulangkali mencobai perasaannya. Tapi, Enrico juga tidak ingin Francesca semakin membenci dirinya, mengingat sikapnya yang terlalu kasar di masa lalu."Kau lapar?" Francesca mengangguk."Baiklah kita akan makan."Enrico kembali dengan
Francesca tidak ingin keluar dari kamar malam harinya. Ia membawa sepiring sandwich, kentang goreng dan minuman. Gadis itu memilih menghabiskan makan malamnya sendirian di balkony kamar, setelah memastikan pintu kamar terkunci rapat. Rasa jengkel, marah dan apapun itu semuanya di tujukan hanya pada satu mahluk, Enrico. "Dasar Monster! Kau sudah mencuri hidup dan kebebasanku, menjauhkan diri dari keluargaku, mengurung, mengancam, sekarang mempermainkan perasaanku! Aku tidak akan memaafkan dirimu!" Francesca mengunyah kentang goreng dengan kasar. Mengambil banyak potongan dan memasukan sekaligus ke dalam mulutnya. "Aku harusnya membencimu, bukan? Tapi kenapa aku harus kesal saat melihatmu bersama wanita itu? Kenapa pria tidak pernah cukup dengan satu wanita saja?" Ia kini mengunyah potongan besar sandwich dalam mulutnya sambil menatap langit yang tak berbintang. "Lihat, bintang
*** Malam ini harus indah! Sempurna karena kau sempurna di mataku! *** ********* Pria itu menyembunyikan senyuman dalam posisi wajah yang tertunduk. Dia mendengar bunyi kunci pintu yang terbuka, namun memilih tetap diam. Pria itu sengaja duduk di balkoni dalam dinginnya malam, karena ia tahu bidadarinya berhati malaikat. Dengan meringkuk ia tahu, siluet dirinya akan dapat mencairkan tembok es. Pria itu menyandarkan tubuhnya menatap bulan yang mulai menampakan dirinya perlahan. Awan mendung sudah bergeser posisi. Berganti dengan cahaya temaram bulan purnama. Langit berbintang dengan gemerlap seakan hendak menjadi saksi ketulusan hati Enrico. "Malam ini! Malam ini kau harus jadi milikku. Kau tak bisa lari lagi dariku kemanapun," gumam Enrico di tengah hembusan angin mala
"Selamat Pagi!"Enrico tersenyum lebar melihat Francesca mulai mengerjapkan matanya. Gadis itu sejenak tertegun menatap balik mata biru Enrico yang memandangnya dengan lembut.Francesca tersadar akan keadaan dirinya yang masih telanjang di dalam selimut. Ia menarik selimut itu hingga menutupi lehernya. Francesca beringsut menjauhi Enrico, ia turun dengan membawa selimut menutupi tubuhnya.Saat baru saja menjejakan kaki di lantai. Gadis itu seketika jatuh, merasakan kaki yang lemas dan bagian intimnya yang perih. 'Ah! Pangkal pahaku sakit. Lututku lemas. Aduhh apa yang dilakukan monster itu padaku," gerutunya dalam hati."Hati-hati!" Enrico turun dari tempat tidur dengan tubuh telanjang, karena selimut yang menutupi tubuhnya meliliti tubuh Francesca.Dengan cepat ia menopang tubuh Francesca untuk berdiri."Apa sakit?" tanyanya lembut.
"Ini? Apa mereka baru pertamakali melakukannya?" bisik seorang pelayan ke pelayan lainya"Darah dan ceceran ini buktinya. Lihat semua bagian tampak lengket.""Aku pikir mereka sudah melakukannya sebelum menikah.""Tuan muda memang 'Gentelment'."Mereka menatap ke arah balkoni, dengan penuh kekaguman. Saat para pelayan di perintahkan untuk membersihkan kamar, Enrico membawa Francesca untuk makan pagi di balkoni. Pria itu tak henti-hentinya mengagumi Francesca dan menyuapi."Lihat! Aku tidak pernah melihat tuan muda memperlakukan seorang wanita sebegitu lembutnya, sangat perhatian.""Kau benar. Gadis itu sungguh beruntung.""Tampaknya tuan begitu memujanya. Semoga saja, gadis itu segera hamil.""Dan mansion ini tidak akan sepi lagi." Senyuman mengembang lebar di wajah pelayan yang lebih tua."Sst! Ayo buruan. Tampaknya mereka sudah se
"Ini untukmu." Enrico memberikan sebuah kotak indah berwarna merah muda pada Francesca."Apa ini?" tanya Francesca heran.Ia belum sepenuhnya terbiasa dengan sikap baik dan mesra Enrico selama beberapa ini. Hatinya masih memberi tameng, karena siksaan dan sikap kejam Enrico di masa lalu.Alasan pria itu menculik, menjauhkannya dari keluarga dan menyakiti, masih jelas dalam ingatan Francesca. Semua karena wajah ini. Masa lalu yang masih menghantui perasaannya dan ingin dia tanyakan pada orang tua angkatnya."Bukalah," ujar Andrew dengan suara lembut.Suara yang sanggup membuat setiap wanita berteriak memujanya. Wajah tampan yang bisa membuat setiap wanita merelakan tubuhnya dan kekeyaan yang sanggup membuat setiap wanita menjatuhkan harga diri dan melenyapkan nuraninya.Sayang semua itu masih sangat sulit menembus pertahanan Francesca.Francesca perlahan membuka kotak merah muda itu dan d
"Tolong, Tuan. Jangan sakiti aku. Aku bukan Caroline ...." Gadis itu meringkuk ketakutan di pojok ruangan yang gelap dan dingin. Sementara pria yang bersamanya hanya menatap dirinya acuh. Tidak ada rasa kasihan apalagi tergerak untuk menenangkannya. "Meskipun kau bukan Caroline, dna yang sama sudah mengalir di nadimu! Dan itu tugasmu untuk membayar dosa yang sudah ia lakukan!" desis pria itu tanpa perasaan. "Aku tidak mengenal Carolineee!!!" jerit gadis itu dengan ketakutan. "Kau adalah anak kandung wanita jalang itu!" "Bukannnn!!! Dia bukan mommy-ku. Aku tidak mengenal diaaa!" jeritnya pilu. "Dan sekarang kau tahu rahasia besar tentang dirimu, bukan? Kau anak pungut yang tidak berharga." Ucapan pria itu yang meskipun dikatakan dengan tenang dan perlahan tapi bagaikan mata anak panah yang menghujani perasaan gadis itu "Hentikan! Kau bohong! Aku tidak percaya." "Kau Caroline! Harus m
"Ternyata, Enrico benar-benar tidak tertarik denganmu." Tawa Leonardo meledak.Sementara Rebecca menekuk wajahnya. Dia makan dengan kesal dan menusuk-nusuk lauk di piring dengan keras sehingga dentingan bunyi garpu yang beradu dengan piring, mengusik pendengaran.Bukan pertama kali Rebecca merayu Enrico. Tapi pria itu selalu menjaga jarak. Meskipun bukan sebulan atau dua bulan Rebecca mendekati pria itu.Bertahun-tahun ia mengenal Enrico dan selama itu pula dia sudah menyakini jika Enrico hanya miliknya. Satu persatu wanita yang menghalangi dirinya, dengan kekuasaan ayahnya yang seorang Gubernor, Rebecca membuat mereka menderita.Seringkali Enrico mengacuhkan dirinya dengan lebih memili
Hari sudah menjelang malam ketika Enrico kembali dari bekerja. Ia dengan wajah yang tampak lelah, segera masuk ke dalam Mansion dan tersenyum bahagia ketika Francesca sudah menyambutnya dengan teh madu. "Menyegarkan sekali." Enrico tersenyum setelah menegak secangkir teh madu. Lelaki itu merasa bahagia karena Francesca tidak lagi terlalu dingin dan lebih bisa bersikap normal. Meskipun, wanita itu masih saja tak banyak bicara pada Enrico. Pria itu kemudian mendekatkan diri pada Francesca, menangkup pipi gadis itu dengan kedua tangan, ia menempelkan keningnya dan mendesah. "Kau tahu seberapa besar aku merindukan dirimu. Aku menyukai saat kebersamaan kita di pulau, hanya kau dan aku." "Pulau …." "Maafkan a