"Hoeekk ... hooeekk!" Suara mual yang berulang kali terdengar di kamar mandi pagi itu membuat seisi Panti Asuhan Kasih Ibu Kartini menjadi gembar.
"Intan, apa kamu masuk angin? Mau Bunda kerokin?" Wanita berusia setengah abad itu memijit tengkuk anak asuh kesayangannya yang masih membungkukkan badannya menghadap kloset.
Kemudian Intan pun berdiri dan menjawab, "Intan minum obat aja, Bun. Paling juga sebentar udah baikan, maklum cuacanya lagi nggak menentu 'kan?"
"Ohh, ya sudah. Kamu isi dulu perut kamu pake nasi soto ayam yang Bunda bikin. Sedikit nggakpapa, yang penting nggak kosong dan bisa buat minum obat. Kuliah kamu hari ini apa mending libur aja?" ujar Bunda Kartini merangkul bahu Intan seraya berjalan keluar dari kamar mandi menuju ke meja makan.
"Iya, Bun. Terpaksa begitu, Intan bolos sehari kuliahnya. Besok lihat catatan kuliah teman Intan aja," jawab gadis itu sembari duduk di meja makan panjang bersama adik-adik yang sama-sama menjadi anak asuh di panti asuhan Bunda Kartini.
Namun, ketika kuah soto dituang oleh Bunda Ranita di mangkuk yang ada di hadapan Intan. Sontak saja perut gadis itu kembali bergolak tak tahan dengan aroma masakan tersebut. Intan pun berlari lagi ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya yang nyaris kosong dan hanya cairan kekuningan yang tak lain adalah asam lambung.
Bunda Ranita dan Bunda Kartini saling bertukar pandang penuh arti, mereka berdua sudah menjalani kehidupan hampir setengah abad lamanya dengan asam garam kehidupan yang naik turun jalannya. "Biar aku yang ajak Intan bicara, Ran!" ujar Bunda Kartini menghela napas dengan wajah sedih.
Ketika Intan selesai mual di kamar mandi, dia masuk ke kamarnya dan berbaring miring di ranjangnya membelakangi pintu. Bunda Kartini menghampirinya dan duduk di tepi ranjang berukuran queen size itu, dia berkata sembari menatap wajah pucat Intan, "Nak, kalau boleh dijawab dengan jujur ... apa kamu melakukan hubungan dengan pacar kamu tanpa pengaman baru-baru ini? Bunda nggak akan menghakimi kamu."
Gadis belia itu pun menangis tergugu tak mampu menjawab pertanyaan Bunda Kartini. Namun, wanita paruh baya berwajah teduh tersebut mengerti bahwa jawabannya pastilah iya. Dia pun menghela napas dengan berat. Kemudian sekali lagi Bunda Kartini bertanya, "Apa kamu sudah memeriksa dengan test pack kehamilan keadaaan kamu, Intan?"
"Sudah. Garis merahnya dua, Bunda. Maafkan Intan ... huhuhuu!" jawab Intan menangis penuh penyesalan karena telah mengecewakan ibu angkatnya itu dan menyimpang dari ajaran baik yang telah diterimanya selama tinggal di panti asuhan.
Kedua wanita berbeda generasi itu pun saling berpelukan. Bunda Kartini berusaha menenangkan tangis perempuan muda itu dengan mengelus-elus punggungnya. "Intan, pacarmu harus bertanggung jawab dengan anak yang kamu kandung. Coba temui dia dan bicarakan baik-baik langkah selanjutnya!" saran Bunda Kartini tanpa memarahi Intan.
Gadis itu pun sambil sesenggukan mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baik, Bunda. Siang ini Intan akan ajak dia ketemuan. Semoga Zayn akan menjadi pria yang bertanggung jawab," sahut Intan menghela napas dalam-dalam berusaha berpikir positif.
"Bunda buatkan bubur ayam gurih aja ya biar perut kamu ada isinya. Sebentar—" Dengan segera Bunda Kartini keluar menuju ke dapur memasak bubur untuk Intan.
Sesuai dengan perjanjiannya dengan Zayn, gadis itu pun dijemput di halte bus yang terletak 5 blok dari panti asuhan tempat tinggalnya. Sebuah mobil Porsche warna hitam menepi di halte bus dan segera saja Intan masuk ke dalamnya.
Zayn tersenyum tampan seperti biasanya di balik kaca mata hitam yang bertengger di pangkal hidung mancungnya. "Hai, Intan Sayang. Tumben bolos kuliah. Kenapa nih, Mahasiswi Teladan?" sapanya menoleh sekilas menatap pacarnya.
"Kita perlu ngobrol serius, Zayn. Cari cafe yang dekat sini aja ya biar enak nggak di jalan raya," pinta Intan karena topik yang akan mereka bicarakan pastinya sangat sensitif.
"Hmm ... oke deh. Tuh ada Cafe Bianglala, kita ke sana aja," putus Zayn lalu mengarahkan mobil sedan mewahnya memasuki halaman parkir cafe luas yang berlokasi tak jauh dari tempat tinggal Intan. Dia memarkir rapi mobilnya dan membantu Intan turun dari mobil seperti biasanya.
Setelah mereka berdua memesan minuman di cafe ke waitress, Intan pun mengambil sebuah benda dari dalam tas tangannya. Kemudian ia meletakkannya ke atas meja dan menyodorkan test pack bergaris merah dua itu ke hadapan Zayn.
Pemuda itu mengerutkan dahinya lalu bertanya, "Apaan nih, Tan?"
"Gue hamil, Zayn. Ada janin buah cinta kita di dalam perutku ini," tutur Intan berusaha tetap tenang sekalipun ia tak yakin dengan tanggapan pacarnya itu.
"Gugurkan janin itu, Tan! Ngapain juga lo bilang ke gue. Kita masih muda, lagian lo baru juga semester 2 'kan, masa mau putus kuliah gara-gara hamil?!" desak Zayn berkelit dari tanggung jawabnya atas benih yang telah dia tanam di rahim kekasihnya.
"ZAYN! Lo mau lari dari tanggung jawab 'kan?!" tuduh Intan sengit menatap tajam pemuda itu dengan telunjuk teracung lurus.
Tawa pongah meluncur dari Zayn. "Hahaha, dasar perempuan naif! Mana ada anak konglomerat mau menikahi gadis yatim piatu seperti lo! Kita memang menikmati momen-momen manis itu bersama, tapi ... nikahin elo? Nanti dulu!"
"Tapi ... tapi, lo selalu bilang kalo lo tuh cinta banget sama gue 'kan, Zayn? Apa semua itu cuma gombal?" ucap Intan dengan tubuh lunglai di kursinya serasa dunianya runtuh di bawah pijakan kakinya. Dia telah menyerahkan miliknya yang paling berharga kepada Zayn dan segala perasaan cinta yang tanpa syarat kepada kekasihnya. Namun, inikah balasannya?
Tangis Intan pecah tak terkendali ketika waitress cafe tadi menyajikan minuman dingin pesanan mereka berdua di meja. Gadis pelayan restoran itu penasaran ada apa sebenarnya dengan muda mudi tersebut, tetapi dia tidak boleh mencampuri urusan tamunya. "Silakan minumannya, kalau butuh yang lainnya bisa panggil saya atau rekan lainnya yang siap melayani!" ujarnya sebelum berlalu dari meja itu.
"Huhh, lo bikin malu gue aja, Tan. Nongkrong di cafe malah jadi pusat perhatian begini, berhenti nangis lo!" bentak Zayn sinis.
Intan menutup mulutnya dengan telapak tangannya untuk meredam isakan tangisnya. Dia tak tahan lagi berhadapan dengan pacarnya yang penuh dengan kepalsuan. Cinta yang dulu diagung-agungkan olehnya tak lebih dari sekadar dusta. Lantas bagaimana dengan nasib calon anaknya? Dia tak tega membunuh nyawa janin yang tak berdosa, yang berdosa adalah kedua orang tuanya.
"Zayn ... apa nggak ada jalan lainnya selain membunuh calon anak kita ini? Hiks hiks ... dia nggak bersalah dan berhak untuk hidup!" bujuk Intan mengiba sembari menggenggam tangan Zayn erat-erat.
"Alaa—jangan-jangan lo cuma ngincer harta gue 'kan? Dasar cewek matre! Picik pikiran lo ternyata ya. Hmm ... gue baru tahu sifat asli lo, kirain lo tuh cewek pinter yang mandiri dan nggak bergantung sama cowoknya. Salah gue nilai lo, Tan. Kita putus!" Zayn mengatakan segala tuduhan kejinya kepada Intan dan mengakhiri hubungan mereka yang telah terjalin semenjak SMA.
Tatapan Intan nanar mendengar kata putus dari Zayn. Dan pemuda itu pun menaruh selembar uang rupiah merah di meja serta memanggil waitress dengan kode tangan yang terangkat. Kemudian dia melenggang pergi begitu saja, meninggalkan Intan sendirian di meja itu.
Segera saja Intan mengejar Zayn hingga ke parkiran mobil di halaman depan cafe. "Zayn, tunggu gue!" panggil Intan seraya meraih lengan pemuda itu.
Namun, dengan tega Zayn menepis tangan Intan hingga dia terjerembap di tanah. "Lo jangan pikir gue bakal kasihan. Lo—gue end! Pergi lo, Cewek Murahan! Jangan coba-coba hubungi gue lagi. Paham?!" seru pemuda itu kasar dengan tampang jijik lalu naik ke mobil Porsche miliknya meninggalkan Intan yang sendirian duduk menangis penuh penyesalan di atas parkiran cafe.
"Huhh ... sial ... sial ... sial!" teriak kesal Zayn sembari memukul gagang setir mobilnya. Tak dipungkiri hatinya masih tak rela mengakhiri hubungannya dengan Intan baru saja."Gue udah ingetin bolak-balik pake pil kontrasepsi biar kagak kebobolan. Dasar perempuan tolol, rusak semua jadinya!" maki pemuda itu penuh amarah di dalam mobilnya yang melaju kencang menuju ke rumah keluarga Pradipta di pinggiran kota Jakarta yang tenang.Tak biasanya Zayn pulang ke rumah itu, tetapi kali ini mamanya mengiriminya pesan agar dia hadir makan malam bersama di sana. Ucapan mamanya itu mutlak harus dipatuhi kalau masih menginginkan suport materi secara penuh. Bendahara di keluarga Pradipta adalah mamanya, Nyonya Selvi Ratna Pradipta. Sedangkan, papanya yaitu Bramantyo Muis Pradipta hanya tahu mencari nafkah dan menambah pundi-pundi kekayaan keluarga mereka. Pak Bram hanya tahu beres atas segala pengaturan istrinya yang memang jago menaruh pos-pos keuangan keluarga. Hubungan Zayn dan Intan memang
Dari kaca jendela kamarnya yang ada di lantai 2 Zayn menyaksikan kepergian dua orang wanita berbeda generasi itu berjalan kaki berangkulan menuju pintu gerbang rumahnya. Dia sudah dapat membayangkan pertemuan Intan dan ibu asuhnya dengan mamanya. Pastilah teramat menyakitkan hati.Pria muda itu menghela napas dalam-dalam dengan kedua tangan terbenam di saku celana panjang kainnya. Tiba-tiba pintu kamar Zayn diketok dari luar."Masuk, nggak dikunci kok!" ujar Zayn ringan dengan punggung masih membelakangi pintu kamarnya.Ternyata mamanya yang mengunjunginya, wanita itu menghampiri Zayn di depan jendela kaca yang tertutup. "Perempuan yang bernama Intan itu hamil dan ingin meminta pertanggung jawabanmu, Nak. Mama memberikannya cek giro untuk dicairkan di bank sebanyak 100 juta rupiah," cerita Nyonya Selvi."Ma, jangan kasih dia duit. Enak aja duit sebanyak itu dikasih cuma-cuma!" protes Zayn keras dengan alis berkerut. "Ohh ... Mama tadi pikir biar dia nggak ganggu kamu lagi, Zayn. Kamu
Pak Rusli, manager bank tempat Intan akan mencairkan cek giro dari mama Zayn itu ikut panik. Beliau pun menelepon Nyonya Selvi harus dibawa ke rumah sakit mana karena bingung."Ohh ... baik—baik, saya mengerti. Akan saya bawa ke rumah sakit itu, Bu Selvi!" jawab Pak Rusli sebelum menutup panggilan teleponnya. Kemudian dia memanggil sopir pribadinya untuk menjemput di depan pintu keluar bank.Bunda Kartini tidak menaruh curiga sedikit pun dan malah berterima kasih karena manager bank swasta tersebut mau direpotkan mengurusi Intan yang pingsan. Mobil Expander hitam tersebut melaju kencang menuju ke Rumah Sakit Persada Medika. "Terima kasih lho, Pak Rusli atas bantuannya!" ujar Bunda Kartini di dalam mobil yang masih dalam perjalanan ke rumah sakit."Tidak perlu sungkan, Bu. Kasihan Mbak Intan ini 'kan sedang hamil muda. Takut janinnya terganggu karena syok. Semoga saja dokter di sana bisa merawat ibu dan janinnya dengan baik," jawab Pak Rusli yang memang tidak begitu paham persoalan I
Durasi panjang penerbangan dari Jakarta sampai Swiss berakhir sudah. Hari pun telah petang di negara teraman dan terbersih sedunia itu. Zayn bersama asisten pribadinya mengantre untuk turun dari pesawat. Mereka mengambil koper barang bawaan di bagian pengambilan bagasi lalu Martin mendorong troli berisi 4 koper besar yang 3 di antaranya adalah milik tuan mudanya."Siapa yang jemput kita di bandara, Martin?" tanya Zayn dengan cuek. Penampilannya begitu keren dengan mantel Burberry mahal warna blue navy dan kaca mata Gucci yang bertengger di hidung mancungnya.Martin pun menjawab, "Ada sopir pribadi dari perusahaan papanya Mas Zayn yang jemput. Nah itu dia bawa papan nama kamu, Mas!" Dia menunjuk ke kerumunan penjemput penumpang penerbangan internasional.Seorang pria berambut pirang sebahu bertampang bule memegangi papan kertas bertuliskan nama lengkap Zayn. Dia mengenali pemuda yang akan dijemputnya itu dari kejauhan karena sudah dikirimi foto Zayn via email sehari sebelumnya oleh Mar
Setelah kuliah pagi berakhir, Intan menemui kepala bagian akademik untuk menghadiri surat panggilan yang diterimanya kemarin di alamat panti asuhan domisilinya. "Selamat pagi. Silakan duduk, ini benar Intan Malika Kahiyang ya?" sapa Pak Widagdo Prasojo, kabag akademik kampus tempat Intan berkuliah.Intan berjabat tangan lalu duduk di sofa seberang Pak Widagdo, dia menjawab, "Selamat pagi, Pak Wid. Benar, saya Intan. Kemarin siang ada surat yang dikirim dari kampus ke tempat tinggal saya. Ada apa ya?""Baik. Memang benar surat tersebut dikirim untuk Mbak Intan. Sebelumnya saya mau meminta maaf karena harus menyampaikan kabar buruk. Jadi beasiswa penuh untuk Mbak Intan dicabut dari pusat. Silakan untuk semester berikutnya, kalau kuliah ingin dilanjutkan bisa dibayar dengan pembiayaan mandiri," tutur Pak Widagdo Prasojo dengan nada tenang. Dia hanya penyambung lidah dari dekanat dan juga bagian administrasi mahasiswa.Seperti mendengar petir di siang bolong, Intan sontak terkejut. Dia l
Sekalipun semester depan Intan tak lagi bisa menikmati beasiswa kuliah gratis. Namun, sisa dua bulan ini dia manfaatkan dengan sungguh-sungguh untuk belajar di kampusnya.Untungnya jadwal kuliahnya selalu pagi dan seusai pelajaran usai, Intan bisa berangkat kerja ke restoran. Kehamilannya masih belum kentara karena ia memang memakai pakaian bermodel longgar. Intan kuatir majikannya tak akan mengizinkannya bekerja bila tahu ia sedang hamil karena pekerjaan kasar yang dijalaninya memang menguras tenaga bagi orang normal. Apalagi bagi wanita hamil muda sepertinya."Intan, kalau kamu sudah selesai mengepel restoran, cuci peralatan dapur ya!" perintah manager restoran The Starlight dari ambang pintu dapur. Dia cukup puas dengan pekerjaan Intan yang cekatan dan tidak banyak bicara saat sedang bekerja."Siap, Bu Dyah!" jawab Intan sambil buru-buru menyelesaikan lantai yang tersisa untuk dipel olehnya.Setelah itu dia mengangkat ember dan gagang alat pel untuk dibersihkan di WC belakang resto
"Zayn, tunggu aku!" panggil seorang gadis berambut pirang bergelombang yang berlari-lari kecil di koridor depan ruang kuliah.Pemuda yang menenteng tas ransel hitam di bahu kirinya itu membalik badan dan menunggu hingga gadis tadi berhenti di hadapannya. "Ada apa, Lea?" tanya Zayn cuek.Azalea, teman sekelas kuliah Zayn itu bertanya, "Apa kau ingin mengunjungi perpustakaan?""Yap, apa kau mau ikut?" sahut Zayn singkat seraya meneruskan perjalanannya menuju sayap barat area kampusnya."Tentunya. Bisakah kau membantuku belajar anatomi tulang manusia?" pinta Azalea dengan nada manja sambil bergelanyut di lengan pemuda itu.Dan Zayn membiarkan Azalea berlaku sok mesra dengannya. Tak ada ruginya pikir Zayn. Gadis itu berasal dari keluarga konglomerat asal Perancis, dia berkenalan dengan Azalea pada awal perkuliahan karena mereka duduk bersebelahan."Aku ini guru yang galak, apa kamu tidak takut?" Zayn melirik tajam ke wajah Azalea dengan sengaja. Mereka memasuki gedung perpustakaan dengan
"Gimana rasa masakan koki rumahku, Lea?" tanya Zayn sembari menikmati segelas red wine Portugis yang bercita rasa manis dan memabukkan sebagai penutup makan malamnya bersama Azalea. "Sempurna. Aku menyukai semua hasil karya koki rumahmu, itu seperti hidangan ala chef bintang Michelin. Aku tidak keberatan bila kau undang makan malam lagi kapan pun, Zayn!" jawab Azalea memuji sang koki. Pipinya memerah seperti apel karena efek minuman anggur merah yang diminumnya. Pemuda itu mengangguk dan tersenyum, dia menanggapi perkataan Azalea, "Karena aku akan menawanmu malam ini di sini. Besok pagi kau akan kuberi makan dengan sarapan pagi dari Chef Alfredo lagi." "Ohh Gosh! Apa kau serius, Zayn?" balas Azalea bimbang. Dia masih perawan dan orang tuanya tak akan senang bila dia melakukan pergaulan bebas. "Kita harus menghabiskan malam yang dingin ini dengan berbagi kehangatan bukan?" jawab Zayn santai, devilish smirk di wajahnya membuatnya bertambah tampan serta menantang. Dia pun meletakkan
Dengan pikiran buntu dan hati yang panas Zayn berjalan kaki di trotoar setelah meninggalkan kediaman Richermond. Harapan terakhirnya pupus sudah. Semua gara-gara pria sialan keturunan Adira Lukmana itu! Zayn merutuki Jovan.Ketika sampai di sebuah halte bus, Zayn memilih untuk duduk sendiri bengong meratapi nasibnya yang naas. Dia seharusnya menjadi pewaris tunggal aset kekayaan mendiang papanya. Namun, semua tidak bisa diusut. Pengacara keluarga Pradipta malah tersandung kasus hukum hingga masuk bui. Dia sekarang luntang lantung hanya punya dompet dan HP saja. Entah barangnya di kost sudah dibuang ke mana oleh pengelola tempat tersebut atau pula disimpan kalau orangnya baik hati. Zayn belum sempat pulang ke kost. Sebuah mobil sedan Ferrari merah berhenti tak jauh dari halte bus tempat Zayn duduk bengong sendirian di sana. Seorang wanita dengan penampilan heboh dan riasan tebal mendekati Zayn."Hai, apa Mas lagi butuh pekerjaan? Kenalkan namaku Mami Rosa. Aku suka wajah dan perawaka
"Bebaskan saja dia dari tuntutan hukum, Pak Sondang Sirait. Saya lebih senang kalau Zayn menghidupi dirinya sendiri di luar penjara. Cabut laporan kasus saya dari kepolisian ya!" tutur Dokter Maya Suratih pasca sembuh dari cedera di kepalanya.Kepalanya memang bocor di sisi kiri akibat dipukul oleh mantan suaminya itu menggunakan trofi yang terbuat dari kaca. Sungguh tragis justru dia dilukai dengan trofi favorit kebanggaannya sebagai rumah sakit favorit konsumen 6 tahun yang lalu. Saat itu Rumah Sakit Permata Indah Medika masih dipegang managemen lama belum diakuisisi oleh grup Richermond, jadi rumah sakitnya menjadi pilihan utama pasien ibu kota.Usut punya usut, mantan suaminya pernah punya masa lalu hingga memiliki anak haram dengan komisaris utama rumah sakit tersebut. Namun, Dokter Maya menganggap rahasia kelam itu sebatas cukup tahu saja.Pengacara kepercayaan Dokter Maya pun menjawab disertai peringatan, "Baik kalau itu yang diinginkan oleh Bu Dokter Maya. Saya cabut berkas pe
Dini hari sekitar pukul 03.00 WIB Mariana merasakan bagian paha dalamnya dialiri air hangat. Awalnya dia berpikir sedang bermimpi dan mengompol. Namun, ketika merabanya dan mendapati bahwa itu sepertinya air ketubannya ia segera menggoyang-goyang bahu suaminya."Mas Jovan, aku pecah ketuban!" ucapnya sedikit panik karena hampir melahirkan.Jovan yang tadinya masih mengantuk karena baru tidur beberapa jam setelah beberapa putaran bercinta dengan Mariana semalam segera bangun lalu duduk di ranjang. Dia bertanya, "Kuantar ke rumah sakit sekarang ya?""Iya, Mas. Ganti baju dulu. Panggil Pak Sapto buat anterin kita," jawab Mariana lalu perlahan bangkit dari tempat tidur dengan perutnya yang sangat besar. HPL memang besok sebetulnya, wajar lebih cepat sehari. Berat janin terakhir sudah 3.4 kilogram sudah cukup untuk dilahirkan kata Dokter Royce Adler. Mariana mengganti gaun tidurnya yang basah dengan daster batik berkancing depan agar mudah berganti baju pasien nanti di rumah sakit.Setela
"Permisi, Bu. Saya Zayn Alarik Pradipta, kliennya Om Charles. Apa beliau ada di tempat?" ujar Zayn berusaha menemui pengacaranya yang berjanji akan membantu mengurus masalah hak warisnya yang sulit diproses karena surat-surat habis terlahap api saat kediaman Pradipta kebakaran tempo hari.Wanita yang berjaga di bagian front desk kantor firma pengacara serta notaris Hutapea and Friends menghela napas mengulang kalimat yang sama untuk kesekian kalinya ke klien bosnya. "Maaf ya, Mas. Sepertinya saya nggak bisa memberi tahukan sampai kapan beliau tidak bisa memproses kasus hukum Anda. Pak Charles Hutapea tersandung kasus money laundry pejabat pemerintahan sehingga harus ditahan di Rutan Salemba untuk sementara," terang Bu Dyah Pertiwi, karyawati berusia setengah abad itu kepada Zayn yang mendadak bengong."Ta—tapi, perkara hak waris saya gimana dong, Bu? Mungkin rekan Om Charles bisa bantu?!" kejar Zayn, dia risau uang tabungannya tak mampu mencukupi kebutuhan sehari-harinya. "Bisa, sil
Jorges D'Argentine mengusap sudut matanya yang basah. Di sisinya, puteri kesayangannya mengenakan gaun putih sederhana dengan model sabrina mermaid dress memegang lekuk lengannya berjalan dalam langkah anggunnya menuju ke sebuah gazebo berhias mawar putih.Pagi yang sejuk tanpa tertutup lapisan salju di Danau Biel menjadi hari pernikahan sakral yang dinantikan oleh Patrick Olsen. Setelah perjuangan tanpa henti selama berbulan-bulan bolak-balik Jakarta-Genewa, segalanya terbayar lunas. Pada akhirnya Mariana melepaskan kepergian dokter spesialis obsgyn andalannya kembali ke Swiss untuk seterusnya. Dokter Royce Adler yang terikat kontrak menggantikan dirinya sebagai dokter praktik di poli obsgyn rumah sakit jaringan Richermond.Wanita pujaan hatinya yang mungkin adalah jawaban doanya untuk seorang kekasih yang baik hati itu melangkah di seberangnya bersama Tuan Jorges D'Argentine, papanya. Sama seperti calon papa mertuanya, Patrick pun menitikkan air mata haru yang membuat tamu undangan
Sudah beberapa bulan berlalu semenjak pernikahan resmi antara Zayn dan Dokter Maya. Rumah tangga mereka nampak harmonis tanpa ada pertengkaran yang berarti. Namun, sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan terjatuh jua.Memang Zayn sudah mendapat mobil baru untuk akomodasinya pulang pergi ke rumah sakit dan bepergian sendiri. Dokter Maya berangkat ke tempat kerjanya tanpa suaminya seusai sarapan pagi bersama. Dia tidak menaruh curiga sama sekali seperti apa kelakuan Zayn di balik punggungnya.Kehidupan seksual pasangan pengantin baru itu pun sangat aktif nyaris setiap malam mereka bermesraan. Itu pun Dokter Maya bukan hanya dihajar satu atau dua ronde di atas ranjang. Maka dari itu dia tidak pernah berpikir masih ada hasrat yang tak tersalurkan oleh suaminya. Akan tetapi, sesuatu yang tak pernah ia duga terjadi di bawah atap rumahnya.Pintu kamar tidur Zayn diketok tiga kali sebelum dibuka perlahan dari luar. Seorang perempuan berambut panjang hitam legam tergerai sepunggung masuk
Dokter Patrick Olsen mencoba mensiasati kesulitannya untuk resigned dari rumah sakit tempat bekerjanya saat ini dengan mengumpulkan jatah cutinya selama beberapa bulan terakhir. Memang mencari dokter spesialis yang bagus tidak mudah, biasanya dokter yang sudah berpengalaman terkontrak praktik di rumah sakit lain. Sedangkan, dokter yang baru lulus pendidikan spesialis masih butuh menimba pengalaman di meja praktik. Adik angkatan sealmamaternya yang diterima bekerja di rumah sakit jaringan Richermond masih di bawah pemantauannya dan dokter senior poli obsgyn lainnya. Kini dia harus berpesan dengan serius kepada Dokter Royce Adler selama mengambil cuti seminggu penuh."Dokter Royce, kuharap kau ingat semua tips dan trick praktik obsgyn yang sudah kuajarkan kepadamu. Ingat-ingat itu semua selama aku pergi seminggu ke Swiss, okay?" ujar Dokter Patrick duduk berhadapan di ruangan praktiknya bersama Dokter Royce Adler.Pria berambut model taper fade warna pirang itu menyeringai jenaka. "He
"Untuk apa perjanjian pranikah ini, Pak?!" bentak Zayn setelah membaca judul berkas yang disodorkan oleh notaris Dokter Maya Suratih kepadanya di ruang tunggu kantor dinas kependudukan Jakarta Pusat.Pak Rian Fantoni yang dipercaya oleh Dokter Maya mewakilinya sebagai pihak legal dalam setiap perjanjian hukum yang dia buat menjawab standar saja pertanyaan Zayn, "Ini sudah jadi keputusan klien saya, Pak. Zaman sekarang harus serba hati-hati terutama Bu Maya itu seorang wanita sukses dengan banyak harta. Kalau Anda menolak mungkin pernikahan ini tidak bisa terlaksana. Kami nantikan itikad baiknya untuk menanda tangani perjanjian pranikah tersebut!"Kening Zayn berkerut dalam, dia tak menyangka bahwa dalam dua pernikahan dia harus selalu diatur dengan perjanjian pranikah. Harta terpisah, tak ada gono gini setelah bercerai. Hatinya terasa dongkol, niatnya mendapat cipratan harta kekayaan Dokter Maya pun pupus sudah. Apa gunanya jadi suami kere setelah menikahi janda kaya raya itu? pikir Z
"Mas Zayn, maaf. Bukannya tidak bisa diurus hal warisnya, tapi butuh waktu yang tidak diprediksi lamanya karena semua berkas penting habis dilahap api dalam kebakaran rumah tempo hari," tutur Charles Hutapea, pengacara langganan keluarga Pradipta. Kemudian Zayn membalas, "Apa mendiang papa nggak membuat surat warisan semasa hidup dulu, Om?" Sebuah gelengan dengan raut wajah prihatin itu disertai jawaban, "Beliau tidak ingin berpikir cepat meninggal dunia waktu saya menyarankan dulu, Mas. Sayang sekali ketika jatuh sakit, saya tidak tahu karena memang sibuk dengan pekerjaan dan Pak Bram pun sama sekali tidak menghubungi saya lagi.""Ckkk ... payah sekali, lantas jalan keluar yang bisa saya tempuh apa dong, Om? Eman-eman sekali warisan ratusan milyar itu nilainya!" Zayn berdecak kesal dengan wajah tertekuk bersandar di sofa kantor pengacara kondang tersebut.Charles Hutapea beranjak berdiri lalu mengambil sebuah map berkas di rak dokumennya. Dia pun duduk kembali dan menyodorkan sebua