Pak Rusli, manager bank tempat Intan akan mencairkan cek giro dari mama Zayn itu ikut panik. Beliau pun menelepon Nyonya Selvi harus dibawa ke rumah sakit mana karena bingung.
"Ohh ... baik—baik, saya mengerti. Akan saya bawa ke rumah sakit itu, Bu Selvi!" jawab Pak Rusli sebelum menutup panggilan teleponnya. Kemudian dia memanggil sopir pribadinya untuk menjemput di depan pintu keluar bank.
Bunda Kartini tidak menaruh curiga sedikit pun dan malah berterima kasih karena manager bank swasta tersebut mau direpotkan mengurusi Intan yang pingsan.
Mobil Expander hitam tersebut melaju kencang menuju ke Rumah Sakit Persada Medika.
"Terima kasih lho, Pak Rusli atas bantuannya!" ujar Bunda Kartini di dalam mobil yang masih dalam perjalanan ke rumah sakit.
"Tidak perlu sungkan, Bu. Kasihan Mbak Intan ini 'kan sedang hamil muda. Takut janinnya terganggu karena syok. Semoga saja dokter di sana bisa merawat ibu dan janinnya dengan baik," jawab Pak Rusli yang memang tidak begitu paham persoalan Intan dan keluarga Pradipta.
"Amin," sahut Bunda Kartini yang memeluk Intan yang duduk bersandar dalam kondisi tak sadarkan diri di bangku tengah mobil.
Akhirnya setelah beberapa lama mobil Expander hitam tadi sampai di depan pintu masuk IGD Rumah Sakit Persada Medika. Beberapa para medis menjemput Intan dengan brankar untuk dibawa masuk ke poli IGD.
Ternyata pengaturan telah dibuat oleh Nyonya Selvi. Rumah sakit swasta itu memang dimiliki oleh keluarga Pradipta, jadi dia bisa menyuruh dokter kepercayaannya menjalankan perintah yang dia suruh diam-diam.
Dokter Sandoro Gumilang memberi arahan kepada paramedis, "Kalian berdua bawa pasien ini ke ruang OK, saya yang akan menangani keluhan kesehatannya!"
Kedua paramedis itu tahu fungsi ruang OK adalah untuk tindakan operasi, mereka pun saling bertukar pandang ada apa sebenarnya dengan pasien yang pingsan tersebut hingga perlu dioperasi. Namun, mereka hanya diam dan menuruti perintah Dokter Sandoro untuk membawa pasien wanita muda tersebut ke ruang OK.
Ruangan yang berpencahayaan redup dengan lampu operasi yang menyorot tubuh pasien itu terasa dingin oleh AC yang dipasang dengan suhu 17° Celcius. Intan pun merasa tak nyaman dengan perubahan suhu yang cukup mendadak dan dia pun terbangun dari pingsannya. Dengan terkejut bercampur bingung dia pun bertanya lemas, "Dimana aku? Kalian siapa? Mau apa denganku?"
"Tenang, Saudari Intan. Kami akan segera menolong Anda," jawab Dokter Sandoro yang justru membuat Intan tambah panik ketika melihat pakaian dokter tersebut seperti akan melakukan operasi lengkap dengan sarung tangan latex dan masker wajah serta topi bedah.
"Apa saya akan dioperasi? Untuk apa?!" seru Intan mencoba bangun dari ranjang pasien.
Dokter Sandoro memberi kode ke perawat serta paramedis untuk memegangi tubuh Intan yang akan segera diberi suntikan obat pembiusan epidural sebelum operasi kuret.
Namun, Intan beritikad untuk kabur karena jelas situasinya sangat janggal. Dia sehat dan tidak butuh operasi apa pun kecuali mungkin kandungannya akan digugurkan oleh tim medis tersebut.
"PRAAANGG ... PRAAANNGG ... KLONTANG!" Suara berisik dari alat-alat medis di sekitar ranjang pasien tempat Intan tadinya berbaring dilempar sembarangan hingga berhamburan ke lantai karena perempuan muda itu melawan dan bergegas menghindari sergapan perawat serta paramedis dari berbagai sisi.
Aksi kejar mengejar di dalam ruang OK begitu menegangkan, Intan melempar alat-alat medis yang dapat terjangkau oleh tangannya. "Biarkan aku pergi! Ini tidak benar, kalian pasti malpraktik. Akan kulaporkan ke polisi kalian semua!" teriak Intan mencoba membuat takut orang-orang yang berada dalam ruangan redup tersebut.
Ketika perawat dan paramedis yang akan menangkapnya merasa bimbang dengan tuduhan Intan, tanpa membuang kesempatan dia berlari menuju ke pintu keluar. Beruntung Intan berhasil kabur sekalipun masih dikejar-kejar beberapa paramedis laki-laki untuk coba ditangkap.
Tanpa alas kaki Intan berlarian di koridor rumah sakit dan ketika sampai di bagian ruang tunggu pendaftaran dia melihat Bunda Kartini sedang duduk menunggu antrean untuk dipanggil petugas.
"BUNDA! Kita harus cepat pergi dari sini. Mereka akan menggugurkan janinku. Ayo cepat sekarang!" teriak Intan panik dengan wajah pucat pasi dan tangan yang dingin seperti es memegangi lengan Bunda Kartini.
Wanita tua itu syok seakan tak percaya dengan perkataan Intan, tetapi Bunda Kartini mengiyakan ajakan Intan untuk pergi secepatnya dari situ. Mereka pun berlari-lari kecil menuju pintu keluar rumah sakit dan untungnya ada taksi yang baru saja menurunkan penumpang.
"TAKSI!" seru Intan menghentikan sopir taksi tersebut agar mengangkut mereka berdua pergi dari rumah sakit.
Beberapa para medis yang ditugaskan mengejar Intan menoleh ke kanan kiri celingukan mencari-cari pasien kabur tersebut. Namun, mereka tak akan menemukan perempuan itu karena Intan telah dibawa pergi oleh taksi ke jalan raya untuk pulang ke panti asuhan.
Di dalam mobil yang tengah melaju stabil, Intan menangis karena emosi yang bercampur aduk. Dia masih mengenakan pakaian pasien operasi warna biru muda.
"Maafkan, Bunda ya, Nak. Bunda tidak tahu kalau ada rencana jahat untuk melenyapkan janinmu itu. Tadinya Bunda mengira hanya perawatan biasa karena usai diterima di poli IGD lalu perawat jaga meminta Bunda mengisi formulir pendaftaran pasien di bagian resepsionis depan. Tadi pun antreannya panjang sekali, makanya Bunda tidak tahu kalau kejadiannya yang menimpa kamu seperti itu!" terang Bunda Kartini yang diwarnai nada penyesalan sembari merangkul bahu Intan yang masih terisak-isak.
"Mereka jahat—pasti ada yang menyuruh dokter melakukan operasi pada Intan. Itu rumah sakit milik keluarga Zayn, segalanya pasti disetir oleh mama atau papanya Zayn," duga Intan yang sedikit banyak mengetahui latar belakang keluarga mantan pacarnya.
Bunda Kartini menghela napas dalam-dalam sembari menggeleng-gelengkan kepalanya merasa prihatin. Beliau berkata, "Sebaiknya kamu jangan hubungi lagi keluarganya Zayn. Jangan sampai janin itu kenapa-kenapa. Mungkin kita orang miskin, tapi bukan berarti harus menggadaikan hati nurani sebagai pembunuh nyawa tak bersalah."
"Bunda benar, Intan akan rajin mencari nafkah dan menabung untuk kebutuhan biaya melahirkan nanti. Jangan pernah Zayn dan keluarganya mencari lagi anak Intan ini. Mereka tak punya belas kasihan sama sekali!" tegas Intan dengan kebulatan tekad. Dia tak mau mengemis simpati dari keluarga Pradipta maupun ayah jabang bayinya satu kalipun lagi.
Akhirnya taksi yang membawa Intan dan Bunda Kartini sampai di depan pintu gerbang panti asuhan. Mereka berdua turun usai Bunda Kartini membayar ongkos taksi ke sopir.
"Kamu mandi lalu istirahat dulu ya, Tan. Ini Bunda buatkan bubur kaldu ayam untukmu," tutur Bunda Kartini setelah masuk ke dalam rumah.
Intan mengiyakan dan mengucap terima kasih sebelum masuk ke kamarnya sendiri. Untungnya tas yang berisi dompet dan ponselnya masih dibawakan oleh Bunda Kartini saat ia pingsan tadi.
Dia mandi sebentar lalu berganti pakaian bersih. Setelahnya Intan membuka ponselnya, dia ingin mengirim pesan untuk Zayn yang hari ini kemungkinan telah berada di luar negeri melanjutkan pendidikan jenjang perguruan tingginya.
'Zayn, ini Intan. Kamu bisa lupakan aku dan hapus semua kenangan tentang kita seluruhnya baik itu di medsos, galeri ponselmu, dan juga ingatanmu. Anggap saja aku sudah mati!' Intan mengirimkan pesan terakhirnya lalu memblokir nomor mantan kekasihnya yang juga tak lain ayah janin yang dikandungnya.
Hidup baru seperti apakah yang menanti Intan Malika Kahiyang selanjutnya?
Durasi panjang penerbangan dari Jakarta sampai Swiss berakhir sudah. Hari pun telah petang di negara teraman dan terbersih sedunia itu. Zayn bersama asisten pribadinya mengantre untuk turun dari pesawat. Mereka mengambil koper barang bawaan di bagian pengambilan bagasi lalu Martin mendorong troli berisi 4 koper besar yang 3 di antaranya adalah milik tuan mudanya."Siapa yang jemput kita di bandara, Martin?" tanya Zayn dengan cuek. Penampilannya begitu keren dengan mantel Burberry mahal warna blue navy dan kaca mata Gucci yang bertengger di hidung mancungnya.Martin pun menjawab, "Ada sopir pribadi dari perusahaan papanya Mas Zayn yang jemput. Nah itu dia bawa papan nama kamu, Mas!" Dia menunjuk ke kerumunan penjemput penumpang penerbangan internasional.Seorang pria berambut pirang sebahu bertampang bule memegangi papan kertas bertuliskan nama lengkap Zayn. Dia mengenali pemuda yang akan dijemputnya itu dari kejauhan karena sudah dikirimi foto Zayn via email sehari sebelumnya oleh Mar
Setelah kuliah pagi berakhir, Intan menemui kepala bagian akademik untuk menghadiri surat panggilan yang diterimanya kemarin di alamat panti asuhan domisilinya. "Selamat pagi. Silakan duduk, ini benar Intan Malika Kahiyang ya?" sapa Pak Widagdo Prasojo, kabag akademik kampus tempat Intan berkuliah.Intan berjabat tangan lalu duduk di sofa seberang Pak Widagdo, dia menjawab, "Selamat pagi, Pak Wid. Benar, saya Intan. Kemarin siang ada surat yang dikirim dari kampus ke tempat tinggal saya. Ada apa ya?""Baik. Memang benar surat tersebut dikirim untuk Mbak Intan. Sebelumnya saya mau meminta maaf karena harus menyampaikan kabar buruk. Jadi beasiswa penuh untuk Mbak Intan dicabut dari pusat. Silakan untuk semester berikutnya, kalau kuliah ingin dilanjutkan bisa dibayar dengan pembiayaan mandiri," tutur Pak Widagdo Prasojo dengan nada tenang. Dia hanya penyambung lidah dari dekanat dan juga bagian administrasi mahasiswa.Seperti mendengar petir di siang bolong, Intan sontak terkejut. Dia l
Sekalipun semester depan Intan tak lagi bisa menikmati beasiswa kuliah gratis. Namun, sisa dua bulan ini dia manfaatkan dengan sungguh-sungguh untuk belajar di kampusnya.Untungnya jadwal kuliahnya selalu pagi dan seusai pelajaran usai, Intan bisa berangkat kerja ke restoran. Kehamilannya masih belum kentara karena ia memang memakai pakaian bermodel longgar. Intan kuatir majikannya tak akan mengizinkannya bekerja bila tahu ia sedang hamil karena pekerjaan kasar yang dijalaninya memang menguras tenaga bagi orang normal. Apalagi bagi wanita hamil muda sepertinya."Intan, kalau kamu sudah selesai mengepel restoran, cuci peralatan dapur ya!" perintah manager restoran The Starlight dari ambang pintu dapur. Dia cukup puas dengan pekerjaan Intan yang cekatan dan tidak banyak bicara saat sedang bekerja."Siap, Bu Dyah!" jawab Intan sambil buru-buru menyelesaikan lantai yang tersisa untuk dipel olehnya.Setelah itu dia mengangkat ember dan gagang alat pel untuk dibersihkan di WC belakang resto
"Zayn, tunggu aku!" panggil seorang gadis berambut pirang bergelombang yang berlari-lari kecil di koridor depan ruang kuliah.Pemuda yang menenteng tas ransel hitam di bahu kirinya itu membalik badan dan menunggu hingga gadis tadi berhenti di hadapannya. "Ada apa, Lea?" tanya Zayn cuek.Azalea, teman sekelas kuliah Zayn itu bertanya, "Apa kau ingin mengunjungi perpustakaan?""Yap, apa kau mau ikut?" sahut Zayn singkat seraya meneruskan perjalanannya menuju sayap barat area kampusnya."Tentunya. Bisakah kau membantuku belajar anatomi tulang manusia?" pinta Azalea dengan nada manja sambil bergelanyut di lengan pemuda itu.Dan Zayn membiarkan Azalea berlaku sok mesra dengannya. Tak ada ruginya pikir Zayn. Gadis itu berasal dari keluarga konglomerat asal Perancis, dia berkenalan dengan Azalea pada awal perkuliahan karena mereka duduk bersebelahan."Aku ini guru yang galak, apa kamu tidak takut?" Zayn melirik tajam ke wajah Azalea dengan sengaja. Mereka memasuki gedung perpustakaan dengan
"Gimana rasa masakan koki rumahku, Lea?" tanya Zayn sembari menikmati segelas red wine Portugis yang bercita rasa manis dan memabukkan sebagai penutup makan malamnya bersama Azalea. "Sempurna. Aku menyukai semua hasil karya koki rumahmu, itu seperti hidangan ala chef bintang Michelin. Aku tidak keberatan bila kau undang makan malam lagi kapan pun, Zayn!" jawab Azalea memuji sang koki. Pipinya memerah seperti apel karena efek minuman anggur merah yang diminumnya. Pemuda itu mengangguk dan tersenyum, dia menanggapi perkataan Azalea, "Karena aku akan menawanmu malam ini di sini. Besok pagi kau akan kuberi makan dengan sarapan pagi dari Chef Alfredo lagi." "Ohh Gosh! Apa kau serius, Zayn?" balas Azalea bimbang. Dia masih perawan dan orang tuanya tak akan senang bila dia melakukan pergaulan bebas. "Kita harus menghabiskan malam yang dingin ini dengan berbagi kehangatan bukan?" jawab Zayn santai, devilish smirk di wajahnya membuatnya bertambah tampan serta menantang. Dia pun meletakkan
"Intan, tolong datang ke kantor managemen restoran ya!" seru Bu Dyah yang menjadi manager restoran The Starlight."Siap, Bu Dyah," jawab Intan lalu membawa ember dan alat pel ke lemari penyimpanan alat kebersihan di belakang dapur. Dia mencuci tangannya dan mengeringkannya dengan serbet sebelum bergegas menghadap atasannya di kantor managemen."TOK TOK TOK.""Masuk!" sahut suara Bu Dyah dari dalam ruangan dan Intan pun membuka pintu untuk masuk ke sana."Silakan duduk dulu, Tan." Bu Dyah menunggu Intan duduk di seberang mejanya lalu mulai berbicara, "Sebelumnya aku mau minta maaf dulu karena harus menyampaikan berita buruk. Bos kita minta agar kamu dikeluarkan dari posisi karyawan restoran ini. Beliau tahu kalau kamu sedang hamil dan aturan untuk para karyawan memang sudah jelas dari awal, tidak boleh dalam kondisi hamil."Jantung Intan serasa dipukul keras. Dia baru bekerja 4 bulan di restoran The Starlight, gajinya pun baru bulan lalu dinaikkan 50% karena pekerjaannya bagus dan sang
"Baik, Pak. Nanti saya akan datang untuk wawancara kerja di kantor managemen. Berkas-berkas persyaratan lamaran kerja akan saya bawakan juga, Pak Burhan. Terima kasih," jawab Intan di telepon ponselnya.Bunda Winda yang semalam telah mengetahui Intan terkena PHK dan sedang mencari pekerjaan baru pun paham dengan obrolan Intan di telepon. Dia menjelaskan ke Bunda Kartini bahwa Intan melamar pekerjaan baru."Apa kamu dapat panggilan wawancara kerja, Tan?" tanya Bunda Winda menebak-nebak."Iya, Bun. Jam 9 ada wawancara di Indomarch minimarket. Doakan ya biar lancar dan diterima kerja di sana. Gajinya lumayan dan shift durasi kerjanya bisa untuk tambahan pekerjaan lainnya," terang Intan sambil menyelesaikan sarapan paginya yang sempat tertunda.Bunda Kartini yang turut mendengarkan pembicaraan Intan dan Bunda Winda pun berkata, "Tan, kamu jangan terlalu memforsir tenagamu. Seandainya nanti tabungan buat biaya bersalin di klinik masih kurang. Bunda masih punya dana emergency, itu boleh kam
Sudah beberapa minggu Intan bekerja di minimarket Indomarch dan dia cukup menikmati pekerjaan barunya sekalipun melelahkan baginya. Menata barang dari gudang ke rak untuk restock. Dia membutuhkan tenaga ekstra karena banyak menggunakan kerja fisik dibanding pikiran.Untungnya selain kesulitan itu, rekan kerjanya semua baik dan tidak menambah beban untuknya. Seolah sesama karyawan di minimarket itu merasakan beratnya bekerja di tengah kondisi hamil besar. HPL janin di perut Intan hanya hitungan minggu saja. "Tan, kamu susun barang yang ringan-ringan aja ya. Kalo minuman sama makanan kaleng biar aku aja," tutur Retno yang bekerja di shift pagi yang sama seperti Intan. Dia sudah bekerja di minimarket itu selama setahun lebih.Mendengar perkataan Retno yang perhatian kepadanya, Intan pun merangkul bahu wanita berkaca mata dan berambut pendek lurus sedagu itu. "Perhatian banget deh sama aku, Mbak Retno nih!" goda Intan seraya senyum-senyum riang."Kasihan yang ada di perut kamu itu kalo m
Dengan pikiran buntu dan hati yang panas Zayn berjalan kaki di trotoar setelah meninggalkan kediaman Richermond. Harapan terakhirnya pupus sudah. Semua gara-gara pria sialan keturunan Adira Lukmana itu! Zayn merutuki Jovan.Ketika sampai di sebuah halte bus, Zayn memilih untuk duduk sendiri bengong meratapi nasibnya yang naas. Dia seharusnya menjadi pewaris tunggal aset kekayaan mendiang papanya. Namun, semua tidak bisa diusut. Pengacara keluarga Pradipta malah tersandung kasus hukum hingga masuk bui. Dia sekarang luntang lantung hanya punya dompet dan HP saja. Entah barangnya di kost sudah dibuang ke mana oleh pengelola tempat tersebut atau pula disimpan kalau orangnya baik hati. Zayn belum sempat pulang ke kost. Sebuah mobil sedan Ferrari merah berhenti tak jauh dari halte bus tempat Zayn duduk bengong sendirian di sana. Seorang wanita dengan penampilan heboh dan riasan tebal mendekati Zayn."Hai, apa Mas lagi butuh pekerjaan? Kenalkan namaku Mami Rosa. Aku suka wajah dan perawaka
"Bebaskan saja dia dari tuntutan hukum, Pak Sondang Sirait. Saya lebih senang kalau Zayn menghidupi dirinya sendiri di luar penjara. Cabut laporan kasus saya dari kepolisian ya!" tutur Dokter Maya Suratih pasca sembuh dari cedera di kepalanya.Kepalanya memang bocor di sisi kiri akibat dipukul oleh mantan suaminya itu menggunakan trofi yang terbuat dari kaca. Sungguh tragis justru dia dilukai dengan trofi favorit kebanggaannya sebagai rumah sakit favorit konsumen 6 tahun yang lalu. Saat itu Rumah Sakit Permata Indah Medika masih dipegang managemen lama belum diakuisisi oleh grup Richermond, jadi rumah sakitnya menjadi pilihan utama pasien ibu kota.Usut punya usut, mantan suaminya pernah punya masa lalu hingga memiliki anak haram dengan komisaris utama rumah sakit tersebut. Namun, Dokter Maya menganggap rahasia kelam itu sebatas cukup tahu saja.Pengacara kepercayaan Dokter Maya pun menjawab disertai peringatan, "Baik kalau itu yang diinginkan oleh Bu Dokter Maya. Saya cabut berkas pe
Dini hari sekitar pukul 03.00 WIB Mariana merasakan bagian paha dalamnya dialiri air hangat. Awalnya dia berpikir sedang bermimpi dan mengompol. Namun, ketika merabanya dan mendapati bahwa itu sepertinya air ketubannya ia segera menggoyang-goyang bahu suaminya."Mas Jovan, aku pecah ketuban!" ucapnya sedikit panik karena hampir melahirkan.Jovan yang tadinya masih mengantuk karena baru tidur beberapa jam setelah beberapa putaran bercinta dengan Mariana semalam segera bangun lalu duduk di ranjang. Dia bertanya, "Kuantar ke rumah sakit sekarang ya?""Iya, Mas. Ganti baju dulu. Panggil Pak Sapto buat anterin kita," jawab Mariana lalu perlahan bangkit dari tempat tidur dengan perutnya yang sangat besar. HPL memang besok sebetulnya, wajar lebih cepat sehari. Berat janin terakhir sudah 3.4 kilogram sudah cukup untuk dilahirkan kata Dokter Royce Adler. Mariana mengganti gaun tidurnya yang basah dengan daster batik berkancing depan agar mudah berganti baju pasien nanti di rumah sakit.Setela
"Permisi, Bu. Saya Zayn Alarik Pradipta, kliennya Om Charles. Apa beliau ada di tempat?" ujar Zayn berusaha menemui pengacaranya yang berjanji akan membantu mengurus masalah hak warisnya yang sulit diproses karena surat-surat habis terlahap api saat kediaman Pradipta kebakaran tempo hari.Wanita yang berjaga di bagian front desk kantor firma pengacara serta notaris Hutapea and Friends menghela napas mengulang kalimat yang sama untuk kesekian kalinya ke klien bosnya. "Maaf ya, Mas. Sepertinya saya nggak bisa memberi tahukan sampai kapan beliau tidak bisa memproses kasus hukum Anda. Pak Charles Hutapea tersandung kasus money laundry pejabat pemerintahan sehingga harus ditahan di Rutan Salemba untuk sementara," terang Bu Dyah Pertiwi, karyawati berusia setengah abad itu kepada Zayn yang mendadak bengong."Ta—tapi, perkara hak waris saya gimana dong, Bu? Mungkin rekan Om Charles bisa bantu?!" kejar Zayn, dia risau uang tabungannya tak mampu mencukupi kebutuhan sehari-harinya. "Bisa, sil
Jorges D'Argentine mengusap sudut matanya yang basah. Di sisinya, puteri kesayangannya mengenakan gaun putih sederhana dengan model sabrina mermaid dress memegang lekuk lengannya berjalan dalam langkah anggunnya menuju ke sebuah gazebo berhias mawar putih.Pagi yang sejuk tanpa tertutup lapisan salju di Danau Biel menjadi hari pernikahan sakral yang dinantikan oleh Patrick Olsen. Setelah perjuangan tanpa henti selama berbulan-bulan bolak-balik Jakarta-Genewa, segalanya terbayar lunas. Pada akhirnya Mariana melepaskan kepergian dokter spesialis obsgyn andalannya kembali ke Swiss untuk seterusnya. Dokter Royce Adler yang terikat kontrak menggantikan dirinya sebagai dokter praktik di poli obsgyn rumah sakit jaringan Richermond.Wanita pujaan hatinya yang mungkin adalah jawaban doanya untuk seorang kekasih yang baik hati itu melangkah di seberangnya bersama Tuan Jorges D'Argentine, papanya. Sama seperti calon papa mertuanya, Patrick pun menitikkan air mata haru yang membuat tamu undangan
Sudah beberapa bulan berlalu semenjak pernikahan resmi antara Zayn dan Dokter Maya. Rumah tangga mereka nampak harmonis tanpa ada pertengkaran yang berarti. Namun, sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan terjatuh jua.Memang Zayn sudah mendapat mobil baru untuk akomodasinya pulang pergi ke rumah sakit dan bepergian sendiri. Dokter Maya berangkat ke tempat kerjanya tanpa suaminya seusai sarapan pagi bersama. Dia tidak menaruh curiga sama sekali seperti apa kelakuan Zayn di balik punggungnya.Kehidupan seksual pasangan pengantin baru itu pun sangat aktif nyaris setiap malam mereka bermesraan. Itu pun Dokter Maya bukan hanya dihajar satu atau dua ronde di atas ranjang. Maka dari itu dia tidak pernah berpikir masih ada hasrat yang tak tersalurkan oleh suaminya. Akan tetapi, sesuatu yang tak pernah ia duga terjadi di bawah atap rumahnya.Pintu kamar tidur Zayn diketok tiga kali sebelum dibuka perlahan dari luar. Seorang perempuan berambut panjang hitam legam tergerai sepunggung masuk
Dokter Patrick Olsen mencoba mensiasati kesulitannya untuk resigned dari rumah sakit tempat bekerjanya saat ini dengan mengumpulkan jatah cutinya selama beberapa bulan terakhir. Memang mencari dokter spesialis yang bagus tidak mudah, biasanya dokter yang sudah berpengalaman terkontrak praktik di rumah sakit lain. Sedangkan, dokter yang baru lulus pendidikan spesialis masih butuh menimba pengalaman di meja praktik. Adik angkatan sealmamaternya yang diterima bekerja di rumah sakit jaringan Richermond masih di bawah pemantauannya dan dokter senior poli obsgyn lainnya. Kini dia harus berpesan dengan serius kepada Dokter Royce Adler selama mengambil cuti seminggu penuh."Dokter Royce, kuharap kau ingat semua tips dan trick praktik obsgyn yang sudah kuajarkan kepadamu. Ingat-ingat itu semua selama aku pergi seminggu ke Swiss, okay?" ujar Dokter Patrick duduk berhadapan di ruangan praktiknya bersama Dokter Royce Adler.Pria berambut model taper fade warna pirang itu menyeringai jenaka. "He
"Untuk apa perjanjian pranikah ini, Pak?!" bentak Zayn setelah membaca judul berkas yang disodorkan oleh notaris Dokter Maya Suratih kepadanya di ruang tunggu kantor dinas kependudukan Jakarta Pusat.Pak Rian Fantoni yang dipercaya oleh Dokter Maya mewakilinya sebagai pihak legal dalam setiap perjanjian hukum yang dia buat menjawab standar saja pertanyaan Zayn, "Ini sudah jadi keputusan klien saya, Pak. Zaman sekarang harus serba hati-hati terutama Bu Maya itu seorang wanita sukses dengan banyak harta. Kalau Anda menolak mungkin pernikahan ini tidak bisa terlaksana. Kami nantikan itikad baiknya untuk menanda tangani perjanjian pranikah tersebut!"Kening Zayn berkerut dalam, dia tak menyangka bahwa dalam dua pernikahan dia harus selalu diatur dengan perjanjian pranikah. Harta terpisah, tak ada gono gini setelah bercerai. Hatinya terasa dongkol, niatnya mendapat cipratan harta kekayaan Dokter Maya pun pupus sudah. Apa gunanya jadi suami kere setelah menikahi janda kaya raya itu? pikir Z
"Mas Zayn, maaf. Bukannya tidak bisa diurus hal warisnya, tapi butuh waktu yang tidak diprediksi lamanya karena semua berkas penting habis dilahap api dalam kebakaran rumah tempo hari," tutur Charles Hutapea, pengacara langganan keluarga Pradipta. Kemudian Zayn membalas, "Apa mendiang papa nggak membuat surat warisan semasa hidup dulu, Om?" Sebuah gelengan dengan raut wajah prihatin itu disertai jawaban, "Beliau tidak ingin berpikir cepat meninggal dunia waktu saya menyarankan dulu, Mas. Sayang sekali ketika jatuh sakit, saya tidak tahu karena memang sibuk dengan pekerjaan dan Pak Bram pun sama sekali tidak menghubungi saya lagi.""Ckkk ... payah sekali, lantas jalan keluar yang bisa saya tempuh apa dong, Om? Eman-eman sekali warisan ratusan milyar itu nilainya!" Zayn berdecak kesal dengan wajah tertekuk bersandar di sofa kantor pengacara kondang tersebut.Charles Hutapea beranjak berdiri lalu mengambil sebuah map berkas di rak dokumennya. Dia pun duduk kembali dan menyodorkan sebua