Arjuna menerima tawaran Sandra untuk menjadi kontraktor dalam proyek pembuatan pabrik tepung. Malam itu juga, setelah pulang dari kantor Arjuna membuat janji makan malam dengan teman Sandra. Ditemani oleh Sandra tentu saja.
Mereka langsung bertemu di restoran yang sudah ditentukan. Suasana yang lebih sepi membuat pertemuan itu terasa lebih intim. Arjuna selalu memberikan energi positif pada dirinya agar proyek ini berhasil ia menangkan. Sudah lama sekali ia tidak menerima mega proyek seperti ini.
Arjuna tiba lebih dulu sebelum Sandra dan rekannya. Ia menyiapkan diri agar pembicaraan ini terkesan mengalir dan santai, tetapi tetap serius.
Tak lama kemudian, seorang lelaki dengan setelan jas formal berwarna abu-abu terang dengan tinggi sekitar 185 sentimeter datang bersama Sandra. Lelaki itu berkulit sawo matang dengan mata coklat terang yang sangat menggoda untuk kaum hawa.
"Arjuna, ini t
Pagi-pagi sekali Reni sudah nangkring di depan rumah. Ia sengaja bangun lebih pagi untuk menyiapkan sarapannya sendiri. Ia ingin memasak nasi goreng pedas sesuai dengan pesanan Rendi kemarin. Lelaki itu bilang, nasi goreng pedas tempo hari yang Reni berikan rasanya enak. Karena tersanjung, akhirnya ia memasaknya. "Nungguin Mas Rendi ya, Non?" seru Mang Ujang yang baru selesai mencuci mobil Mamanya karena semalam pulang kehujanan. Reni mengangguk. "Iya nih, Mang. Mau berangkat magang. Mamang udah sarapan belum?" "Cuma tadi makan gorengan sama minum kopi aja, Non. Sarapannya mah masih nanti jam sembilan!" "Reni habis bikin nasi goreng pedes kalo mamang suka. Nanti minta ke Si Mbok aja. Tadi udah Reni sisihin kok!" Mata Mang Ujang berbinar-binar. Ia merasa senang disisihkan masakan seperti itu, bukan diberi makanan sisa seperti di majikannya dulu. "Beneran, Non?"
Fina masuk ke dalam ruangan kerja Arjuna setelah jam istirahat selesai. Arjuna sedang sibuk memilah-milah desain yang diajukan oleh tim desain. "Pak, ini file yang Bapak minta. Oh iya, untuk presentasi minggu depan, saya sudah mengumpulkan beberapa bahan dan sudah membeli desain baru untuk presentasi." jelas Fina setelah ia duduk di depan Arjuna. Arjuna memeriksa file dokumen yang dibawa oleh Fina dengan seksama. Hal itu tidak luput dari perhatian Fina. Ia mengagumi wajah tampan Arjuna yang sedang fokus. Kerutan samar di dahinya juga tak luput dari perhatiannya. "Oke. Ini udah lengkap. Suruh Rinda merekapnya, ya!" Arjuna mendongak dan menyerahkannya pada Fina. Sementara perempuan itu masih asyik memandangi wajah tampan bosnya. "Fin!" Arjuna menepuk punggung tangan sekretarisnya membuat perempuan itu terlonjak kaget. "Eh? Iya, Pak!" "Ngelamunin a
Gerimis masih turun rintik-rintik saat Rendi dan Reni keluar dari galeri milik Aldo. Pekerjaan keduanya selesai, bertepatan dengan hujan yang mulai mereda. "Mau pake mantel?" tawar Rendi. Reni goyang pelan. "Cuma gerimis. Nggak bakalan sakit!" "Ya kan tadi habis kerja keras. Terus sekarang kegerimisan. Takutnya sakit, nanti aku yang dimarahin Mamamu."
Arjuna membuang napasnya kasar. Sudah berkali-kali ia berusaha menghubungi Reni, tetapi tak ada satupun panggilannya yang dijawab. Arjuna sudah mengiriminya pesan siang tadi, agar Reni menghubunginya setelah pulang magang. Ternyata nihil. Akhirnya, Arjuna mencari kontak seseorang di ponselnya dan segera memulai sambungan. "Halo, Bro? Tumben nih telpon. Ada apa?" seru Aldo lebih dulu setelah mengangkat panggilan. "Mahasiswa kalo magang di tempat lo pulangnya jam berapa?" "Jam lima biasanya udah pulang. Kenapa?" "Oke. Cuma nanya doang. Thanks ya!" Arjuna langsung memutuskan sambungan tanpa menunggu jawaban dari Aldo terlebih dahulu. 'Berarti sekarang Reni udah pulang? Tetapi kenapa dia nggak angkat telponku? Kemana dia?' batin Arjuna berkecamuk. Ia sempat ingin menelepon ke rumah Reni, tetapi ia merasa hal itu bukanlah hal yan
Reni masuk ke dalam kamarnya. Ia segera menghempaskan tubuhnya ke kasur. Hari ini cukup melelahkan buatnya. Namun, ia juga sangat bahagia hari ini. Ternyata begini rasanya bekerja dengan hati. Menyenangkan, batinnya. Perlakuan tak terduga Rendi tadi benar-benar membuatnya terkejut, sekaligus tersanjung. Ia tidak pernah melihat ada seorang lelaki, di masa seperti ini bisa sesopan Rendi. Dulu, ketika ia masih sering nongkrong di semester awal, teman laki-lakinya tak pernah sampai harus memohon maaf pada kedua orang tuanya hanya karena Reni terlambat pulang. "Kamu emang beda, Ren!" gumam Reni seraya tersenyum simpul. Ia segera meraih ponselnya. Ada puluhan panggilan tak terjawab dan pesan belum terbaca dari Arjuna. Reni langsung terduduk dan membacanya. "Astagaaa! Kok aku bisa nggak tau sih kalo Arjuna telpon!" Reni merutuki kebodohannya. Ia segera mengetikan pesan balasan. &
Tadi malam Reni benar-benar tidak bisa tidur. Bukan karena menunggu balasan dari Arjuna. Ia malah tidak bisa tidur karena memikirkan apa yang akan terjadi pagi ini. Ya, pagi ini Rendi akan sarapan bersama Mama Papanya. Padahal, mereka baru saja bertemu. Sepertinya kedua orang tua Reni benar-benar tersanjung dengan sikap jentelmen yang Rendi tampilkan semalam. Sebelum subuh Reni sudah tidak bisa diam di dalam kamarnya. Ada saja yang ia lakukan, meskipun hanya sekedar menata kamarnya ataupun membersihkan apapun yang berserakan. Sepertinya kali ini debu tak ada satupun yang menempel di kamar bernuansa sage green tersebut. Reni terus menyisir rambutnya, padahal sudah hampir setengah jam. Rasa gugupnya benar-benar membuat kinerja otaknya melambat. Ia sampai bingung apa yang harus ia lakukan. Tok! Tok! Tok! Suara ketukan pintu membuatnya terkejut. "Masuk!" Ketika pintu terbuka, ternyata Mamanya. "Kenapa harus ketuk pintu,
Rendi menunduk ketika Reni dan Mamanya bergabung di meja makan. Ia memang sering main-main ke rumah teman-temannya dan diajak makan bersama seperti ini. Tapi makan bersama dengan keluarga Reni? Tentu itu lain hal. "Tante kira tadi Reni masih tidur, ternyata sudah dandan cantik Nak Rendi!" goda Santi pada putrinya. "Ih, Mamaaa!" serunya tertahan. Ia paling tidak suka ketika Mamanya sudah mempermalukan dirinya di depan temanny begini. "Sudah sudah! Lebih baik kita makan saja!" sergah Lesmana yang sudah tampak lapar. "Kamu ada alergi makanan, Rendi?" tanya Santi ketika mengambilkan nasi untuk suaminya. "Anak kosan mah, nggak mungkin ada alerginya, Tante. Kalau sampai alergi ya, rugi dong!" seloroh Rendi membuat seluruh anggota keluarga Reni tertawa. "Untunglah! Tante takut kalau punya alergi sama salah satu masakan Tante. Kan nantinya jadi nggak kemakan." Rendi meringis, menampilkan deretan giginya yang memiliki satu gingsul.
Selepas dari kantor Arjuna, Sandra sempat mencari sarapan di sekitar wilayah kantor Arjuna. Meskipun kesal karena dibentak-bentak oleh lelaki itu, tetapi Sandra senang karena semalam Arjuna menginap di apartemennya. "Gue harus ngapain lagi ya biar Arjuna mau nginep di apartemen gue lagi? Kan lumayan bisa melukin dia lagi!" gumam Sandra gemas. Ia kembali mengingat kejadian semalam. Sandra baru saja selesai mencuci piring dan membereskan dapurnya. Ketika akan ke ruang tamu, di sana kosong tak ada siapapun. Ia pikir Arjuna langsung pulang karena mungkin sudah terlalu lelah. Betapa terkejutnya Sandra ketika ia masuk ke dalam kamarnya, lelaki yang ia cari sudah tertidur dengan pulas di sana. Melihat Arjuna yang kelelahan, Sandra tidak berani untuk membangunkan. Ia memilih untuk membiarkan lelaki itu terbangun dengan sendirinya. Toh, dulu Arjuna juga sering tidur di sini. Sandra menatap wajah Arjuna lekat-lekat. Napasnya yang teratur memperlihatkan bahwa lelaki itu nyama
Reni hampir seminggu berada di indekos Rendi. Selama itu pula hanya Nadya yang datang menemaninya. Arjuna, bahkan orang tuanya tidak ke sini. Ia lupa bahwa ponselnya dipegang oleh Ryo. Pagi ini, suasana hati Reni sudah lebih baik. Walaupun masih ada kekecewaan di hatinya, tetapi ia tak serapuh kemarin-kemarin. Hatinya jauh lebih kuat. "Yakin mau pulang sekarang?" tanya Rendi untuk yang kesekian kalinya. Ia yang paling terlihat khawatir akan kestabilan emosi Reni. Reni mengangguk yakin. Setelah satu minggu 'bertapa' di sini, ia memilih untuk berhenti menghindar dan menghadapi semuanya. Walaupun mungkin itu sangat menyakiti perasaannya, ia tak ingin lari lagi. Akhirnya Rendi memilih ikut ke rumah Reni dengan menjadi sopir mobilnya. Rasa kekhawatirannya benar-benar tidak bisa hilang. Reni mengiyakan saja apabila Rendi mau mengantarnya ke rumah. Sesampainya di depan gerbang rumah, Reni meminta untuk memarkir motornya di luar saja. Dengan langkah perlahan, Reni dite
Pagi ini, Rendi memilih untuk mencuci motornya setelah setiap hari ia gunakan pulang-pergi ke tempat magang yang lumayan jauh. Beberapa kali memang sempat ia cuci. Akan tetapi, setelah sakit ia jadi malas mencuci motornya. Selagi cuaca cerah, Rendi dengan telaten membersihkan motor kesayangannya. Tak lupa, ia juga menjemur helm yang setiap hari ia pakai agar tidak bau apek. Ketika mengelap motornya agar semakin kinclong, sebuah mobil yang Rendi kenali memasuki halaman indekosnya. Keningnya berkerut tatkala pemilik mobil tak jua keluar. Rendi bergegas menghampiri mobil itu. Ia mengetuk kaca jendela mobil. Butuh waktu beberapa menit sebelum akhirnya kaca jendela itu turun dan menampilkan wajah kalut Reni. "Kamu kenapaaa??" Rendi terkejut bukan main melihat mata sembab Reni. *** Ryo menarik napas sedikit lega ketika membuka pesan di ponsel Reni dan ada salah satu temannya yang didatangi. Bahkan, seseorang bernama Rendi itu berani bertaruh nyawanya apabila Reni
Ketika terdengar keributan di bawah, Tania memeluk Reni erat. Ia tidak ingin adik iparnya ini semakin sedih. "Dia ngapain ke sini sih, Mbak?" bisik Reni menahan isak tangisnya. Tania mengelus punggung Reni. "Udah, nggak usah dipeduliin. Yang terpenting sekarang adalah kondisi kamu. Sesekali egois itu perlu kok!" Tania terus mendekap Reni. Ia berharap mampu menyalurkan energi positifnya pada Reni, agar kesedihan itu setidaknya berkurang. "Mbak, aku mau ke balkon cari angin!" desis Reni, menghapus sisa-sisa air matanya. "Mau mbak temenin nggak?" tawar Tania. Ternyata Reni menggeleng. "Beneran nggak apa-apa sendiri?" "Nggak apa-apa, Mbak. Sebentar aja!" Reni bangkit dari duduknya. Ia menuju wastafel untuk membasuh wajahnya. Setelah itu ia baru keluar setelah meyakinkan Tania bahwa ia baik-baik saja. Tanpa sepengetahuan Tania, Reni sudah mengantongi kunci mobilnya yang kebetulan terparkir di belakang. Reni berniat kabur dari rumah daripada ia harus meli
Reni bangun ketika jendela kamarnya terbuka. Matanya perih terkena sinar matahari pagi setelah semalaman menangis. Ternyata papanya yang membuka gorden jendela kamar. "Bangun yuk. Udah siang ini!" Lesmana mendekati putrinya. Ia elus rambut putrinya yang berantakan. Reni masih terbaring di kasurnya. Padahal ia baru saja terbangun, tetapi rasanya melelahkan sekali. Ia seperti merasakan lelah yang tak berkesudahan. "Tuh, ada Tania. Kamu temuin dong!" Lesmana mencoba membuat putrinya bersemangat, walaupun ia tahu hal ini mungkin sia-sia. Reni malah melamun. Matanya terlihat sangat sembab setelah menangis sampai tertidur. Ia bahkan tidak sempat mengganti baju tidurnya. Pikirannya kacau, sangat kacau. *** Arjuna pulang dengan perasaan gelisah. Nada bicara Ryo yang penuh amarah semalam membuatnya kelabakan mencari tiket pesawat saat itu juga. Ia sempat beradu argumen dengan Sandra yang berusaha menahannya. "Palingan cuma masalah sepele!" begitu katanya. Arjuna
Sepanjang jalan pulang, Reni terdiam. Minimnya cahaya dijadikan tameng untuknya menangis tanpa suara. Reni membuang muka menghadap ke jendela mobil agar tangisnya tak terlihat oleh Ryo. Sementara itu, di sebelahnya Ryo berusaha meredam amarah. Apa yang ia lihat di ponsel Reni tadi benar-benar mengejutkannya. Kenapa keadaan tiba-tiba menjadi begitu pelik untuk Reni lalui? Ini adalah masa-masa Reni membutuhkan kestabilan emosional karena ia harus mengerjakan tugas akhirnya. Tetapi keadaan menghempaskan Reni begitu saja. Sesampainya di rumah, tanpa basa-basi Reni langsung berlari ke lantai dua dan masuk ke kamarnya. Santi dan Lesmana yang sedang kedatangan tamu heran dengan sikap Reni. Ketika Ryo masuk, tatapan Santi penuh tanda tanya. Ryo sendiri memilih tetap di luar. Setelah menghabiskan rokoknya ia menelepon sang istri. "Yang, besok pagi bisa ke rumah nggak? Temenin Reni. Dia lagi ada masalah." ujarnya setelah telepon diangkat oleh Tania. Perempuan itu tidak b
Reni keluar dari galeri dengan wajah lelah tetapi juga tergambar kegembiraan di sana. Ia sangat gembira bisa magang di tempat gurunya yang mengenalkan dunia fotografi padanya. Tadi ketika acara perpisahan, Aldo bahkan memberikan hadiah pada Rendi dan Reni karena menjadi anak magang yang baik sepanjang masa. "Ini oleh-oleh buat kalian. Karena selama aku nerima anak magang, baru kali ini galeri bisa sangat seramai ini. Bahkan ada pengunjung yang bela-belain ke sini setiap hari cuma kepingin di-guide sama Rendi. Ini benar-benar pencapaian besar. Galeri bakalan sangat kehilangan kalian!" ucapan Aldo membuat semua yang ada di ruangan itu mendadak sedih. Lagi pula, siapa yang suka dengan momen perpisahan? "Mau langsung pulang atau kemana gitu?" tawar Rendi sembari menyerahkan helm pada Reni. Perempuan itu segera mengenakan helm. "Pulang dulu, besok aja main. Inget, kamu masih hutang ngajakin aku makan mie yamin yaa?" Rendi tertawa. Beberapa bulan selama magang ini hariny
Hari ini adalah hari terakhir Reni magang. Semalam, ia sudah menyelesaikan laporan magangnya selama tiga bulan ini. Nanti sepulang dari tempat magang, Ryo berjanji akan mentraktirnya sebagai hadiah karena Reni berhasil menyelesaikan magang tanpa kendala apapun. Selama magang, Reni memang lebih sering di rumah daripada di apartemen. Ini pun atas titah Mamanya, agar beliau tetap bisa memantau Reni. Santi takut apabila magang Reni memilih tinggal di apartemen, ia malah tidak pulang. "Mama lebay!" desisnya saat itu. Santi tidak peduli apapun perkataan putrinya. Yang terpenting adalah kebaikan Reni sekarang. Santi pun juga sudah mendengar tentang renggangnya hubungan Arjuna dengan putrinya. Andini sempat bercerita ketika keduanya bertemu di salah satu butik langganan mereka. "Aku bener-bener minta maaf lho, Jeng. Karena kesibukan Arjuna bikin Reni jadi merasa terabaikan. Jadinya malah mereka bertengkar." Andini menggenggam tangan Santi. Santi mengangguk mafhum.
Seharian Sandra hanya marah-marah. Ia kesal karena Arjuna mulai sering tidak fokus dan sering menengok ponselnya, meskipun itu sedang meeting penting dengan kontraktor. Sandra sudah memperingatkannya beberapa kali, tetapi nihil. Arjuna masih saja tidak fokus. "Kamu tuh kenapa sih? Ini kita udah hampir sebulan loh di sini! Kita udah jalanin proyek hampir tiga puluh persen dan kamu mulai sering nggak fokus. Kamu mau ngerusak karir kamu sendiri hah?!" pekik Sandra berapi-api ketika keduanya sampai di rumah. Ia sudah tidak bisa menahan diri karena kali ini Arjuna kehilangan profesionalismenya. "Aku nggak bisa konsen karena akhir-akhir ini Reni sering banget ngilang. Dia jadi super sibuk sampai nggak bisa dihubungi." jawab Arjuna enteng. Sandra mengusap wajahnya kasar. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan pernyataan yang Arjuna lontarkan dengan entengnya barusan. "Jadi profesionalisme kamu hilang gara-gara kamu bucin?" nada bicara Sandra sudah tidak mampu ia kontrol.
Sepanjang perjalanan menuju galeri, Reni mengunci rapat-rapat mulutnya. Ia tidak mengucapkan apapun setelah badannya dibuat panas dingin oleh Rendi. "Kamu kenapa sih? Sariawan?" tanya Rendi saat motornya berhenti di lampu merah. Rendi mengarahkan spionnya tepat ke wajah Reni. Reni sama sekali tidak mengeluarkan suara. Ia hanya menggeleng pelan. Hal ini membuat Rendi gemas. "Ya udah kalau sariawan, nanti aku beliin mie jontor. Katanya ampih buat bikin sembuh sariawan." ujarnya yang kemudian mendapatkan pelototan dari Reni. Ia tidak peduli dan langsung mengegas motornya saat lampu berubah menjadi hijau. Reni menoyor helm Rendi sampai lelaki itu menunduk cukup dalam. "Aduh, aku lagi nyetir ini, Ren! Nanti kalo nabrak gimana?" omel Rendi seraya mengelus hidungnya yang mencium spidometer motor. "Biarin!" Rendi tertawa. Tiba-tiba muncul ide konyol di pikirannya. "Oh, kamu pengen sehidup semati sama aku? Bilang atuh, Ren!" ujarnya sebelum kemudian memperce