Reni bergegas masuk ke dalam rumah ketika terdengar langkah Arjuna yang berlari mengejarnya. Reni bahkan sampai mengacuhkan sapaan tukang kebunnya yang tak pernah absen ia sahuti. Reni hendak berlari naik ke tangga ketika Papanya memanggil.
"Loh, Ren! Mau kemana? Nak Juna dari tadi nyariin kamu itu loh!" seru Papanya dari ruang tamu. Kebiasaan pagi Papanya membaca berita di koran sembari menikmati teh hangat.
"Engg, Reni mau mandi dulu, Pa. Soalnya tadi habis joging!" jawab Reni seraya melanjutkan langkahnya, berusaha menghindari pertanyaan interogasi lainnya.
"Tumben-tumbenan anak itu joging? Biasanya lebih memilih menarik selimut sampai siang!" gumam Lesmana seraya menyeruput teh hangatnya.
Arjuna tidak masuk. Ia memilih untuk mengobrol dengan tukang kebun yang tadi dicueki oleh Reni. Arjuna menanyakan banyak hal tentang Reni, mulai dari kebiasaannya sampai phobia apa yang diderita Re
Arjuna mengemudi mobilnya dengan lambat. Ia kembali merefleksi kejadian semalam. Bagaimana ia melihat senyuman Reni saat keduanya bertukar cincin dan tiba-tiba berbalik menjadi raut wajah dingin ketika mendengarkan penjelasan Sandra. "Sebenernya memang Reni harus tau. Tapi, waktunya nggak tepat banget!" gumam Arjuna seraya memukul setir mobilnya. Ia kesal bukan main pada Sandra yang seenaknya saja menceritakan semuanya tanpa melihat keadaan terlebih dahulu. Harusnya Sandra lebih paham bagaimana emosi seorang perempuan, sehingga ia bisa berhati-hati dalam berbicara. Tiba-tiba saja ponsel Arjuna berbunyi. Tanpa melihat siapa yang meneleponnya di hari Minggu pagi ini, Arjuna menyambungkan headset bluetoothnya dan segera menjawab telepon. "Haloo!" seru Arjuna lebih dulu dengan tetap fokus pada jalanan. "Morning, Juna!" suara centil itu membuat emosi Arjuna tiba-tiba naik. &nbs
Reni benar-benar bosan karena seharian tidak beraktivitas apapun. Ia hanya menggambar beberapa sketsa dan kemudian bosan. Ryo hari ini kencan dengan Tania, jadilah Reni di rumah sendirian tidak ada teman berbicara. "Kenapa gue nggak ngajakin Nadya nginep di sini aja, ya?" tiba-tiba otak Reni mencetuskan sebuah ide. Ia segera meraih ponselnya dan mengirim pesan agar Nadya berangkat ke rumahnya. Nadya hanya membalas dengan emoji jempol tanpa ada keterangan apapun. "Ini Nadya gimana sih, kok cuma pake emoticon doang! Diih!" Reni kesal bukan main hingga melemparkan ponselnya ke atas kasur. Ia melanjutkan kegiatan menggambarnya untuk menghilangkan kebosanan. Sepuluh menit berlalu tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dengan heboh. "Duh siapa sih nih? Ganggu orang aja!" Reni beranjak dari meja belajarnya untuk membukakan pintu. "Heelooow, yang baru tunangan!" suara heboh Nadya
Mobil CRV berwarna hitam itu baru saja terparkir ketika disusul oleh mobil sedan berwarna putih. Arjuna yang turun lebih dulu heran melihat Mamanya baru pulang. Tidak biasanya Mamanya akan pulang malam ketika ada acara di luar. Jam malam Mamanya adalah pukul tujuh. "Mama dari mana? Kok jam segini baru pulang?" tanya Arjuna seraya menggandeng Andini masuk ke dalam rumah. Kelihatan sekali wajah Andini lelah setelah aktivitasnya seharian. "Mama habis arisan, Jun. Ini kan hari Minggu!" Kening Arjuna berkerut. Sejak kapan arisan sampai malam begini? "Biasanya Mama kalau arisan nggak sampai malem, Ma. Palingan jam lima udah pulang. Tumben?" Keduanya duduk di ruang tengah. Arjuna memijit ringan lengan sang Mama yang terlihat letih. "Iya, tadi dimulainya siang jam dua-an gitu. Terus mereka tau kalau kemarin kamu tunangan. Ya, mereka tanya-tanya seputar
Sandra memasuki apartemennya dengan wajah lelah. Ia melempar tasnya ke sofa, melempar sepatunya ke sembarang arah dan meletakkan jaketnya sembarangan. Apartemennya sudah seperti kapal pecah sejak beberapa hari terakhir. Perempuan itu langsung menghampiri kitchen bar untuk mengambil minuman. Ia menenggak minuman bersoda langsung dari botolnya. Kemudian, ia berjalan menuju ruang tengah dan menghempaskan diri di sana. Pikirannya menerawang jauh. Ia kembali mengingat masa-masa ketika bersama dengan Arjuna. Bagaimana laki-laki itu memperlakukannya dengan sangat lembut dan penuh kasing sayang. Semua pinta Sandra memang dituruti, hanya saja Arjuna tidak pernah bisa meninggalkan pekerjaannya demi Sandra. Sifat ambisius Arjuna tidak bisa dipatahkan oleh apapun. Sandra sudah mencoba segala cara untuk mengalihkan dunia Arjuna agar sedikit saja beristirahat dan menikmati waktu bersamanya. Tetapi, semua usahanya itu gagal. &nb
Reni segera mengunci kamarnya setelah Nadya masuk. Ia meletakkan makanannya di meja belajar, bersebelahan dengan makanan yang dibawa Nadya dari Arjuna. "Ternyata, dia sepeduli itu sama elo! Pantes aja lo mau sama dia!" goda Nadya seraya mengerlingkan mata. Reni mendengus kesal. "Enak aja, bukan gara-gara itu ya gue nerima dia!" Nadya tergelak. Ia senang sekali menggoda Reni apalagi sampai cemberut kesal seperti itu. "Ya terus kenapa kok akhirnya lo mau nerima dia?" Reni menerawang. Perlahan, ingatan ketika ia baru pertama kali bertemu dengan Arjuna terulang. Bagaimana Arjuna memberikan seluruh atensi padanya saat Reni menjelaskan pameran untuk memenuhi tugas mata kuliah pada waktu itu. Selain itu, Arjuna tidak pernah mengeluh ketika menemani Reni hunting foto dan juga ketika dengan seenaknya Reni menggambari sketch book milik Arjuna padahal itu khusus untuk bekerja.
Baru saja Fina duduk di kursinya sudah ada lagi perempuan yang menghampirinya. Penampilan perempuan ini jauh lebih elegan daripada nenek lampir tadi. Apalagi perempuan yang mengenakan setelah celana kulot dan blus ini lebih terlihat seperti wanita karir. "Pak Arjunanya ada?" tanya perempuan itu lembut membuat Fina tak jadi memasang wajah judes. "Apakah sudah membuat janji dengan Pak Arjuna?" tanya Fina ramah. Perempuan itu menggeleng. Fina berdiri, "Saya tanyakan dulu ke Paj Arjuna. Ibu silakan tunggu di sini, ya!" Fina masuk setelah dipersilakan oleh Arjuna. Bosnya itu masih belum mengalihkan pandangan dari dokumen-dokumen kontrak sampai suara kaki Fina berhenti di depannya. "Ada apa, Fin?" "Itu, Pak. Ada tamu lagi di depan." Arjuna mendongak. "Reni?" Fina menggeleng membuat Arjuna mengernyit heran. "Su
Untuk menyelesaikan kegalauan Reni, Nadya mengajaknya berolahraga pagi ini. Keduanya sudah ada di gor terdekat dan melakukan pemanasan. "Kita mau olahraga apaan, Nad?" tanya Reni sembari berlari-lari kecil di tempat. "Badminton aja gimana?" tanya Reni lagi sebelum Nadya sempat menjawab. Nadya masih sibuk dengan ponselnya. Merasa tidak adanya jawaban dari Nadya, Reni akhirnya mengambil ponsel Nadya membuat atensinya berpindah ke Reni. "Dih, apaan sih lo?" "Ya elo tuh, dari tadi diajakin ngomong malah sibuk main HP!" seru Reni kesal. "Jadinya mau olahraga apaan?" "Kita mau badminton. Tapi tunggu ada lagi yang mau ikutan!" Reni hanya ber-oh ria. Ia tidak ingin kepo siapa orang yang akan menemani mereka berolahraga. Toh, yang Reni butuhkan saat ini hanyalah berolahraga agar semua pikiran negatif hilang. Ia sadar, tidak akan bisa
Hari ini Nadya tidak lagi menginap di rumah Reni. Melihat suasana hati Reni yang sudah jauh lebih baik, Nadya memutuskan untuk pulang. Takutnya jika Nadya terus berada di rumah Reni, yang ada anak itu angin-anginan. Bisa jadi ketika Nadya pulang Reni kembali bad mood dan tidak mau berbicara lagi dengan Arjuna. "Kenapa nggak seminggu aja sih lo di sini?" rengek Reni berusaha membujuk Nadya. "Ren, ntar yang ada mood lo itu cuma tergantung ke gue. Kalau gue ada di sini mood lo baik. Kalo gue pergi, nggak baik lagi. Lo harus bisa ngatur mood lo sendiri sekarang," Nadya menoleh. "Emang mau sampe kapan diemin Arjuna terus?" Reni bergeming. Ia memang sempat luluh dengan perhatian kecil Arjuna kemarin. Otaknya memaksa menyerah, tetapi hatinya bersikeras menolak kalah. Jadilah ia tidak berbicara sepatah katapun pada Arjuna. Ia memilih diam dan membiarkan Arjuna bertanya-tanya. "Yah, gue coba deh
Reni hampir seminggu berada di indekos Rendi. Selama itu pula hanya Nadya yang datang menemaninya. Arjuna, bahkan orang tuanya tidak ke sini. Ia lupa bahwa ponselnya dipegang oleh Ryo. Pagi ini, suasana hati Reni sudah lebih baik. Walaupun masih ada kekecewaan di hatinya, tetapi ia tak serapuh kemarin-kemarin. Hatinya jauh lebih kuat. "Yakin mau pulang sekarang?" tanya Rendi untuk yang kesekian kalinya. Ia yang paling terlihat khawatir akan kestabilan emosi Reni. Reni mengangguk yakin. Setelah satu minggu 'bertapa' di sini, ia memilih untuk berhenti menghindar dan menghadapi semuanya. Walaupun mungkin itu sangat menyakiti perasaannya, ia tak ingin lari lagi. Akhirnya Rendi memilih ikut ke rumah Reni dengan menjadi sopir mobilnya. Rasa kekhawatirannya benar-benar tidak bisa hilang. Reni mengiyakan saja apabila Rendi mau mengantarnya ke rumah. Sesampainya di depan gerbang rumah, Reni meminta untuk memarkir motornya di luar saja. Dengan langkah perlahan, Reni dite
Pagi ini, Rendi memilih untuk mencuci motornya setelah setiap hari ia gunakan pulang-pergi ke tempat magang yang lumayan jauh. Beberapa kali memang sempat ia cuci. Akan tetapi, setelah sakit ia jadi malas mencuci motornya. Selagi cuaca cerah, Rendi dengan telaten membersihkan motor kesayangannya. Tak lupa, ia juga menjemur helm yang setiap hari ia pakai agar tidak bau apek. Ketika mengelap motornya agar semakin kinclong, sebuah mobil yang Rendi kenali memasuki halaman indekosnya. Keningnya berkerut tatkala pemilik mobil tak jua keluar. Rendi bergegas menghampiri mobil itu. Ia mengetuk kaca jendela mobil. Butuh waktu beberapa menit sebelum akhirnya kaca jendela itu turun dan menampilkan wajah kalut Reni. "Kamu kenapaaa??" Rendi terkejut bukan main melihat mata sembab Reni. *** Ryo menarik napas sedikit lega ketika membuka pesan di ponsel Reni dan ada salah satu temannya yang didatangi. Bahkan, seseorang bernama Rendi itu berani bertaruh nyawanya apabila Reni
Ketika terdengar keributan di bawah, Tania memeluk Reni erat. Ia tidak ingin adik iparnya ini semakin sedih. "Dia ngapain ke sini sih, Mbak?" bisik Reni menahan isak tangisnya. Tania mengelus punggung Reni. "Udah, nggak usah dipeduliin. Yang terpenting sekarang adalah kondisi kamu. Sesekali egois itu perlu kok!" Tania terus mendekap Reni. Ia berharap mampu menyalurkan energi positifnya pada Reni, agar kesedihan itu setidaknya berkurang. "Mbak, aku mau ke balkon cari angin!" desis Reni, menghapus sisa-sisa air matanya. "Mau mbak temenin nggak?" tawar Tania. Ternyata Reni menggeleng. "Beneran nggak apa-apa sendiri?" "Nggak apa-apa, Mbak. Sebentar aja!" Reni bangkit dari duduknya. Ia menuju wastafel untuk membasuh wajahnya. Setelah itu ia baru keluar setelah meyakinkan Tania bahwa ia baik-baik saja. Tanpa sepengetahuan Tania, Reni sudah mengantongi kunci mobilnya yang kebetulan terparkir di belakang. Reni berniat kabur dari rumah daripada ia harus meli
Reni bangun ketika jendela kamarnya terbuka. Matanya perih terkena sinar matahari pagi setelah semalaman menangis. Ternyata papanya yang membuka gorden jendela kamar. "Bangun yuk. Udah siang ini!" Lesmana mendekati putrinya. Ia elus rambut putrinya yang berantakan. Reni masih terbaring di kasurnya. Padahal ia baru saja terbangun, tetapi rasanya melelahkan sekali. Ia seperti merasakan lelah yang tak berkesudahan. "Tuh, ada Tania. Kamu temuin dong!" Lesmana mencoba membuat putrinya bersemangat, walaupun ia tahu hal ini mungkin sia-sia. Reni malah melamun. Matanya terlihat sangat sembab setelah menangis sampai tertidur. Ia bahkan tidak sempat mengganti baju tidurnya. Pikirannya kacau, sangat kacau. *** Arjuna pulang dengan perasaan gelisah. Nada bicara Ryo yang penuh amarah semalam membuatnya kelabakan mencari tiket pesawat saat itu juga. Ia sempat beradu argumen dengan Sandra yang berusaha menahannya. "Palingan cuma masalah sepele!" begitu katanya. Arjuna
Sepanjang jalan pulang, Reni terdiam. Minimnya cahaya dijadikan tameng untuknya menangis tanpa suara. Reni membuang muka menghadap ke jendela mobil agar tangisnya tak terlihat oleh Ryo. Sementara itu, di sebelahnya Ryo berusaha meredam amarah. Apa yang ia lihat di ponsel Reni tadi benar-benar mengejutkannya. Kenapa keadaan tiba-tiba menjadi begitu pelik untuk Reni lalui? Ini adalah masa-masa Reni membutuhkan kestabilan emosional karena ia harus mengerjakan tugas akhirnya. Tetapi keadaan menghempaskan Reni begitu saja. Sesampainya di rumah, tanpa basa-basi Reni langsung berlari ke lantai dua dan masuk ke kamarnya. Santi dan Lesmana yang sedang kedatangan tamu heran dengan sikap Reni. Ketika Ryo masuk, tatapan Santi penuh tanda tanya. Ryo sendiri memilih tetap di luar. Setelah menghabiskan rokoknya ia menelepon sang istri. "Yang, besok pagi bisa ke rumah nggak? Temenin Reni. Dia lagi ada masalah." ujarnya setelah telepon diangkat oleh Tania. Perempuan itu tidak b
Reni keluar dari galeri dengan wajah lelah tetapi juga tergambar kegembiraan di sana. Ia sangat gembira bisa magang di tempat gurunya yang mengenalkan dunia fotografi padanya. Tadi ketika acara perpisahan, Aldo bahkan memberikan hadiah pada Rendi dan Reni karena menjadi anak magang yang baik sepanjang masa. "Ini oleh-oleh buat kalian. Karena selama aku nerima anak magang, baru kali ini galeri bisa sangat seramai ini. Bahkan ada pengunjung yang bela-belain ke sini setiap hari cuma kepingin di-guide sama Rendi. Ini benar-benar pencapaian besar. Galeri bakalan sangat kehilangan kalian!" ucapan Aldo membuat semua yang ada di ruangan itu mendadak sedih. Lagi pula, siapa yang suka dengan momen perpisahan? "Mau langsung pulang atau kemana gitu?" tawar Rendi sembari menyerahkan helm pada Reni. Perempuan itu segera mengenakan helm. "Pulang dulu, besok aja main. Inget, kamu masih hutang ngajakin aku makan mie yamin yaa?" Rendi tertawa. Beberapa bulan selama magang ini hariny
Hari ini adalah hari terakhir Reni magang. Semalam, ia sudah menyelesaikan laporan magangnya selama tiga bulan ini. Nanti sepulang dari tempat magang, Ryo berjanji akan mentraktirnya sebagai hadiah karena Reni berhasil menyelesaikan magang tanpa kendala apapun. Selama magang, Reni memang lebih sering di rumah daripada di apartemen. Ini pun atas titah Mamanya, agar beliau tetap bisa memantau Reni. Santi takut apabila magang Reni memilih tinggal di apartemen, ia malah tidak pulang. "Mama lebay!" desisnya saat itu. Santi tidak peduli apapun perkataan putrinya. Yang terpenting adalah kebaikan Reni sekarang. Santi pun juga sudah mendengar tentang renggangnya hubungan Arjuna dengan putrinya. Andini sempat bercerita ketika keduanya bertemu di salah satu butik langganan mereka. "Aku bener-bener minta maaf lho, Jeng. Karena kesibukan Arjuna bikin Reni jadi merasa terabaikan. Jadinya malah mereka bertengkar." Andini menggenggam tangan Santi. Santi mengangguk mafhum.
Seharian Sandra hanya marah-marah. Ia kesal karena Arjuna mulai sering tidak fokus dan sering menengok ponselnya, meskipun itu sedang meeting penting dengan kontraktor. Sandra sudah memperingatkannya beberapa kali, tetapi nihil. Arjuna masih saja tidak fokus. "Kamu tuh kenapa sih? Ini kita udah hampir sebulan loh di sini! Kita udah jalanin proyek hampir tiga puluh persen dan kamu mulai sering nggak fokus. Kamu mau ngerusak karir kamu sendiri hah?!" pekik Sandra berapi-api ketika keduanya sampai di rumah. Ia sudah tidak bisa menahan diri karena kali ini Arjuna kehilangan profesionalismenya. "Aku nggak bisa konsen karena akhir-akhir ini Reni sering banget ngilang. Dia jadi super sibuk sampai nggak bisa dihubungi." jawab Arjuna enteng. Sandra mengusap wajahnya kasar. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan pernyataan yang Arjuna lontarkan dengan entengnya barusan. "Jadi profesionalisme kamu hilang gara-gara kamu bucin?" nada bicara Sandra sudah tidak mampu ia kontrol.
Sepanjang perjalanan menuju galeri, Reni mengunci rapat-rapat mulutnya. Ia tidak mengucapkan apapun setelah badannya dibuat panas dingin oleh Rendi. "Kamu kenapa sih? Sariawan?" tanya Rendi saat motornya berhenti di lampu merah. Rendi mengarahkan spionnya tepat ke wajah Reni. Reni sama sekali tidak mengeluarkan suara. Ia hanya menggeleng pelan. Hal ini membuat Rendi gemas. "Ya udah kalau sariawan, nanti aku beliin mie jontor. Katanya ampih buat bikin sembuh sariawan." ujarnya yang kemudian mendapatkan pelototan dari Reni. Ia tidak peduli dan langsung mengegas motornya saat lampu berubah menjadi hijau. Reni menoyor helm Rendi sampai lelaki itu menunduk cukup dalam. "Aduh, aku lagi nyetir ini, Ren! Nanti kalo nabrak gimana?" omel Rendi seraya mengelus hidungnya yang mencium spidometer motor. "Biarin!" Rendi tertawa. Tiba-tiba muncul ide konyol di pikirannya. "Oh, kamu pengen sehidup semati sama aku? Bilang atuh, Ren!" ujarnya sebelum kemudian memperce