Mata Arjuna tidak sedikitpun berpaling dari Reni. Ia melihat Reni sejak gadis itu turun dari lantai dua digandeng pacar Ryo dan juga Mamanya. Reni begitu cantik. Ralat, benar-benar cantik malam ini. Dengan balutan gaun dengan sedikit motif batik, flat shoes berwarna abu-abu dan juga riasan yang pas di wajahnya. Tidak lupa cepolan rambutnya yang menjadi ciri khas seorang Reni. Padahal hanya seminggu keduanya tidak bertemu, tetapi perubahan Reni yang Arjuna lihat, seakan-akan mereka telah berpisah bertahun-tahun.
"Cantik ya, adek gue!" bisik Ryo yang tiba-tiba saja sudah berada di sebelah Arjuna.
Arjuna mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun dari Reni. Dia seperti tidak mau kecolongan secuil saja momen ketika Reni melangkah menghampirinya.
"Hai!" sapa Arjuna setelah Reni berada di depannya.
Bukannya membalas, perempuan itu malah meninju pelan dadanya dengan menampilkan wajah
Para tamu undangan dipersilakan menikmati hidangan yang telah disediakan. Ada aneka macam jajanan tersedia di meja. Selain itu, juga ada banyak makanan utama di meja dekat kolam. Kerabat dekat Lesmana bergantian mengucapkan selamat atas terselenggaranya pertunangan Reni pada pasangan Lesmana dan Santi. Arjuna yang melihat Sandra ada di sini segera mengikuti perempuan itu yang berjalan ke belakang. Ia setengah berlari agar mampu mensejajari langkah Sandra. "Sandra, tunggu!" Arjuna menggamit tangan perempuan itu. Sandra berhenti dan berbalik menatap Arjuna. "Kamu ngapain ada di sini?" tanya Arjuna penuh tanda tanya. Ia benar-benar bingung dengan situasi saat ini. Bagaimana bisa perempuan dari masa lalunya itu berada di pertunangan Arjuna? "Ya aku memang harus di sini, Juna," panggilan itu membuat Arjuna sempat tercekat. Ia tidak menyangka nada sapaan Sandra tidak pernah berubah untuknya.
Reni segera berjalan dengan cepat ke kamarnya. Beberapa tamu masih asyik bercengkerama sementara yang lain ada yang sudah pulang karena acara inti memang sudah selesai. Sesampainya di kamar, Reni mengunci pintu kamarnya. Ia segera mencari pembersih make up. Ia hapus semua make upnya walaupun cukup sulit karena tebal. Akhirnya setelah berkutat dengan kapas dan micellar, Reni memutuskan untuk mencuci muka agar semua make upnya benar-benar hilang. Tak lupa Reni segera mengganti gaunnya dengan pakaian tidur. Ketika Reni akan bersiap pergi tidur, atau melarikan diri lebih tepatnya, pintu kamarnya diketuk. Reni diam. Ia tidak beranjak untuk membukakan pintu karena itu pasti Arjuna. "Dek, elo kenapa?" suara Ryo yang terdengar membuat Reni perlahan turun dark kasurnya dan membukakan pintu. "Acara belum selesai kok udah masuk kamar aja? Mana udah pake piyama lagi?" Ryo meneliti pakaian adiknya yang sudah berganti. &
Ayam baru saja berkokok ketika Reni membuka mata. Hari masih gelap, terbukti dengan tidak adanya cahaya masuk ke dalam kamar kecuali lampu tidurnya. Semalaman Reni tidak bisa tidur dengan nyenyak. Arjuna terus-menerus mencoba menghubunginya tapi ditolak oleh Reni. Bahkan, perempuan itu sampai mematikan ponselnya agar Arjuna berhenti menghubunginya untuk sementara waktu. Kenyataan tadi malam benar-benar membuat Reni syok. Bagaimana bisa tunangannya adalah mantan kekasih sepupunya. Reni tersenyum getir. Benar-benar seperti drama murahan yang biasanya ada di TV. Ia tidak mengira jika keadaannya seperti ini. Mungkin jika mengetahui hal ini lebih awal, hidupnya tidak akan sedrama ini. "Gue joging aja kali ya!" gumam Reni seraya bangun dari posisi tidurnya. Reni segera melangkah ke kamar mandi. Ia melakukan ritual pagi: gosok gigi dan cuci muka. Setelah selesai, ia menghampiri lemari pakaian untuk mencari pakaian olahraganya.
Reni bergegas masuk ke dalam rumah ketika terdengar langkah Arjuna yang berlari mengejarnya. Reni bahkan sampai mengacuhkan sapaan tukang kebunnya yang tak pernah absen ia sahuti. Reni hendak berlari naik ke tangga ketika Papanya memanggil. "Loh, Ren! Mau kemana? Nak Juna dari tadi nyariin kamu itu loh!" seru Papanya dari ruang tamu. Kebiasaan pagi Papanya membaca berita di koran sembari menikmati teh hangat. "Engg, Reni mau mandi dulu, Pa. Soalnya tadi habis joging!" jawab Reni seraya melanjutkan langkahnya, berusaha menghindari pertanyaan interogasi lainnya. "Tumben-tumbenan anak itu joging? Biasanya lebih memilih menarik selimut sampai siang!" gumam Lesmana seraya menyeruput teh hangatnya. Arjuna tidak masuk. Ia memilih untuk mengobrol dengan tukang kebun yang tadi dicueki oleh Reni. Arjuna menanyakan banyak hal tentang Reni, mulai dari kebiasaannya sampai phobia apa yang diderita Re
Arjuna mengemudi mobilnya dengan lambat. Ia kembali merefleksi kejadian semalam. Bagaimana ia melihat senyuman Reni saat keduanya bertukar cincin dan tiba-tiba berbalik menjadi raut wajah dingin ketika mendengarkan penjelasan Sandra. "Sebenernya memang Reni harus tau. Tapi, waktunya nggak tepat banget!" gumam Arjuna seraya memukul setir mobilnya. Ia kesal bukan main pada Sandra yang seenaknya saja menceritakan semuanya tanpa melihat keadaan terlebih dahulu. Harusnya Sandra lebih paham bagaimana emosi seorang perempuan, sehingga ia bisa berhati-hati dalam berbicara. Tiba-tiba saja ponsel Arjuna berbunyi. Tanpa melihat siapa yang meneleponnya di hari Minggu pagi ini, Arjuna menyambungkan headset bluetoothnya dan segera menjawab telepon. "Haloo!" seru Arjuna lebih dulu dengan tetap fokus pada jalanan. "Morning, Juna!" suara centil itu membuat emosi Arjuna tiba-tiba naik. &nbs
Reni benar-benar bosan karena seharian tidak beraktivitas apapun. Ia hanya menggambar beberapa sketsa dan kemudian bosan. Ryo hari ini kencan dengan Tania, jadilah Reni di rumah sendirian tidak ada teman berbicara. "Kenapa gue nggak ngajakin Nadya nginep di sini aja, ya?" tiba-tiba otak Reni mencetuskan sebuah ide. Ia segera meraih ponselnya dan mengirim pesan agar Nadya berangkat ke rumahnya. Nadya hanya membalas dengan emoji jempol tanpa ada keterangan apapun. "Ini Nadya gimana sih, kok cuma pake emoticon doang! Diih!" Reni kesal bukan main hingga melemparkan ponselnya ke atas kasur. Ia melanjutkan kegiatan menggambarnya untuk menghilangkan kebosanan. Sepuluh menit berlalu tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dengan heboh. "Duh siapa sih nih? Ganggu orang aja!" Reni beranjak dari meja belajarnya untuk membukakan pintu. "Heelooow, yang baru tunangan!" suara heboh Nadya
Mobil CRV berwarna hitam itu baru saja terparkir ketika disusul oleh mobil sedan berwarna putih. Arjuna yang turun lebih dulu heran melihat Mamanya baru pulang. Tidak biasanya Mamanya akan pulang malam ketika ada acara di luar. Jam malam Mamanya adalah pukul tujuh. "Mama dari mana? Kok jam segini baru pulang?" tanya Arjuna seraya menggandeng Andini masuk ke dalam rumah. Kelihatan sekali wajah Andini lelah setelah aktivitasnya seharian. "Mama habis arisan, Jun. Ini kan hari Minggu!" Kening Arjuna berkerut. Sejak kapan arisan sampai malam begini? "Biasanya Mama kalau arisan nggak sampai malem, Ma. Palingan jam lima udah pulang. Tumben?" Keduanya duduk di ruang tengah. Arjuna memijit ringan lengan sang Mama yang terlihat letih. "Iya, tadi dimulainya siang jam dua-an gitu. Terus mereka tau kalau kemarin kamu tunangan. Ya, mereka tanya-tanya seputar
Sandra memasuki apartemennya dengan wajah lelah. Ia melempar tasnya ke sofa, melempar sepatunya ke sembarang arah dan meletakkan jaketnya sembarangan. Apartemennya sudah seperti kapal pecah sejak beberapa hari terakhir. Perempuan itu langsung menghampiri kitchen bar untuk mengambil minuman. Ia menenggak minuman bersoda langsung dari botolnya. Kemudian, ia berjalan menuju ruang tengah dan menghempaskan diri di sana. Pikirannya menerawang jauh. Ia kembali mengingat masa-masa ketika bersama dengan Arjuna. Bagaimana laki-laki itu memperlakukannya dengan sangat lembut dan penuh kasing sayang. Semua pinta Sandra memang dituruti, hanya saja Arjuna tidak pernah bisa meninggalkan pekerjaannya demi Sandra. Sifat ambisius Arjuna tidak bisa dipatahkan oleh apapun. Sandra sudah mencoba segala cara untuk mengalihkan dunia Arjuna agar sedikit saja beristirahat dan menikmati waktu bersamanya. Tetapi, semua usahanya itu gagal. &nb
Reni hampir seminggu berada di indekos Rendi. Selama itu pula hanya Nadya yang datang menemaninya. Arjuna, bahkan orang tuanya tidak ke sini. Ia lupa bahwa ponselnya dipegang oleh Ryo. Pagi ini, suasana hati Reni sudah lebih baik. Walaupun masih ada kekecewaan di hatinya, tetapi ia tak serapuh kemarin-kemarin. Hatinya jauh lebih kuat. "Yakin mau pulang sekarang?" tanya Rendi untuk yang kesekian kalinya. Ia yang paling terlihat khawatir akan kestabilan emosi Reni. Reni mengangguk yakin. Setelah satu minggu 'bertapa' di sini, ia memilih untuk berhenti menghindar dan menghadapi semuanya. Walaupun mungkin itu sangat menyakiti perasaannya, ia tak ingin lari lagi. Akhirnya Rendi memilih ikut ke rumah Reni dengan menjadi sopir mobilnya. Rasa kekhawatirannya benar-benar tidak bisa hilang. Reni mengiyakan saja apabila Rendi mau mengantarnya ke rumah. Sesampainya di depan gerbang rumah, Reni meminta untuk memarkir motornya di luar saja. Dengan langkah perlahan, Reni dite
Pagi ini, Rendi memilih untuk mencuci motornya setelah setiap hari ia gunakan pulang-pergi ke tempat magang yang lumayan jauh. Beberapa kali memang sempat ia cuci. Akan tetapi, setelah sakit ia jadi malas mencuci motornya. Selagi cuaca cerah, Rendi dengan telaten membersihkan motor kesayangannya. Tak lupa, ia juga menjemur helm yang setiap hari ia pakai agar tidak bau apek. Ketika mengelap motornya agar semakin kinclong, sebuah mobil yang Rendi kenali memasuki halaman indekosnya. Keningnya berkerut tatkala pemilik mobil tak jua keluar. Rendi bergegas menghampiri mobil itu. Ia mengetuk kaca jendela mobil. Butuh waktu beberapa menit sebelum akhirnya kaca jendela itu turun dan menampilkan wajah kalut Reni. "Kamu kenapaaa??" Rendi terkejut bukan main melihat mata sembab Reni. *** Ryo menarik napas sedikit lega ketika membuka pesan di ponsel Reni dan ada salah satu temannya yang didatangi. Bahkan, seseorang bernama Rendi itu berani bertaruh nyawanya apabila Reni
Ketika terdengar keributan di bawah, Tania memeluk Reni erat. Ia tidak ingin adik iparnya ini semakin sedih. "Dia ngapain ke sini sih, Mbak?" bisik Reni menahan isak tangisnya. Tania mengelus punggung Reni. "Udah, nggak usah dipeduliin. Yang terpenting sekarang adalah kondisi kamu. Sesekali egois itu perlu kok!" Tania terus mendekap Reni. Ia berharap mampu menyalurkan energi positifnya pada Reni, agar kesedihan itu setidaknya berkurang. "Mbak, aku mau ke balkon cari angin!" desis Reni, menghapus sisa-sisa air matanya. "Mau mbak temenin nggak?" tawar Tania. Ternyata Reni menggeleng. "Beneran nggak apa-apa sendiri?" "Nggak apa-apa, Mbak. Sebentar aja!" Reni bangkit dari duduknya. Ia menuju wastafel untuk membasuh wajahnya. Setelah itu ia baru keluar setelah meyakinkan Tania bahwa ia baik-baik saja. Tanpa sepengetahuan Tania, Reni sudah mengantongi kunci mobilnya yang kebetulan terparkir di belakang. Reni berniat kabur dari rumah daripada ia harus meli
Reni bangun ketika jendela kamarnya terbuka. Matanya perih terkena sinar matahari pagi setelah semalaman menangis. Ternyata papanya yang membuka gorden jendela kamar. "Bangun yuk. Udah siang ini!" Lesmana mendekati putrinya. Ia elus rambut putrinya yang berantakan. Reni masih terbaring di kasurnya. Padahal ia baru saja terbangun, tetapi rasanya melelahkan sekali. Ia seperti merasakan lelah yang tak berkesudahan. "Tuh, ada Tania. Kamu temuin dong!" Lesmana mencoba membuat putrinya bersemangat, walaupun ia tahu hal ini mungkin sia-sia. Reni malah melamun. Matanya terlihat sangat sembab setelah menangis sampai tertidur. Ia bahkan tidak sempat mengganti baju tidurnya. Pikirannya kacau, sangat kacau. *** Arjuna pulang dengan perasaan gelisah. Nada bicara Ryo yang penuh amarah semalam membuatnya kelabakan mencari tiket pesawat saat itu juga. Ia sempat beradu argumen dengan Sandra yang berusaha menahannya. "Palingan cuma masalah sepele!" begitu katanya. Arjuna
Sepanjang jalan pulang, Reni terdiam. Minimnya cahaya dijadikan tameng untuknya menangis tanpa suara. Reni membuang muka menghadap ke jendela mobil agar tangisnya tak terlihat oleh Ryo. Sementara itu, di sebelahnya Ryo berusaha meredam amarah. Apa yang ia lihat di ponsel Reni tadi benar-benar mengejutkannya. Kenapa keadaan tiba-tiba menjadi begitu pelik untuk Reni lalui? Ini adalah masa-masa Reni membutuhkan kestabilan emosional karena ia harus mengerjakan tugas akhirnya. Tetapi keadaan menghempaskan Reni begitu saja. Sesampainya di rumah, tanpa basa-basi Reni langsung berlari ke lantai dua dan masuk ke kamarnya. Santi dan Lesmana yang sedang kedatangan tamu heran dengan sikap Reni. Ketika Ryo masuk, tatapan Santi penuh tanda tanya. Ryo sendiri memilih tetap di luar. Setelah menghabiskan rokoknya ia menelepon sang istri. "Yang, besok pagi bisa ke rumah nggak? Temenin Reni. Dia lagi ada masalah." ujarnya setelah telepon diangkat oleh Tania. Perempuan itu tidak b
Reni keluar dari galeri dengan wajah lelah tetapi juga tergambar kegembiraan di sana. Ia sangat gembira bisa magang di tempat gurunya yang mengenalkan dunia fotografi padanya. Tadi ketika acara perpisahan, Aldo bahkan memberikan hadiah pada Rendi dan Reni karena menjadi anak magang yang baik sepanjang masa. "Ini oleh-oleh buat kalian. Karena selama aku nerima anak magang, baru kali ini galeri bisa sangat seramai ini. Bahkan ada pengunjung yang bela-belain ke sini setiap hari cuma kepingin di-guide sama Rendi. Ini benar-benar pencapaian besar. Galeri bakalan sangat kehilangan kalian!" ucapan Aldo membuat semua yang ada di ruangan itu mendadak sedih. Lagi pula, siapa yang suka dengan momen perpisahan? "Mau langsung pulang atau kemana gitu?" tawar Rendi sembari menyerahkan helm pada Reni. Perempuan itu segera mengenakan helm. "Pulang dulu, besok aja main. Inget, kamu masih hutang ngajakin aku makan mie yamin yaa?" Rendi tertawa. Beberapa bulan selama magang ini hariny
Hari ini adalah hari terakhir Reni magang. Semalam, ia sudah menyelesaikan laporan magangnya selama tiga bulan ini. Nanti sepulang dari tempat magang, Ryo berjanji akan mentraktirnya sebagai hadiah karena Reni berhasil menyelesaikan magang tanpa kendala apapun. Selama magang, Reni memang lebih sering di rumah daripada di apartemen. Ini pun atas titah Mamanya, agar beliau tetap bisa memantau Reni. Santi takut apabila magang Reni memilih tinggal di apartemen, ia malah tidak pulang. "Mama lebay!" desisnya saat itu. Santi tidak peduli apapun perkataan putrinya. Yang terpenting adalah kebaikan Reni sekarang. Santi pun juga sudah mendengar tentang renggangnya hubungan Arjuna dengan putrinya. Andini sempat bercerita ketika keduanya bertemu di salah satu butik langganan mereka. "Aku bener-bener minta maaf lho, Jeng. Karena kesibukan Arjuna bikin Reni jadi merasa terabaikan. Jadinya malah mereka bertengkar." Andini menggenggam tangan Santi. Santi mengangguk mafhum.
Seharian Sandra hanya marah-marah. Ia kesal karena Arjuna mulai sering tidak fokus dan sering menengok ponselnya, meskipun itu sedang meeting penting dengan kontraktor. Sandra sudah memperingatkannya beberapa kali, tetapi nihil. Arjuna masih saja tidak fokus. "Kamu tuh kenapa sih? Ini kita udah hampir sebulan loh di sini! Kita udah jalanin proyek hampir tiga puluh persen dan kamu mulai sering nggak fokus. Kamu mau ngerusak karir kamu sendiri hah?!" pekik Sandra berapi-api ketika keduanya sampai di rumah. Ia sudah tidak bisa menahan diri karena kali ini Arjuna kehilangan profesionalismenya. "Aku nggak bisa konsen karena akhir-akhir ini Reni sering banget ngilang. Dia jadi super sibuk sampai nggak bisa dihubungi." jawab Arjuna enteng. Sandra mengusap wajahnya kasar. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan pernyataan yang Arjuna lontarkan dengan entengnya barusan. "Jadi profesionalisme kamu hilang gara-gara kamu bucin?" nada bicara Sandra sudah tidak mampu ia kontrol.
Sepanjang perjalanan menuju galeri, Reni mengunci rapat-rapat mulutnya. Ia tidak mengucapkan apapun setelah badannya dibuat panas dingin oleh Rendi. "Kamu kenapa sih? Sariawan?" tanya Rendi saat motornya berhenti di lampu merah. Rendi mengarahkan spionnya tepat ke wajah Reni. Reni sama sekali tidak mengeluarkan suara. Ia hanya menggeleng pelan. Hal ini membuat Rendi gemas. "Ya udah kalau sariawan, nanti aku beliin mie jontor. Katanya ampih buat bikin sembuh sariawan." ujarnya yang kemudian mendapatkan pelototan dari Reni. Ia tidak peduli dan langsung mengegas motornya saat lampu berubah menjadi hijau. Reni menoyor helm Rendi sampai lelaki itu menunduk cukup dalam. "Aduh, aku lagi nyetir ini, Ren! Nanti kalo nabrak gimana?" omel Rendi seraya mengelus hidungnya yang mencium spidometer motor. "Biarin!" Rendi tertawa. Tiba-tiba muncul ide konyol di pikirannya. "Oh, kamu pengen sehidup semati sama aku? Bilang atuh, Ren!" ujarnya sebelum kemudian memperce