Mas Kelvin jongkok di depanku dan menatap dengan senyumnya, kali ini dia berbeda. Kukernyitkan dahiku untuk mencari perbedaan itu, tapi tidak. Mungkin sikapnya yang berubah, sejak dia datang tadi. "Kita harus sabar. Kalau kita jodoh, semua akan dipermudah." Mas Kelvin menggenggam tanganku. Aku setuju dengan ucapannya, tapi hatiku tidak! "Sabar, ya, kita usaha yang terbaik. Biarkan tangan Tuhan yang bekerja!" saran dari Mas Kelvin. "Hmm, yang tadi aku enggak salah dengar, kan?" tanya Mas Kelvin. Yang tadinya aku terharu dengan kata-katanya, sekarang harus kebingungan. "Apa, Mas?" tanyaku. Tentu saja, aku sedang tidak bisa berpikir dengan jernih. Terlalu banyak yang ada di otakku, sehingga rasanya ingin meledak. "Tadi kamu bilang mau bersamaku!" ujar Mas Kelvin lirih dengan alis di naik turunkan. "Kayaknya, kamu harus cari wanita lain, Mas!" sanggahku. "Ooooo!" sahutnya santai. Tanganku repleks memukul pundaknya. Mata kami saling bersitatap, lembut sekali pandangannya. "Aku se
"Tadi, Bu Rini enggak mau dirawat dan memaksa mau pulang. Sampai di depan pintu cuma diam aja, ternyata mendengarkan obrolan kalian." terang suster yang menjaga mama Rini. Aku dan Mas Kelvin saling pandang, dan kulihat senyum mengembang di wajah Mas Kelvin. Entah apa maksudnya. "Yuk, kita pulang, Tante," ajak Mas Kelvin, membuatku melotot padanya. Tidak disangka, Mama Rini langsung mengiyakan ajakan dari lelaki di depannya. Aku hanya bisa menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Suster mencegah Mas Kelvin, tapi dia memaksa untuk membawa mama Rini dan mengataka akan bertangung jawab dengan apa yanga akan terjadi kemudian. Akhirnya, pihak rumah sakit membiarkan kami pergi, setelah semua administrasi diselesaikan. *** "Kamu gimana sih, Dis!" omel mama, begitu kami sampai di rumah. Aku hanya diam saja, sambil mencubit pinggang Mas Kelvin kesal. Sedangkan yang dicubit hanya tersenyum manja, makin membuatku marah. "Tanya aja sama ini orang!" tunjukku pada Mas Kelvin. Mas Kelvin mengaja
"Jangan begitu, Nak. Kelvin laki-laki baik, dan tidak seperti Aditya!" ujar mama merajuk. "Ma, tapi ...." Aku melirik mama Rini. Mama dan mama Rini berbicara bergantian, mereka mengungkapkan jika ingin hidup menua bersama, apalagi papa juga sudah tiada. "Kamu masih muda dan butuh orang yang mendampingi, sedangkan Mutiara butuh sosok ayah yang melindunginya. Mama juga sudah mengikhlaskan semuanya, InsyaAllah ini yang terbaik untuk kita dan mama yakin Reinaldi akan bahagia di atas sana," Mama Rini mengatakannya dengan mata berbinar, berbeda dengan yang sebelumnya. Hanya ada luka di netranya yang mulai tua. Aku diam dan menatap mereka berdua secara bergantian, mencari ada apa dengan mereka sehingga berubah secepat ini. Apakah saat aku di dalam bersama Mutiara, Mas Kelvin meracuni pikiran mereka? "Enggak usah liat mama seperti itu!" Mama mencibirku dengan mimik wajah yang membuatku gemas. "Ma, sudahlah. Biarkan aku menjaga kalian saja!" elakku dengan wajah yang pastinya bersemu. Ma
Sesekali aku menatap Mama Rini yang matanya masih menyimpan kesedihan, dan aku paham itu. Meskipun, Mas Kelvin adalah keponakannya, tetap saja berbeda dengan anak kandung. Aku menghela napas, begitu rumit hidupku. Mutiara mendekatiku dan menyematkan cincin yang dia pegang, karena aku tidak kunjung memberikan jawaban. Bagaimana aku bisa memberikan jawaban, saat seseorang ada yang terluka, melihat kebahagian ini. "Mama lama!" keluh Mutiara. Anakku memperhatikan jariku yang dihiasi oleh dua cincin dari dua lelaki yang berbeda, kemudian Mutiara menatap mama Rini dan kembali ke jariku. "Oma, enggak apa-apa, kan?" tanya Mutiara pada Mama Rini. Mama Rini meitikkan air mata, aku tahu, dia masih tidak ikhlas. Ada seseorang yang menggeser anaknya dalam waktu yang singkat. Mutiara memeluk Mama Rini, hingga mereka berdua jatuh di sofa, tentu saja aku langsung memarahi Mutiara. "Nak, kasihan Oma! Kan, oma belum sembuh!" keluhku. "Biar saja, ini, kan cucu oma!" Mama Rini membela Mutiara. "I
Mama Rini duduk diantara aku dan Mas Kelvin, memegang tangan kami berdua dalam gengaman tangannya. "Mama tidak akan mungkin merelakanmu dengan siapapun, tapi mama harus sadar, bahwa kamu perlu melanjutkan hidup. Walaaupun kamu menikah dengannya, kamu tetap jadi menantu mama, semoga kamupun beitu, Nak!" Suara Mama Rini bergetar, aku tahu perasaannya saat ini tidak bisa diobati oleh apapun. "Tante dan Reinaldi adalah orang yang paling dekat denganku, dari pada orang tuaku sendiri. Meski kita sempat jauh, tapi hubungan kita tetaplah erat." Mas Kelvin menatap Mama Rini dengan lekat dan menguatkan genggaman tangannya yang bisa kurasakan. Ingin sekali kutinggalkan mereka berdua, untuk berbincang lebih lama, tapi semua menyangkut diriku juga. Mau tidak mau, aku harus membersamai mereka berdua. "Jadilah anak mama untuk selamanya," pinta Mama Rini dengan merangkul kami berdua. Aku sangat tidak berdaya, jika sudah seperti ini. Entah hatiku terbuat dari apa, terlalu melow, kata mereka. "Men
Mas Kelvin memintaku dan Mama Rini untuk diam di sini saja, dan dia yang akan melihat ada apa di depan. Namun, rasa penasaranku tiba-tiba muncul. Entah siapa yang berteriak di luar sana. "Apa Mas Aditya!" gumamku seketika. Aku takut, mama Rini syok mengetahui tentang kedatangan lelaki brengsek, yang sebentar tobat, sebentar kumat. "Mama mau istirahat di kamar?" tanyaku, sebenarnya aku mengharapkan mama Rini segera ke kamar. "Iya," Seketika aku merasa lega. Aku memapah Mama Rini untuk masuk ke kamarnya dan langsung bergegas ke depan. Di sana suara riuh sudah mulai terdengar. Yang paling sesak, Mutiara melihat dari balik jemdela. "Nak, Oma Rini temani, ya, kasihan," pintaku dengan menepuk pundaknya. Mutiara tersentak, saat aku memergokinya, kemudia langsung menuju ke kamar mama Rini. 'Maaf, Nak. Belum waktunya kamu mengetahui permasasalahan orang dewasa.' Benar dugaanku, Mas Aditya yang sedang membuat runyam, entah apa mau laki-laki itu. Padahal, dia sudah berjanji, tidak akan m
Om Alex datang dengan wajah merah padam, aku tidak tau, jika dia kan kembali ke sini. Dia mendekati Mas Aditya dan menarik kerah bajunya."Sudah kukatakan sejak awal kamu menikah! Jangan pernah sia-siakan, Gladis dan Mutiara. Kamu malah menjadikannya pembantu dan selingkuh darinya. Maumu apa?" Terlihat Mas Aditya kesulitan bernapas.Orang suruhan Mas Aditya mencoba membantu bosnya itu, tapi dengan sekali tatapan tajam Om Alex, mereka kembali menjauh. Om Alex kembali menatap tajam Mas Aditya, yang mulai berkeringat, Mas Aditya tahu betul siapa lelaki yang ada di depannya. "Saya hanya ingin Gladis kembali ke saya, Om. Bukan ingin menyakitinya," ujar Mas Aditya tergagap.Satu tamparan mendarat di wajahnya dan cukup membuat Mas Aditya meringis menahan rasa sakit. Sepertinya, Om Alex makin mengencangkan genggaman tangannya di kerah baju Mas Adity, terlihat dari wajah lelaki yang pernah membersamaiku itu. Dia makin meringis dan kesulitan bernapas."Om, jangan sampai dia mat*!" pintaku.Aku
Hampir saja, aku terjungkal karena eratnya pegangan tangan Mas Aditya. Untung saja, Mas Kelvin menarik tanganku, setelah dia mendorong Mas Aditya menjauh. "Kamu enggak apa-apa?" tanya Mas Kelvin, memastikan kondisiku. Aku mengangguk, tanda baik-baik saja. Mas Kelvin kembali ke Mas Aditya dan memberikan laki-laki itu ultimatum. "Jika sekali lagi kamu mengganggu Gladis, maka kakimu akan patah. Akan aku pastikan itu!" ucapnya lantang. Mas Aditya ingin berdiri, tapi dicegah oleh Om Alex. "Pergunakan uangmu bukan untuk hal seperti ini. Bangunlah kepercayaan dirimu dan perbaiki hidupmu yang hancur, atau kamu akan semakin hancur dan tidak lagi memiliki apapun!" imbuh Om Alex dengan suara lembut. Semua orang di sekitarku memiliki sikap yang lemah lembut, meski telah disakiti. Hal inilah yang membentuk kepribadianku, walau awalnya keinginan membalas dendam sangat menggebu. Bisa sirna begitu saja, jika ada pengganti orang yang bisa mendampingi. "Mas pergilah, jika kamu sudah berubah baik