“Hebat, ya? 9.800 like?” ucapku ternganga melihat angka sebanyak itu di bawah foto yang diunggah istriku, satu jam lalu. Foto yang memperlihatkan sebuah kalung putih berleontin biru.
“Berkat Papa. Makasih ya, Sayang?” Lolita memberikan kecupan di pipi kiri. Meninggalkan rasa dingin sekaligus basah. Aku mengelap pipi karena tak ingin lipstiknya tertinggal di sini.
“Jangan khawatir, Pa. Ini lipstik mahal,” bisiknya. “Lihat ini.” Dia menscrol ponselnya ke bawah.
“Status pas mama nyobain lipstik ini, berhasil mendulang like 8.000 loh, pa?” Tambahnya makin bersemangat.
“Syukur, deh. Berarti gak sia-sia dong, Papa kerja siang malam? Sampai lembur-lembur, kalau Mama gak bahagia, apa gunanya coba?”
Aku memberikan rangkulang pada pinggangnya yang ramping. Aroma parfumnya yang memabukkan hampir saja membuatku terbuai.
“Papa mau pergi lagi?” tanyanya bernada kecewa saat aku melepas pelukan. Aku menatap wajahnya dengan sayang, teramat sayang. Lalu, mencium pipinya yang putih tanpa setitik noda.
“Sebentar lagi, Sayang,” jawabanku disambut dengan cebikan kecil.
“Padahal Mama lagi kepengen berduaan sama Papa,” keluhnya.
“Gak lama kok. Nanti malam Papa usahakan pulang lebih awal biar kita bisa makan malam bertiga.”
“Hu’um,” balasnya masih dengan nada kecewa. Aku tersenyum melihat ekspresinya yang menurutku lebih menggemaskan jika seperti ini. Aku merogoh saku celana. Mengeluarkan sebuah benda berwarna merah.
“Jangan ngambek. Papa punya sesuatu,” bisikku tepat di telinganya, membuat Lita menggelinjang kegelian.
Aku menyodorkan sebuah cincin bermata putih ke hadapannya. Lita memekik kecil.
“Pa .... ini sih, asli mutiara yang lagi viral itu. Papa belinya di mana? Berapa harganya?”
Lita langsung menyematkan pada jari manisnya. Ada yang mengalir sejuk ketika melihatnya seperti ini, berbinar dengan senyum yang terus mengembang. Rasa bahagia sampai menciptakan kaca-kaca di matanya yang bening.
“Gak penting berapa harganya, yang terpenting Mama suka. Apa sih, yang nggak buat Mama?”
“Eluh-uluh ... so sweet. Oya, Papa sempatkan di jari mama, ya? Mama mau ambil fotonya.”
Lolita menyerahkan cincin putih padaku. Lalu, meraih ponsel untuk mengambil gambar.
Aku menyematkan cincin itu di jari manisnya. Persisi seperti arahannya. Kemudian, Lita mengambil foto berkali-kali dengan senyum mengembang.
“Sudah, Pa.” Lita memperlihatkan sebuah foto yang dianggapnya paling bagus.
Aku berdiri mendekati nakas ketika ponsel berdering. Sebuah pesan masuk dan merujukku harus segera pergi.
“Papa pergi, Ma,” ucapku. Seketika itu juga, Lita meletakkan ponselnya. Ia membantuku membenahi kemeja dan memasang dasi.
“Panggil Tiara,” perintahku.
Sekali memberi perintah, Lita langsung beranjak pergi. Tak lama kemudian, seorang bocah tiga tahun berlari dan langsung memelukku.
“Bidadarinya Papa masih wangi, ya?” Aku menghujaninya dengan ciuman yang bertubi-tubi, hingga membuatnya terkikik kegelian.
Aku menggendongnya ke luar. Masih dengan menciumi pipinya yang gembil. Aroma bedak bayi menguar, membuatku selalu merindukan bocah semata wayang ini.
Lita mengikutku dari belakang, sampai di depan teras.
“Papa pergi dulu. Tiara jangan rewel, gak boleh bikin Mama se-“
“-dih,” lanjut Tiara dengan tawa khasnya.
“Makan malam di rumah loh, Pa.” Lita mengingatkan. Aku hanya mengangguk. Menuruni tangga yang tak seberapa tinggi, menuju mobil yang terparkir di halaman. Lalu melajukannya seorang diri. Tempat tujuanku tidak terlalu jauh. Jadi, tak perlu membawa sopir.
Aku menikmati perjalanan dengan santai. Setiap hari, rutinitas ini tak terasa membosankan. Sebab, aku punya tujuan hidup yang pasti.
Lima belas menit kemudian, aku sampai di tempat tujuan. Langsung memarkirkan mobil dan merogoh ponsel. Memeriksa panggilan darurat yang sering di laporkan oleh orang-orang kepercayaanku.
Ternyata sudah ada dua pesan yang masuk. Semua pesan dari Lolita. Aku sudah bisa menebak isi pesannya. Palingan laporan follower yang bertambah, like yang membeludak, atau komentar para pengikutnya.
Benar adanya. Dia mengirimkan screenshot komentar netizen. Isinya kurang lebih sama, yaitu ucapan kekaguman dan pujian dari foto yang baru saja ia unggah.
[Papa, baru sepuluh menit, like-nya 500-an.]
Aku tersenyum puas melihat isi pesannya. Kemudian membuka aplikasi berwarna biru itu. Begitu aplikasi terbuka, langsung terpampang foto yang diunggah Lita. Sebuah foto cincin bermata putih melingkar di jemarinya. Di bawahnya tertulis caption, “Doa terindah itu dari isteri salihah. Dan aku merasa bukan apa-apa di sampingmu, tetapi kamulah yang membuatku sangat berarti.”
Ratusan komentar membanjiri kolom komentarnya, bahkan like yang baru saja dia laporkan, sudah bertambah dua kalinya.
Aku menulis satu kalimat di kolom komentar sebagai pembukti bahwa foto itu benar adanya, bukan palsu atau mengambil gambar dari aplikasi tertentu.
Di sana kutulis, “Lup U, Han.”
Singkat, tapi aku yakin, akan ada puluhan bahkan ratusan emoticon hati dari para pengikut Lolita di sana nanti. Aku memang segampang itu membuat Lita merasa tersanjung.
Lita, seorang sosialita kelas atas sejak menjadi istriku, empat tahun lalu. Aku memberinya semua kemewahan. Sebab, dia sangat cantik dan layak mendapat itu semua. Bukan tanpa alasan, aku sangat mencintainya. Jelas akan memberikan semua yang tampak nyata. Terlebih dia sudah memberiku seorang anak perempuan.
Aku meninggalkan Lita dengan segala kehebohannya. Sejenak menjauh dari hiruk pikuk dunia luar. Aku memasuki sebuah kamar dan merebahkan diri di sana.
Menatap langit-langit kamar dengan pias, kemudian beringsut ke samping, meraih pinggang ramping yang tergolek di sana. Dia menggeliat mendapat serangan dariku yang bertubi-tubi.
“Emmm,” gumamnya sambil mengerjab.
“Lama banget sih, Mas. Aku sampai capek menunggunya,” keluhnya bernada kesal.
“Biasa, tad-“
“Membalas komentar Mbak Lita,” potongnya, ngambek.
“He’eh, sebentar doang.”
“Aku baca, loh. Lup U, Han,” ucapnya menirukan komentar yang kutulis.
“Ck, begitu saja ngambek.”
Aku mendekapnya erat sambil meremas jemarinya yang lentik. Lalu, mengelus cincin bermata putih yang melingkar di sana, sama persis seperti foto yang diunggah Lita.
“Besok, aku mau tas keluaran terbaru. Aku sudah searching gambarnya,” ucapnya setelah bergumul beberapa saat.
“Bisa,” jawabku santai.
“Tapi tetap aku yang memilih duluan, baru sisanya berikan sama Mbak Lita,” pinta gadis delapan belas tahun ini.
“Gak masalah. Memang selalu begitu, kan?” jawabku masih bernada santai.
Apapun itu tak menjadi masalah bagiku. Lolita akan bahagia dengan kesenangannya, yaitu berbagi kemewahan di media sosialnya dan Namira akan bahagia karena dia mendapat barang yang sama dengan Lolita. Dengan janji bahwa, istri keduaku ini tidak akan mengunggah apapun yang kuberikan padanya.
Namira akan tersenyum puas ketika nanti aku membawakan dua tas branded yang harganya sangat fantastis. Ia akan memilih mana dia suka, lalu akan memberikan sisanya padaku, tentu saja untuk Lolita.
Hidup memang sesederhana ini.
****
“Mama mau update status bagi-bagi sembako?” tanyaku konyol. Sebenarnya, sambil menahan tawa. Mana mau Lolita turun ke lokasi bencana yang berlumpur itu.“Ih, ya nggaklah! Mama mau turun juga ke sana, tapi nggak perlu di foto-foto. Kan membantu demi kemanusiaan, gak perlu dipemerkan, Pa.”“Tumben,” celetukku, karena tak menyangka.“Papa ih, kok ngomongnya gitu, sih?” Lolita mulai memasang wajah masamnya.“Bukan begitu. Biasanya cekrek-cekrek, langsung update status.”“Itu ‘kan kalau dapat hadiah dari Papa. Soalnya, suka geram sama mantan-mantan Papa yang selusin itu. Suka kepoin status Mama, deh.”“Halah, mantan yang mana?” kilahku sambil beralih hendak ke kamar mandi.“Itu, mantan Papa yang nikah sama pemilik TV swasta. Sama yang satunya lagi, punya salon langganan para artis itu.” Lolita terus berceloteh. Kalau soal mantan, aku malas menanggapi. Sudah tutup buku soalnya.**Seperti rencana, Lolita mendatangi korban bencana tanah longsor. Aku memberinya sokongan dana sebagai bantuan.
“Mama nonton TV loh, Pa. Seluruh bandara di pulau itu di tutup dari pagi karena cuara buruk, hujan dan badai. Pertanyaan mama, Papa pulang naik apa, hah?”Mati.Melihatnya berkacak pinggang, nyaliku langsung menciut. Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Mencoba menetralkan perasaan kacau yang tiba-tiba menyelimuti diri.“Em ... sebenarnya, papa-““Apa? Mau ngeles?” Lolita tak memberiku kesempatan untuk mengulik.“Bukan. Papa—“Tiba-tiba ponselku berdering. Aku hendak beralih.“Di sini saja ngangkat teleponnya. Mama mau dengar dengan siapa Papa bicara. Kalau perlu diload speaker sekalian. Mana tau Papa punya gun**k di luaran sana.” Lolita meradang, nada bicaranya naik satu oktaf.“Astaga, ma. Ini Wina, Mama,” balasku.Aku mengambil duduk di pinggir ranjang agar Lolita mendengar pembicaraanku dengan Wina.“Halo, kenapa, Win?” tanyaku tanpa basa-basi.“Saya di depan rumah, Bapak,” jawabnya.Lolita mencelos saat aku memandangnya setelah memutus panggilan.“Wina ada di bawah. Ayo ikut papa
PoV NamiraSebagai wanita kedua, aku merasa lebih beruntung dari istri sahnya. Lihat barang bawaanku, sepatu, tas, baju yang kesemuanya bermerek. Bahkan, aku bisa mentraktir teman-teman kuliahku. Semua yang kunikmati sama dengan istri pertama.Hanya mobil yang belum kumiliki. Bukan tak mampu membeli, tetapi suamiku melarang aku memilikinya. Sebab, orang-orang bakal mempertanyakan, dari mana uangku itu berasal.Sudahlah! Terpenting, aku bisa menikmati hidup tanpa kekurangan.Aku baru saja memasuki rumah, meletakkan barang belanjaan dan mengempaskan tubuh ke ranjang. Aku meraih bantal di sisi kananku, lalu menciumnya. Aroma parfum maskulin masih bisa kubaui.“Kangen, Mas,” gumamku.Sudah seminggu ini, Mas Tama tidak datang menemuiku. Alasan klasik, takut istrinya curiga, karena liburan minggu lalu ketika bersamaku, berhasil diendus wanita berlesung pipi itu. Bersyukurnya tidak sampai terbongkar.Aku pun akhirnya menyetujui ketika Mas Tama meminta menjaga jarak dan menggantikan kekecewaa
PoV NamiraHatiku terbakar, panas dan rasanya ingin meledak.“Malu, ah! Dilihatin Namira itu.”Mbak Lita menunjukku. Seketika itu juga, Mas Tama menoleh dan bersitatap langsung denganku. Jelas, dia terkejut. Sangat terkejut.Aku pun demikian, tetapi cepat menguasai keadaan. Sedangkan Mas Tama tak berani lagi memandangku. Bahkan dia membuang muka.Aku sakit. Apakah sehina ini menjadi yang kedua? Kenapa sesakit ini luka yang harus kutuai? Padahal semestinya, kudapatkan senyum yang sama seperti Mbak Lita. Senyum kebebasan di atas kesenangan yang tidak dibuat pura-pura.“Na, kamu tadi bikin apa?”Aku gelagapan ketika Mbak Lita menanyaiku.“Em, sub buah sama puding, Mbak,” jawabku.“Bawa sini, gih. Kita makan sama-sama. Oya, mama panggil Tiara dulu ya, Pa? Lagi mandi kayaknya.”Mas Tama mengangguk sambil berpura-pura memainkan ponsel.Mbak Lita meninggalkan ruang makan. Kini tinggal kami berdua. Mas Tama sedang duduk di kursi, menghadap meja. Aku berada di depan kulkas, mengeluarkan puding
PoV Namira Aku menaiki mobil Mas Tama, hanya berdua saja. Mbak Lita melambaikan tangan, masih tampak berdiri di teras rumah sampai bayang tubuhnya tak terlihat lagi. Aku tersentak ketika Mas Tama meraih jemariku. “Dingin tanganmu.” Dia membawa dalam genggaman. Aku menikmati dengan segenap rasa. Rindu yang teramat dalam ini seakan mampu mengesampingkan kemarahan yang tadinya minta ditumpahkan. “Maaf, Mas tadi cuek. Sebenarnya gak tega melihatmu diabaikan seperti tadi,” ucapnya. Aku seperti mereview kejadian tadi yang membuatku terlihat sangat bodoh. “Lain kali gak usah minta Mbak Lita untuk menjemput ke kampus dan minta bantuan ngurus ini dan itu. Aku sudah seperti kacung di rumah suamiku sendiri.” Aku mengadu. “Maaf, Sayang. Tapi mas gak pernah menyuruh Lita buat mendatangi kampusmu. Mungkin dia kangen sama kamu. Kan sudah lama kamu nggak pernah main ke rumah.” “Cih, untuk apa? Aku juga punya rasa khawatir kali, Mas. Masa mendatangi kandang macan.” “Jangan gitu dong, Sayang.
PoV LolitaJam berdentang dua belas kali, saat aku memutuskan memasuki kamar. Tadinya berdiam di kamar Tiara sambil menunggu Tama, tapi belum tampak juga. Bahkan ponselnya tidak aktif. Kebiasaan.Seperti inilah Tama akhir-akhir ini. Tiba-tiba pamit pergi, lalu pulang lewat tengah malam. Ke mana lagi kalau bukan pergi sama Roy, kaki tangannya yang sangat dia percayai.Ya sudahlah, toh semua demi pekerjaannya.Aku merebahkannya diri. Membuka-buka galeri, memilih foto-foto yang paling menarik untuk kuunggah ke Facebook.Ternyata Namira pintar mengambil gambar, rata-rata foto yang dihasilkannya bagus-bagus. Aku sampai bingung memilihnya.Mata semakin berat saja, malah enggan untuk beralih posisi. Aku menggeletakkan ponsel di samping kiri. Lalu, menikmati buaian malam.*Hawa dingin membuatku terbangun. Lupa merapatkan selimut. Tiba-tiba perasaanku tak enak, kemana Tama?Aku mengerjab, meraih ponsel dan melihat jam di sana terpampang angka dua.Aku memeriksa aplikasi perpesanan. Tama mengi
“Iya, Tama memang pergi semalam,” akuku.Aku mulai terfokus menunggu ucapan Mita selanjutnya. Dia mencurigakan Tama, apa alasannya?“Aku melihatnya bersama wanita di sebuah rumah,” ucapnya pelan dengan suara berbisik. Mungkin menghindari pengunjung lain agar tidak mendengarnya.Aku mengingat-ingat kembali. Mungkinkah wanita yang dimaksud Mita adalah Namira?Lalu tiba-tiba tawaku menyembur. Mita jelas terkejut melihatku menertawakannya.“Namira,” sebutku. “Dia saudara kami. Saudara sambung, sih. Semalam memang suamiku mengantarnya pulang. Kan di rumah lagi ada acara ulang tahunnya Tiara.” Aku memberi penjelasan, tapi Mita tak tampak lega.“Kamu percaya pada gadis itu?” tanyanya serius. Dia terus menebarkan pengaruhnya.“Kenapa memangnya?” Aku balik bertanya karena merasa diinterogasi.Mita mendekatkan ponsel miliknya, membuka galeri dan menunjukkan deretan foto-foto di sana.“Mereka memasuki rumah ini," ucapnya sambil menunjuk sebuah rumah yang memang terlihat asing dalam penglihatanku
Tiara melompat-lompat kegirangan sambil menunjuk ke depan. Di mana hamparan pasir membentang di hadapannya.Baru saja menginjakkan kaki di sebuah vila yang dipesan Tama, aku sudah dibuat takjub dengan interior vila mungil ini. Belum lagi keberadaannya yang langsung menghadap ke laut. Membuatku berdecak kagum.Di samping kanan vila terdapat kolam renang dan sebuah paviliun unik khas Bali yang langsung menghadap ke pantai.“Suka?” Tama memelukmu dari belakang.“Hu’um.”Aku masih terkesiap dengan pemandangan yang ada.“Walaupun dekat pantai dan ombaknya tenang, tapi papa gak izinkan kalian mandi di sana, ya?”Aku hendak memprotes, tapi Tama buru-buru menghadapkan aku ke samping kiri.“Ke sini aja kalau mau berenang.”Tama menunjukkan sebuah kolam renang yang menjadi fokusku sejak tadi.“Ini tempat asing. Apapun alasannya, papa nggak mau dibantah,” lanjutnya memperingatkan.“Siap!” jawabku. Tak masalah bagiku, toh demi keselamatan kami.“Sana, ajak Tiara main dulu. Papa mau mengirim kerja
*Lewat tengah malam, perutku terasa perih. Mungkin karena sejaksore tidak terisi nasi. Aku terjaga, Kemudian bangkit. Lolita tak ada di sisiku.Dia sedang di kamar mandi, karena terdengar bunyi gemericik air.Aku memutuskan menurunkan kaki sambil memandang ke meja. BiasanyaLolita meletakkan makanan di sana. Ternyata benar. Ada dua piring teronggok di meja.Aku menyambar piyama yang sudah dipersiapkan Lolita, lalu mengenakannya.Pakaianku masih berserakan di atas ranjang. Aku tak memperdulikannya karena rasalapar sudah mendera.Sepiring nasi terasa masih hangat. Sepertinya Lolita barusaja meletakkan di sini. Sepiring lagi berisi lauk pauk. Aku langsung melahap makananini hingga habis.Lolita tersenyum ketika mendapati dua piring telah kosong.“Kelaparan rupanya,” sindirnya.“Mama membuat tenagaku habis,” balasku.“Kok mama, Papa yang minta tambah.”“Itu karena Mama memancing terus.”“Idih!”Walaupun tak ingin diprotes, tetapi dia malah mendekatiku lagi.Malahan kali ini, pakaiannya senga
Tama duduk di balik kemudinya. Sementara Lolita dan Namiraduduk di jok belakang. Akhirnya, ia berhasil meyakinkan Teguh untuk membawapulang Namira.Sesekali terdengar suara perbincangan kedua wanita itu. Tamasendiri tak ingin terlibat dalam percakapan keduanya. Ia memilih fokusmengendarakan mobil.Sesampainya di rumah, Lolita sudah menyediakan kamar untuk Namira.Kamar yang terletak di sebelah kamar Tiara, di mana pernah ditempati Namira waktu dulu.“Ini kamarmu,” ucap Lolita sambil membuka pintunya.“Di bawah aja, Mbak. Kamar yang dulu ‘kan kosong.”Lolita sedikit tertunduk. Ada sayatan yang melukai hatinya mendengarucapan Namira. Ia teringat kamar pembantu yang dipaksa untuk didiami Namira saatwanita itu kepergok menjadi istri muda suaminya.“Itu kamar pembantu. Maaf, Na, untuk kejadian waktu itu.”“Bukan salah Mbak Lita.”“Tetap saja aku sudah keterlaluan waktu itu.”“Semuanya salahku, Mbak. Aku yang rakusakan harta mas Tama, iri hati melihat kebahagian Mbak Lita. Aku memaksa mas Ta
Seorang pria sedang menunduk di depan sebuah pusara.Tangisnya tak berhenti meski rintik-rintik gerimis mulai berjatuhan.Ceceran lumpur bekas galian makam mengotori bawah celananya.Tak ada niat ingin beranjak pergi, bahkan ketika langit sore mulai gelap.“Pak, sebentar lagi hujannya deras dan sudah mau malam.Sebaiknya kita pulang saja,” ucap salah seorang dari anak buahnya.Pria itu tak juga mengangkat kepalanya. Ia terus tertunduk. Sedih.Seorang anak buahnya membentang payung. Hujan yang mulaideras membuatnya segera mendekati pria itu lagi yang keukeh tak mau pulang, lalumelindunginya dengan tulus.“Pak Teguh, hari sudah gelap,” ucap seorang pembawa payungtadi mengingatkan. Barulah Teguh mengangkat wajah. Ia mengusap nisan kayu yangbasah oleh hujan.“Maafkan papa, Nak. Beristirahatlah dengan tenang,” ucapnyasendu. Teguh berdiri menatap nisan itu sebelum benar-benar pergi.Senja yang tak lagi kemerahan, senja yang sudah bergantimalam membawa Teguh meninggalkan area pemakaman putri ke
Tama menghubungi semua teman-teman Lolita. Terutama Mita, satu-satunya teman yang ia datangi secara langsung. Tapi, Mita tidak mengetahui keberadaan sahabatnya.Tama mengkhawatirkan keadaan Lolita karena sudah dua jam tidak dapat dihubungi.Ia panik, takut jika terjadi sesuatu pada diri istrinya. Apalagi Lolita sedang hamil tua.“Ya Allah, di mana kamu, Ma?”Berulang kali menyentuh nama Lolita pada layar pipih ponselnya. Tapi, tak juga mendapat jawaban, nomor ponsel Lolita tidak bisa dihubungi.Sementara itu, seseorang yang sedang dikhawatirkan sedang menikmati makanannya. Lolita sudah menghabiskan setengah dari isi nasi kotak sambil mengaktifkan ponselnya.Setelah mengurus Namira dan membayar biaya administrasi, ia berpamitan untuk mencari makanan, karena rasa lapar mendera.Ponselnya langsung berdering begitu mendapat sinyal.“Halo, Ma. Mama di mana saja? Dua jam papa seperti orang stres nyariin Mama.” Tama terdengar sangat panik.“Aku di rumah sakit, Pa. HP baru aktif lagi.”“Mama
“Bu, kayaknya tempat yang ibu tuju jauh dari hunian.Maksudnya, rumah di sana masih jarang-jarang. Saya pernah ke sana satu kali,”ucap sopir taksi itu memberitahu. Sejenak, Lolita takmenyahut. Lalu berisaham meyakinkan hatinya. “Gak apa-apa, Pak.Saudara saya sedang butuh pertolongan di sana,” ucapnya yakin.“Oke kalau begitu.”Mereka bercakap-cakap tentang keadaan tempat yang akanmereka datangi. Meski di sana rumahnya jarang-jarang, tapi ada juga yangmelewati jalanan itu. Rata-rata para petani, terlihat dari bawaan mereka.“Itu sepertinya rumah yang ibu maksud,” ucap sopir sambilmenunjuk rumah bercat coklat.Terlihat lebih mewah dari rumah-rumah yang lainnya, berdiri diatas dataran tinggi.“Berhenti di sini, Bu?”Lolita mengamati sekitar rumah sebelum meyakinkan bibirnya untukmenjawab si sopir.“Iya, Pak,” jawabnya.Si sopir menghentikan laju kendaraan tepat di depan pintu pagar.“Pak, jika saya tidak keluar selama setengah jam, tolong hubungi suami saya. Ininomornya.” Lolita menyodo
Lolita sendiri menjadi tercengang, heran sekaligus takpercaya. Namira pandai memainkan sandiwara. Ia tak mempercayainya. Namun,melihat sorot mata ketakutan wanita itu dan raut wajah saat melihat sosok Teguhkeluar dari toilet, membuat Lolita bertanya-tanya. Ada sesuatu yang tidakseharusnya terjadi pada diri Namira.“Sayang.” Panggilan Tama mengalihankan lamunannya. Lolita menggenggamrobekan kertas yang diberikan Namira tadi, kemudian menyambut kedatangan Tamayang membawa piring.“Kenapa?” tanya Tama melihat gelagat aneh istrinya.“Gak ada. Lama nungguin Papa,” jawabnya no berbohong.“Oh, toiletnya antriannya panjang, Sayang.” Tama meletakkansepiring makanan di hadapan Lolita.“Papa gak makan?”“Gak usah. Mama saja.”Tama mengedarkan pandangan ke samping kanan dan kiri. Tampakseberapa orang yang bisa kenal. Ia melambaikan tangan dan tersenyum.“Ma, papa ngobrol dulu sama temen, ya? Tuh, di situ,” pintaTama sambil menunjuk seorang pria berperawakan tinggi, putih, dan bermatasipit. Keturu
Dalam perjalanan, Lolita berceloteh tentang Namira. Tama enggan mendengarkan. Tapi tetapi pura-pura demi menyenangkan istrinya yangakhir-akhir ini lebih sensitif.“Kayaknya dia lagi sakit deh, Pa. Masa jalannya pakai kursiroda.” Lolita berucap dengan santai.“Kasihan ya, Pa,” tambahan lagi karena Tama tak menanggapi.“Ck, jangan terlalu mengurusi urusan orang lain, Ma. Kita sudah lama tidak membahasnya lagi kan?” Tama mengingatkan.“Cuma penasaran, Pa.”“Buka saja media sosialnya kalau penasaran. Beres kan?”“Bener-bener. Tumben Papa nyuruh begitu?”“Daripada ribut tanyaini itu sama papa dan papa gak tau jawabannya? Apa perlu papa yang talkingakunnya?”“Eh, eh, jangan dong!”Tama tertawa melihat respons Lolita yang cemberut sambil mengutak-atikponselnya.“Mama ngapain?”“Lihat facebook sama ig dia.”Mendadak Tama menyambar ponselnya, lalu mengantongi.“Pa.”“Kita makan dulu. Papa gak suka membicarakan nama diaapalagi saat kita makan. Ayo turun.”Mereka sudah sampai di depan sebuah kaf
Pandangannya mengitari area parkiran. Mencari posisimobilnya yang berdiam di sudut halaman. Tiba-tiba pandangan menangkap sosok Namira. “Kenapa sih, duniaterasa sempit. Di mana-mana ketemu dia melulu,” gerutunya. “Astagfirullah!” iaberucap kembali ketika melihat wanita itu terhuyung dengan di bantu seoranglaki-laki yang pernah datang bersama Teguh. Namira tampakkesakitan sambil memegangi bagian bawah perutnya. “Dia sakit? Ataujangan-jangan ....”Lolita mundur beberapa langkah hingga tubuhnya terhadangtiang di sebuah lorong.“Sakit, Pi ...,” keluh Namira sambil di dorong menggunakankursi roda. Teguh terlihat mengiringi Namira. Hingga rombongan itu menghilangdi ujung lorong, Lolita tetap tertegun di tempatnya.Rasa penasaran memenuhi isi kepala. Lolita berpikir sejenaksebelum akhirnya mengikuti Namira dari jarak jauh.Namira langsung mendapat penanganan. Lolita menemukan Teguhsedang menelepon seseorang di luar ruangan. Suaranya tak jelas. Lolita mendekatuntuk mendapat informasi. Saya
Keesokan harinya, kondisi Lolita masih juga belum berubah. Bahkan kondisi tubuhnya semakin lemah. Ia menolak ketika Tama memanggilkan dokter untuknya. Lolita sendiri merasa hanya butuh istirahat.Hingga siang hari, keadaannya tidak kunjung membaik. Iseng-iseng ia menyuruh Ipah membeli alat tes kehamilan. Sebenarnya tidak mempercayai jika ia sedang mengidam.“Tak ada salahnya dicoba,” gumamnya sambil membuka alat itu. Ia mencelupkan ke dalam air seni yang sudah ditampungnya. Dadanya berdebar menunggu setiap detik hingga terpampang jelas dua garis merah.“Alhamdulillah!” serunya dari dalam kamar mandi.Lolita buru-buru keluar untuk berbagi kebahagiaan dengan Ipah. ARTnya terlihat sangat senang, sama seperti Lolita.“Ibu saya buatkan sup biar segar badannya. Dari tadi pagi belum makan lo,” ucap Ipah menawarkan.“Boleh. Jangan terlalu asin ya? Di banyakin kentangnya, saya lagi malas makan nasi,” balas Lolita.“Siap, Bu.” Ipah gegas ke bawah untuk mengeksekusi masakan untuk Lolita.Lolita