PoV Namira
Hatiku terbakar, panas dan rasanya ingin meledak.
“Malu, ah! Dilihatin Namira itu.”
Mbak Lita menunjukku. Seketika itu juga, Mas Tama menoleh dan bersitatap langsung denganku. Jelas, dia terkejut. Sangat terkejut.
Aku pun demikian, tetapi cepat menguasai keadaan. Sedangkan Mas Tama tak berani lagi memandangku. Bahkan dia membuang muka.
Aku sakit. Apakah sehina ini menjadi yang kedua? Kenapa sesakit ini luka yang harus kutuai? Padahal semestinya, kudapatkan senyum yang sama seperti Mbak Lita. Senyum kebebasan di atas kesenangan yang tidak dibuat pura-pura.
“Na, kamu tadi bikin apa?”
Aku gelagapan ketika Mbak Lita menanyaiku.
“Em, sub buah sama puding, Mbak,” jawabku.
“Bawa sini, gih. Kita makan sama-sama. Oya, mama panggil Tiara dulu ya, Pa? Lagi mandi kayaknya.”
Mas Tama mengangguk sambil berpura-pura memainkan ponsel.
Mbak Lita meninggalkan ruang makan. Kini tinggal kami berdua. Mas Tama sedang duduk di kursi, menghadap meja. Aku berada di depan kulkas, mengeluarkan puding dan sup buah dari sana.
“Na, kenapa sampai di sini?”
Aku tersentak dan puding di tanganku hampir terlepas. Beruntung langsung di pegang oleh Mas Tama.
“Bisa gak, sih, ngomongnya gak ngagetin begitu!” balasku bernada kesal.
“Mas syok lihat kamu di sini.”
“Sengaja datang ke sini karena kangen. Puas!” jawabku dengan ketus.
“Na.”
“Kamu berubah sekarang, ya?” balasku.
“Sayang, kita ‘kan sudah sepakat akan menjaga jarak sementara waktu.”
“Tapi gak begitu juga. Masa segitu mesranya sama mbak Lita. Gak bisa biasa aja, apa?”
Aku mengungkapkan kekesalan. Mas Tama melemah, ia menggenggam tangan dan menarikku agar kami sama-sama duduk. Aku menuruti keinginannya.
“Sayang, Mas dengan Lita ‘kan memang seperti ini dari dulu dan kamu tau itu. Apa yang menjadi masalah, hah?”
Mas Tama mencium tanganku hingga berkali-kali. Aku, tau sendiri jika mendapat perlakuan seperti ini. Aku pun luluh.
“Gak apa-apa kalau kamu kangen, datang aja ke sini.”
“Nggak, ah! Aku bisa mati terbakar kalau melihat kalian mesra-mesraan seperti tadi.”
“Iya, maaf, Sayang. Gak lagi-lagi kalau ada Namira.”
“Janji, ya?”
“Iya.”
Mas Tama melepas tangannya. Tiba-tiba berganti mengelus kepalaku. Aku merasa lega dan lebih tenang. Kemudian, dia menarikku hingga mendekat padanya.
“Jangan, Mas. Nanti ketauan,” tolakku.
“Sebentar saja.”
Mas Tama nekat. Ia menarik belakang kepalaku. Aku dan dia sama-sama terhanyut hingga beberapa saat. Mas Tama menarik diri. Mengelap bawah bibirku yang basah karena ulahnya. Lalu menjauh ke tempat semula.
Kami saling melempar pandang dalam diam, hanya berselang dua kursi. Rasanya rindu ini kian membuncah, ingin segera dilabuhkan.
“Besok Mas datang,” ucapnya tiba-tiba.
“Aku kuliah,” jawabku sambil mengiris puding dan memindahkannya ke piring.
“Bolos,” ucapnya. Aku menghentikan aktivitasku. Menatapnya dengan teramat sayang.
“Kenapa nggak,” jawabku sambil memainkan lidah dan bibir. Memamerkan sesuatu yang paling dia sukai.
Mas Tama terlihat gemas. Aku yakin, jika di kediamanku sendiri, dia tidak akan membiarkan aku beranjak dari tempat tidur.
Suara gaduh Mbak Lita dan Tiara yang sedang menuruni tangga membuat aksi kami terhenti.
Tampak Tiara berlari kecil dan berakhir di pelukan Mas Tama.
“Mama sudah mandi lo, Pa. Pakai parfum yang beliin Papa pas ke Singapur kemarin.”
Sial. Pemandangan seperti ini lagi. Mbak Lita merangkul Mas Tama dan mendekatkan lehernya.
“Papa suka?”
“Tiara suka. Tiara juga pakai punya mama. Coba cium, Pa.” Tiara pun ikut berceloteh.
Sumpah. Aku tak bisa dibuat begini. Dadaku tak berhenti berdentam. Hawa panas mengaliri sekujur tubuh. Apalagi saat Mas Tama mencium leher Mbak Lita. Tiba-tiba piring berisi puding lepas.
Semuanya terkejut bersamaa dengan bunyi yang cukup keras.
Aku terkesiap, memang sengaja mengalihkan perhatian. Sepiring puding beserta pecahan piring berserakan di bawah kakiku.
“Na! Kamu gak pa-pa?”
Mbak Lita terlihat khawatir.
“Nggak apa-apa, Mbak. Aku kaget, maaf ya?” Aku beralasan.
Mbak Lita berjongkok memeriksa kakiku. Kesempatan ini kupergunakan untuk mengajukan protes dengan cara memandang Mas Tama dengan penuh kekesalan.
Rupanya dia pun paham, tetapi tidak dapat berbuat apa-apa.
Oh, jadi sebatas ini keberanian dia jika di hadapan mbak Nita. Oke. Aku akan buat sesuatu yang lebih seru lagi.
“Gak ada yang luka kok, Mbak.”
“Syukurlah kalau begitu. Sana bersihkan kakimu. Pecahan piringnya biar dibersihkan Mbok Ipah.”
Aku bergegas ke belakang untuk membersihkan kaki, juga mengguyur wajah ini yang rasanya seperti terpanggang bara api.
**
Acara ulang tahun Tiara berjanji lancar. Beruntung hanya keluarga kecil yang diundang, sebanyak dua puluhan orang saja, sehingga tidak terlalu merepotkan.
Aku berbaur selayaknya keluarga. Tetap menjaga jarak, bahkan Mas Tama sama sekali tidak menunjukkan perhatiannya sedikitpun padaku.
Kuputuskan, ini yang terakhir kali aku berada di tengah-tengah mereka. Aku sakit, sangat sakit. Merasa terbuang dan tidak dianggap.
Lebih parahnya lagi, mereka, keluarga Mbak Lita dan Mas Tama malah menjadikan aku tukang foto. Mereka berpose dengan berbagai gaya dan aku yang memegang kamera.
Jika bukan karena terlanjur berada di tengah-tengah dua keluarga ini, aku pasti sudah kabur.
Mas Tama, apa aku hanya berarti jika mengenakan lingerie saja dan bergaya layaknya pel**r di atas ranjang?
Nyatanya, kehadiranku di sini tak membuatmu mengalihkan pandangan dari istrimu itu.
Aku menjauh pergi saat mereka mulai pamit pulang. Aku menengadah ke langit yang tampak cerah, tapi tak ada bulan di sana.
Sendiri, merasai sakit yang kian menghimpit.
“Mas Aris, seandainya kamu gak tinggalin aku sendirian, aku nggak mungkin jadi pelakor diusia semuda ini.”
Aku bergumam dengan air mata yang menggenang, siap untuk ditumpahkan.
Salahkan aku, karena berusaha berjuang mendapat keinginan? Sejak hadir di rumah ini, aku sudah dihadapkan dengan pemandangan manis Mbak Lita.
Dia yang selalu memperlihatkan sederet barang pemberian Mas Tama ke hadapanku, lalu memamerkan keromantisan mereka ke F******k dan membuatku hanya bisa mengagumi pria itu dalam hayalan.
Aku terobsesi karena dirimu, Mbak Lita. Bukan salahku jika aku ingin menikmati sedikit saja milikmu. Tetapi malahan, aku mendapatkan bagian sama denganmu. Namun, lagi-lagi aku mengirikan senyummu itu. Satu-satunya yang tidak bisa aku miliki hingga saat ini.
Kenapa aku tak pernah bisa memiliki senyum tulus sepertimu? Apakah hatimu berasal dari titisan bidadari? Sehingga tak pernah mendapatimu berkata kasar dan bertindak bodoh.
Kenapa kamu tampak begitu sempurna di mataku, mbak? Aku memiliki apa yang kamu miliki, tapi aku tak merasa bahagia.
Mbak Lita, aku inginkan senyum itu. Aku mengirikannya.
“Na, kamu di mana?” Suara Mbak Lita memanggil. Aku segera mengelap sudut mata sebelum ketahuan hampir menangis.
“Di sini, Mbak,” jawabku.
“Mau menginap atau pulang?” tanyanya dengan lembut.
“Pulang saja, Mbak.”
“Kalau begitu, biar diantar Maman.”
Maman? Sopirnya? Ish!
“Iya, Mbak,” jawabku akhirnya. Padahal berharap diantar Mas Tama.
Aku mengikuti langkah Mbak Lita.
“Papa mau ke mana?” tanya Mbak Lita saat kami berpapasan.
Mas Tama tampak sedang mengenakan jaket. Dia langsung menoleh.
“Mau keluar sebentar. Ada urusan.”
“Malam-malam begini?”
“Sebentar doang, Ma.”
“Sekalian antar Namira, ya?”
Aku tercekat, Mas Tama terlihat biasa saja.
“Boleh. Ayo?” ajak Mas Tama.
Benarkah ini?
“Na, pulang sama Mas Tama, gih!” Mbak Lita mengusap lenganku.
“Oya, kamu masih ada uang, Na?”
Mbak Lita meraih tanganku, meremasnya perlahan. Masih sama seperti dulu.
“Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan ngomong sama mbak Lita, ya?”
“Iya, Mbak. Masih ada uang, kok,” jawabku hampir tak terdengar, tersekat oleh sesuatu yang tak tampak. Semacam rasa berdosa. Bagiamana mungkin aku mengatakan kurang, jika apa pun yang dia miliki, aku juga memilikinya? Bahkan suaminya juga.
****
PoV Namira Aku menaiki mobil Mas Tama, hanya berdua saja. Mbak Lita melambaikan tangan, masih tampak berdiri di teras rumah sampai bayang tubuhnya tak terlihat lagi. Aku tersentak ketika Mas Tama meraih jemariku. “Dingin tanganmu.” Dia membawa dalam genggaman. Aku menikmati dengan segenap rasa. Rindu yang teramat dalam ini seakan mampu mengesampingkan kemarahan yang tadinya minta ditumpahkan. “Maaf, Mas tadi cuek. Sebenarnya gak tega melihatmu diabaikan seperti tadi,” ucapnya. Aku seperti mereview kejadian tadi yang membuatku terlihat sangat bodoh. “Lain kali gak usah minta Mbak Lita untuk menjemput ke kampus dan minta bantuan ngurus ini dan itu. Aku sudah seperti kacung di rumah suamiku sendiri.” Aku mengadu. “Maaf, Sayang. Tapi mas gak pernah menyuruh Lita buat mendatangi kampusmu. Mungkin dia kangen sama kamu. Kan sudah lama kamu nggak pernah main ke rumah.” “Cih, untuk apa? Aku juga punya rasa khawatir kali, Mas. Masa mendatangi kandang macan.” “Jangan gitu dong, Sayang.
PoV LolitaJam berdentang dua belas kali, saat aku memutuskan memasuki kamar. Tadinya berdiam di kamar Tiara sambil menunggu Tama, tapi belum tampak juga. Bahkan ponselnya tidak aktif. Kebiasaan.Seperti inilah Tama akhir-akhir ini. Tiba-tiba pamit pergi, lalu pulang lewat tengah malam. Ke mana lagi kalau bukan pergi sama Roy, kaki tangannya yang sangat dia percayai.Ya sudahlah, toh semua demi pekerjaannya.Aku merebahkannya diri. Membuka-buka galeri, memilih foto-foto yang paling menarik untuk kuunggah ke Facebook.Ternyata Namira pintar mengambil gambar, rata-rata foto yang dihasilkannya bagus-bagus. Aku sampai bingung memilihnya.Mata semakin berat saja, malah enggan untuk beralih posisi. Aku menggeletakkan ponsel di samping kiri. Lalu, menikmati buaian malam.*Hawa dingin membuatku terbangun. Lupa merapatkan selimut. Tiba-tiba perasaanku tak enak, kemana Tama?Aku mengerjab, meraih ponsel dan melihat jam di sana terpampang angka dua.Aku memeriksa aplikasi perpesanan. Tama mengi
“Iya, Tama memang pergi semalam,” akuku.Aku mulai terfokus menunggu ucapan Mita selanjutnya. Dia mencurigakan Tama, apa alasannya?“Aku melihatnya bersama wanita di sebuah rumah,” ucapnya pelan dengan suara berbisik. Mungkin menghindari pengunjung lain agar tidak mendengarnya.Aku mengingat-ingat kembali. Mungkinkah wanita yang dimaksud Mita adalah Namira?Lalu tiba-tiba tawaku menyembur. Mita jelas terkejut melihatku menertawakannya.“Namira,” sebutku. “Dia saudara kami. Saudara sambung, sih. Semalam memang suamiku mengantarnya pulang. Kan di rumah lagi ada acara ulang tahunnya Tiara.” Aku memberi penjelasan, tapi Mita tak tampak lega.“Kamu percaya pada gadis itu?” tanyanya serius. Dia terus menebarkan pengaruhnya.“Kenapa memangnya?” Aku balik bertanya karena merasa diinterogasi.Mita mendekatkan ponsel miliknya, membuka galeri dan menunjukkan deretan foto-foto di sana.“Mereka memasuki rumah ini," ucapnya sambil menunjuk sebuah rumah yang memang terlihat asing dalam penglihatanku
Tiara melompat-lompat kegirangan sambil menunjuk ke depan. Di mana hamparan pasir membentang di hadapannya.Baru saja menginjakkan kaki di sebuah vila yang dipesan Tama, aku sudah dibuat takjub dengan interior vila mungil ini. Belum lagi keberadaannya yang langsung menghadap ke laut. Membuatku berdecak kagum.Di samping kanan vila terdapat kolam renang dan sebuah paviliun unik khas Bali yang langsung menghadap ke pantai.“Suka?” Tama memelukmu dari belakang.“Hu’um.”Aku masih terkesiap dengan pemandangan yang ada.“Walaupun dekat pantai dan ombaknya tenang, tapi papa gak izinkan kalian mandi di sana, ya?”Aku hendak memprotes, tapi Tama buru-buru menghadapkan aku ke samping kiri.“Ke sini aja kalau mau berenang.”Tama menunjukkan sebuah kolam renang yang menjadi fokusku sejak tadi.“Ini tempat asing. Apapun alasannya, papa nggak mau dibantah,” lanjutnya memperingatkan.“Siap!” jawabku. Tak masalah bagiku, toh demi keselamatan kami.“Sana, ajak Tiara main dulu. Papa mau mengirim kerja
PoV Tama“Pa, mama pakai HP papa tadi buat upload foto. Nanti biarmama aja yang balas komentarnya pake HP mama. Dimatiin aja HP-nya kalau malas berisik dengar notifikasinya.”Lolita berucap sambil memasang dasi. Aku hanya sekali menjawabnya dengan gumaman. Semenjak liburan ke Bali Minggu lalu, Lolita tampaksemakin senang. Apalagi ketika aku mengizinkan menggunakan ponselku untukmengunggah statusnya. Sebab, sebelumnya aku tak pernah memberi izin. Aku perlu meyakinkan Lolita setelah dia bertemu dengan Mita.Sebelumnya, aku memergoki Lolita menemui sahabatnya, Mita. Lolitatak cukup pintar bermain di belakangku. Dia tak mengetahui jika aku memasang GPS yang langsung terhubung ke ponselku sehingga aku mengetahui kemanapun dia pergi.Setelah itu, aku mengendalikan Namira agar jangan dulumeminta untuk bertemu. Dia menyetujui, oleh sebab tugas kuliah yang menumpukdan sebuah pekerjaan yang baru saja aku rekomendasikan kepadanya. Kalau bukan alasan itu, Namira pasti menolak. Dia 'kan keras kep
PoV TamaAku terbangun saat ponsel di bawah bantal berdering.“Pa, alarmnya bunyi tu. Katanya mau lembur.” Lolita berucap dengan mata yang masih terpejam.Pukul sebelas malam. Aku beranjak dari pembaringan. Menyambar piyama yang teronggok di pinggir ranjang, lalu mengenakannya. Segera ke luar kamar menuju ruang kerja.Baru saja hendak membuka pintu, terdengar seseorang melangkahkan memasuki ruang sebelah.Penasaran, aku mengikuti bayang di bawah pencahayaan yang temaram itu.Namira? Ngapain masuk ke ruangan gym.Aku bergerak lebih cepat. Lalu, menyambar tubuh itu dan membungkam mulutnya.“Diam, ini aku!" Aku membawanya masuk ke ruang gym."Mas lepaskan, tapi jangan teriak."Perlahan, aku melepaskan tangan pada bekapan mulutnya."Jahat, ih!" Namira memukul dadaku beberapa kali."Jangan berisik. Nanti ada yang dengar." Aku mengingatkan. "Kenapa? Ada apa datang kemari? Kenapa gak bilang mau datang, hah?"Karena panik, aku melontarkan pertanyaan berulang kali."Salah sendiri ingkar janji.
PoV TamaNamira, satu nama yang tidak asing. Dia gadis yang rapuh, tapi menyenangkan. Dia berjiwa besar untuk menerima takdir menjadi yang kedua saat aku menyetujui keinginannya.Enam bulan lalu, dia terang-terangan menyatakan perasaannya, kedua kali setelah sebelumnya pernah aku tolak. Saat itu, akupun tetap berpegang teguh menolaknya. Sampai pada peristiwa mencengangkan itu terjadi. Lolita menemukan Namira tengah mabuk-mabukan di sebuah bar. Beruntung seorang teman mengabari Lolita, sehingga malam itu juga Namira dijemput paksa dan berdiam di rumah ini.Sayangnya, Lolita terlalu polos untuk bisa menebak sisi lain dari seorang Namira, sehingga hanya aku yang mengetahui jika Namira memang sengaja menjajakan dirinya di sana. Di hadapanku dia mengaku, jika aku tidak memilikinya, maka dia akan menyerahkan dirinya kepada orang lain yang menginginkannya.Dilema. Aku seperti berdiri di antara jurang yang dalam nan terjal. Di mana jika memutuskan bergerak ke kiri atau ke kanan tanpa perhitun
“Ma, apa untungnya mengoleksi video seperti itu. Nanti malah dilihatin Tiara, HP Mama kan sering dipakai Tiara.” Aku memprotes.“Ck, buat seru-seruan, Pa. Sekarang kan lagi viral pelakoran. Gak Cuma di sini, noh di Korea sana, film yang diangkat juga tentang perpelakoran. Oya, Ma, masih suka nonton film Korea?” Lolita bertanya sambil menghabiskan suapan terakhirnya.“Lama gak pernah nonton,” jawab Namira.“Tenang, Mbak punya banyak koleksi. Malah yang lagi trending juga punya.”“Sudah makannya , Ma. Papa mau berangkat ini.” Aku menengahi. Lolita tampak beranjak mendekati Tiara.“Sudah, Pa. Sayang, baik-baik di sekolah, ya?”“Namira mau ikut sekalian?” aku menawarkan. Basa-basi saja sebagai kedok.“Jangan, Namira mesti cuci piring dulu. Kebetulan pembantu lagi sibuk nanam janda bolong di belakang. Nanti yang bersihin ini siapa?”“Loh, Namira kan mau kuliah, Ma. Nanti dia telat, loh.”“Gak pa-pa. Kebetulan jam pertama kosong, kok.”“Tuh, kan. Namira saja nggak pa-pa, kok.”“Ya sudah, pa
*Lewat tengah malam, perutku terasa perih. Mungkin karena sejaksore tidak terisi nasi. Aku terjaga, Kemudian bangkit. Lolita tak ada di sisiku.Dia sedang di kamar mandi, karena terdengar bunyi gemericik air.Aku memutuskan menurunkan kaki sambil memandang ke meja. BiasanyaLolita meletakkan makanan di sana. Ternyata benar. Ada dua piring teronggok di meja.Aku menyambar piyama yang sudah dipersiapkan Lolita, lalu mengenakannya.Pakaianku masih berserakan di atas ranjang. Aku tak memperdulikannya karena rasalapar sudah mendera.Sepiring nasi terasa masih hangat. Sepertinya Lolita barusaja meletakkan di sini. Sepiring lagi berisi lauk pauk. Aku langsung melahap makananini hingga habis.Lolita tersenyum ketika mendapati dua piring telah kosong.“Kelaparan rupanya,” sindirnya.“Mama membuat tenagaku habis,” balasku.“Kok mama, Papa yang minta tambah.”“Itu karena Mama memancing terus.”“Idih!”Walaupun tak ingin diprotes, tetapi dia malah mendekatiku lagi.Malahan kali ini, pakaiannya senga
Tama duduk di balik kemudinya. Sementara Lolita dan Namiraduduk di jok belakang. Akhirnya, ia berhasil meyakinkan Teguh untuk membawapulang Namira.Sesekali terdengar suara perbincangan kedua wanita itu. Tamasendiri tak ingin terlibat dalam percakapan keduanya. Ia memilih fokusmengendarakan mobil.Sesampainya di rumah, Lolita sudah menyediakan kamar untuk Namira.Kamar yang terletak di sebelah kamar Tiara, di mana pernah ditempati Namira waktu dulu.“Ini kamarmu,” ucap Lolita sambil membuka pintunya.“Di bawah aja, Mbak. Kamar yang dulu ‘kan kosong.”Lolita sedikit tertunduk. Ada sayatan yang melukai hatinya mendengarucapan Namira. Ia teringat kamar pembantu yang dipaksa untuk didiami Namira saatwanita itu kepergok menjadi istri muda suaminya.“Itu kamar pembantu. Maaf, Na, untuk kejadian waktu itu.”“Bukan salah Mbak Lita.”“Tetap saja aku sudah keterlaluan waktu itu.”“Semuanya salahku, Mbak. Aku yang rakusakan harta mas Tama, iri hati melihat kebahagian Mbak Lita. Aku memaksa mas Ta
Seorang pria sedang menunduk di depan sebuah pusara.Tangisnya tak berhenti meski rintik-rintik gerimis mulai berjatuhan.Ceceran lumpur bekas galian makam mengotori bawah celananya.Tak ada niat ingin beranjak pergi, bahkan ketika langit sore mulai gelap.“Pak, sebentar lagi hujannya deras dan sudah mau malam.Sebaiknya kita pulang saja,” ucap salah seorang dari anak buahnya.Pria itu tak juga mengangkat kepalanya. Ia terus tertunduk. Sedih.Seorang anak buahnya membentang payung. Hujan yang mulaideras membuatnya segera mendekati pria itu lagi yang keukeh tak mau pulang, lalumelindunginya dengan tulus.“Pak Teguh, hari sudah gelap,” ucap seorang pembawa payungtadi mengingatkan. Barulah Teguh mengangkat wajah. Ia mengusap nisan kayu yangbasah oleh hujan.“Maafkan papa, Nak. Beristirahatlah dengan tenang,” ucapnyasendu. Teguh berdiri menatap nisan itu sebelum benar-benar pergi.Senja yang tak lagi kemerahan, senja yang sudah bergantimalam membawa Teguh meninggalkan area pemakaman putri ke
Tama menghubungi semua teman-teman Lolita. Terutama Mita, satu-satunya teman yang ia datangi secara langsung. Tapi, Mita tidak mengetahui keberadaan sahabatnya.Tama mengkhawatirkan keadaan Lolita karena sudah dua jam tidak dapat dihubungi.Ia panik, takut jika terjadi sesuatu pada diri istrinya. Apalagi Lolita sedang hamil tua.“Ya Allah, di mana kamu, Ma?”Berulang kali menyentuh nama Lolita pada layar pipih ponselnya. Tapi, tak juga mendapat jawaban, nomor ponsel Lolita tidak bisa dihubungi.Sementara itu, seseorang yang sedang dikhawatirkan sedang menikmati makanannya. Lolita sudah menghabiskan setengah dari isi nasi kotak sambil mengaktifkan ponselnya.Setelah mengurus Namira dan membayar biaya administrasi, ia berpamitan untuk mencari makanan, karena rasa lapar mendera.Ponselnya langsung berdering begitu mendapat sinyal.“Halo, Ma. Mama di mana saja? Dua jam papa seperti orang stres nyariin Mama.” Tama terdengar sangat panik.“Aku di rumah sakit, Pa. HP baru aktif lagi.”“Mama
“Bu, kayaknya tempat yang ibu tuju jauh dari hunian.Maksudnya, rumah di sana masih jarang-jarang. Saya pernah ke sana satu kali,”ucap sopir taksi itu memberitahu. Sejenak, Lolita takmenyahut. Lalu berisaham meyakinkan hatinya. “Gak apa-apa, Pak.Saudara saya sedang butuh pertolongan di sana,” ucapnya yakin.“Oke kalau begitu.”Mereka bercakap-cakap tentang keadaan tempat yang akanmereka datangi. Meski di sana rumahnya jarang-jarang, tapi ada juga yangmelewati jalanan itu. Rata-rata para petani, terlihat dari bawaan mereka.“Itu sepertinya rumah yang ibu maksud,” ucap sopir sambilmenunjuk rumah bercat coklat.Terlihat lebih mewah dari rumah-rumah yang lainnya, berdiri diatas dataran tinggi.“Berhenti di sini, Bu?”Lolita mengamati sekitar rumah sebelum meyakinkan bibirnya untukmenjawab si sopir.“Iya, Pak,” jawabnya.Si sopir menghentikan laju kendaraan tepat di depan pintu pagar.“Pak, jika saya tidak keluar selama setengah jam, tolong hubungi suami saya. Ininomornya.” Lolita menyodo
Lolita sendiri menjadi tercengang, heran sekaligus takpercaya. Namira pandai memainkan sandiwara. Ia tak mempercayainya. Namun,melihat sorot mata ketakutan wanita itu dan raut wajah saat melihat sosok Teguhkeluar dari toilet, membuat Lolita bertanya-tanya. Ada sesuatu yang tidakseharusnya terjadi pada diri Namira.“Sayang.” Panggilan Tama mengalihankan lamunannya. Lolita menggenggamrobekan kertas yang diberikan Namira tadi, kemudian menyambut kedatangan Tamayang membawa piring.“Kenapa?” tanya Tama melihat gelagat aneh istrinya.“Gak ada. Lama nungguin Papa,” jawabnya no berbohong.“Oh, toiletnya antriannya panjang, Sayang.” Tama meletakkansepiring makanan di hadapan Lolita.“Papa gak makan?”“Gak usah. Mama saja.”Tama mengedarkan pandangan ke samping kanan dan kiri. Tampakseberapa orang yang bisa kenal. Ia melambaikan tangan dan tersenyum.“Ma, papa ngobrol dulu sama temen, ya? Tuh, di situ,” pintaTama sambil menunjuk seorang pria berperawakan tinggi, putih, dan bermatasipit. Keturu
Dalam perjalanan, Lolita berceloteh tentang Namira. Tama enggan mendengarkan. Tapi tetapi pura-pura demi menyenangkan istrinya yangakhir-akhir ini lebih sensitif.“Kayaknya dia lagi sakit deh, Pa. Masa jalannya pakai kursiroda.” Lolita berucap dengan santai.“Kasihan ya, Pa,” tambahan lagi karena Tama tak menanggapi.“Ck, jangan terlalu mengurusi urusan orang lain, Ma. Kita sudah lama tidak membahasnya lagi kan?” Tama mengingatkan.“Cuma penasaran, Pa.”“Buka saja media sosialnya kalau penasaran. Beres kan?”“Bener-bener. Tumben Papa nyuruh begitu?”“Daripada ribut tanyaini itu sama papa dan papa gak tau jawabannya? Apa perlu papa yang talkingakunnya?”“Eh, eh, jangan dong!”Tama tertawa melihat respons Lolita yang cemberut sambil mengutak-atikponselnya.“Mama ngapain?”“Lihat facebook sama ig dia.”Mendadak Tama menyambar ponselnya, lalu mengantongi.“Pa.”“Kita makan dulu. Papa gak suka membicarakan nama diaapalagi saat kita makan. Ayo turun.”Mereka sudah sampai di depan sebuah kaf
Pandangannya mengitari area parkiran. Mencari posisimobilnya yang berdiam di sudut halaman. Tiba-tiba pandangan menangkap sosok Namira. “Kenapa sih, duniaterasa sempit. Di mana-mana ketemu dia melulu,” gerutunya. “Astagfirullah!” iaberucap kembali ketika melihat wanita itu terhuyung dengan di bantu seoranglaki-laki yang pernah datang bersama Teguh. Namira tampakkesakitan sambil memegangi bagian bawah perutnya. “Dia sakit? Ataujangan-jangan ....”Lolita mundur beberapa langkah hingga tubuhnya terhadangtiang di sebuah lorong.“Sakit, Pi ...,” keluh Namira sambil di dorong menggunakankursi roda. Teguh terlihat mengiringi Namira. Hingga rombongan itu menghilangdi ujung lorong, Lolita tetap tertegun di tempatnya.Rasa penasaran memenuhi isi kepala. Lolita berpikir sejenaksebelum akhirnya mengikuti Namira dari jarak jauh.Namira langsung mendapat penanganan. Lolita menemukan Teguhsedang menelepon seseorang di luar ruangan. Suaranya tak jelas. Lolita mendekatuntuk mendapat informasi. Saya
Keesokan harinya, kondisi Lolita masih juga belum berubah. Bahkan kondisi tubuhnya semakin lemah. Ia menolak ketika Tama memanggilkan dokter untuknya. Lolita sendiri merasa hanya butuh istirahat.Hingga siang hari, keadaannya tidak kunjung membaik. Iseng-iseng ia menyuruh Ipah membeli alat tes kehamilan. Sebenarnya tidak mempercayai jika ia sedang mengidam.“Tak ada salahnya dicoba,” gumamnya sambil membuka alat itu. Ia mencelupkan ke dalam air seni yang sudah ditampungnya. Dadanya berdebar menunggu setiap detik hingga terpampang jelas dua garis merah.“Alhamdulillah!” serunya dari dalam kamar mandi.Lolita buru-buru keluar untuk berbagi kebahagiaan dengan Ipah. ARTnya terlihat sangat senang, sama seperti Lolita.“Ibu saya buatkan sup biar segar badannya. Dari tadi pagi belum makan lo,” ucap Ipah menawarkan.“Boleh. Jangan terlalu asin ya? Di banyakin kentangnya, saya lagi malas makan nasi,” balas Lolita.“Siap, Bu.” Ipah gegas ke bawah untuk mengeksekusi masakan untuk Lolita.Lolita