PoV TamaAku terbangun saat ponsel di bawah bantal berdering.“Pa, alarmnya bunyi tu. Katanya mau lembur.” Lolita berucap dengan mata yang masih terpejam.Pukul sebelas malam. Aku beranjak dari pembaringan. Menyambar piyama yang teronggok di pinggir ranjang, lalu mengenakannya. Segera ke luar kamar menuju ruang kerja.Baru saja hendak membuka pintu, terdengar seseorang melangkahkan memasuki ruang sebelah.Penasaran, aku mengikuti bayang di bawah pencahayaan yang temaram itu.Namira? Ngapain masuk ke ruangan gym.Aku bergerak lebih cepat. Lalu, menyambar tubuh itu dan membungkam mulutnya.“Diam, ini aku!" Aku membawanya masuk ke ruang gym."Mas lepaskan, tapi jangan teriak."Perlahan, aku melepaskan tangan pada bekapan mulutnya."Jahat, ih!" Namira memukul dadaku beberapa kali."Jangan berisik. Nanti ada yang dengar." Aku mengingatkan. "Kenapa? Ada apa datang kemari? Kenapa gak bilang mau datang, hah?"Karena panik, aku melontarkan pertanyaan berulang kali."Salah sendiri ingkar janji.
PoV TamaNamira, satu nama yang tidak asing. Dia gadis yang rapuh, tapi menyenangkan. Dia berjiwa besar untuk menerima takdir menjadi yang kedua saat aku menyetujui keinginannya.Enam bulan lalu, dia terang-terangan menyatakan perasaannya, kedua kali setelah sebelumnya pernah aku tolak. Saat itu, akupun tetap berpegang teguh menolaknya. Sampai pada peristiwa mencengangkan itu terjadi. Lolita menemukan Namira tengah mabuk-mabukan di sebuah bar. Beruntung seorang teman mengabari Lolita, sehingga malam itu juga Namira dijemput paksa dan berdiam di rumah ini.Sayangnya, Lolita terlalu polos untuk bisa menebak sisi lain dari seorang Namira, sehingga hanya aku yang mengetahui jika Namira memang sengaja menjajakan dirinya di sana. Di hadapanku dia mengaku, jika aku tidak memilikinya, maka dia akan menyerahkan dirinya kepada orang lain yang menginginkannya.Dilema. Aku seperti berdiri di antara jurang yang dalam nan terjal. Di mana jika memutuskan bergerak ke kiri atau ke kanan tanpa perhitun
“Ma, apa untungnya mengoleksi video seperti itu. Nanti malah dilihatin Tiara, HP Mama kan sering dipakai Tiara.” Aku memprotes.“Ck, buat seru-seruan, Pa. Sekarang kan lagi viral pelakoran. Gak Cuma di sini, noh di Korea sana, film yang diangkat juga tentang perpelakoran. Oya, Ma, masih suka nonton film Korea?” Lolita bertanya sambil menghabiskan suapan terakhirnya.“Lama gak pernah nonton,” jawab Namira.“Tenang, Mbak punya banyak koleksi. Malah yang lagi trending juga punya.”“Sudah makannya , Ma. Papa mau berangkat ini.” Aku menengahi. Lolita tampak beranjak mendekati Tiara.“Sudah, Pa. Sayang, baik-baik di sekolah, ya?”“Namira mau ikut sekalian?” aku menawarkan. Basa-basi saja sebagai kedok.“Jangan, Namira mesti cuci piring dulu. Kebetulan pembantu lagi sibuk nanam janda bolong di belakang. Nanti yang bersihin ini siapa?”“Loh, Namira kan mau kuliah, Ma. Nanti dia telat, loh.”“Gak pa-pa. Kebetulan jam pertama kosong, kok.”“Tuh, kan. Namira saja nggak pa-pa, kok.”“Ya sudah, pa
POV AuthorBetapa hancur hati Lolita menghadap layar pipih dihadapannya. Layar monitor CCTV yang menghubungkannya seluruh ruangan di rumah itu.Ia meraih kotak tisu di sampingnya dan mengelap kasar pipinya yang sudah basah oleh air mata.“Tega! Kalian benar-benar tak punya adab,” rutuknya.Lolita meninggalkan layar yang masih menyala itu dengan langkah tertatih. Menuju dapur, tempat paling dekat dengan ruang di mana layar itu berada. Ia duduk di sana.Terisak sendiri dalam diam. Ingin berteriak agar seluruh penghuni rumah mengetahui kelakuan mereka berdua, tetapi ia takut malu. Bagaimana pun, Tama adalah kepala keluarga dan memiliki jabatan yang tidak semua orang sanggup memikulnya.Lolita menyambar pintu kulkas. Meneguk botol air putih tanpa menggunakan gelas. Ia tersedak, tetapi masih juga mengulanginya.“Tak bisa dibiarkan,” gumamnya kemudian.“Gadis kecil, kamu sudah merebut kebahagiaanku. Lihat saja, apayang akan aku lakukan padamu.”Ia mendekatkan wajahnya pada wastafel, lalu me
“Mau bilang khilaf? Percuma! Mau minta maaf? Dosamu sudah menggunung.Sudahlah, diam sekarang juga!”Suara Lolita meninggi. Ia mengeluarkan ponsel milik Namira.“Telepon Tama, bilang kamu ingin ketemu sekarang juga. Kalaugak mau, ancam kamu mendatangi kantornya. Cepat!”Lolita melempar sekotak tisu ke pangkuan Namira.“Jangan sampai Tama mendengar tangisanmu. Buruan!”Namira menerima ponselnya, lalu menghubungi Tama. Tak lama kemudian,ia meletakkan ponselnya.“Di mana?” tanya Lolita dengan kasar.“Sebentar lagi di kirim alamatnya.”“Sini!” Lolita mneyambar kembali ponsel milik Namira.Lima belas menit menunggu, akhirnya Tama mengirim alamat ke ponselNamira. Dengan gerak cepat, Lolita memacu mobilnya agar sampai lebih dulu di tempatyang dituju.Bukan sesuatu yang sulit bagi Lolita mencari tempat yang di janjikanTama untuk bertemu dengan Namira.Lolita mengurut dada yang kian sesak. Melihat vila dan seluruh isinya yang mewah. Berada di lokasi yang dipenuhi bunga kesukaannya, anggrek.Ia
Lolita membasuh wajahnya yang kusam oleh sebab tangisan. Ia membuka seluruh pakaian, melempar ke sembarang arah. Lalu, mengguyur seluruh tubuh, tanpa terkecuali.Detik demi detik ia rasai resapan air memasuki pori-porikulitnya. Perlahan pengubah panas dalam dadanya menjadi sejuk.Tama telah merusak tatanan rapi dalam hatinya dan Namira sudah memporak-porandakan seluruh dunia yang ia huni. Tak satupun cara dapatmengubah rasa bencinya menjadi sebuah pemakluman.Kata maklum haram baginya saat ini. Bahkan ia akan mendudukan Namira di tempat yang layak.“Sampah akan berada di tempat yang layak. Bukan di istana yangsudah kubangan dengan jerih payah. Akan kutempatkan di mana kamu seharusnya berada, Namira!”Sejujurnya ingin memaki, ingin mempertontonkan keduanya di hadapan khalayak. Namun lagi-lagi, nama baik Tama dan dirinya yangLolita pertimbangkan.Ia seorang sosialita, bahkan menjadi panutan dari followersdan teman-temannya, di mana Tama adalah pangeran berkuda putih yang seringdielu-elu
“Oke, kita mulai ... main cantik.”Lolita berjalan anggun memasuki halaman dan berakhir di teras.Ia berhenti sejenak, menghela nafas dan menyiapkan mentalnya.Jika dulu ia sangat bersemangat ketika bertemu dengan Namira dengan menyiapkan aneka makanan kesukaan gadis itu, tetapi saat ini yang terjadi sebaliknya. Lolita harus menyiapkan stok kesabaran demi bisa berucap santai tanpa emosi.Lolita mengetuk pintu. Tak berselang lama, Namira membuka pintu. Gadis itu tersekat, tak bisa mengucap salam untuk menyambut kedatangan Lolita.Kedatangan Lolita yang tak disangka-sangka membuat Namira kehilangan tenaga. Rasa takut dan khawatir tiba-tiba memenuhi isi kepala.Lolita menerobos masuk tanpa memperdulikan Namira yang takberkutik, bahkan tanpa berkata-kata.“Silahkan duduk, Mbak,” ucap Lolita akhirnya.“Gak usah.”Namira masih berdiri di pinggir pintu. Lolita yang sudah masuk, melangkah lebih dalam.“Ngapain berdiri di situ?”Namira tersentak. Ia mengikuti langkah Lolita. Sejujurnya, ia sang
Melawan seseorang yang memiliki kedudukan sama dengan bunuh diri. Berharap bisa membalas dendam atau dan membalas sakit hati adalah sesuatu yang tidak mungkin. Namira merasakan itu.Menyadari dirinya yang bukan siapa-siapa, hanya orang lain yang kebetulan bertemu keluarga baik seperti Tama dan Lolita, adalah sebuah keberuntungan yang tidak semua orang bisa mengalaminya.Menilik beberapa tahun belakangan, Namira adalah sosokpribadi yang tertutup. Tak mudah menjelajahi pikiran dan hatinya. Ia cenderung menelan sendiri perasaan, entah sakit atau perasaan senang yang hadir di setiapwaktunya.Namun, keberadaan Lolita dengan penampilan yang diirikan oleh sebagian kaumnya, membuat Namira hanya bisa berdecak kagum.Perfect, Namira menyebut wanita tangguh itu. Tapi sayangnya, pandangan tangguh itu mulai mengabur. Kekaguman yang tersemat di setiap sorotmata pada Namira luruh sudah bersama dengan perlakukan Lolita padanya,dua hari terakhir ini.Alih-alih mendapat pembelaan, Namira malah sama sek
*Lewat tengah malam, perutku terasa perih. Mungkin karena sejaksore tidak terisi nasi. Aku terjaga, Kemudian bangkit. Lolita tak ada di sisiku.Dia sedang di kamar mandi, karena terdengar bunyi gemericik air.Aku memutuskan menurunkan kaki sambil memandang ke meja. BiasanyaLolita meletakkan makanan di sana. Ternyata benar. Ada dua piring teronggok di meja.Aku menyambar piyama yang sudah dipersiapkan Lolita, lalu mengenakannya.Pakaianku masih berserakan di atas ranjang. Aku tak memperdulikannya karena rasalapar sudah mendera.Sepiring nasi terasa masih hangat. Sepertinya Lolita barusaja meletakkan di sini. Sepiring lagi berisi lauk pauk. Aku langsung melahap makananini hingga habis.Lolita tersenyum ketika mendapati dua piring telah kosong.“Kelaparan rupanya,” sindirnya.“Mama membuat tenagaku habis,” balasku.“Kok mama, Papa yang minta tambah.”“Itu karena Mama memancing terus.”“Idih!”Walaupun tak ingin diprotes, tetapi dia malah mendekatiku lagi.Malahan kali ini, pakaiannya senga
Tama duduk di balik kemudinya. Sementara Lolita dan Namiraduduk di jok belakang. Akhirnya, ia berhasil meyakinkan Teguh untuk membawapulang Namira.Sesekali terdengar suara perbincangan kedua wanita itu. Tamasendiri tak ingin terlibat dalam percakapan keduanya. Ia memilih fokusmengendarakan mobil.Sesampainya di rumah, Lolita sudah menyediakan kamar untuk Namira.Kamar yang terletak di sebelah kamar Tiara, di mana pernah ditempati Namira waktu dulu.“Ini kamarmu,” ucap Lolita sambil membuka pintunya.“Di bawah aja, Mbak. Kamar yang dulu ‘kan kosong.”Lolita sedikit tertunduk. Ada sayatan yang melukai hatinya mendengarucapan Namira. Ia teringat kamar pembantu yang dipaksa untuk didiami Namira saatwanita itu kepergok menjadi istri muda suaminya.“Itu kamar pembantu. Maaf, Na, untuk kejadian waktu itu.”“Bukan salah Mbak Lita.”“Tetap saja aku sudah keterlaluan waktu itu.”“Semuanya salahku, Mbak. Aku yang rakusakan harta mas Tama, iri hati melihat kebahagian Mbak Lita. Aku memaksa mas Ta
Seorang pria sedang menunduk di depan sebuah pusara.Tangisnya tak berhenti meski rintik-rintik gerimis mulai berjatuhan.Ceceran lumpur bekas galian makam mengotori bawah celananya.Tak ada niat ingin beranjak pergi, bahkan ketika langit sore mulai gelap.“Pak, sebentar lagi hujannya deras dan sudah mau malam.Sebaiknya kita pulang saja,” ucap salah seorang dari anak buahnya.Pria itu tak juga mengangkat kepalanya. Ia terus tertunduk. Sedih.Seorang anak buahnya membentang payung. Hujan yang mulaideras membuatnya segera mendekati pria itu lagi yang keukeh tak mau pulang, lalumelindunginya dengan tulus.“Pak Teguh, hari sudah gelap,” ucap seorang pembawa payungtadi mengingatkan. Barulah Teguh mengangkat wajah. Ia mengusap nisan kayu yangbasah oleh hujan.“Maafkan papa, Nak. Beristirahatlah dengan tenang,” ucapnyasendu. Teguh berdiri menatap nisan itu sebelum benar-benar pergi.Senja yang tak lagi kemerahan, senja yang sudah bergantimalam membawa Teguh meninggalkan area pemakaman putri ke
Tama menghubungi semua teman-teman Lolita. Terutama Mita, satu-satunya teman yang ia datangi secara langsung. Tapi, Mita tidak mengetahui keberadaan sahabatnya.Tama mengkhawatirkan keadaan Lolita karena sudah dua jam tidak dapat dihubungi.Ia panik, takut jika terjadi sesuatu pada diri istrinya. Apalagi Lolita sedang hamil tua.“Ya Allah, di mana kamu, Ma?”Berulang kali menyentuh nama Lolita pada layar pipih ponselnya. Tapi, tak juga mendapat jawaban, nomor ponsel Lolita tidak bisa dihubungi.Sementara itu, seseorang yang sedang dikhawatirkan sedang menikmati makanannya. Lolita sudah menghabiskan setengah dari isi nasi kotak sambil mengaktifkan ponselnya.Setelah mengurus Namira dan membayar biaya administrasi, ia berpamitan untuk mencari makanan, karena rasa lapar mendera.Ponselnya langsung berdering begitu mendapat sinyal.“Halo, Ma. Mama di mana saja? Dua jam papa seperti orang stres nyariin Mama.” Tama terdengar sangat panik.“Aku di rumah sakit, Pa. HP baru aktif lagi.”“Mama
“Bu, kayaknya tempat yang ibu tuju jauh dari hunian.Maksudnya, rumah di sana masih jarang-jarang. Saya pernah ke sana satu kali,”ucap sopir taksi itu memberitahu. Sejenak, Lolita takmenyahut. Lalu berisaham meyakinkan hatinya. “Gak apa-apa, Pak.Saudara saya sedang butuh pertolongan di sana,” ucapnya yakin.“Oke kalau begitu.”Mereka bercakap-cakap tentang keadaan tempat yang akanmereka datangi. Meski di sana rumahnya jarang-jarang, tapi ada juga yangmelewati jalanan itu. Rata-rata para petani, terlihat dari bawaan mereka.“Itu sepertinya rumah yang ibu maksud,” ucap sopir sambilmenunjuk rumah bercat coklat.Terlihat lebih mewah dari rumah-rumah yang lainnya, berdiri diatas dataran tinggi.“Berhenti di sini, Bu?”Lolita mengamati sekitar rumah sebelum meyakinkan bibirnya untukmenjawab si sopir.“Iya, Pak,” jawabnya.Si sopir menghentikan laju kendaraan tepat di depan pintu pagar.“Pak, jika saya tidak keluar selama setengah jam, tolong hubungi suami saya. Ininomornya.” Lolita menyodo
Lolita sendiri menjadi tercengang, heran sekaligus takpercaya. Namira pandai memainkan sandiwara. Ia tak mempercayainya. Namun,melihat sorot mata ketakutan wanita itu dan raut wajah saat melihat sosok Teguhkeluar dari toilet, membuat Lolita bertanya-tanya. Ada sesuatu yang tidakseharusnya terjadi pada diri Namira.“Sayang.” Panggilan Tama mengalihankan lamunannya. Lolita menggenggamrobekan kertas yang diberikan Namira tadi, kemudian menyambut kedatangan Tamayang membawa piring.“Kenapa?” tanya Tama melihat gelagat aneh istrinya.“Gak ada. Lama nungguin Papa,” jawabnya no berbohong.“Oh, toiletnya antriannya panjang, Sayang.” Tama meletakkansepiring makanan di hadapan Lolita.“Papa gak makan?”“Gak usah. Mama saja.”Tama mengedarkan pandangan ke samping kanan dan kiri. Tampakseberapa orang yang bisa kenal. Ia melambaikan tangan dan tersenyum.“Ma, papa ngobrol dulu sama temen, ya? Tuh, di situ,” pintaTama sambil menunjuk seorang pria berperawakan tinggi, putih, dan bermatasipit. Keturu
Dalam perjalanan, Lolita berceloteh tentang Namira. Tama enggan mendengarkan. Tapi tetapi pura-pura demi menyenangkan istrinya yangakhir-akhir ini lebih sensitif.“Kayaknya dia lagi sakit deh, Pa. Masa jalannya pakai kursiroda.” Lolita berucap dengan santai.“Kasihan ya, Pa,” tambahan lagi karena Tama tak menanggapi.“Ck, jangan terlalu mengurusi urusan orang lain, Ma. Kita sudah lama tidak membahasnya lagi kan?” Tama mengingatkan.“Cuma penasaran, Pa.”“Buka saja media sosialnya kalau penasaran. Beres kan?”“Bener-bener. Tumben Papa nyuruh begitu?”“Daripada ribut tanyaini itu sama papa dan papa gak tau jawabannya? Apa perlu papa yang talkingakunnya?”“Eh, eh, jangan dong!”Tama tertawa melihat respons Lolita yang cemberut sambil mengutak-atikponselnya.“Mama ngapain?”“Lihat facebook sama ig dia.”Mendadak Tama menyambar ponselnya, lalu mengantongi.“Pa.”“Kita makan dulu. Papa gak suka membicarakan nama diaapalagi saat kita makan. Ayo turun.”Mereka sudah sampai di depan sebuah kaf
Pandangannya mengitari area parkiran. Mencari posisimobilnya yang berdiam di sudut halaman. Tiba-tiba pandangan menangkap sosok Namira. “Kenapa sih, duniaterasa sempit. Di mana-mana ketemu dia melulu,” gerutunya. “Astagfirullah!” iaberucap kembali ketika melihat wanita itu terhuyung dengan di bantu seoranglaki-laki yang pernah datang bersama Teguh. Namira tampakkesakitan sambil memegangi bagian bawah perutnya. “Dia sakit? Ataujangan-jangan ....”Lolita mundur beberapa langkah hingga tubuhnya terhadangtiang di sebuah lorong.“Sakit, Pi ...,” keluh Namira sambil di dorong menggunakankursi roda. Teguh terlihat mengiringi Namira. Hingga rombongan itu menghilangdi ujung lorong, Lolita tetap tertegun di tempatnya.Rasa penasaran memenuhi isi kepala. Lolita berpikir sejenaksebelum akhirnya mengikuti Namira dari jarak jauh.Namira langsung mendapat penanganan. Lolita menemukan Teguhsedang menelepon seseorang di luar ruangan. Suaranya tak jelas. Lolita mendekatuntuk mendapat informasi. Saya
Keesokan harinya, kondisi Lolita masih juga belum berubah. Bahkan kondisi tubuhnya semakin lemah. Ia menolak ketika Tama memanggilkan dokter untuknya. Lolita sendiri merasa hanya butuh istirahat.Hingga siang hari, keadaannya tidak kunjung membaik. Iseng-iseng ia menyuruh Ipah membeli alat tes kehamilan. Sebenarnya tidak mempercayai jika ia sedang mengidam.“Tak ada salahnya dicoba,” gumamnya sambil membuka alat itu. Ia mencelupkan ke dalam air seni yang sudah ditampungnya. Dadanya berdebar menunggu setiap detik hingga terpampang jelas dua garis merah.“Alhamdulillah!” serunya dari dalam kamar mandi.Lolita buru-buru keluar untuk berbagi kebahagiaan dengan Ipah. ARTnya terlihat sangat senang, sama seperti Lolita.“Ibu saya buatkan sup biar segar badannya. Dari tadi pagi belum makan lo,” ucap Ipah menawarkan.“Boleh. Jangan terlalu asin ya? Di banyakin kentangnya, saya lagi malas makan nasi,” balas Lolita.“Siap, Bu.” Ipah gegas ke bawah untuk mengeksekusi masakan untuk Lolita.Lolita