Melawan seseorang yang memiliki kedudukan sama dengan bunuh diri. Berharap bisa membalas dendam atau dan membalas sakit hati adalah sesuatu yang tidak mungkin. Namira merasakan itu.Menyadari dirinya yang bukan siapa-siapa, hanya orang lain yang kebetulan bertemu keluarga baik seperti Tama dan Lolita, adalah sebuah keberuntungan yang tidak semua orang bisa mengalaminya.Menilik beberapa tahun belakangan, Namira adalah sosokpribadi yang tertutup. Tak mudah menjelajahi pikiran dan hatinya. Ia cenderung menelan sendiri perasaan, entah sakit atau perasaan senang yang hadir di setiapwaktunya.Namun, keberadaan Lolita dengan penampilan yang diirikan oleh sebagian kaumnya, membuat Namira hanya bisa berdecak kagum.Perfect, Namira menyebut wanita tangguh itu. Tapi sayangnya, pandangan tangguh itu mulai mengabur. Kekaguman yang tersemat di setiap sorotmata pada Namira luruh sudah bersama dengan perlakukan Lolita padanya,dua hari terakhir ini.Alih-alih mendapat pembelaan, Namira malah sama sek
Di kantornya, Tama tercenung menatap layar ponsel. Wajah Lolita terpampang di sana.“Kenapa kamu berubah jadi wanita yang tega, Ma. Kamu bukan dirimu yang dulu, penyayang, santun dan berwibawa.”Tama mengusap sudut mata.Tak berselang lama, hanya membutuhkan hitungan hari dari tragedi di vila itu, Lolita berubah menjadi pribadi yang sulituntuk ia kendalikan. Bahkan setiap ucapannya berapi-api, emosi dan tidak mencerminkankepribadiannya yang anggun.Ponsel Tama berubah dengan sendirinya. Di layar terpampang Namira calling.Selama dua hari ini, Tama memang hanya satu kali menghubungi gadis itu. Ia lebih memilih meredam situasi yang sedang memanas dengan bersikapadil. Adil baginya adalah harus mendahulukan Lolita, memperhatikan perasaannya yang jelas lebih terluka.“Halo,” ucap Tama.“Halo, Mas.” Namira dari seberang panggilan terdengar menangis.“Jangan menangis. Ini adalah konsekuensi dari keputusan kita.”“Tapi aku sangat tersinggung dengan perlakuan Mbak Lita.”“Anggap saja suatu kew
Namira menyambar tasnya, lalu pergi meninggalkan Tama. Ia berjalan dengan langkah cepat, menyeberang jalan menuju kampus yang ditinggalkannya beberapa saat yang lalu.Sementara Tama mengamati dari kejauhan sosok Namira yang mulai menghilang dibalik rimbunnya tanaman. Ia mendesah, menyesali setiapucapan yang keluar baru saja. Namun, ia sadar mengucapkan. Esok atau lusa, kata-kata itu tetap akan keluar juga.Ia mengetik pesan untuk Namira sebelum meninggalkan kampusnya.[Maafkan ucapan Mas tadi. Tapi kamu harus belajar mandiri mulai saat ini. Soal uang kuliah dan biaya hidupmu nggak usah khawatir. Masakan membicarakannya dengan Mbakmu.]Tama meninggalkan warung itu dengan hati yang sedikit lega. Entah diterima atau tidak permintaannya itu oleh Namira, tetapi ia sudah berusaha memberikan solusi. Setidaknya, Namira tidak perlu menunggu-nunggu lagi bagaimana keputusannya.Ia segera berlalu dari kawasan kampus menuju kantornya. Sebab, pesan dari Roy baru saja masuk. Ia mengabarkan jika Loli
Lolita terdiam. Jauh di lubuk hati, sebenarnya tak sampaihati memperlakukan Namira dengan keji. Bahkan ia juga merasa sudah keterlaluan.Namun, lagi-lagi rasa cemburu dan ego yang sudah melebihi batas, membuatnyamenggeleng di hadapan Tama.“Mama gak mau melepaskan Papa bertemu dengannya. Barusan, tanpa memikirkan hati mama saja Papa masih menemuinya. Siapa yang bisa menjamin kalau Papa bakal menjatuhkan talak? Atau jangan-jangan malah mengulang kemesraan.”“Terus ... Mama maunya bagaimana?”Tama melunak. Sebab, keputusan Lolita sudah tak bisa digoyahkan lagi. Ia merengkuh Lolita dalam dekapan, hingga wanita itu jatuh bersandar di dadanya.“Gimana-gimana, maunya Mama bagaimana?”Lolita tak menjawab.“Oke, Mama ikut mengantarnya pulang. Tapi kasih papa waktu buat bicara berdua dengannya. Deal, ya?”Tama mencium pucuk kepala Lolita bersamaan dengan anggukan yang diberikan sebagai tanda setuju.**Lolita menunggu Tama hingga sore. Kemudian memutuskan langsung pulang.“Mama mau menemui dia
“Ngomong aja. Apa benar Namira pernah-““Iya, Bu. Tapi saya jangan disangkutpautkan ya, Bu?”“Nggak. Di mana? Kapan?”“Sering, Bu. Tapi dulu sebelum ketauan sama Ibu. Terakhir sayalihat pas ulang tahunnya non Tiara. Di sini, di meja makan ini.”Tergores perih mendengar ucapan Ipah. Bahkan di rumahnya sendiri,mereka melakukan hal yak senonoh. Lolita kembali menekan dadanya.“Ipah.”“Ya, Bu.”“Apapun yang terjadi, siapapun yang bertanya tentang keadaanrumah ini, kamu harus bilang baik-baik saja.”“Iya, Bu, saya mengerti.”“Kamu tau, kan, kalau teman-teman saya bukan orang-orang sembarangan?Jangan sampai orang lain mengetahui apapun yang terjadi di sini. Termasuk juga keluargamu.”“Iya, Bu. Saya mengerti.”Ipah kembali mengangguk ketika Lolita mengutarakanmaksudnya. Wanita tambun itu memang mengetahui banyak hal tentang hubungan Tamadengan adik angkatnya, Namira. Tetapi tidak cukup berani mengutarakan kebenaran.Akhirnya di malam itu, Ipah memergoki sendiri pasangan nikah siriitu bertemu
“Murahan!”Tidak puas sampai di situ, Lolita menyambur gagang sapu di sampingpintu. Ia melayangkan ke arah Namira.“Ma!”Tama meraih tangannya hingga sapu itu hanya mengambang di udara. Merebutnya, lalu melempar ke samping.“Mama sabar! Mama bisa menyakitinya.”“Ini semua gara-gara Papa! Ini salah Papa! Papa yang membuat mama jadi begini.”“Ma! Iya-iya, semua memang salah Papa. Maafkan Papa. Tapi tidakbegini caranya menyelesaikan masalah.”“Aku ingin menghajarnya. Bisa-bisanya dia mengakui istri Papadi hadapan teman-teman arisan Mama. Memangnya kamu pikir, kamu siapa, hah? Mimpikalau kamu mau menjadi sepertiku!”Lolita menunjuk-nunjuk Namira. Sedangkan gadis itu masih memegangi pipi dengan isakan tangis yang menyayat.“Mama! Papa minta maaf. Sudah, kita ke atas saja. Mama butuhistirahat.”“Lepaskan dulu.”“Ma!”“Namira! Kamu salah sudah berurusan denganku. Lihat setelahini, aku akan melakukan sesuatu yang gak akan kamu lupa seumur hidupmu.”“Aku nggak takut. Aku juga istri Mas Tama. A
Pagi buta, Tama menuruni tangga menuju kamar Namira. Ia menggenggam ponsel sembari membaca setiap komentar yang mampir di postingan Namira.“Na, bangun!”Tama menggedor pintu. Tak mendapat jawaban, ia mendorong handel hingga pintu terbuka.“Na!”“Apa, Mas?” jawab Namira di belakang Tama.“Dari mana kamu?”“Ngepel, kan tugasku-““Mana ponselmu?” tanya Tama bernada marah.“Kenapa memangnya?” jawab Namira santai.“Kenapa-kenapa! Cepet halus postingan status Facebookmu sebelum Lolita membacanya.”Tama masuk ke kamar. Mencari ponsel Namira.“Bukan hanya dia yang bisa pamer. Aku pun bisa pamer suami, pamer barang-barang mewah dan pamer liburan.”“Na! Keterlaluan kamu. Sekarang semua orang sudah tau hubungan kita. Kamu tau gak apa akibatnya?” Tama menghardik. Ia berteriak di hadapan Namira.Tanpa sepengetahuannya, Namira mengunggah foto bersama Tama. Foto saat berlibur, barang-barang branded pemberian Tama dan foto pernikahan mereka.“Kamu tak hanya menghancurkan kepercayaanku, tapi juga sud
“Teman-teman, pesananku apa sudah datang?” Lolita berucap mendekati teman-temannya.“Nih,” jawab salah seorang yang mendekat membawakan plastik hitam.“Apa itu?” Namira mulai khawatir saat Lolita mendekat.‘Jangan-jangan ular!’ pikirnya.“Ini sebenarnya hadiah untukmu. Gak seberapa, sih. Sebagai pelajaran aja. Lagipula baumu lebih busuk dari bau benda ini.”“Apa maksud Mbak Lita.”Lolita mengeluarkan isian dalam plastik dan langsung melemparkannya ke arah Namira.Namira menjerit ketika sebutir telur mendarat tepat di kepalanya. Bau busuk menguar. Namira menutup hidung.“Hadiah karena kamu sudah merebut Tama dariku.”Belum sempat berbalik dan melawan, Lolita sudah melempar telur busuk yang kedua. Kalo ini tepat mengenai punggung Namira.“Itu untuk uang suamiku yang melayang tak berguna karena kamu pakai untuk mempercantik diri.”“Hentikan!” Namira berteriak. Ia mengeluarkan hardikan sesekali memuntahkan isi perut, tetapi tidak berhasil.“Ini untuk tas, sepatu, perhiasan dan barang-bara
*Lewat tengah malam, perutku terasa perih. Mungkin karena sejaksore tidak terisi nasi. Aku terjaga, Kemudian bangkit. Lolita tak ada di sisiku.Dia sedang di kamar mandi, karena terdengar bunyi gemericik air.Aku memutuskan menurunkan kaki sambil memandang ke meja. BiasanyaLolita meletakkan makanan di sana. Ternyata benar. Ada dua piring teronggok di meja.Aku menyambar piyama yang sudah dipersiapkan Lolita, lalu mengenakannya.Pakaianku masih berserakan di atas ranjang. Aku tak memperdulikannya karena rasalapar sudah mendera.Sepiring nasi terasa masih hangat. Sepertinya Lolita barusaja meletakkan di sini. Sepiring lagi berisi lauk pauk. Aku langsung melahap makananini hingga habis.Lolita tersenyum ketika mendapati dua piring telah kosong.“Kelaparan rupanya,” sindirnya.“Mama membuat tenagaku habis,” balasku.“Kok mama, Papa yang minta tambah.”“Itu karena Mama memancing terus.”“Idih!”Walaupun tak ingin diprotes, tetapi dia malah mendekatiku lagi.Malahan kali ini, pakaiannya senga
Tama duduk di balik kemudinya. Sementara Lolita dan Namiraduduk di jok belakang. Akhirnya, ia berhasil meyakinkan Teguh untuk membawapulang Namira.Sesekali terdengar suara perbincangan kedua wanita itu. Tamasendiri tak ingin terlibat dalam percakapan keduanya. Ia memilih fokusmengendarakan mobil.Sesampainya di rumah, Lolita sudah menyediakan kamar untuk Namira.Kamar yang terletak di sebelah kamar Tiara, di mana pernah ditempati Namira waktu dulu.“Ini kamarmu,” ucap Lolita sambil membuka pintunya.“Di bawah aja, Mbak. Kamar yang dulu ‘kan kosong.”Lolita sedikit tertunduk. Ada sayatan yang melukai hatinya mendengarucapan Namira. Ia teringat kamar pembantu yang dipaksa untuk didiami Namira saatwanita itu kepergok menjadi istri muda suaminya.“Itu kamar pembantu. Maaf, Na, untuk kejadian waktu itu.”“Bukan salah Mbak Lita.”“Tetap saja aku sudah keterlaluan waktu itu.”“Semuanya salahku, Mbak. Aku yang rakusakan harta mas Tama, iri hati melihat kebahagian Mbak Lita. Aku memaksa mas Ta
Seorang pria sedang menunduk di depan sebuah pusara.Tangisnya tak berhenti meski rintik-rintik gerimis mulai berjatuhan.Ceceran lumpur bekas galian makam mengotori bawah celananya.Tak ada niat ingin beranjak pergi, bahkan ketika langit sore mulai gelap.“Pak, sebentar lagi hujannya deras dan sudah mau malam.Sebaiknya kita pulang saja,” ucap salah seorang dari anak buahnya.Pria itu tak juga mengangkat kepalanya. Ia terus tertunduk. Sedih.Seorang anak buahnya membentang payung. Hujan yang mulaideras membuatnya segera mendekati pria itu lagi yang keukeh tak mau pulang, lalumelindunginya dengan tulus.“Pak Teguh, hari sudah gelap,” ucap seorang pembawa payungtadi mengingatkan. Barulah Teguh mengangkat wajah. Ia mengusap nisan kayu yangbasah oleh hujan.“Maafkan papa, Nak. Beristirahatlah dengan tenang,” ucapnyasendu. Teguh berdiri menatap nisan itu sebelum benar-benar pergi.Senja yang tak lagi kemerahan, senja yang sudah bergantimalam membawa Teguh meninggalkan area pemakaman putri ke
Tama menghubungi semua teman-teman Lolita. Terutama Mita, satu-satunya teman yang ia datangi secara langsung. Tapi, Mita tidak mengetahui keberadaan sahabatnya.Tama mengkhawatirkan keadaan Lolita karena sudah dua jam tidak dapat dihubungi.Ia panik, takut jika terjadi sesuatu pada diri istrinya. Apalagi Lolita sedang hamil tua.“Ya Allah, di mana kamu, Ma?”Berulang kali menyentuh nama Lolita pada layar pipih ponselnya. Tapi, tak juga mendapat jawaban, nomor ponsel Lolita tidak bisa dihubungi.Sementara itu, seseorang yang sedang dikhawatirkan sedang menikmati makanannya. Lolita sudah menghabiskan setengah dari isi nasi kotak sambil mengaktifkan ponselnya.Setelah mengurus Namira dan membayar biaya administrasi, ia berpamitan untuk mencari makanan, karena rasa lapar mendera.Ponselnya langsung berdering begitu mendapat sinyal.“Halo, Ma. Mama di mana saja? Dua jam papa seperti orang stres nyariin Mama.” Tama terdengar sangat panik.“Aku di rumah sakit, Pa. HP baru aktif lagi.”“Mama
“Bu, kayaknya tempat yang ibu tuju jauh dari hunian.Maksudnya, rumah di sana masih jarang-jarang. Saya pernah ke sana satu kali,”ucap sopir taksi itu memberitahu. Sejenak, Lolita takmenyahut. Lalu berisaham meyakinkan hatinya. “Gak apa-apa, Pak.Saudara saya sedang butuh pertolongan di sana,” ucapnya yakin.“Oke kalau begitu.”Mereka bercakap-cakap tentang keadaan tempat yang akanmereka datangi. Meski di sana rumahnya jarang-jarang, tapi ada juga yangmelewati jalanan itu. Rata-rata para petani, terlihat dari bawaan mereka.“Itu sepertinya rumah yang ibu maksud,” ucap sopir sambilmenunjuk rumah bercat coklat.Terlihat lebih mewah dari rumah-rumah yang lainnya, berdiri diatas dataran tinggi.“Berhenti di sini, Bu?”Lolita mengamati sekitar rumah sebelum meyakinkan bibirnya untukmenjawab si sopir.“Iya, Pak,” jawabnya.Si sopir menghentikan laju kendaraan tepat di depan pintu pagar.“Pak, jika saya tidak keluar selama setengah jam, tolong hubungi suami saya. Ininomornya.” Lolita menyodo
Lolita sendiri menjadi tercengang, heran sekaligus takpercaya. Namira pandai memainkan sandiwara. Ia tak mempercayainya. Namun,melihat sorot mata ketakutan wanita itu dan raut wajah saat melihat sosok Teguhkeluar dari toilet, membuat Lolita bertanya-tanya. Ada sesuatu yang tidakseharusnya terjadi pada diri Namira.“Sayang.” Panggilan Tama mengalihankan lamunannya. Lolita menggenggamrobekan kertas yang diberikan Namira tadi, kemudian menyambut kedatangan Tamayang membawa piring.“Kenapa?” tanya Tama melihat gelagat aneh istrinya.“Gak ada. Lama nungguin Papa,” jawabnya no berbohong.“Oh, toiletnya antriannya panjang, Sayang.” Tama meletakkansepiring makanan di hadapan Lolita.“Papa gak makan?”“Gak usah. Mama saja.”Tama mengedarkan pandangan ke samping kanan dan kiri. Tampakseberapa orang yang bisa kenal. Ia melambaikan tangan dan tersenyum.“Ma, papa ngobrol dulu sama temen, ya? Tuh, di situ,” pintaTama sambil menunjuk seorang pria berperawakan tinggi, putih, dan bermatasipit. Keturu
Dalam perjalanan, Lolita berceloteh tentang Namira. Tama enggan mendengarkan. Tapi tetapi pura-pura demi menyenangkan istrinya yangakhir-akhir ini lebih sensitif.“Kayaknya dia lagi sakit deh, Pa. Masa jalannya pakai kursiroda.” Lolita berucap dengan santai.“Kasihan ya, Pa,” tambahan lagi karena Tama tak menanggapi.“Ck, jangan terlalu mengurusi urusan orang lain, Ma. Kita sudah lama tidak membahasnya lagi kan?” Tama mengingatkan.“Cuma penasaran, Pa.”“Buka saja media sosialnya kalau penasaran. Beres kan?”“Bener-bener. Tumben Papa nyuruh begitu?”“Daripada ribut tanyaini itu sama papa dan papa gak tau jawabannya? Apa perlu papa yang talkingakunnya?”“Eh, eh, jangan dong!”Tama tertawa melihat respons Lolita yang cemberut sambil mengutak-atikponselnya.“Mama ngapain?”“Lihat facebook sama ig dia.”Mendadak Tama menyambar ponselnya, lalu mengantongi.“Pa.”“Kita makan dulu. Papa gak suka membicarakan nama diaapalagi saat kita makan. Ayo turun.”Mereka sudah sampai di depan sebuah kaf
Pandangannya mengitari area parkiran. Mencari posisimobilnya yang berdiam di sudut halaman. Tiba-tiba pandangan menangkap sosok Namira. “Kenapa sih, duniaterasa sempit. Di mana-mana ketemu dia melulu,” gerutunya. “Astagfirullah!” iaberucap kembali ketika melihat wanita itu terhuyung dengan di bantu seoranglaki-laki yang pernah datang bersama Teguh. Namira tampakkesakitan sambil memegangi bagian bawah perutnya. “Dia sakit? Ataujangan-jangan ....”Lolita mundur beberapa langkah hingga tubuhnya terhadangtiang di sebuah lorong.“Sakit, Pi ...,” keluh Namira sambil di dorong menggunakankursi roda. Teguh terlihat mengiringi Namira. Hingga rombongan itu menghilangdi ujung lorong, Lolita tetap tertegun di tempatnya.Rasa penasaran memenuhi isi kepala. Lolita berpikir sejenaksebelum akhirnya mengikuti Namira dari jarak jauh.Namira langsung mendapat penanganan. Lolita menemukan Teguhsedang menelepon seseorang di luar ruangan. Suaranya tak jelas. Lolita mendekatuntuk mendapat informasi. Saya
Keesokan harinya, kondisi Lolita masih juga belum berubah. Bahkan kondisi tubuhnya semakin lemah. Ia menolak ketika Tama memanggilkan dokter untuknya. Lolita sendiri merasa hanya butuh istirahat.Hingga siang hari, keadaannya tidak kunjung membaik. Iseng-iseng ia menyuruh Ipah membeli alat tes kehamilan. Sebenarnya tidak mempercayai jika ia sedang mengidam.“Tak ada salahnya dicoba,” gumamnya sambil membuka alat itu. Ia mencelupkan ke dalam air seni yang sudah ditampungnya. Dadanya berdebar menunggu setiap detik hingga terpampang jelas dua garis merah.“Alhamdulillah!” serunya dari dalam kamar mandi.Lolita buru-buru keluar untuk berbagi kebahagiaan dengan Ipah. ARTnya terlihat sangat senang, sama seperti Lolita.“Ibu saya buatkan sup biar segar badannya. Dari tadi pagi belum makan lo,” ucap Ipah menawarkan.“Boleh. Jangan terlalu asin ya? Di banyakin kentangnya, saya lagi malas makan nasi,” balas Lolita.“Siap, Bu.” Ipah gegas ke bawah untuk mengeksekusi masakan untuk Lolita.Lolita