Di hari yang masih pagi, bahkan matahari masih enggan menampakkan sinarnya, Denan sudah melajukan langkahnya di koridor rumah sakit. Suasana rumah sakit yang masih sedikit sunyi membuat derap langkah Denan terdengar jelas menggema di penjuru ruangan. "Udah bangun?" ucapnya pada Flara yang sedang duduk bersandar pada bantal dengan ponsel di tangannya. Flara sedikit terkejut, ia menoleh ke dinding di mana ada jam yang terpasang di sana. masih jam setengah enam dan Denan sudah sampai di sini, begitulah batin Flara. "Aku ada bubur buat kamu. Makan, mumpung masih hangat.""Ini masih terlalu pagi untuk makan.""Memang kenapa? Kamu makan nggak buat diri kami sendiri. Nanti setelah makan aku bawa jalan-jalan ke taman rumah sakit. Masih pagi, udara masih segar."Flara dengan semangat empat lima merebut kotak foam yang berisi bubur ayam beserta kerupuknya. Memakan dengan lahap dan nikmat. Bukan karena lapar. Ia ingin segera keluar dari ruangan terkutuk ini untuk menghirup udara yang lebih se
"Zaki."Flara mengerutkan kening tipis, apa yang media beritakan mengenai Zaki jika Denan saja belum membuat kegaduhan. Itulah setidaknya yang ada dalam pikiran Flara. "Bukannya kamu belum melakukan apa-apa?" tanya Flara setelah beberapa detik terdiam. "Memang belum. Aku belum melakukan apa yang kamu minta, tapi ternyata Tuhan sudah berkehendak lain. Tuhan selalu adil, Fla. Zaki mungkin memang tidak punya salah denganku. Tapi dia punya dosa pada wanita yang begitu mencintainya. Karma dibayar kontan.""Jangan bertele-tele Denan, berita apa?" desak Flara tak sabar. "Zaki kehilangan rumah karena wanita simpanannya.""Apa, kok bisa? Maksud kamu Rania.""Memang siapa lagi wanita simpanan Zaki selain Rania?""Tapi gimana ceritanya? Yang jelas dong, Den. Aku nggak ngerti." "Rania membawa kabur surat sertifikat rumah milik Zaki, lalu dia jual dan dia kabur ke luar negeri. Tadi memang sempat Rania bilang ke aku kalau dia itu mau ke luar negeri. Katanya, sih mau liburan, ya aku yang nggak m
Di hari yang menjelang sore, Flara diizinkan pulang karena kondisinya yang sudah membaik. Kedua manusia yang nampak sebagai sepasang suami istri itu berjalan beriringan. Langkah demi langkah yang mereka ciptakan membawa mereka meninggalkan bangunan bercat putih yang dipenuhi oleh orang tak sehat. Baru saja menapakkan kaki di pelataran rumah sakit langkah mereka terhenti karena berpapasan dengan Zaki. Hal yang sejak kemarin benar-benar dihindari oleh Denan kini malah terjadi di depan matanya. Sial! Otak Denan saat ini sedang sedikit waras, ia ingin sekali menggeret Flara dari hadapan manusia yang sebenarnya sama-sama menjadi korban dari kelakuan ayahnya. Namun, otaknya yang masih ada kewarasan membuatnya urung melakukan niatnya itu. Meskipun ada kebencian di dirinya, ia tidak bisa memungkiri bahwa mereka berdua masih ada hubungan suami istri. Lain halnya jika Flara yang meminta untuk pergi, maka dengan senang hati ia akan menggeret wanita itu menjauh dari suaminya. Selama Flara nam
Cerai? Tak pernah satu kata itu terlintas sekalipun di kepala Zaki. Bahkan di saat rumah tangganya sedang diambang kehancuran dari awal, ia tak pernah bepikir ke arah sana. Namun, hari ini benar-benar sakit hatinya terasa benar-benar nyata. Sungguh tak ada obat rasanya. Rania yang kabur bersama dengan harta dan juga janin yang ada dalam kandungannya, Flara yang sepertinya sudah bulat dengan keputusannya untuk menjalani hidup masing-masing, masa depan yang entah bagaimana nanti.Memikirkan hal-hal itu membuat Zaki semakin pening. Ia pesimis bisa melanjutkan hidup dengan setitik kebahagiaan di sana. Di bawah langit senja, Zaki menatap pepohonan yang meliuk-liukkan daunnya, mematahkan beberapa ranting karena tiupan yang sedikit kencang. Jika ia boleh diibaratkan, ia adalah ranting yang patah oleh angin itu, sudah patah, di injak-injak dan tak di anggap pula kehadirannya. "Eh ini, kan anaknya Pak Burhan si pengacara kondang yang juga mengikuti jejak ayahnya yang punya simpanan. Benar k
Denan memperhatikan berita yang ada di televisi. Berita yang mengabarkan bahwa pesawat yang ditumpangi oleh Rania terjatuh di lautan. Wanita itu sempat memposting foto dirinya yang berdiri tak jauh dari pesawat yang akan ditumpangi. Dari postingan itulah Denan tahu pesawat yang saat ini diberitakan jatuh adalah pesawat yang ditumpangi oleh Rania. "Astagaa, Rania.""Rania kenapa?""Ibu, kemarin Rania sempat bilang ke aku kalau dia mau ke luar negeri. Katanya mau liburan dan tadi pagi aku melihat foto dia di sosial media. Dia foto nggak jauh dari pesawat yang dikabarkan jatuh ini, Bu," terang denan menggebu. Denan merogoh ponsel yang berada di saku celana. Ia ingin memastikan apakah pesawat yang jatuh itu adalah pesawat yang ditumpangi Rania. Mudah-mudahan saja wanita itu hanya selfie di dekat pesawat itu, tapi tidak menumpang pesawat yang hilang di perairan Indonesia itu. "Kamu kenapa panik begitu sih? Belum tentu juga dia naik pesawat itu. Selfie dengan menunjukkan pesawat Elang Ai
Keesokan harinya, Denan berangkat ke kantor seperti biasa. Tidak langsung ke kantor, tapi ia melipir terlebih dahulu ke bandara. Ia harus mencari tahu apakah Rania menjadi daftar penumpang di pesawat Elang Air. Harapan tinggal harapan, jawaban yang ia dengar dari pekerja bandara membuat lututnya lemas. Sarapan yang ia paksa untuk masuk ke dalam perutnya seakan tak bisa dijadikan tenaga. Denan meletakkan kepalanya di setir bundar mobilnya. Seakan jika ia melakukan itu kesedihan hatinya akan hilang dengan sendirinya, padahal selama apapun ia meletakkan kepalanya, beban dan rasa bersalah yang sudah memenuhi setiap rongga tubuhnya tidak akan menguap begitu saja. "Ya Tuhan, gue ngirim sahabat gue sendiri ke alam baka. Sorry banget, Ran. Kalau gue tahu bakal ada kejadian ini gue nggak akan nyuruh ke luar negeri. Kenapa harus Rania yang Kau ambil? Kenapa tidak manusia jahat bernama Burhan dan Lusi, Tuhan. Kehadiran mereka hanya menambah daftar sampah masyarakat," erang Denan frustasi. Be
"Ayah kamu, Fla. Ayah ninggalin Ibu." Kalimat pertama yang keluar dari mulut Bu Nia."Ibu, Ayah nggak ninggalin kita, dia ada sama kita di sini, Bu. Di hati kita. Hanya doa yang dibutuhkan Ayah, Bu," ujar Flara melonggarkan pelukannya. "Bagaimana kabar kamu? Sehat, kan?" tanya bu Nia mengelus perut sang anak."Sehat, Bu. Aku sangat sehat. Aku mau nanti pas melahirkan ditemani sama Ibu. Jadi Ibu juga harus cepat sehat. Begitu banyak yang terjadi ketika Ibu di sini. Aku menghadapinya sendirian, Bu. Meskipun ada Denan yang selalu ada buat aku, aku merasa sendirian.""Bu Nia sebenarnya sudah sehat dari beberapa minggu yang lalu. Psikisnya sudah kembali normal, hanya saja beliau memang tak mau pulang jika bukan anaknya sendiri yang datang. Beliau juga melarang saya untuk menghubungi, Mbak."Datanglah dokter muda yang mengenali Flara melalui Denan. Wanita itu ikut duduk di samping Bu Nia dengan senyum ramahnya. Ia menjelaskan progres kesembuhan Bu Nia yang tidak gampang dan perlu usaha eks
Semakin hari media semakin gencar memberitakan Pak Burhan dan Zaki. Di tambah lagi issue mengenai Bu Lisa ternyata juga terdengar awak media. Satu keluarga itu semakin tak punya muka. Mereka bahkan tak ada nyali meskipun hanya untuk keluar rumah. Bu Lisa yang bekerja di lembaga perlindungan perempuan akhirnya dipecat secara tidak hormat karena issue yang beredar luas di masyarakat. Tidak hanya diceritakan di mana-mana satu keluarga yang terkenal kaya raya dan baik itu sekarang juga dijauhi oleh semua orang dan juga tetangga sekitar perumahannya. "Sialan! Kita harus bagaimana untuk menghadapi dunia ini?" "Baru tahu rasanya kamu sekarang! terus saja berulah seenaknya, sekarang tanggung apa yang sudah kamu perbuat. Kamu keluar dan hadapi mereka!" cerca Bu Lisa. "Ini bukan hanya salahku saja. Tapi salah kamu juga. Kita berbuat kesalahan bersama, ya kita hari bersama lah.""Tapi ini semua terjadi akarnya karena perbuatan kamu. Mana ada aku akan membunuh orang kalau kamu nggak mendua.