Keesokan harinya, Denan berangkat ke kantor seperti biasa. Tidak langsung ke kantor, tapi ia melipir terlebih dahulu ke bandara. Ia harus mencari tahu apakah Rania menjadi daftar penumpang di pesawat Elang Air. Harapan tinggal harapan, jawaban yang ia dengar dari pekerja bandara membuat lututnya lemas. Sarapan yang ia paksa untuk masuk ke dalam perutnya seakan tak bisa dijadikan tenaga. Denan meletakkan kepalanya di setir bundar mobilnya. Seakan jika ia melakukan itu kesedihan hatinya akan hilang dengan sendirinya, padahal selama apapun ia meletakkan kepalanya, beban dan rasa bersalah yang sudah memenuhi setiap rongga tubuhnya tidak akan menguap begitu saja. "Ya Tuhan, gue ngirim sahabat gue sendiri ke alam baka. Sorry banget, Ran. Kalau gue tahu bakal ada kejadian ini gue nggak akan nyuruh ke luar negeri. Kenapa harus Rania yang Kau ambil? Kenapa tidak manusia jahat bernama Burhan dan Lusi, Tuhan. Kehadiran mereka hanya menambah daftar sampah masyarakat," erang Denan frustasi. Be
"Ayah kamu, Fla. Ayah ninggalin Ibu." Kalimat pertama yang keluar dari mulut Bu Nia."Ibu, Ayah nggak ninggalin kita, dia ada sama kita di sini, Bu. Di hati kita. Hanya doa yang dibutuhkan Ayah, Bu," ujar Flara melonggarkan pelukannya. "Bagaimana kabar kamu? Sehat, kan?" tanya bu Nia mengelus perut sang anak."Sehat, Bu. Aku sangat sehat. Aku mau nanti pas melahirkan ditemani sama Ibu. Jadi Ibu juga harus cepat sehat. Begitu banyak yang terjadi ketika Ibu di sini. Aku menghadapinya sendirian, Bu. Meskipun ada Denan yang selalu ada buat aku, aku merasa sendirian.""Bu Nia sebenarnya sudah sehat dari beberapa minggu yang lalu. Psikisnya sudah kembali normal, hanya saja beliau memang tak mau pulang jika bukan anaknya sendiri yang datang. Beliau juga melarang saya untuk menghubungi, Mbak."Datanglah dokter muda yang mengenali Flara melalui Denan. Wanita itu ikut duduk di samping Bu Nia dengan senyum ramahnya. Ia menjelaskan progres kesembuhan Bu Nia yang tidak gampang dan perlu usaha eks
Semakin hari media semakin gencar memberitakan Pak Burhan dan Zaki. Di tambah lagi issue mengenai Bu Lisa ternyata juga terdengar awak media. Satu keluarga itu semakin tak punya muka. Mereka bahkan tak ada nyali meskipun hanya untuk keluar rumah. Bu Lisa yang bekerja di lembaga perlindungan perempuan akhirnya dipecat secara tidak hormat karena issue yang beredar luas di masyarakat. Tidak hanya diceritakan di mana-mana satu keluarga yang terkenal kaya raya dan baik itu sekarang juga dijauhi oleh semua orang dan juga tetangga sekitar perumahannya. "Sialan! Kita harus bagaimana untuk menghadapi dunia ini?" "Baru tahu rasanya kamu sekarang! terus saja berulah seenaknya, sekarang tanggung apa yang sudah kamu perbuat. Kamu keluar dan hadapi mereka!" cerca Bu Lisa. "Ini bukan hanya salahku saja. Tapi salah kamu juga. Kita berbuat kesalahan bersama, ya kita hari bersama lah.""Tapi ini semua terjadi akarnya karena perbuatan kamu. Mana ada aku akan membunuh orang kalau kamu nggak mendua.
"Apa? Kamu mau balik ke rumah kamu? Kenapa nggak ibu kamu ke sini aja, Fla? Kan dekat dengan rumah sakit," protes Denan ketika Flara menyampaikan niatnya. "Ibu nggak mau, Den. Biar bagaimapun aku ini masih anak Ibu. Aku cuman mau sama Ibu. Jangan halangi aku."Berat begitu Denan untuk jauh dari wanita itu. Entah mengapa ia merasakan firasat buruk dengan kepegian Flara dari rumahnya. "Fla, kamu sampai sekrang belum jawab pertanyaan aku mengenai perasaan aku, kamu mau nikah sama aku setelah kamu resmi bercerai dengan Zaki, kan?""Aku belum memikirkan ke arah sana, Denan. Aku sudah pusing dengan hidupku, jngan tambah lagi dengan pernyataanmu itu. Akan aku jawab jika memang aku sudah siap. Aku hanya ingin sendiri entah sampai kapan. Cinta buat aku menyakitkan, aku masih belum bisa menyembuhkan rasa sakit yang diakibatkan oleh cinta. Dua kali aku jatuh cinta dan mencintai seseorang, dua kali pula aku di sakiti karena mereka. Biarkan aku istirahat."Denan merasa tercubit saat Flara mengat
Beberapa minggu setelah kejadian perkumpulan wartawan di rumah Pak Burhan. Pria itu kembali dihadapkan kenyataan bahwa istrinya itu harus menerima hukuman karena sudah mencoba untuk melakukan perencanaan pembunuhan terhadap seseorang. Di sidang terakhir itu Denan beserta ibunya juga turut hadir dalam persidangan. Tidak ada orang yang tahu betapa senangnya Denan hari ini, mendengar wanita yang sudah mencelakai ibunya mendapat hukuman mati sungguh hari ini adalah hari yang tak akan pernah Denan lupakan. Bu Lusi terus meraung memohon kepada Denan dan juga ibunya agar bisa membantu meringankan hukumannya. Setidaknya jangan hukuman mati itulah yang diinginkan Bu Lisa satu-satunya saat ini. "Salma aku mohon maafkan aku Salma. Tolong jangan rampas kehidupan aku. Aku mohon bantu aku. Lihatlah anak-anakku suamiku, mereka masih butuh aku."Entah berapa lama Bu Lusi duduk bersimpuh di depan kursi roda Bu Salma. Wanita yang duduk di kursi roda itu hanya menatap iba wanita yang berlutut di baw
Pak Burhan dan kedua anaknya berjalan beriringan menuju keluar ruang sidang. Mata Zaki menangkap sosok Denan dan Bu Salma yang masih berada di halaman kantor persidangan. "Yah, Kak. Kalian pulang duluan aja, ya. Aku menyelesaikan urusan sebentar. Bentar aja, kok." "Urusan apa?" tanya Zea, Kakak kandung Zaki yang tinggal di luar negeri bersama suaminya. "Urusan pribadi aja kok Kak.""Ya udah jangan lama-lama, ya. Ayah masih butuh kita.""Pasti."Pria itu mengundurkan diri dari ayah dan kakaknya setelah mendapat izin. Dengan langkah segera, ia mengejar Denan bersama ibunya yang duduk dengan tenang di kursi roda. Mungkin dari luar nampak tenang, tapi tidak ada yang tahu bagaimana perasaan wanita itu sekarang. "Denan, Bu Salma. Tunggu!" teriak Zaki begitu jarak mereka dekat. Refleks Denan menghentikan langkahnya. Tanpa menoleh ke belakang pun, ia tahu siapa pemilik suara yang baru saja memanggilnya. "Bisa kita bicara sebentar?""Apa lagi? Apa yang mau dibicarakan? Kenapa kalian tid
"Denan, bukankah apa yang kamu inginkan sekarang sudah tercapai? Ibuku sudah dihukum karena kejahatannya. Apa yang membuatmu sangat membenciku? Kita ini sama-sama nggak tahu apa-apa, jadi kenapa kita harus bermusuhan seperti ini?""Siapa bilang keinginan aku sudah tercapai? Belum seluruhnya, Zaki. Kau tahu kenapa aku benci padamu? Kau menyia-nyiakan istri dan juga anakmu. Kau tidak percaya padaku maupun Flara bahwa kami tidak melakukan apapun malam itu. Kau tetap saja melakukan hal yang kau inginkan, sesuka hatimu kau menyakiti istrimu. Ke mana kau saat ibunya membutuhkan pengobatan, di mana pedulimu? Kau malah sibuk menghabiskan waktu dengan Rania."Zaki akui, ia salah dalam hal itu. Ia terlalu mengedepankan emosinya dibandingkan perasaannya. Ia tak peka terhadap lingkungan dan apa yang terjadi disekitarnya. Ia sadar ia salah, tapi bukan berarti yang dilakukan Denan juga benar, kan? "Untuk masalah itu memang rumit, Denan. Karena semua yang terjadi di masa lalu hingga sekarang saling
Zaki akhirnya pulang dengan tangan dan harapan hampa. Permintaan maaf dan penyesalan yang ia bawa tidak ada artinya bagi wanita yang masih menjadi istrinya. Seandainya saja ia tidak menjalin hubungan dengan Rania, mungkin semua akan baik-baik saja, setidaknya ada maaf dan kesempatan untuk kembali merajut asa. Tapi semua sudah terjadi, mau di sesalkan seperti apa ia merasa semua keadaan sudah tak bisa kembali seperti dulu lagi. Malam yang sebelumnya terasa biasa saja bagi Zaki, tiba-tiba saja turun rintik hujan seakan langit sedang berkabung untuknya. Di tengah perjalanan yang dirasa panjang untuknya, Zaki merasa mobilnya tidak enak untuk dikendarai, seperti ada sesuatu yang sedang bermasalah. Akhirnya ia menepikan mobilnya untuk melihat apa yang terjadi. Pria itu turun di tengah rintik hujan yang mulai bertambah banyak. Ia membiarkan dirinya basah seakan ia tak peduli lagi dengan dirinya sendiri. "Astaga, penderitaanku rupanya belum lengkap." Zaki bergumam seraya menuju bagasi mobi