"Apa? Kamu mau balik ke rumah kamu? Kenapa nggak ibu kamu ke sini aja, Fla? Kan dekat dengan rumah sakit," protes Denan ketika Flara menyampaikan niatnya. "Ibu nggak mau, Den. Biar bagaimapun aku ini masih anak Ibu. Aku cuman mau sama Ibu. Jangan halangi aku."Berat begitu Denan untuk jauh dari wanita itu. Entah mengapa ia merasakan firasat buruk dengan kepegian Flara dari rumahnya. "Fla, kamu sampai sekrang belum jawab pertanyaan aku mengenai perasaan aku, kamu mau nikah sama aku setelah kamu resmi bercerai dengan Zaki, kan?""Aku belum memikirkan ke arah sana, Denan. Aku sudah pusing dengan hidupku, jngan tambah lagi dengan pernyataanmu itu. Akan aku jawab jika memang aku sudah siap. Aku hanya ingin sendiri entah sampai kapan. Cinta buat aku menyakitkan, aku masih belum bisa menyembuhkan rasa sakit yang diakibatkan oleh cinta. Dua kali aku jatuh cinta dan mencintai seseorang, dua kali pula aku di sakiti karena mereka. Biarkan aku istirahat."Denan merasa tercubit saat Flara mengat
Beberapa minggu setelah kejadian perkumpulan wartawan di rumah Pak Burhan. Pria itu kembali dihadapkan kenyataan bahwa istrinya itu harus menerima hukuman karena sudah mencoba untuk melakukan perencanaan pembunuhan terhadap seseorang. Di sidang terakhir itu Denan beserta ibunya juga turut hadir dalam persidangan. Tidak ada orang yang tahu betapa senangnya Denan hari ini, mendengar wanita yang sudah mencelakai ibunya mendapat hukuman mati sungguh hari ini adalah hari yang tak akan pernah Denan lupakan. Bu Lusi terus meraung memohon kepada Denan dan juga ibunya agar bisa membantu meringankan hukumannya. Setidaknya jangan hukuman mati itulah yang diinginkan Bu Lisa satu-satunya saat ini. "Salma aku mohon maafkan aku Salma. Tolong jangan rampas kehidupan aku. Aku mohon bantu aku. Lihatlah anak-anakku suamiku, mereka masih butuh aku."Entah berapa lama Bu Lusi duduk bersimpuh di depan kursi roda Bu Salma. Wanita yang duduk di kursi roda itu hanya menatap iba wanita yang berlutut di baw
Pak Burhan dan kedua anaknya berjalan beriringan menuju keluar ruang sidang. Mata Zaki menangkap sosok Denan dan Bu Salma yang masih berada di halaman kantor persidangan. "Yah, Kak. Kalian pulang duluan aja, ya. Aku menyelesaikan urusan sebentar. Bentar aja, kok." "Urusan apa?" tanya Zea, Kakak kandung Zaki yang tinggal di luar negeri bersama suaminya. "Urusan pribadi aja kok Kak.""Ya udah jangan lama-lama, ya. Ayah masih butuh kita.""Pasti."Pria itu mengundurkan diri dari ayah dan kakaknya setelah mendapat izin. Dengan langkah segera, ia mengejar Denan bersama ibunya yang duduk dengan tenang di kursi roda. Mungkin dari luar nampak tenang, tapi tidak ada yang tahu bagaimana perasaan wanita itu sekarang. "Denan, Bu Salma. Tunggu!" teriak Zaki begitu jarak mereka dekat. Refleks Denan menghentikan langkahnya. Tanpa menoleh ke belakang pun, ia tahu siapa pemilik suara yang baru saja memanggilnya. "Bisa kita bicara sebentar?""Apa lagi? Apa yang mau dibicarakan? Kenapa kalian tid
"Denan, bukankah apa yang kamu inginkan sekarang sudah tercapai? Ibuku sudah dihukum karena kejahatannya. Apa yang membuatmu sangat membenciku? Kita ini sama-sama nggak tahu apa-apa, jadi kenapa kita harus bermusuhan seperti ini?""Siapa bilang keinginan aku sudah tercapai? Belum seluruhnya, Zaki. Kau tahu kenapa aku benci padamu? Kau menyia-nyiakan istri dan juga anakmu. Kau tidak percaya padaku maupun Flara bahwa kami tidak melakukan apapun malam itu. Kau tetap saja melakukan hal yang kau inginkan, sesuka hatimu kau menyakiti istrimu. Ke mana kau saat ibunya membutuhkan pengobatan, di mana pedulimu? Kau malah sibuk menghabiskan waktu dengan Rania."Zaki akui, ia salah dalam hal itu. Ia terlalu mengedepankan emosinya dibandingkan perasaannya. Ia tak peka terhadap lingkungan dan apa yang terjadi disekitarnya. Ia sadar ia salah, tapi bukan berarti yang dilakukan Denan juga benar, kan? "Untuk masalah itu memang rumit, Denan. Karena semua yang terjadi di masa lalu hingga sekarang saling
Zaki akhirnya pulang dengan tangan dan harapan hampa. Permintaan maaf dan penyesalan yang ia bawa tidak ada artinya bagi wanita yang masih menjadi istrinya. Seandainya saja ia tidak menjalin hubungan dengan Rania, mungkin semua akan baik-baik saja, setidaknya ada maaf dan kesempatan untuk kembali merajut asa. Tapi semua sudah terjadi, mau di sesalkan seperti apa ia merasa semua keadaan sudah tak bisa kembali seperti dulu lagi. Malam yang sebelumnya terasa biasa saja bagi Zaki, tiba-tiba saja turun rintik hujan seakan langit sedang berkabung untuknya. Di tengah perjalanan yang dirasa panjang untuknya, Zaki merasa mobilnya tidak enak untuk dikendarai, seperti ada sesuatu yang sedang bermasalah. Akhirnya ia menepikan mobilnya untuk melihat apa yang terjadi. Pria itu turun di tengah rintik hujan yang mulai bertambah banyak. Ia membiarkan dirinya basah seakan ia tak peduli lagi dengan dirinya sendiri. "Astaga, penderitaanku rupanya belum lengkap." Zaki bergumam seraya menuju bagasi mobi
Matahari baru saja menampakkan sinarnya saat Flara sedang berjalan-jalan ringan mengelilingi kompleks perumahannya. Aktivitas pagi yang selalu ia lakukan sejak hamil memasuki trimester akhir. Orang tua dulu selalu mengatakan bahwa jalan-jalan pagi bisa membantu proses kelahiran normal dan lancar. Tidak ada salahnya jika Flara mencobanya, kan? Saat sedang asyik berjalan tiba-tiba saja ada yang keluar dari jalan lahirnya. Sesuatu yaang bening dan cair, persis seperti air membasahi sepanjang kakinya. "Apa ini?" gumamnya. "Apa ini air ketuban? Apa aku akan melahirkan? Tapi perutku nggak sakit, belum waktunya juga. Hari perkiraan lahir masih dua minggu lagi." Flara berucap dengan heran. Merasa ini bukan cairan biasa, ia bergegas pulang. Cairan itu sedikit demi sedikit kembali keluar saat ia gunakan berjalan cepat. "Ibu, Ibu ini apa?" teriak Flara saat sampai di teras rumah. Bu Nia yang mengurusi pekerjaan kantor dari rumah seketika berlari keluar saat mendengar teriakan dari sang anak
Memang benar apa yang dikatakan oleh Zaki. Pria itu berkewajiban meng-adzani anak yang sebenarnya anaknya sendiri, namun tak diakui. Bukan-bukan, bukan tidak diakui, ia melakukan itu karena memang tidak tahu menahu apa yang terjadi. Dalam hal ini, Zaki sebenarnya satu-satunya peran yang tidak mengerti apapun soal permasalahan ini. Namun, ia menjadi orang yang paling dirugikan karena ketidaktahuannya itu. "Ya udah, ayo ikut Ibu. Tapi nanti Ibu minta persetujuan Flara dulu, ya. Dia mau kamu menemani dia apa nggak. Ibu tahu kamu suaminya, tapi tetap harus menghargai keputusan Flara, ya.""Apapun yang menjadi keputusan Flara akan saya terima. Saya sudah merasakan sakit lebih dari ini."Ibu dan menantu itu lalu berjalan beriringan menuju ruangan Flara yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Seperti kesepakatan sebelumnya, Zaki akan menunggu di luar sebelum ada persetujuan dari Flara. Flara masih nampak menahan sakit ketika ibunya datang. Tubuhnya beralih alih posisi tak tenang. "Fla
"Selamat, ya Bu bayinya perempuan, sehat, lengkap dan sempurna. Kami akan bersihkan dulu setelah itu Ibu bisa menyusuinya."Flara mampu mengangguk seraya menangis haru. Ia tak percaya bisa melahirkan seorang bayi, ia bisa dipanggil ibu mulai hari ini. "Selamat, ya. Akhirnya kamu menjadi seorang ibu.""Terima kasih." Setelah beberapa saat menunggu akhirnya bayi mungil yang wajahnya lebih mirip dengan Flara itu diserahkan pada Zaki untuk melakukan kewajiban yang dilakukan oleh seorang muslim terhadap bayi yang baru lahir. Jujur saja Flara merasa trenyuh melihat pemandangan itu. Pemandangan di mana Zaki menggendong anaknya dengan dekapan hangat. Hatinya selalu berkata bahwa tidak seharusnya memisahkan atau membuat jarak antara ayah dan anak. Tapi di saat hatinya atau perasaannya berpikir seperti itu, logikanya mengambil alih semuanya. Logikanya selalu mengingatkan bahwa pria itu sudah menyakiti hatinya terlalu dalam. Terlepas dari kesalahpahamannya, Zaki sudah menghianati kepercayaan