Semakin lama hujan yang mengguyur bukannya mereda justru semakin deras. Denan masih berada di rumah Flara saat petir mulai menyambar, ia ingat betul Flara takut dengan suara keras yang berasal dari langit Itu. Wajah takut berusaha disembunyikan oleh Flara. namun, Denan masih bisa melihat guratan takut dari wajahnya itu meskipun wanita itu berusaha untuk tidak menampakkannya. Denan bingung, ia ingin segera pulang karena ibunya sendirian di rumah, tapi ia juga tidak tega meninggalkan Flara sendiri di rumah sebesar ini. "Kamu nggak cari asisten rumah tangga, sih, Fla?" "Ya sebenarnya ini mau nyari, tapi bingung mau nyari di mana. Kamu, kan tahu aku gampang nggak percaya sama orang baru.""Aku cariin aja, ya nanti. Kalau suami kamu tanya, ya bilang aja kamu yang nyari. Kalau situasi kayak gini, kan nggak baik kalau kamu sendirian di rumah. Apalagi kamu juga hamil kalau ntar ada kenapa-napa gimana? Kamu juga nggak mungkin ngerawat rumah sebesar ini sendirian kamu, tuh harusnya banyak i
Zaki masih diam tak bersuara, jangankan untuk bersuara, untuk menelan ludahnya sendiri saja ia begitu kesulitan. Netranya masih sibuk menatap pria yang berstatus menjadi Ayah menantunya. Pria yang biasa bersikap sabar terhadapnya kini berubah menjadi garang dan terlihat begitu marah. Sorot matanya memancarkan amarah yang memuncak. "Siapa dia?" Pak Adhi menanyakan status Rania tapi matanya tidak lepas dari wajah Zaki. "Dia... Dia teman aku, Yah. Ya, hanya teman. Kebetulan kita nggak sengaja ketemu di sini tadi." Zaki menjawab dengan gelagapan dan sedikit terbata. "Teman suap-suapan?" tanya Pak Adhi santai namun penuh intimidasi. Hening.Pandangan mata Pak Adhi beralihpada Rania yang berdiri dengan ekspresi bingung. Menatapnya dari atas hingga bawah. Sungguh pria itu sangat tidak suka dengan penampilan Rania yang sedikit vulgar."Kamu siapa?" Pak Adhi bertanya dengan galak. "Saya Rania, Om.""Siapanya Zaki?" Rania tak langsung menjawab, ia menatap Zaki seolah meminta sebuah kata y
Masih hening, Zaki tak bisa memikirkan apapun, apalagi mengeluarkan sebuah kata-kata untuk menjadi jawaban. "Baiklah kalau kamu tidak bisa menjelaskan. Biar Ayah yang memulai semuanya. Sebelumnya Ayah mau tanya dulu sama kamu, Flara. Kenapa kamu bohong sama ayah dan ibu?""Bohong soal apa, Ayah?""Liburan yang tidak pernah ada. Cerita kamu yang kemarin itu hanya karangan saja, kan?"Flara seketika menelan ludahnya kasar. Ia benar-benar tidak tahu apa yang terjadi saat ini. Berada di ambang kebingungan membuat Flara bingung hendak menjawab apa. "Jawab Flara!" desak Pak Adhi. "Maksud Ayah apa? Aku nggak bohong, Yah.""Flara, kalau ada pertanyaan seperti ini, berarti Ayah tahu apa yang sudah terjadi. Jelaskan kenapa kamu berbohong, kamu berbohong untuk apa? Apa yang sebenarnya kalian sembunyikan? Istrinya berbohong mengatakan liburan dengan suaminya. Sedangkan suaminya ternyata malah mesra-mesraan dengan wanita lain di restoran."Ayah hanya salah paham saja, Yah.""Salah pahamnya di m
Zaki menatap tajam kedua mertuanya lalu "Coba kalian nilai sendiri dari cerita yang akan saya perdengarkan kepada kalian. Siapa yang lebih tidak tahu diri dan siapa yang lebih biadab dari saya. Dan orang tua siapa yang salah dalam mendidik anaknya. Ayah tadi mengatakan bahwa saya berbicara berputar-putar dan bertele-tele, kan? Baiklah saya tidak akan menyembunyikan apapun sekarang. Dugaan Ayah itu memang benar. Ya, saya punya hubungan dengan Rania." Pak Adhi sudah mengepalkan kedua tangannya. "Ayah jangan mengangkat tangan terlebih dahulu," ujar Zaki yang melihat kepalan tangan Ayah mertuanya. "Coba tanyakan kepada putri Anda satu-satunya, apa yang sudah dia lakukan di malam sebelum pernikahan kami. Ayo tanyakan!" Zaki berkata sangat santai seakan tidak ada terjadi hal besar saat ini. Sebenarnya tidak ada niatan di diri Zaki untuk menceritakan apa yang sudah berlalu. Tapi pendiriannya itu berubah ketika Pak Adhi sudah mengolok-olok kedua orang tuanya. Tidak ada anak yang diam s
Flara dan Zaki ini saling tatap dengan tatapan yang buas, mereka berdiri di depan ruang rawat sang Ayah. Terlampaui syok dengan apa yang beliau dengar, membuat Pak Adhi kembali terkena serang jantung. Kini pria itu harus kembali kritis untuk yang kedua kalinya setelah bertahun-tahun yang lalu sudah sehat seperti sedia kala. Bu Nia yang kecewa dengan perilaku keduanya, tak mengizinkan mereka berdua masuk ke ruangan. Tidak ada manusia yang akan baik-baik saja jika pasangannya hanya bisa terbaring di rumah sakit. Wanita itu sejak tadi hanya bisa menangis. Entah menangis untuk siapa dan alasan apa yang lebih pantas ia tangisi. Suaminya yang tergolek tak berdaya atau rumah tangga anaknya yang tidak bauk-baik saja. Yang lebih mengejutkan lagi untuk Bu Nia adalah kenyataan bahwa Flara pernah tidur dengan laki-laki lain selain suaminya. "Sudah puas? Puas kau membuat semuanya menjadi hancur? Kalau sampul terjadi apa-apa dengan Ayah, kau akan tanggung akibatnya. Aku sudah tak peduli lagi den
"Ya untuk sementara kita kita begini dulu aja. Ya mau gimana? Situasinya nggak kondusif banget. Nggak, siapa yang mau mutusin kamu, sih? Masa setelah apa yang kita lakukan aku dengan mudah meninggalkan kamu, nggak akan Rania. Tenang saja. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Flara baru saja tiba di lantai dua, tepatnya di depan kamar suaminya. Hatinya kian memanas begitu mendengar deretan kata yang meluncur dengan jelas dari mulut Zaki. Kata demi kata itu juga sampai di telinga Flara dengan lancar tanpa hambatan. Bruak! Tumben pintu tak terkunci, apa mungkin pria itu mengira ia tak akan pulang malam ini? Pikir Flara. Zaki meletakkan ponselnya. Menatap Flara malas selalu beranjak dari duduknya dan membuka lemari berniat untuk mengganti pakaiannya yang sejak pagi tadi belum terganti. "Benar-benar keterlaluan, Ayahku sedang sakit, terbaring nggak berdaya karena ucapanmu itu, dan sekarang lihat dirimu! Jangankan menyesal, melupakan sedikit kekasih gelapmu itu saja kau tak mampu. Laki-la
Flara sempat berhenti sejenak saat Zaki berteriak. Namun, saat melihat tatapan mata Zaki yang begitu murka, ia melanjutkan langkah. Bukan karena takut, ia kini ingat bahwa dirinya sedang hamil ia tak mau meladeni Zaki terus menerus. Grap.Sayang sekali usaha Flara untuk menghindari Zaki harus pupus saat tangannya berhasil dicekal oleh suaminya. Seperti yang sudah-sudah, cakraman Zaki selalu kuat dan menyakitkan untuk wanita itu. Tanpa rasa takut Flara membalas tatapan tajam Zaki. Untuk beberapa detik mereka hanya saling melempar tajam setajam silet. Tidak ada sedikitpun pergerakan di tangan Flara, nampaknya wanita itu sudah mulai cerdas. Semakin ia berusaha melepas cengkraman tangan Zaki, maka pergelangan tangannya akan semakin sakit. "Ada bayaran untuk tamparan yang aku terima. Kau harus membayarnya dengan mahal." "Tamparan itu tidak berarti apapun, tidak bisa membalas rasa sakit yang aku rasakan. Sesakit itukah tamparanku sampai kau harus marah seperti ini? Atau harga dirimu sud
Di saat pintu mengayun ke dalam, di saat itu pula Flara menjatuhkan tubuhnya dan bersembunyi di kolong tempat tidur. Ternyata benar dugaannya, jika dilihat dari kakinya Denan yang masuk ke dalam kamar. Entah apa yang ia lakukan dan dengan tujuan apa pria itu kembali ke rumah setelah berangkat ke kantor. Flara tidak memusingkan itu, yang Flara pusingkan adalah bagaimana jika Denan tidak kembali ke kantor dan malah menetap di kamar? Ah mudah-mudahan saja tidak. Flara sudah mulai kegerahan di kolong. Namun, Denan tak kunjung keluar dari kamar. Sungguh, dalam hati Flara merutuki pria itu. 'Kenapa dia lama sekali apa yang dilakukan di sana?' gerutu Flara dalam hati. Setelah beberapa saat melihat kaki Denan berdiam diri di tempat akhirnya kaki itu melangkah keluar kamar. Di saat pintu kamarnya tertutup kembali barulah Flara keluar dari kolong meja dan bernafas dengan lega, seakan beban hidupnya sudah terangkat semua. "Aku harus cepat-cepat menemukan di mana kunci laci itu." Flara bicara
Mendengar teriakan Zaki refleks Denan berlari ke arah kamar mandi, ia meninggalkan ibunya yang juga sama terkejutnya. Namun beliau tak bisa melakukan apa-apa selain menunggu kedua anaknya, karena jangankan ikut mereka melihat apa yang terjadi, membawa kursi rodanya untuk maju saja beliau tak bisa melakukannya."Ada apa, Ki?" Mata Denan teralihkan pada sang Ayah yang sudah tergelak di lantai. "Kenapa diam saja? Siapkan mobil kita bawa ke rumah sakit biar aku yang bawa." Denan masuk ke kamar mandi dan mengangkat tubuh kurus Pak Burhan.Tak pernah ia sangka atau bahkan terbesit di kepalanya jika ia akan menggotong tubuh Pak Burhan dengan rasa khawatir yang seperti sekarang ini."Astaga, apa yang terjadi dengan ayahmu?"Denan tak sempat menjawab, ia harus cepat membawa ayahnya ke mobil untuk ia bawa ke rumah sakit."Aku bawa Ibu bentar." Denan kembali berlari ke dalam rumah setelah meletakkan ayahnya ke kursi penumpang bagian depan.Zaki memberanikan diri untuk mengecek nadi ayahnya. Sung
"Haruskah aku berdamai denganmu? Aku merasa ibuku bahagia saat mengajakku ke sini. Senyum yang puluhan tahun hilang akhirnya sering aku lihat belakangan ini. Ibu juga nggak pernah marah-marah ke aku hanya karena aku memaksakan diri untuk berbuat baik ke kalian. Mungkin saatnya aku membuka lembaran baru.""Dengan cara?""Mengubah Denan yang dulu. Yah, meskipun jujur saja aku berat melakukannya, aku akan lakukan demi Ibu. Hanya itu yang dia minta ke aku.""Kau masih berat memberi maaf pada Ayah?"Denan mengangguk. "Banyak hal menyakitkan yang aku lalui, aku berjuang sendirian untuk buat aku sembuh, aku punya orang tua lengkap, tapi rasanya tidak punya orang tua. Apa yang dilakukan Pak Burhan seakan membuat lukaku abadi. Tapi mau bagaimana lagi? Ibuku menuntutku untuk berlapang dada memberikan maaf, jadi meskipun lukaku akan menganga selamanya aku akan berusaha untuk lupa.""Lalu bagaimana denganku?""Sebenarnya aku masih sakit karena kau menikahi Flara, tapi, ya sudahlah lupakan saja. K
"Iya, aku ini memang mengharapkan maaf Denan, tapi jika memang kesalahan dan dosa aku terlalu besar baginya. Aku tidak akan mengharapkan itu lagi, yang penting Denan mau ketemu aku, itu sudah cukup." Pak Burhan menatap dalam anak keduanya itu. "Denan, tidak apa-apa kamu tidak menganggap Ayah adalah ayahmu, tapi setidaknya biarkan Ayah menjadi teman. Atau perlakukan Ayah seperti orang asing. Setidaknya, kamu pasti memanusiakan orang asing."Saking putus asanya Pak Burhan, beliau sampai rela dianggap orang asing agar Denan bisa bicara dengan ramah padanya. "Anak didikan Ibu pasti baik dan tidak akan membiarkan orang tuanya memohon secara terus menerus." Bu Salma mengatakan itu dengan penuh penekan sama tatapan yang menusuk. Denan sampai sedikit gugup melihat tatapan ibunya yang lain dari biasanya. Sepertinya Bu Salma benar-benar sudah tidak bisa memberikan toleransi pada sang anak. Akhirnya Denan memaksakan diri untuk berperilaku dan bersikap baik pada ayahnya. Dan keterpaksaan itu
"Kalau kamu nggak dianggap anak, kamu nggak akan bisa ketemu sama Ayah sekarang, kamu sudah di buang dan nggak akan tahu, kenal, apalagi ketemu sama Ayah. Nyatanya sekarang kamu masih bisa hidup sehat dan bebas ketemu sama ayah. Diakui, dianggap itu bukan hanya perkara kamu diperkenalkan sama publik atas semua orang, Den. Dengan membetikan kehidupan yang layak juga termasuk diakui." Zaki nampak lebih dewasa setelah setelah Roda Kehidupan membuatnya jungkir balik. "Nggk usah banyak komentar, nggak usah ngajarin aku kalau kau tidak pernah jadi aku.""Aku memang tidak pernah menjadi kamu. Tapi aku sekarang merasakan hal yang sama sakitnya seperti kamu meskipun dalam versi yang berbeda. Ayolah Denan, kita ini sama-sama saling tersakiti karena seseorang. Tapi tidak perlu kita bawa rasa sakit itu sampai ke masa depan, karena itu akan menggerogoti kebaikan dan hati kita sendiri.""Ibu bangga sama kamu, Zaki. kamu bisa berpikiran sepositif itu dengan kondisi kamu yang sekarang. Ibu bangga sa
"Kamu berskiap begini bisa membuat Ibu sehat memang?""Ya nggak juga, orang kayak gitu nggak pantas dimaafkan, Ibu. Kesalahannya udah berkerak.""Denan, Ibu kasih tahu, ya. Kamu udah terlalu lama tenggelam, Nak. Ayo kita buka lembaran baru sama Ibu. Kita damai dengan masa lalu. Ibu benar-benar akan merasa tenag dan damai kalau kamu mau dengerin kata Ibu. Pelan-pelan, Nak. Yang jadi korban nggak hanya kamu, Zaki juga. Setidaknya kamu damai sama adik kamu, Nak. Kalian saudara, kalau Ibu sama Ayah udah nggak ada, kalian harusnya saling jaga. Tidak bermusuhan seperti ini. Kamu hanya punya Zaki, begitu pula sebaliknya. Zaki malah hancur karirnya, kamu pun tahu. Sekarang dia jadi kerja apa adanya, kan? Dia jadi t8oang punggung untuk ayahnya yang sering sakit. Sedangkan kamu, kamu masih bisa bekerja dengan baik, tenang, kamu nggak perlu besok mikir mau makan apa, tidur nyenyak atau tidak, nggak pernah kesusahan. Kesusahan kita sudah berakhir di masa lalu. Sekarang mereka menerima karma dari
"Salma, kamu datang?" tanya Pak Burhan seakan tak percaya dengan apa yang beliau lihat. Zaki mendorong kursi roda Bu Salma agar lebih dekat dengan ayahnya. "Aku tinggal dulu, ya. Ada urusan sebentar." Zaki sengaja memberikan waktu pada mereka untuk bicara dari hati ke hati. Biar bagaimanapun status mereka masih suami istri meski tidak diakui negara."Bagaimana kabarmu?" Pak Burhan yang bertanya. "Alhamdulillah, baik. Aku dengar kamu sering sakit. Apa ada yang kamu pikirkan?""Tentu saja ada, banyak malah. Sejak kehidupan aku berantakan aku terpikir bahwa ini adalah hasil dari apa yang aku perbuat selama ini. Mumpung diberi kesempatan, aku ingin meminta maaf padamu dan Denan. Ngomong-ngomong ke mana dia? Tidak ikut denganmu? Dia belum mau menemui aku?""Kamu tahu sendir, kan Denan seperti apa anaknya? Dia yang keras kepala. Mana mungkin bisa memaafkan seseorang dengan begitu mudahnya. Kalau dia bisa memaafkan orang dengan mudah, hal yang terjadi akhir-akhir ini tidak akan pernah te
"Denan, kalau kamu tidak mau melakukannya demi Ayah, setidaknya lakukan ini demi Ibu. Penyesalan akan selalu datang terlambat, Ibu mohon sekali aja kamu temui Ayah. Kasih tahu kalau kamu maafin dia, setelah itu kamu boleh nggak ketemu sama dia lagi. Ibu janji nggak akan minta kamu untuk ketemu sama dia lagi setelah ini.""Kalau mau ke sana aku antar, tapi aku nggak mau nemuin." Denan lalu kembali keluar rumah. Padahal baru saja ia sampai di rumah setelah dari rumah Flara, namun hatinya yang suntuk membuatnya kembali keluar. Bu Salma menghela nafas panjang. Sudah menjadi kebiasaan Denan jika ia suntuk dengan keadaan, ia pasti akan keluar rumah melampiaskannya entah pergi ke mana. Selama ini Bu Salma tidak pernah tahu. "Itulah yang tidak Ibu sukai dari anak Ibu. Kalau keadaan nggak cocok sama hatinya ya itu, langsung pergi. Nanti pulang tengah malam, nggak tahu pergi ke mana. Tapi kamu nggak usah khawatir, Ibu secepatnya akan ke sana. Kalau Denan nggak mau, Ibu dulu yang akan ke sana.
Zaki menghabiskan waktu dengan Brianna selama satu jam lamanya. Karena mengingat bahwa ia keluar rumah bukan hanya untuk menemui anaknya. Ia juga harus menemui Bu Salma dan Denan untuk bertemu dengan ayahnya yang sedang lemah tak berdaya berada di rumah sakit. Hati dan hidup Zaki sebenarnya sudah hancur, ia sudah tidak tahu tujuannya untuk hidup itu sendiri apa, untuk siapa. Zaki benar-benar berada di posisi yang ia sendiri tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya dengan kata-kata. Namun Zaki berusaha untuk kuat, tegar, dan menampakkan wajah yang seakan hidupnya tidak ada beban. Ia harus tetap memakai topeng ketika berada di luar rumah. Ia tidak mau menunjukkan pada dunia bahwa ia sebenarnya sudah menjadi kepingan. Biarkan dirinya sendiri saja yang tahu betapa hancurnya seluruh kehidupan dan hatinya. Berangkat dari rumah Flara menuju rumah Bu Salma hanya memakan waktu sekitar lima belas menit saja. Zaki dengan mantap berjalan menuju rumah minimalis berlantai dua. Pintu terbuka beg
"Jadi yang selama ini yang aku lakukan tidak berarti untukmu?" "Aku nggak bilang begitu, Denan. Justru karena pengorbanan dan apa yang sudah kamu lakukan itu sangat berarti untukku. Itu sebabnya aku menjadikan kamu sebagai sahabatku. Aku ingin kita ini bisa bersama tanpa harus terikat dengan hubungan suami istri. Kalau kita bisa dekat dengan cara seperti itu, kenapa kita harus menikah? Sungguh, akan sama tidak baik untuk ke depannya kalau aku memilih kamu menjadi suamiku atau mempertahankan Zaki sebagai suamiku. Yang pertama kalian berdua pernah singgah di hidupku dan menyakitiku, meskipun kalian berdua sama-sama berubah dan berusaha untuk menjadi lebih baik, bukan berarti aku harus menerima kalian menjadi pasangan hidup, kan? Dan alasan ke dua. Aku nggak mau membuat hubungan kalian akan semakin berantakan. Okelah nggak apa-apa lah kalau kamu nggak mau damai sama Zaki. itu urusan kalian, tapi aku tidak mau kalau aku milih di antara kalian dan justru kalian akan semakin mengibarkan b