Zaki menatap tajam kedua mertuanya lalu "Coba kalian nilai sendiri dari cerita yang akan saya perdengarkan kepada kalian. Siapa yang lebih tidak tahu diri dan siapa yang lebih biadab dari saya. Dan orang tua siapa yang salah dalam mendidik anaknya. Ayah tadi mengatakan bahwa saya berbicara berputar-putar dan bertele-tele, kan? Baiklah saya tidak akan menyembunyikan apapun sekarang. Dugaan Ayah itu memang benar. Ya, saya punya hubungan dengan Rania." Pak Adhi sudah mengepalkan kedua tangannya. "Ayah jangan mengangkat tangan terlebih dahulu," ujar Zaki yang melihat kepalan tangan Ayah mertuanya. "Coba tanyakan kepada putri Anda satu-satunya, apa yang sudah dia lakukan di malam sebelum pernikahan kami. Ayo tanyakan!" Zaki berkata sangat santai seakan tidak ada terjadi hal besar saat ini. Sebenarnya tidak ada niatan di diri Zaki untuk menceritakan apa yang sudah berlalu. Tapi pendiriannya itu berubah ketika Pak Adhi sudah mengolok-olok kedua orang tuanya. Tidak ada anak yang diam s
Flara dan Zaki ini saling tatap dengan tatapan yang buas, mereka berdiri di depan ruang rawat sang Ayah. Terlampaui syok dengan apa yang beliau dengar, membuat Pak Adhi kembali terkena serang jantung. Kini pria itu harus kembali kritis untuk yang kedua kalinya setelah bertahun-tahun yang lalu sudah sehat seperti sedia kala. Bu Nia yang kecewa dengan perilaku keduanya, tak mengizinkan mereka berdua masuk ke ruangan. Tidak ada manusia yang akan baik-baik saja jika pasangannya hanya bisa terbaring di rumah sakit. Wanita itu sejak tadi hanya bisa menangis. Entah menangis untuk siapa dan alasan apa yang lebih pantas ia tangisi. Suaminya yang tergolek tak berdaya atau rumah tangga anaknya yang tidak bauk-baik saja. Yang lebih mengejutkan lagi untuk Bu Nia adalah kenyataan bahwa Flara pernah tidur dengan laki-laki lain selain suaminya. "Sudah puas? Puas kau membuat semuanya menjadi hancur? Kalau sampul terjadi apa-apa dengan Ayah, kau akan tanggung akibatnya. Aku sudah tak peduli lagi den
"Ya untuk sementara kita kita begini dulu aja. Ya mau gimana? Situasinya nggak kondusif banget. Nggak, siapa yang mau mutusin kamu, sih? Masa setelah apa yang kita lakukan aku dengan mudah meninggalkan kamu, nggak akan Rania. Tenang saja. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Flara baru saja tiba di lantai dua, tepatnya di depan kamar suaminya. Hatinya kian memanas begitu mendengar deretan kata yang meluncur dengan jelas dari mulut Zaki. Kata demi kata itu juga sampai di telinga Flara dengan lancar tanpa hambatan. Bruak! Tumben pintu tak terkunci, apa mungkin pria itu mengira ia tak akan pulang malam ini? Pikir Flara. Zaki meletakkan ponselnya. Menatap Flara malas selalu beranjak dari duduknya dan membuka lemari berniat untuk mengganti pakaiannya yang sejak pagi tadi belum terganti. "Benar-benar keterlaluan, Ayahku sedang sakit, terbaring nggak berdaya karena ucapanmu itu, dan sekarang lihat dirimu! Jangankan menyesal, melupakan sedikit kekasih gelapmu itu saja kau tak mampu. Laki-la
Flara sempat berhenti sejenak saat Zaki berteriak. Namun, saat melihat tatapan mata Zaki yang begitu murka, ia melanjutkan langkah. Bukan karena takut, ia kini ingat bahwa dirinya sedang hamil ia tak mau meladeni Zaki terus menerus. Grap.Sayang sekali usaha Flara untuk menghindari Zaki harus pupus saat tangannya berhasil dicekal oleh suaminya. Seperti yang sudah-sudah, cakraman Zaki selalu kuat dan menyakitkan untuk wanita itu. Tanpa rasa takut Flara membalas tatapan tajam Zaki. Untuk beberapa detik mereka hanya saling melempar tajam setajam silet. Tidak ada sedikitpun pergerakan di tangan Flara, nampaknya wanita itu sudah mulai cerdas. Semakin ia berusaha melepas cengkraman tangan Zaki, maka pergelangan tangannya akan semakin sakit. "Ada bayaran untuk tamparan yang aku terima. Kau harus membayarnya dengan mahal." "Tamparan itu tidak berarti apapun, tidak bisa membalas rasa sakit yang aku rasakan. Sesakit itukah tamparanku sampai kau harus marah seperti ini? Atau harga dirimu sud
Di saat pintu mengayun ke dalam, di saat itu pula Flara menjatuhkan tubuhnya dan bersembunyi di kolong tempat tidur. Ternyata benar dugaannya, jika dilihat dari kakinya Denan yang masuk ke dalam kamar. Entah apa yang ia lakukan dan dengan tujuan apa pria itu kembali ke rumah setelah berangkat ke kantor. Flara tidak memusingkan itu, yang Flara pusingkan adalah bagaimana jika Denan tidak kembali ke kantor dan malah menetap di kamar? Ah mudah-mudahan saja tidak. Flara sudah mulai kegerahan di kolong. Namun, Denan tak kunjung keluar dari kamar. Sungguh, dalam hati Flara merutuki pria itu. 'Kenapa dia lama sekali apa yang dilakukan di sana?' gerutu Flara dalam hati. Setelah beberapa saat melihat kaki Denan berdiam diri di tempat akhirnya kaki itu melangkah keluar kamar. Di saat pintu kamarnya tertutup kembali barulah Flara keluar dari kolong meja dan bernafas dengan lega, seakan beban hidupnya sudah terangkat semua. "Aku harus cepat-cepat menemukan di mana kunci laci itu." Flara bicara
Denan menatap Flara dengan wajah bertanya-tanya. Denan yang baru saja keluar dari kamar ibunya nampak tak bergeming melihat Flara yang berada di tengah-tengah tangga. "Kamu di sini? Kok bisa--." Denan menggantung ucapannya. "Ah, iya aku tadi cari kamu tadi kata bibi, kamu lagi ada di atas. Jadi aku naik, ternyata kamu udah turun pantesan aku...aku teriakin dari tadi kedengeran." Flara menjawab dengan sedikit gagap karena ia sungguh gugup saat ini. "Cari aku? Ada apa, kenapa nggak telepon dulu? Kamu nyari di jam kerja lagi."'Astaga harus menjawab apa aku ini. Kenapa tadi nggak pakai alasan lain.' Di saat seperti ini saja Flara masih sempat-sempatnya merutuki diri sendiri. "Bawaan bayi," pekik Flara setengah semangat karena ia berhasil menemukan sebuah jawaban yang tepat untuk pertanyaan Denan. " Iya aku hanya ingin ketemu sama kamu aja, ngobrol gitu dan pengennya datang ke rumah langsung pokoknya pengen aja, Den. Jangan heran, wanita hamil biasa seperti ini, kan? Mereka biasa meng
"Dok, bagaimana keadaan suami saya?" Lagi, Bu Nia yang tak kunjung mendapatkan jawaban akhirnya bertanya lagi. "Maafkan saya, Bu. Suami Ibu sudah berpulang, kami sudah berusaha untuk mengembalikan detak jantung yang sempat terhenti. Tapi Tuhan berkehendak lain.""Ayah!" Bu Nia menangis histeris. Tubuhnya yang sudah lemas sejak tadi yang tak mampu lagi menopang berat badannya. Beliau jatuh terduduk dengan isakan yang menyayat hati. "Kenapa Ayah ninggalin Ibu sendirian," ucap lirih Bu Nia tenggelam dalam pundak sang anak. Hancur sudah hidup Flara saat ini, ujian kehidupan datang bertubi-tubi dan dalam waktu bersamaan. Ingin sekali rasanya hati meraung seperti ibunya, tapi ia masih bisa berpikir dengan waras. Jika ia meraung-raung juga, siapa yang akan menenangkan ibunya? Saat ini Flara hanya punya ibunya, hanya wanita itu satu-satunya keluarga Flara yang tersisa. Mereka berdua berpelukan tergugu dalam tangisan. Flara sudah semaksimal mungkin untuk berusaha kuat, tapi tidak mungkin
"Ya Tuhan, Flara kaki kamu berdarah. Bagaimana ini? Dokter, dokter tolong!" teriak Denan panik setengah mati. "Sakit, Denan," rintih Flara masih memegang perutnya. "Iya, sabar. Itu susternya datang bawa stretcher. Kamu kuat, Fla. Kamu pasti kuat." Denan memberikan semangat, padahal dirinya sendiri sedang panik. Denan dengan pelan menidurkan Flara di ranjang dorong itu. Bukan siapa-siapa, tapi ia begitu panik melihat Flara yang tiba-tiba pendarahan. Flara tidak mengandung anaknya, tapi Denan berharap janin itu tidak terjadi apa-apa. "Maaf, Pak. Silakan tunggu di luar! Kami akan menangani istri Anda dengan cepat dan tepat.""Tapi--."Ucapan Denan terhenti karena pintu UGD tertutup. Sedetik kemudian, "Istri?" Denan terkekeh saat sadar Suster itu salah mengira.***Zaki yang pagi itu sedang berkutat dengan laptop dan juga berkas merasa sedikit gelisah. Hal itu terlihat dari mimik wajahnya yang tidak tenang, kakinya yang sejak tadi menghentak-hentakkan takkan lantai, sehingga menimbul