"Kau? Bagaimana bisa kau ada di sini?" Begitu Zaki membuka pintu, pria itu sudah di suguhi wajah Denan. "Bisa saja. Apa yang tidak bisa Denan lakukan?" Denan menjawab dengan kembali melempar pertanyaan. Masih dengan nadanya yang jumawa. "Kau tidak malu? Kau terlalu sering mendatangi istri orang." "Kau masih anggap dia istri setelah apa yang kau lakukan?" Zaki merubah raut wajahnya, ia khawatir jika Denan mengatakan yang tidak-tidak. Meskipun ia tak tahu, apakah Denan tahu perselingkuhan dirinya atau tidak, tapi Zaki mengerti ke mana arah pembicaraan pria itu. Pasti tak jauh-jauh dari keburukannya, pikir Zaki. Pak Burhan masih di tempat dengan terdiam, melemparkan lirikan pada kedua anaknya secara bergantian. Pria yang mementingkan reputasi di atas segalanya itu mengetahui bahwa mereka berteman baik, tapi beliau sekarang bingung dan tak tahu kenapa mereka seakan melempar tatapan kebencian. Tidak mungkin, kan kalau Zaki mengetahui rahasianya? Kalau memang Zaki tahu, pasti ia ta
Hari itu adalah hari yang terburuk bagi Flara. Di saat sang Ayah harus di makamkan entah sudah ke berapa kalinya, sang Ibu juga tak sadarkan diri di saat bersamaan. Di saat dirinya harus bedrest, ia harus memaksa dirinya untuk merawat sang Ibu yang tiba-tiba juga jatuh sakit setelah beberapa saat sang ayah dimasukkan ke dalam liang lahat. "Fla, biar Ibu carikan suster saja, ya. Kamu harus banyak istirahat, kamu sedang mengandung cucu Ibu. Harusnya kamu sedang bedrest, nggak baik kalau kamu memaksakan kehendak dengan ingin mengurus semuanya sendiri," ujar Bu Lusi yang selaku menjadi Ibu mertua Flara. "Boleh, Bu, kalau Ibu nggak keberatan. Saya juga nggak mau kalau terjadi apa-apa dengan calon bayi saya.""Baik, akan Ibu carikan. Biar nanti sore ke sini, ya. Ibu sama Ayah pulang dulu. Jangan terlalu dipikirkan, semua akan baik-baik saja seiring berjalannya waktu." Bu Lusi mengelus pipi Flara lembut, sangat keibuan dan baik. Selalu lembut dan halus dalam tutur katanya, mungkin jika ora
Flara berjalan mendekat ke arah di mana Denan dan ibunya berdiri. Seakan mengerti apa yang akan wanita itu lakukan, Denan mengangkat tangan dan menganggukkan kepala. Seakan meminta untuk Flara tetap diam di tempat. "Bu, dia bu--.""Flara, duduk diam! Nggak seharusnya kamu jalan-jalan begitu. Duduk!" ujar Denan tegas, meskipun bicara dengan nada ketegasan, masih terselip nada kelembutan di sana. "Den.""Duduk, Flara!" pinta Denan lebih lembut. Merasa tak bisa lagi membantah, Flara beringsut mundur dan duduk di salah satu sofa ruang tengah. Mengamati keduanya yang masih berpelukan. "Ibu, kita istirahat di kamar, yuk."Bu Nia mendongak, begitu melihat wajah Denan, wanita itu melepas pelukannya dan berjalan mundur. Seakan beliau baru menyadari bahwa pria yang beliau peluk bukan suaminya."Kamu siapa? Ke mana suami saya? Tadi ada di sini. Kamu ke manakan suami saya? Ayah!" panggil Bu Nia dengan berteriak. Denan memajukan langkahnya pelan. "Jangan mendekat. Kamu bukan suami saya," ceg
Denan menggilas aspal dengan mobilnya yang berkecapatan tinggi. Membelah jalanan yang tak pernah sepi pengendara meskipun alam sudah tiba. Dengan amarah yang tersisa, Denan sudah memikirkan apa yang akan Iakukan jika sudah sampai di rumah Zaki. Ya, rumah Zaki. Gambar yang dikirim Rania tadi adalah gambar dirinya sendiri dengan berlatar belakang kamar Zaki. Dan hal itu mengundang amarah Denan. Denan merasa terjebak sendiri dengan rencananya. Yang meminta Rania masuk kedalam kehidupan Flara dan Zaki adalah dirinya, namun ia dibuat emosi juga olehnya. "Rania berhasil membuat Zaki benar-benar berpaling, seharusnya aku senang. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya."Wajar jika yang terjadi adalah sebaliknya, karena apa yang terjadi kini tidak ada di skenario Denan. Sama sekali ia tak pernah membayangkan bahwa apa yang ia rencanakan mengorbankan nyawa. Seperti biasa, Denan akan masuk rumah Zaki tanpa permisi. Namun, seakan tahu akan kedatangannya, kali ini pintu terkunci dengan rapat tanp
Rania menelan ludahnya susah payah karena melihat Zaki yang sedang berdiri di dekat pagar pembatas lantai dua. Besar harapannya untuk Zaki tidak mendengar apa yang ia bicarakan dengan Denan. "Dia masih di sini? Ngapain kamu lama-lama di situ? Ayo naik!" Huft, akhirnya Rania bisa bernafas dengan lega. Mendengar penuturan Zaki membuat wanita itu berpikir, bahwa Zaki tidak mendengar apapun yang ia bicarakan dengan Denan. Mudah-mudahan saja begitu. "Iya aku ke sana."Denan ikut meninggalkan ruangan itu setelah Rania melewati dirinya. ***Setelah kejadian itu, hari berjalan seperti biasanya. Zaki dengan segala aktivitasnya yang sama seperti sebelumnya dan Flara dengan segala ativitasnya yang melelahkan. Wanita itu semakin stress dengan kondisi ibunya. Entah sudah berapa kali dalam satu bulan itu Flara mengganti dokter yang menangani kondisi ibunya yang semakin hari semakin nampak ketidakwarasannya. "Fla, untuk kali ini saja, kamu nurut sama aku. Kita nggak ada pilihan lain selain har
Denan yang berdiri di dekat tempat tidur Flara pun tak kalah syok dengan apa yang baru saja diambil Zaki. Bagaimana tidak syok? Barang yang ia simpan dengan baik dan rapat bisa diambil oleh Flara. Rasa terkejut Denan bukan pada barang-barang itu, tapi lebih kepada bagaimana caranya Flara mendapatkan barang itu."Ini pasti rekayasa, kan? Ini pasti nggak bener, kan? Rencana apa lagi yang sedang kau rencankan Flara? Kau tahu aku menjunjung tinggi harkat dan martabat keluargaku, lalu kau buat ini untuk menghilangkan rasa percaya dan tidak hormat kepada orang tuaku, iya? Ini kau lakukan untuk membalas rasa sakit hatimu, kan?""Reaksi orang bodoh akan selalu seperti itu. Kau lihat kertas ini bagaimana rupanya? Kau lihat di sini tanggal berapa tes DNA ini keluar."Zaki tak percaya dengan apa yang ia lihat tapi semua bukti tidak mungkin bisa ia sangkal. Foto pernikahan ayahnya dan juga seorang perempuan, foto ayahnya dengan seorang wanita yang hamil, foto ayahnya dengan gendongan seorang bayi
Semua hal masih berjalan dengan lancar setelah kejadian pertengkaran itu. Semua nampak sama seperti tak terjadi apapun. Zaki dan Flara pun kembali satu rumah setelah Bu Nia di rawat di rumah sehat mental, yayasan milik teman Denan. Tinggal satu rumah kembali tidak serta merta membuat hubungan mereka menjadi hangat. Justru keduanya semakin terang-terangan menunjukan bahwa mereka tak saling butuh satu sama lain, mereka sudah transparan akan hubungan mereka dengan orang lain. Baik Flara dengan Denan, dan juga Zaki dengan Rania. Mereka sudah tak lagi main kucing-kucingan. Untuk hubungan Flara dan Denan sebenarnya mereka tak menyepakati apapun mengenai nama hubungan mereka. Enta pacaran, pertemanan, atau sepasang kekasih, mereka tak menyebutnya dengan detail. Namun, perhatian dan tingkah mereka tak kalah romantis dan mesra dari Zaki dan Rania. Seperti pagi ini, Denan yang statusnya mantan kekasih Flara, justru ia bertingkah seperti suaminya Flara saja. Ia dengan rutin setiap satu bulan
Setelah sadar bahwa Denan melihat Pak Burhan di tempat yang sama, ia mengajak Flara untuk cepat-cepat pergi dari sana."Kenapa buru-buru, kan belum selesai?""Mall bukan di sini aja, kita cari tempat lain. Atau kalau lebih mudah lagi kamu bisa belanja lewat online, kan? biar kamu juga nggak capek-capek. Ya udah kita pulang."Denan mendorong pundak Flara agar segera berjalan meninggalkan bangunan besar itu.Namun, begitu sampai di parkiran, keinginan yang ingin segera pergi dari tempat itu harus tertunda karena panggilan dari sang ayah. "Kalian ada hubungan apa? kalian ngapain berdua di sini? Flara Kamu perempuan bersuami tidak seharusnya kamu keluar dengan laki-laki lain.""Ayah juga pria beristri, kenapa masih jalan dengan wanita lain? Beberapa bulan yang lalu saya melihat Ayah sedang memilih lingerie dengan asisten pribadi Zaki. Jangan lupa saya tahu rahasia Ayah! Tidak bermaksud untuk kurang ajar, saya begini juga karena anak Ayah juga. Rania, wanita simpanan Ayah itu, dia juga me
Mendengar teriakan Zaki refleks Denan berlari ke arah kamar mandi, ia meninggalkan ibunya yang juga sama terkejutnya. Namun beliau tak bisa melakukan apa-apa selain menunggu kedua anaknya, karena jangankan ikut mereka melihat apa yang terjadi, membawa kursi rodanya untuk maju saja beliau tak bisa melakukannya."Ada apa, Ki?" Mata Denan teralihkan pada sang Ayah yang sudah tergelak di lantai. "Kenapa diam saja? Siapkan mobil kita bawa ke rumah sakit biar aku yang bawa." Denan masuk ke kamar mandi dan mengangkat tubuh kurus Pak Burhan.Tak pernah ia sangka atau bahkan terbesit di kepalanya jika ia akan menggotong tubuh Pak Burhan dengan rasa khawatir yang seperti sekarang ini."Astaga, apa yang terjadi dengan ayahmu?"Denan tak sempat menjawab, ia harus cepat membawa ayahnya ke mobil untuk ia bawa ke rumah sakit."Aku bawa Ibu bentar." Denan kembali berlari ke dalam rumah setelah meletakkan ayahnya ke kursi penumpang bagian depan.Zaki memberanikan diri untuk mengecek nadi ayahnya. Sung
"Haruskah aku berdamai denganmu? Aku merasa ibuku bahagia saat mengajakku ke sini. Senyum yang puluhan tahun hilang akhirnya sering aku lihat belakangan ini. Ibu juga nggak pernah marah-marah ke aku hanya karena aku memaksakan diri untuk berbuat baik ke kalian. Mungkin saatnya aku membuka lembaran baru.""Dengan cara?""Mengubah Denan yang dulu. Yah, meskipun jujur saja aku berat melakukannya, aku akan lakukan demi Ibu. Hanya itu yang dia minta ke aku.""Kau masih berat memberi maaf pada Ayah?"Denan mengangguk. "Banyak hal menyakitkan yang aku lalui, aku berjuang sendirian untuk buat aku sembuh, aku punya orang tua lengkap, tapi rasanya tidak punya orang tua. Apa yang dilakukan Pak Burhan seakan membuat lukaku abadi. Tapi mau bagaimana lagi? Ibuku menuntutku untuk berlapang dada memberikan maaf, jadi meskipun lukaku akan menganga selamanya aku akan berusaha untuk lupa.""Lalu bagaimana denganku?""Sebenarnya aku masih sakit karena kau menikahi Flara, tapi, ya sudahlah lupakan saja. K
"Iya, aku ini memang mengharapkan maaf Denan, tapi jika memang kesalahan dan dosa aku terlalu besar baginya. Aku tidak akan mengharapkan itu lagi, yang penting Denan mau ketemu aku, itu sudah cukup." Pak Burhan menatap dalam anak keduanya itu. "Denan, tidak apa-apa kamu tidak menganggap Ayah adalah ayahmu, tapi setidaknya biarkan Ayah menjadi teman. Atau perlakukan Ayah seperti orang asing. Setidaknya, kamu pasti memanusiakan orang asing."Saking putus asanya Pak Burhan, beliau sampai rela dianggap orang asing agar Denan bisa bicara dengan ramah padanya. "Anak didikan Ibu pasti baik dan tidak akan membiarkan orang tuanya memohon secara terus menerus." Bu Salma mengatakan itu dengan penuh penekan sama tatapan yang menusuk. Denan sampai sedikit gugup melihat tatapan ibunya yang lain dari biasanya. Sepertinya Bu Salma benar-benar sudah tidak bisa memberikan toleransi pada sang anak. Akhirnya Denan memaksakan diri untuk berperilaku dan bersikap baik pada ayahnya. Dan keterpaksaan itu
"Kalau kamu nggak dianggap anak, kamu nggak akan bisa ketemu sama Ayah sekarang, kamu sudah di buang dan nggak akan tahu, kenal, apalagi ketemu sama Ayah. Nyatanya sekarang kamu masih bisa hidup sehat dan bebas ketemu sama ayah. Diakui, dianggap itu bukan hanya perkara kamu diperkenalkan sama publik atas semua orang, Den. Dengan membetikan kehidupan yang layak juga termasuk diakui." Zaki nampak lebih dewasa setelah setelah Roda Kehidupan membuatnya jungkir balik. "Nggk usah banyak komentar, nggak usah ngajarin aku kalau kau tidak pernah jadi aku.""Aku memang tidak pernah menjadi kamu. Tapi aku sekarang merasakan hal yang sama sakitnya seperti kamu meskipun dalam versi yang berbeda. Ayolah Denan, kita ini sama-sama saling tersakiti karena seseorang. Tapi tidak perlu kita bawa rasa sakit itu sampai ke masa depan, karena itu akan menggerogoti kebaikan dan hati kita sendiri.""Ibu bangga sama kamu, Zaki. kamu bisa berpikiran sepositif itu dengan kondisi kamu yang sekarang. Ibu bangga sa
"Kamu berskiap begini bisa membuat Ibu sehat memang?""Ya nggak juga, orang kayak gitu nggak pantas dimaafkan, Ibu. Kesalahannya udah berkerak.""Denan, Ibu kasih tahu, ya. Kamu udah terlalu lama tenggelam, Nak. Ayo kita buka lembaran baru sama Ibu. Kita damai dengan masa lalu. Ibu benar-benar akan merasa tenag dan damai kalau kamu mau dengerin kata Ibu. Pelan-pelan, Nak. Yang jadi korban nggak hanya kamu, Zaki juga. Setidaknya kamu damai sama adik kamu, Nak. Kalian saudara, kalau Ibu sama Ayah udah nggak ada, kalian harusnya saling jaga. Tidak bermusuhan seperti ini. Kamu hanya punya Zaki, begitu pula sebaliknya. Zaki malah hancur karirnya, kamu pun tahu. Sekarang dia jadi kerja apa adanya, kan? Dia jadi t8oang punggung untuk ayahnya yang sering sakit. Sedangkan kamu, kamu masih bisa bekerja dengan baik, tenang, kamu nggak perlu besok mikir mau makan apa, tidur nyenyak atau tidak, nggak pernah kesusahan. Kesusahan kita sudah berakhir di masa lalu. Sekarang mereka menerima karma dari
"Salma, kamu datang?" tanya Pak Burhan seakan tak percaya dengan apa yang beliau lihat. Zaki mendorong kursi roda Bu Salma agar lebih dekat dengan ayahnya. "Aku tinggal dulu, ya. Ada urusan sebentar." Zaki sengaja memberikan waktu pada mereka untuk bicara dari hati ke hati. Biar bagaimanapun status mereka masih suami istri meski tidak diakui negara."Bagaimana kabarmu?" Pak Burhan yang bertanya. "Alhamdulillah, baik. Aku dengar kamu sering sakit. Apa ada yang kamu pikirkan?""Tentu saja ada, banyak malah. Sejak kehidupan aku berantakan aku terpikir bahwa ini adalah hasil dari apa yang aku perbuat selama ini. Mumpung diberi kesempatan, aku ingin meminta maaf padamu dan Denan. Ngomong-ngomong ke mana dia? Tidak ikut denganmu? Dia belum mau menemui aku?""Kamu tahu sendir, kan Denan seperti apa anaknya? Dia yang keras kepala. Mana mungkin bisa memaafkan seseorang dengan begitu mudahnya. Kalau dia bisa memaafkan orang dengan mudah, hal yang terjadi akhir-akhir ini tidak akan pernah te
"Denan, kalau kamu tidak mau melakukannya demi Ayah, setidaknya lakukan ini demi Ibu. Penyesalan akan selalu datang terlambat, Ibu mohon sekali aja kamu temui Ayah. Kasih tahu kalau kamu maafin dia, setelah itu kamu boleh nggak ketemu sama dia lagi. Ibu janji nggak akan minta kamu untuk ketemu sama dia lagi setelah ini.""Kalau mau ke sana aku antar, tapi aku nggak mau nemuin." Denan lalu kembali keluar rumah. Padahal baru saja ia sampai di rumah setelah dari rumah Flara, namun hatinya yang suntuk membuatnya kembali keluar. Bu Salma menghela nafas panjang. Sudah menjadi kebiasaan Denan jika ia suntuk dengan keadaan, ia pasti akan keluar rumah melampiaskannya entah pergi ke mana. Selama ini Bu Salma tidak pernah tahu. "Itulah yang tidak Ibu sukai dari anak Ibu. Kalau keadaan nggak cocok sama hatinya ya itu, langsung pergi. Nanti pulang tengah malam, nggak tahu pergi ke mana. Tapi kamu nggak usah khawatir, Ibu secepatnya akan ke sana. Kalau Denan nggak mau, Ibu dulu yang akan ke sana.
Zaki menghabiskan waktu dengan Brianna selama satu jam lamanya. Karena mengingat bahwa ia keluar rumah bukan hanya untuk menemui anaknya. Ia juga harus menemui Bu Salma dan Denan untuk bertemu dengan ayahnya yang sedang lemah tak berdaya berada di rumah sakit. Hati dan hidup Zaki sebenarnya sudah hancur, ia sudah tidak tahu tujuannya untuk hidup itu sendiri apa, untuk siapa. Zaki benar-benar berada di posisi yang ia sendiri tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya dengan kata-kata. Namun Zaki berusaha untuk kuat, tegar, dan menampakkan wajah yang seakan hidupnya tidak ada beban. Ia harus tetap memakai topeng ketika berada di luar rumah. Ia tidak mau menunjukkan pada dunia bahwa ia sebenarnya sudah menjadi kepingan. Biarkan dirinya sendiri saja yang tahu betapa hancurnya seluruh kehidupan dan hatinya. Berangkat dari rumah Flara menuju rumah Bu Salma hanya memakan waktu sekitar lima belas menit saja. Zaki dengan mantap berjalan menuju rumah minimalis berlantai dua. Pintu terbuka beg
"Jadi yang selama ini yang aku lakukan tidak berarti untukmu?" "Aku nggak bilang begitu, Denan. Justru karena pengorbanan dan apa yang sudah kamu lakukan itu sangat berarti untukku. Itu sebabnya aku menjadikan kamu sebagai sahabatku. Aku ingin kita ini bisa bersama tanpa harus terikat dengan hubungan suami istri. Kalau kita bisa dekat dengan cara seperti itu, kenapa kita harus menikah? Sungguh, akan sama tidak baik untuk ke depannya kalau aku memilih kamu menjadi suamiku atau mempertahankan Zaki sebagai suamiku. Yang pertama kalian berdua pernah singgah di hidupku dan menyakitiku, meskipun kalian berdua sama-sama berubah dan berusaha untuk menjadi lebih baik, bukan berarti aku harus menerima kalian menjadi pasangan hidup, kan? Dan alasan ke dua. Aku nggak mau membuat hubungan kalian akan semakin berantakan. Okelah nggak apa-apa lah kalau kamu nggak mau damai sama Zaki. itu urusan kalian, tapi aku tidak mau kalau aku milih di antara kalian dan justru kalian akan semakin mengibarkan b