Setelah sadar bahwa Denan melihat Pak Burhan di tempat yang sama, ia mengajak Flara untuk cepat-cepat pergi dari sana."Kenapa buru-buru, kan belum selesai?""Mall bukan di sini aja, kita cari tempat lain. Atau kalau lebih mudah lagi kamu bisa belanja lewat online, kan? biar kamu juga nggak capek-capek. Ya udah kita pulang."Denan mendorong pundak Flara agar segera berjalan meninggalkan bangunan besar itu.Namun, begitu sampai di parkiran, keinginan yang ingin segera pergi dari tempat itu harus tertunda karena panggilan dari sang ayah. "Kalian ada hubungan apa? kalian ngapain berdua di sini? Flara Kamu perempuan bersuami tidak seharusnya kamu keluar dengan laki-laki lain.""Ayah juga pria beristri, kenapa masih jalan dengan wanita lain? Beberapa bulan yang lalu saya melihat Ayah sedang memilih lingerie dengan asisten pribadi Zaki. Jangan lupa saya tahu rahasia Ayah! Tidak bermaksud untuk kurang ajar, saya begini juga karena anak Ayah juga. Rania, wanita simpanan Ayah itu, dia juga me
Denan memasuki rumah dengan bersiul-siul santai. Ia berjalan dengan memutar-mutar kunci mobilnya seakan semua yang terjadi sudah seperti keinginannya. Ia sudah siap untuk berperang dengan ayahnya kembali. Kata-kata umpatan pun sudah ia persiapkan dalam kepala. "Oh ada tamu rupanya." "Apa mau kamu Denan?" "Mauku?" Denan nampak pura-pura berpikir. "Nggak ada, emang ada apa? Kenapa tiba-tiba kau bertanya mengenai keinginanku?""Kelakuan kamu benar-benar kurang ajar Denan. Kamu tidak pantas disebut sebagai anak! Binatang saja tidak melakukan ini pada orang tuanya."Pak Burhan benar-benar murka kali ini, wajahnya dan matanya nampak memerah, urat-urat kemarahan nampak tergambar jelas di setiap inci wajahnya. Raut wajah sebaliknya di tunjukkan Denan. "Kau membandingkan aku dengan binatang? Lalu katakan, aku harus membandingkan kau dengan apa? Apa kau pikir ada seekor binatang yang tidak menganggap anaknya? Aku bertingkah seperti binatang karena juga punya ayah seperti binatang." Wajah ya
Wartawan yang tadinya sibuk dengan obrolan dan juga penyiapan kamera mengalihkan perhatian ke arah mobil yang baru datang. Akhirnya pria yang mereka tunggu muncul juga, para pemburu berita berhamburan mendekati mobil Pak Burhan. Beberapa pertanyaan yang tadi sempat dipertanyakan saat di rumah makan kembali mereka lempar. Respon yang sama mereka dapat, sama sekali tidak ada jawaban dari mulut pria yang sedang santer dibicarakan. "Permisi, saya mau lewat. Saya tegaskan sekali lagi berita yang beredar luas di media sosial tidak benar. Saya tidak memiliki anak dari wanita manapun."Setelah perjuangan beberapa saat, Pak Burhan akhirnya bisa terlepas dari lingkaran wartawan yang mengelilinginya. Beberapa langkah keluar dari kerumunan, langkah Pak. Burhan kembali terhenti karena melihat mobil Zaki. Beberapa detik terdiam di tempat, Pak Burhan kembali melangkah dengan cepat-cepat memasuki rumahnya mengunci pagar dan entah apa yang beliau lakukan selanjutnya. Zaki masih terdiam mengamati d
"Aku mau kamu jujur satu hal padaku, Denan." "Apapun. Minta apapun padaku, pasti aku akan melakukannya." Tangan Denan masih bergelantungan di wajah Flara. Jika tadi jarinya sibuk memindahkan anak rambut ke belakang telinga, kini jarinya sibuk mengelus pipi ranum wanita itu. "Kamu mengenal Rania?"Pertanyaan sederhana yang membuat Denan sedikit kelabakan. Biar bagaimanapun, ia tetap menyadari bahwa apa yang ia lakukan pasti salah di mata Flara. Ia seperti sengaja merusak rumah tangga wanita yang di depannya, dan ia khawatir kalau wanita ini akan membenci dan menjauhi dirinya untuk yang kedua kalinya. Sedangkan perasaan itu sudah kian membara. "Fla... Aku.""Aku hanya butuh jawaban iya atau tidak," sela Flara dengan cepat, seakan ia tahu apa yang akan menjadi jawaban dari Denan. "Iya aku kenal dia. Kamu tahu dari mana?""Sosial media kamu, ini."Flara mengarahkan ponselnya di depan wajah Denan. Nampak ada gambar Rania dan beberapa orang temanya di sana, mereka sedang menikmati hidan
Flashback dua puluh sembilan tahun yang lalu. Hari yang seharusnya membahagiakan untuk Lisa berubah menjadi hari yang kelam untuknya. Pagi itu, ia mendatangi rumah sakit untuk memeriksakan kondisinya yang tiba-tiba saja merasa mual, lemas, letih dan mudah lelah. Wanita itu curiga bahwa dirinya sedang berbadan dua. Itulah sebabnya kenapa setelah Burhan meninggalkan rumah untuk bekerja, ia juga keluar rumah untuk memeriksakan diri. Jika memang ia hamil, ia akan memberikan surprise untuk suaminya itu. Itulah alasannya kenapa Lisa memeriksakan diri sendirian. Dan yang benar saja, dugaan wanita itu tepat sasaran. Ia sudah mengandung selama enam minggu. Masuk ke dalam ruangan dokter kandungan dengan perasaan was-was dan harap-harap cemas, namun saat keluar ruangan, senyum mengembang begitu saja di bibir ranum Lisa. Memang kehamilan ini bukan kehamilan yang pertama. Namun, kondisi seperti ini sudah ditunggu Lisa sejak dua tahun yang lalu. Keinginan Burhan untuk memiliki anak laki-laki m
"Simpan saja cintamu itu, aku mau pergi! Jangan halangi aku, Mas. Aku ingin sendiri. Berikan aku waktu untuk berpikir, berikan aku waktu untuk diriku sendiri."Salma melenggang pergi dari rumah sakit. Burhan tak mampu mengejar, ia ingin melakukannya, tapi ia sadar semakin ia mengejar Salma maka wanita itu akan semakin marah. Burhan memutuskan untuk kembali ke rumah sakit, menemui istrinya yang entah kenapa tiba-tiba saja tidak sadarkan diri. Pria itu berjalan dengan tergesa-gesa dan pikiran yang bercabang-cabang. Sudah jatuh tertimpa tangga pula, itulah peribahasa yang pas disematkan pada Burhan. Kedua wanita yang berada dalam genggamannya gini sama-sama sedang merajuk. Keadaan bertambah runyam saat ia tahu bahwa Lisa hamil anaknya yang kedua. "Aku mau cerai! Setelah anak ini lahir kita harus berpisah.""Lisa, nggak Lisa. Aku nggak mau. Aku khilaf, aku minta maaf.""Mana ada khilaf sampai punya anak?""Lisa kau janji nggak akan nemui dia lagi. Kalau perlu, aku akan melakukannya di
Denan menatap langit-langit rumah di kamarnya. Dari rentetan kejadian yang ia lihat, ia berpikir bahwa apa yang ia inginkan sudah terlaksana setengah jalan. Ia sudah merasa tinggal setengah lagi ia bisa mewujudkan apa yang ia impikan selama ini. Tapi, ternyata semuanya salah besar. Jiwa jahat Flara yang selama ini diam ternyata diam-diam terusik karena ulahnya juga. Hingga detik ini pun ia masih bingung harus bagaimana, jika ia memilih mempertahankan pertemanannya dengan Rania, Flara yang akan merajuk dan menganggap cintanya tak sungguh-sungguh. Tapi, jika ia mengabulkan permintaan wanita yang ia cintai itu, maka bukan hanya kehilangan teman, tapi ia juga terlihat tak tahu diri karena sudah menghancurkan orang yang sudah membantunya. Ingatan Denan kembali pada tadi siang, di mana saat Flara dengan lancar dan tenang mengungkapkan apa yang ia inginkan. "Kamu masih simpan foto Zaki sama Rania waktu bemesraan di restoran, kan? Yang dulu pernah kamu tunjukkan padaku."Denan mengangguk r
Zaki yang tadinya meletakkan kepala di lutut, seketika medongak ketika mendengar ada suara yang memanggil namanya. Ternyata yang datang bukan orang yang ia harapkan. "Zaki, nasib aku gimana?" Rania berjalan menghampiri dan duduk di depan pria itu. "Rania aku udah pusing banget sama masalahku, kenapa kamu harus hamil sekarang?""Aku juga nggak mau hamil, Zaki. Apa kamu pikir aku mau di posisi seperti ini?""Aku masih sah menjadi suami Flara. Bagaimana bisa aku menikahi kamu?" "Ya udah kalau kamu nggak mau tanggung jawab aku akan menggugurkan anak ini.""Jangan nambah dosa lah, Ran. Ya udah oke kita akan menikah siri. Besok akan aku urus semuanya. Kamu harus ngerti juga sama kondisi aku. Sekarang kamu pulang, ya. Ini udah malam, Ran. kamu ngapain sih ke sini malam-malam?""Mau ditemenin kamu."Zaki menghela nafas dalam. Ia hanya mampu menuruti apa kata Rania. Jika ia menolak apa yang wanita itu katakan, maka akan ada masalah baru yang secara tidak langsung ia ciptakan. Lebih baik ia
Mendengar teriakan Zaki refleks Denan berlari ke arah kamar mandi, ia meninggalkan ibunya yang juga sama terkejutnya. Namun beliau tak bisa melakukan apa-apa selain menunggu kedua anaknya, karena jangankan ikut mereka melihat apa yang terjadi, membawa kursi rodanya untuk maju saja beliau tak bisa melakukannya."Ada apa, Ki?" Mata Denan teralihkan pada sang Ayah yang sudah tergelak di lantai. "Kenapa diam saja? Siapkan mobil kita bawa ke rumah sakit biar aku yang bawa." Denan masuk ke kamar mandi dan mengangkat tubuh kurus Pak Burhan.Tak pernah ia sangka atau bahkan terbesit di kepalanya jika ia akan menggotong tubuh Pak Burhan dengan rasa khawatir yang seperti sekarang ini."Astaga, apa yang terjadi dengan ayahmu?"Denan tak sempat menjawab, ia harus cepat membawa ayahnya ke mobil untuk ia bawa ke rumah sakit."Aku bawa Ibu bentar." Denan kembali berlari ke dalam rumah setelah meletakkan ayahnya ke kursi penumpang bagian depan.Zaki memberanikan diri untuk mengecek nadi ayahnya. Sung
"Haruskah aku berdamai denganmu? Aku merasa ibuku bahagia saat mengajakku ke sini. Senyum yang puluhan tahun hilang akhirnya sering aku lihat belakangan ini. Ibu juga nggak pernah marah-marah ke aku hanya karena aku memaksakan diri untuk berbuat baik ke kalian. Mungkin saatnya aku membuka lembaran baru.""Dengan cara?""Mengubah Denan yang dulu. Yah, meskipun jujur saja aku berat melakukannya, aku akan lakukan demi Ibu. Hanya itu yang dia minta ke aku.""Kau masih berat memberi maaf pada Ayah?"Denan mengangguk. "Banyak hal menyakitkan yang aku lalui, aku berjuang sendirian untuk buat aku sembuh, aku punya orang tua lengkap, tapi rasanya tidak punya orang tua. Apa yang dilakukan Pak Burhan seakan membuat lukaku abadi. Tapi mau bagaimana lagi? Ibuku menuntutku untuk berlapang dada memberikan maaf, jadi meskipun lukaku akan menganga selamanya aku akan berusaha untuk lupa.""Lalu bagaimana denganku?""Sebenarnya aku masih sakit karena kau menikahi Flara, tapi, ya sudahlah lupakan saja. K
"Iya, aku ini memang mengharapkan maaf Denan, tapi jika memang kesalahan dan dosa aku terlalu besar baginya. Aku tidak akan mengharapkan itu lagi, yang penting Denan mau ketemu aku, itu sudah cukup." Pak Burhan menatap dalam anak keduanya itu. "Denan, tidak apa-apa kamu tidak menganggap Ayah adalah ayahmu, tapi setidaknya biarkan Ayah menjadi teman. Atau perlakukan Ayah seperti orang asing. Setidaknya, kamu pasti memanusiakan orang asing."Saking putus asanya Pak Burhan, beliau sampai rela dianggap orang asing agar Denan bisa bicara dengan ramah padanya. "Anak didikan Ibu pasti baik dan tidak akan membiarkan orang tuanya memohon secara terus menerus." Bu Salma mengatakan itu dengan penuh penekan sama tatapan yang menusuk. Denan sampai sedikit gugup melihat tatapan ibunya yang lain dari biasanya. Sepertinya Bu Salma benar-benar sudah tidak bisa memberikan toleransi pada sang anak. Akhirnya Denan memaksakan diri untuk berperilaku dan bersikap baik pada ayahnya. Dan keterpaksaan itu
"Kalau kamu nggak dianggap anak, kamu nggak akan bisa ketemu sama Ayah sekarang, kamu sudah di buang dan nggak akan tahu, kenal, apalagi ketemu sama Ayah. Nyatanya sekarang kamu masih bisa hidup sehat dan bebas ketemu sama ayah. Diakui, dianggap itu bukan hanya perkara kamu diperkenalkan sama publik atas semua orang, Den. Dengan membetikan kehidupan yang layak juga termasuk diakui." Zaki nampak lebih dewasa setelah setelah Roda Kehidupan membuatnya jungkir balik. "Nggk usah banyak komentar, nggak usah ngajarin aku kalau kau tidak pernah jadi aku.""Aku memang tidak pernah menjadi kamu. Tapi aku sekarang merasakan hal yang sama sakitnya seperti kamu meskipun dalam versi yang berbeda. Ayolah Denan, kita ini sama-sama saling tersakiti karena seseorang. Tapi tidak perlu kita bawa rasa sakit itu sampai ke masa depan, karena itu akan menggerogoti kebaikan dan hati kita sendiri.""Ibu bangga sama kamu, Zaki. kamu bisa berpikiran sepositif itu dengan kondisi kamu yang sekarang. Ibu bangga sa
"Kamu berskiap begini bisa membuat Ibu sehat memang?""Ya nggak juga, orang kayak gitu nggak pantas dimaafkan, Ibu. Kesalahannya udah berkerak.""Denan, Ibu kasih tahu, ya. Kamu udah terlalu lama tenggelam, Nak. Ayo kita buka lembaran baru sama Ibu. Kita damai dengan masa lalu. Ibu benar-benar akan merasa tenag dan damai kalau kamu mau dengerin kata Ibu. Pelan-pelan, Nak. Yang jadi korban nggak hanya kamu, Zaki juga. Setidaknya kamu damai sama adik kamu, Nak. Kalian saudara, kalau Ibu sama Ayah udah nggak ada, kalian harusnya saling jaga. Tidak bermusuhan seperti ini. Kamu hanya punya Zaki, begitu pula sebaliknya. Zaki malah hancur karirnya, kamu pun tahu. Sekarang dia jadi kerja apa adanya, kan? Dia jadi t8oang punggung untuk ayahnya yang sering sakit. Sedangkan kamu, kamu masih bisa bekerja dengan baik, tenang, kamu nggak perlu besok mikir mau makan apa, tidur nyenyak atau tidak, nggak pernah kesusahan. Kesusahan kita sudah berakhir di masa lalu. Sekarang mereka menerima karma dari
"Salma, kamu datang?" tanya Pak Burhan seakan tak percaya dengan apa yang beliau lihat. Zaki mendorong kursi roda Bu Salma agar lebih dekat dengan ayahnya. "Aku tinggal dulu, ya. Ada urusan sebentar." Zaki sengaja memberikan waktu pada mereka untuk bicara dari hati ke hati. Biar bagaimanapun status mereka masih suami istri meski tidak diakui negara."Bagaimana kabarmu?" Pak Burhan yang bertanya. "Alhamdulillah, baik. Aku dengar kamu sering sakit. Apa ada yang kamu pikirkan?""Tentu saja ada, banyak malah. Sejak kehidupan aku berantakan aku terpikir bahwa ini adalah hasil dari apa yang aku perbuat selama ini. Mumpung diberi kesempatan, aku ingin meminta maaf padamu dan Denan. Ngomong-ngomong ke mana dia? Tidak ikut denganmu? Dia belum mau menemui aku?""Kamu tahu sendir, kan Denan seperti apa anaknya? Dia yang keras kepala. Mana mungkin bisa memaafkan seseorang dengan begitu mudahnya. Kalau dia bisa memaafkan orang dengan mudah, hal yang terjadi akhir-akhir ini tidak akan pernah te
"Denan, kalau kamu tidak mau melakukannya demi Ayah, setidaknya lakukan ini demi Ibu. Penyesalan akan selalu datang terlambat, Ibu mohon sekali aja kamu temui Ayah. Kasih tahu kalau kamu maafin dia, setelah itu kamu boleh nggak ketemu sama dia lagi. Ibu janji nggak akan minta kamu untuk ketemu sama dia lagi setelah ini.""Kalau mau ke sana aku antar, tapi aku nggak mau nemuin." Denan lalu kembali keluar rumah. Padahal baru saja ia sampai di rumah setelah dari rumah Flara, namun hatinya yang suntuk membuatnya kembali keluar. Bu Salma menghela nafas panjang. Sudah menjadi kebiasaan Denan jika ia suntuk dengan keadaan, ia pasti akan keluar rumah melampiaskannya entah pergi ke mana. Selama ini Bu Salma tidak pernah tahu. "Itulah yang tidak Ibu sukai dari anak Ibu. Kalau keadaan nggak cocok sama hatinya ya itu, langsung pergi. Nanti pulang tengah malam, nggak tahu pergi ke mana. Tapi kamu nggak usah khawatir, Ibu secepatnya akan ke sana. Kalau Denan nggak mau, Ibu dulu yang akan ke sana.
Zaki menghabiskan waktu dengan Brianna selama satu jam lamanya. Karena mengingat bahwa ia keluar rumah bukan hanya untuk menemui anaknya. Ia juga harus menemui Bu Salma dan Denan untuk bertemu dengan ayahnya yang sedang lemah tak berdaya berada di rumah sakit. Hati dan hidup Zaki sebenarnya sudah hancur, ia sudah tidak tahu tujuannya untuk hidup itu sendiri apa, untuk siapa. Zaki benar-benar berada di posisi yang ia sendiri tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya dengan kata-kata. Namun Zaki berusaha untuk kuat, tegar, dan menampakkan wajah yang seakan hidupnya tidak ada beban. Ia harus tetap memakai topeng ketika berada di luar rumah. Ia tidak mau menunjukkan pada dunia bahwa ia sebenarnya sudah menjadi kepingan. Biarkan dirinya sendiri saja yang tahu betapa hancurnya seluruh kehidupan dan hatinya. Berangkat dari rumah Flara menuju rumah Bu Salma hanya memakan waktu sekitar lima belas menit saja. Zaki dengan mantap berjalan menuju rumah minimalis berlantai dua. Pintu terbuka beg
"Jadi yang selama ini yang aku lakukan tidak berarti untukmu?" "Aku nggak bilang begitu, Denan. Justru karena pengorbanan dan apa yang sudah kamu lakukan itu sangat berarti untukku. Itu sebabnya aku menjadikan kamu sebagai sahabatku. Aku ingin kita ini bisa bersama tanpa harus terikat dengan hubungan suami istri. Kalau kita bisa dekat dengan cara seperti itu, kenapa kita harus menikah? Sungguh, akan sama tidak baik untuk ke depannya kalau aku memilih kamu menjadi suamiku atau mempertahankan Zaki sebagai suamiku. Yang pertama kalian berdua pernah singgah di hidupku dan menyakitiku, meskipun kalian berdua sama-sama berubah dan berusaha untuk menjadi lebih baik, bukan berarti aku harus menerima kalian menjadi pasangan hidup, kan? Dan alasan ke dua. Aku nggak mau membuat hubungan kalian akan semakin berantakan. Okelah nggak apa-apa lah kalau kamu nggak mau damai sama Zaki. itu urusan kalian, tapi aku tidak mau kalau aku milih di antara kalian dan justru kalian akan semakin mengibarkan b