"Ya untuk sementara kita kita begini dulu aja. Ya mau gimana? Situasinya nggak kondusif banget. Nggak, siapa yang mau mutusin kamu, sih? Masa setelah apa yang kita lakukan aku dengan mudah meninggalkan kamu, nggak akan Rania. Tenang saja. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Flara baru saja tiba di lantai dua, tepatnya di depan kamar suaminya. Hatinya kian memanas begitu mendengar deretan kata yang meluncur dengan jelas dari mulut Zaki. Kata demi kata itu juga sampai di telinga Flara dengan lancar tanpa hambatan. Bruak! Tumben pintu tak terkunci, apa mungkin pria itu mengira ia tak akan pulang malam ini? Pikir Flara. Zaki meletakkan ponselnya. Menatap Flara malas selalu beranjak dari duduknya dan membuka lemari berniat untuk mengganti pakaiannya yang sejak pagi tadi belum terganti. "Benar-benar keterlaluan, Ayahku sedang sakit, terbaring nggak berdaya karena ucapanmu itu, dan sekarang lihat dirimu! Jangankan menyesal, melupakan sedikit kekasih gelapmu itu saja kau tak mampu. Laki-la
Flara sempat berhenti sejenak saat Zaki berteriak. Namun, saat melihat tatapan mata Zaki yang begitu murka, ia melanjutkan langkah. Bukan karena takut, ia kini ingat bahwa dirinya sedang hamil ia tak mau meladeni Zaki terus menerus. Grap.Sayang sekali usaha Flara untuk menghindari Zaki harus pupus saat tangannya berhasil dicekal oleh suaminya. Seperti yang sudah-sudah, cakraman Zaki selalu kuat dan menyakitkan untuk wanita itu. Tanpa rasa takut Flara membalas tatapan tajam Zaki. Untuk beberapa detik mereka hanya saling melempar tajam setajam silet. Tidak ada sedikitpun pergerakan di tangan Flara, nampaknya wanita itu sudah mulai cerdas. Semakin ia berusaha melepas cengkraman tangan Zaki, maka pergelangan tangannya akan semakin sakit. "Ada bayaran untuk tamparan yang aku terima. Kau harus membayarnya dengan mahal." "Tamparan itu tidak berarti apapun, tidak bisa membalas rasa sakit yang aku rasakan. Sesakit itukah tamparanku sampai kau harus marah seperti ini? Atau harga dirimu sud
Di saat pintu mengayun ke dalam, di saat itu pula Flara menjatuhkan tubuhnya dan bersembunyi di kolong tempat tidur. Ternyata benar dugaannya, jika dilihat dari kakinya Denan yang masuk ke dalam kamar. Entah apa yang ia lakukan dan dengan tujuan apa pria itu kembali ke rumah setelah berangkat ke kantor. Flara tidak memusingkan itu, yang Flara pusingkan adalah bagaimana jika Denan tidak kembali ke kantor dan malah menetap di kamar? Ah mudah-mudahan saja tidak. Flara sudah mulai kegerahan di kolong. Namun, Denan tak kunjung keluar dari kamar. Sungguh, dalam hati Flara merutuki pria itu. 'Kenapa dia lama sekali apa yang dilakukan di sana?' gerutu Flara dalam hati. Setelah beberapa saat melihat kaki Denan berdiam diri di tempat akhirnya kaki itu melangkah keluar kamar. Di saat pintu kamarnya tertutup kembali barulah Flara keluar dari kolong meja dan bernafas dengan lega, seakan beban hidupnya sudah terangkat semua. "Aku harus cepat-cepat menemukan di mana kunci laci itu." Flara bicara
Denan menatap Flara dengan wajah bertanya-tanya. Denan yang baru saja keluar dari kamar ibunya nampak tak bergeming melihat Flara yang berada di tengah-tengah tangga. "Kamu di sini? Kok bisa--." Denan menggantung ucapannya. "Ah, iya aku tadi cari kamu tadi kata bibi, kamu lagi ada di atas. Jadi aku naik, ternyata kamu udah turun pantesan aku...aku teriakin dari tadi kedengeran." Flara menjawab dengan sedikit gagap karena ia sungguh gugup saat ini. "Cari aku? Ada apa, kenapa nggak telepon dulu? Kamu nyari di jam kerja lagi."'Astaga harus menjawab apa aku ini. Kenapa tadi nggak pakai alasan lain.' Di saat seperti ini saja Flara masih sempat-sempatnya merutuki diri sendiri. "Bawaan bayi," pekik Flara setengah semangat karena ia berhasil menemukan sebuah jawaban yang tepat untuk pertanyaan Denan. " Iya aku hanya ingin ketemu sama kamu aja, ngobrol gitu dan pengennya datang ke rumah langsung pokoknya pengen aja, Den. Jangan heran, wanita hamil biasa seperti ini, kan? Mereka biasa meng
"Dok, bagaimana keadaan suami saya?" Lagi, Bu Nia yang tak kunjung mendapatkan jawaban akhirnya bertanya lagi. "Maafkan saya, Bu. Suami Ibu sudah berpulang, kami sudah berusaha untuk mengembalikan detak jantung yang sempat terhenti. Tapi Tuhan berkehendak lain.""Ayah!" Bu Nia menangis histeris. Tubuhnya yang sudah lemas sejak tadi yang tak mampu lagi menopang berat badannya. Beliau jatuh terduduk dengan isakan yang menyayat hati. "Kenapa Ayah ninggalin Ibu sendirian," ucap lirih Bu Nia tenggelam dalam pundak sang anak. Hancur sudah hidup Flara saat ini, ujian kehidupan datang bertubi-tubi dan dalam waktu bersamaan. Ingin sekali rasanya hati meraung seperti ibunya, tapi ia masih bisa berpikir dengan waras. Jika ia meraung-raung juga, siapa yang akan menenangkan ibunya? Saat ini Flara hanya punya ibunya, hanya wanita itu satu-satunya keluarga Flara yang tersisa. Mereka berdua berpelukan tergugu dalam tangisan. Flara sudah semaksimal mungkin untuk berusaha kuat, tapi tidak mungkin
"Ya Tuhan, Flara kaki kamu berdarah. Bagaimana ini? Dokter, dokter tolong!" teriak Denan panik setengah mati. "Sakit, Denan," rintih Flara masih memegang perutnya. "Iya, sabar. Itu susternya datang bawa stretcher. Kamu kuat, Fla. Kamu pasti kuat." Denan memberikan semangat, padahal dirinya sendiri sedang panik. Denan dengan pelan menidurkan Flara di ranjang dorong itu. Bukan siapa-siapa, tapi ia begitu panik melihat Flara yang tiba-tiba pendarahan. Flara tidak mengandung anaknya, tapi Denan berharap janin itu tidak terjadi apa-apa. "Maaf, Pak. Silakan tunggu di luar! Kami akan menangani istri Anda dengan cepat dan tepat.""Tapi--."Ucapan Denan terhenti karena pintu UGD tertutup. Sedetik kemudian, "Istri?" Denan terkekeh saat sadar Suster itu salah mengira.***Zaki yang pagi itu sedang berkutat dengan laptop dan juga berkas merasa sedikit gelisah. Hal itu terlihat dari mimik wajahnya yang tidak tenang, kakinya yang sejak tadi menghentak-hentakkan takkan lantai, sehingga menimbul
"Kau? Bagaimana bisa kau ada di sini?" Begitu Zaki membuka pintu, pria itu sudah di suguhi wajah Denan. "Bisa saja. Apa yang tidak bisa Denan lakukan?" Denan menjawab dengan kembali melempar pertanyaan. Masih dengan nadanya yang jumawa. "Kau tidak malu? Kau terlalu sering mendatangi istri orang." "Kau masih anggap dia istri setelah apa yang kau lakukan?" Zaki merubah raut wajahnya, ia khawatir jika Denan mengatakan yang tidak-tidak. Meskipun ia tak tahu, apakah Denan tahu perselingkuhan dirinya atau tidak, tapi Zaki mengerti ke mana arah pembicaraan pria itu. Pasti tak jauh-jauh dari keburukannya, pikir Zaki. Pak Burhan masih di tempat dengan terdiam, melemparkan lirikan pada kedua anaknya secara bergantian. Pria yang mementingkan reputasi di atas segalanya itu mengetahui bahwa mereka berteman baik, tapi beliau sekarang bingung dan tak tahu kenapa mereka seakan melempar tatapan kebencian. Tidak mungkin, kan kalau Zaki mengetahui rahasianya? Kalau memang Zaki tahu, pasti ia ta
Hari itu adalah hari yang terburuk bagi Flara. Di saat sang Ayah harus di makamkan entah sudah ke berapa kalinya, sang Ibu juga tak sadarkan diri di saat bersamaan. Di saat dirinya harus bedrest, ia harus memaksa dirinya untuk merawat sang Ibu yang tiba-tiba juga jatuh sakit setelah beberapa saat sang ayah dimasukkan ke dalam liang lahat. "Fla, biar Ibu carikan suster saja, ya. Kamu harus banyak istirahat, kamu sedang mengandung cucu Ibu. Harusnya kamu sedang bedrest, nggak baik kalau kamu memaksakan kehendak dengan ingin mengurus semuanya sendiri," ujar Bu Lusi yang selaku menjadi Ibu mertua Flara. "Boleh, Bu, kalau Ibu nggak keberatan. Saya juga nggak mau kalau terjadi apa-apa dengan calon bayi saya.""Baik, akan Ibu carikan. Biar nanti sore ke sini, ya. Ibu sama Ayah pulang dulu. Jangan terlalu dipikirkan, semua akan baik-baik saja seiring berjalannya waktu." Bu Lusi mengelus pipi Flara lembut, sangat keibuan dan baik. Selalu lembut dan halus dalam tutur katanya, mungkin jika ora