Brak! Dengan keras Denan menggebrak meja. Telapak tangannya terasa panas seketika. Tatapan yang tadinya santai dan dengan cepat berubah menjadi penuh amarah. "Lebih baik kau pergi dari sini! Aku juga tidak ingin ke mana pun, aku dan Ibu akan tetap di sini. Istrimu tahu aku dan Ibu masih hidup? Biarkan saja, aku ingin tahu apa yang akan dia lakukan," tantang Denan. "Jangan gegabah, Den. Ayah sayang kamu dan Ibu. Ayah ingin kalian tetap hidup, Ayah ingin kalian tetap di sini. Tapi sebuah keegoisan jika Ayah membiarkan kalian di sini sedangkan keselamatan kalian sedang di pertaruhkan." Pak Burhan masih bersikeras untuk membuat Denan pergi dari negara ini. Apa yang dikatakan Pak Burhan tak sepenuhnya bohong. Bagian manakah yang jujur? Bagian saat beliau mengatakan bahwa beliau sayang dengan Denan dan ibunya. Hanya saja cara menunjukkan kasih sayang Pak Burhan salah, bahkan salah besar. "Sayang?" Denan memiringkan salah satu sudut bibirnya. Pertanda bahwa ia sedang meremehkan pria itu
"Mampus! Ayah sama Ibu mau ke sini. Nginep lagi. Aduh, bagaimana ini? Tenang Flara tenang. Lebih baik telepon Zaki dulu, pasti dia belum jauh."Flara mondar-mandir dari sisi kiri ke sisi kanan, begitu terus selama ponselnya berada di telinga. Dengan cemas dan panik yang bercampur menjadi satu ia terus menghubungi suaminya. Sesekali ia memijit kepalanya pelan. "Menyebalkan! Zaki sama sekali nggak angkat telepon aku. Baiklah sekarang yang aku lakukan adalah harus memindahkan semua pakaian dan barang-barang aku ke kamar Zaki."Dengan gerakan cepat, ia membereskan seluruh barang yang ia punya ke kamar Zaki. Diawali dengan pakaiannya, ia masukkan ke dalam koper lalu ia seret ke lantai atas. Emosi Flara sedikit meluap ketika sampai di kamar Zaki, pintunya ternyata di kunci oleh Zaki. Menendang pintu itu dengan pelan adalah reaksi pertama yang ia tunjukkan. Semakin bingung, ia lagi-lagi mondar-mandir, masih di lantai dua ia berkacak pinggang dan menggigit kecil ujung kukunya. Berpikir ker
"Flara," Pekik Denan terkejut. "Tumben, ada apa? Apa ada masalah? Kamu sendirian?" Denan bertanya seraya menatap pintu utama. Barangkali Flara datang dengan seseorang. Mengingat ini sudah sedikit malam. "Nggak, sendirian aja. Memang mau sama siapa?""Zaki nggak marah kamu keluar malam?" tanya Denan pura-pura tak tahu. "Dia lagi nggak di rumah. Bagaimana keadaan Bu Salma?""Baik, bahkan Ibu sudah mau duduk dan keluar rumah. Perkembangan yang aku tunggu-tunggu dari dulu." Denan melengkungkan bibirnya karena bahagia menceritakan ibunya yang sudah berkembang. Meskipun Denan sangat penasaran hal apa yang membuat Flara ke sini, ia berusaha dengan keras untuk tak bertanya. Biarkan saja ia yang akan mengatakannya nanti, begitu pikir Denan. Denan mengamati wajah Flara. Meneliti setiap inci kulit putih mulusnya, tak ada guratan kesedihan di sana. Ah, mungkin saja Zaki tak terang-terangan akan orang Bali sama Rania, pikir Denan. "Bu Salma udah tidur?" "Belum, baru makan malam barusan. Mau
Flara dan Bu Salma sama-sama saling menatap pintu. Rasa terkejut tak bisa mereka sembunyikan dari wajah Denan. Apa Denan mendengar semuanya? Mudah-mudahan saja tidak, begitu pikir keduanya terutama Flara. "Ditanya diam saja, apa yang mau di ambil?" Denan berjalan dan duduk di tepian ranjang. Memandang bergantian dua wanita yang ada di hadapannya. "Bukan apa-apa, Den. urusan perempuan. Masa kamu mau tahu?" Bu Salma yang menjawab. Denan menggangguk meskipun ada keraguan di wajahnya. "Kamu tadi ke sini naik apa, sih Fla?""Taksi online, kenapa?""Ya sudah nanti pulangnya aku antar. Masih lama ngobrolnya? udah malem, loh. Bukan ngusir tapi, kan kamu lagi hamil harus banyak istirahat. Nggak boleh capek-capek."Flara menyesalkan satu hal, kenapa bukan suaminya yang memberikan perhatian kecil itu. Perhatian yang seharusnya ia dapat dari suaminya malah ia dapatkan dari pria yang merusak rumah tangganya. Sifat Denan akhir-akhir ini membuat Flara menjadi bingung. Jika dulu Denan penuh denga
Semakin lama hujan yang mengguyur bukannya mereda justru semakin deras. Denan masih berada di rumah Flara saat petir mulai menyambar, ia ingat betul Flara takut dengan suara keras yang berasal dari langit Itu. Wajah takut berusaha disembunyikan oleh Flara. namun, Denan masih bisa melihat guratan takut dari wajahnya itu meskipun wanita itu berusaha untuk tidak menampakkannya. Denan bingung, ia ingin segera pulang karena ibunya sendirian di rumah, tapi ia juga tidak tega meninggalkan Flara sendiri di rumah sebesar ini. "Kamu nggak cari asisten rumah tangga, sih, Fla?" "Ya sebenarnya ini mau nyari, tapi bingung mau nyari di mana. Kamu, kan tahu aku gampang nggak percaya sama orang baru.""Aku cariin aja, ya nanti. Kalau suami kamu tanya, ya bilang aja kamu yang nyari. Kalau situasi kayak gini, kan nggak baik kalau kamu sendirian di rumah. Apalagi kamu juga hamil kalau ntar ada kenapa-napa gimana? Kamu juga nggak mungkin ngerawat rumah sebesar ini sendirian kamu, tuh harusnya banyak i
Zaki masih diam tak bersuara, jangankan untuk bersuara, untuk menelan ludahnya sendiri saja ia begitu kesulitan. Netranya masih sibuk menatap pria yang berstatus menjadi Ayah menantunya. Pria yang biasa bersikap sabar terhadapnya kini berubah menjadi garang dan terlihat begitu marah. Sorot matanya memancarkan amarah yang memuncak. "Siapa dia?" Pak Adhi menanyakan status Rania tapi matanya tidak lepas dari wajah Zaki. "Dia... Dia teman aku, Yah. Ya, hanya teman. Kebetulan kita nggak sengaja ketemu di sini tadi." Zaki menjawab dengan gelagapan dan sedikit terbata. "Teman suap-suapan?" tanya Pak Adhi santai namun penuh intimidasi. Hening.Pandangan mata Pak Adhi beralihpada Rania yang berdiri dengan ekspresi bingung. Menatapnya dari atas hingga bawah. Sungguh pria itu sangat tidak suka dengan penampilan Rania yang sedikit vulgar."Kamu siapa?" Pak Adhi bertanya dengan galak. "Saya Rania, Om.""Siapanya Zaki?" Rania tak langsung menjawab, ia menatap Zaki seolah meminta sebuah kata y
Masih hening, Zaki tak bisa memikirkan apapun, apalagi mengeluarkan sebuah kata-kata untuk menjadi jawaban. "Baiklah kalau kamu tidak bisa menjelaskan. Biar Ayah yang memulai semuanya. Sebelumnya Ayah mau tanya dulu sama kamu, Flara. Kenapa kamu bohong sama ayah dan ibu?""Bohong soal apa, Ayah?""Liburan yang tidak pernah ada. Cerita kamu yang kemarin itu hanya karangan saja, kan?"Flara seketika menelan ludahnya kasar. Ia benar-benar tidak tahu apa yang terjadi saat ini. Berada di ambang kebingungan membuat Flara bingung hendak menjawab apa. "Jawab Flara!" desak Pak Adhi. "Maksud Ayah apa? Aku nggak bohong, Yah.""Flara, kalau ada pertanyaan seperti ini, berarti Ayah tahu apa yang sudah terjadi. Jelaskan kenapa kamu berbohong, kamu berbohong untuk apa? Apa yang sebenarnya kalian sembunyikan? Istrinya berbohong mengatakan liburan dengan suaminya. Sedangkan suaminya ternyata malah mesra-mesraan dengan wanita lain di restoran."Ayah hanya salah paham saja, Yah.""Salah pahamnya di m
Zaki menatap tajam kedua mertuanya lalu "Coba kalian nilai sendiri dari cerita yang akan saya perdengarkan kepada kalian. Siapa yang lebih tidak tahu diri dan siapa yang lebih biadab dari saya. Dan orang tua siapa yang salah dalam mendidik anaknya. Ayah tadi mengatakan bahwa saya berbicara berputar-putar dan bertele-tele, kan? Baiklah saya tidak akan menyembunyikan apapun sekarang. Dugaan Ayah itu memang benar. Ya, saya punya hubungan dengan Rania." Pak Adhi sudah mengepalkan kedua tangannya. "Ayah jangan mengangkat tangan terlebih dahulu," ujar Zaki yang melihat kepalan tangan Ayah mertuanya. "Coba tanyakan kepada putri Anda satu-satunya, apa yang sudah dia lakukan di malam sebelum pernikahan kami. Ayo tanyakan!" Zaki berkata sangat santai seakan tidak ada terjadi hal besar saat ini. Sebenarnya tidak ada niatan di diri Zaki untuk menceritakan apa yang sudah berlalu. Tapi pendiriannya itu berubah ketika Pak Adhi sudah mengolok-olok kedua orang tuanya. Tidak ada anak yang diam s