Denan mendengar ada suara yang sangat ia kenal. Suara seseorang yang menjadi alasannya untuk tetap hidup hingga detik ini. Tapi tunggu! Bagaimana bisa suara itu ada di luar kamar? Bukankah? "Ibu." Denan seketika berlari ke lantai dua. Di mana ibunya duduk di kursi roda dengan perawatnya berada di belakang. "Ini Ibu, kan? Ibu aku seneng banget melihat Ibu yang begini." Ya, selama belasan tahun Bu Salma hanya berbaring saja bukan tanpa alasan. Beliau masih bisa duduk, tapi lebih memilih untuk tetap di kamar tanpa tahu dunia luar. Beliau ingat betul, waktu itu suaminya mengatakan agar tak ada satupun orang yang tahu bahwa dirinya masih hidup, atau kejadian yang lalu akan terulang kembali. Kejadian di mana seseorang berniat melenyapkan keduanya. Karena beliau ingin tetap hidup untuk Denan, akhirnya beliau merelakan tubuhnya hanya berbaring di atas tempat tidur. "Jangan bicara seperti itu pada Ayah, Nak. Nggak boleh berteriak di depan orang yang lebih tua. Berangkat kerja sana sekarang,
Pak Burhan sedikit gelagapan melihat anaknya yang berdiri di ambang pintu. Beliau berharap anaknya itu tak mendengar apapun yang terucap dari mulutnya. "Ayah ngomong apaan barusan? Siapa yang nggak paham-paham?" Zaki bertanya sembari memajukan langkah mendekati meja ayahnya. 'Syukurlah dia nggak dengar,' batin Pak Burhan merasa lega. "Ini anak buah Ayah. Teman Ayah ada yang minta bantuan untuk cari orang. Dari tadi di jelasin nggak paham-paham. Entahlah, mungkin meraka lelah. Ada apa? Kenapa tanganmu?" Pak Burhan sedikit terkejut saat melihat tangan anaknya. "Kesiram air panas. Biasa aku sok-sok an pergi ke dapur sendiri, niatnya mau buat teh. Aku nggak tega kalau harus nyuruh-nyuruh Flara, badannya jadi lemas karena sering mual." Zaki duduk di kursi sebrang ayahnya. "Harusnya jangan ke kantor dulu, kasihan kalau istrimu sendiri di rumah.""Ya, ini nanti aku pulang cepat, kok Yah. Makanya aku ke sini mau ngasih ini, aku mau pulang. Kepikiran sama Flara terus." Zaki menyodorkan sa
Brak! Dengan keras Denan menggebrak meja. Telapak tangannya terasa panas seketika. Tatapan yang tadinya santai dan dengan cepat berubah menjadi penuh amarah. "Lebih baik kau pergi dari sini! Aku juga tidak ingin ke mana pun, aku dan Ibu akan tetap di sini. Istrimu tahu aku dan Ibu masih hidup? Biarkan saja, aku ingin tahu apa yang akan dia lakukan," tantang Denan. "Jangan gegabah, Den. Ayah sayang kamu dan Ibu. Ayah ingin kalian tetap hidup, Ayah ingin kalian tetap di sini. Tapi sebuah keegoisan jika Ayah membiarkan kalian di sini sedangkan keselamatan kalian sedang di pertaruhkan." Pak Burhan masih bersikeras untuk membuat Denan pergi dari negara ini. Apa yang dikatakan Pak Burhan tak sepenuhnya bohong. Bagian manakah yang jujur? Bagian saat beliau mengatakan bahwa beliau sayang dengan Denan dan ibunya. Hanya saja cara menunjukkan kasih sayang Pak Burhan salah, bahkan salah besar. "Sayang?" Denan memiringkan salah satu sudut bibirnya. Pertanda bahwa ia sedang meremehkan pria itu
"Mampus! Ayah sama Ibu mau ke sini. Nginep lagi. Aduh, bagaimana ini? Tenang Flara tenang. Lebih baik telepon Zaki dulu, pasti dia belum jauh."Flara mondar-mandir dari sisi kiri ke sisi kanan, begitu terus selama ponselnya berada di telinga. Dengan cemas dan panik yang bercampur menjadi satu ia terus menghubungi suaminya. Sesekali ia memijit kepalanya pelan. "Menyebalkan! Zaki sama sekali nggak angkat telepon aku. Baiklah sekarang yang aku lakukan adalah harus memindahkan semua pakaian dan barang-barang aku ke kamar Zaki."Dengan gerakan cepat, ia membereskan seluruh barang yang ia punya ke kamar Zaki. Diawali dengan pakaiannya, ia masukkan ke dalam koper lalu ia seret ke lantai atas. Emosi Flara sedikit meluap ketika sampai di kamar Zaki, pintunya ternyata di kunci oleh Zaki. Menendang pintu itu dengan pelan adalah reaksi pertama yang ia tunjukkan. Semakin bingung, ia lagi-lagi mondar-mandir, masih di lantai dua ia berkacak pinggang dan menggigit kecil ujung kukunya. Berpikir ker
"Flara," Pekik Denan terkejut. "Tumben, ada apa? Apa ada masalah? Kamu sendirian?" Denan bertanya seraya menatap pintu utama. Barangkali Flara datang dengan seseorang. Mengingat ini sudah sedikit malam. "Nggak, sendirian aja. Memang mau sama siapa?""Zaki nggak marah kamu keluar malam?" tanya Denan pura-pura tak tahu. "Dia lagi nggak di rumah. Bagaimana keadaan Bu Salma?""Baik, bahkan Ibu sudah mau duduk dan keluar rumah. Perkembangan yang aku tunggu-tunggu dari dulu." Denan melengkungkan bibirnya karena bahagia menceritakan ibunya yang sudah berkembang. Meskipun Denan sangat penasaran hal apa yang membuat Flara ke sini, ia berusaha dengan keras untuk tak bertanya. Biarkan saja ia yang akan mengatakannya nanti, begitu pikir Denan. Denan mengamati wajah Flara. Meneliti setiap inci kulit putih mulusnya, tak ada guratan kesedihan di sana. Ah, mungkin saja Zaki tak terang-terangan akan orang Bali sama Rania, pikir Denan. "Bu Salma udah tidur?" "Belum, baru makan malam barusan. Mau
Flara dan Bu Salma sama-sama saling menatap pintu. Rasa terkejut tak bisa mereka sembunyikan dari wajah Denan. Apa Denan mendengar semuanya? Mudah-mudahan saja tidak, begitu pikir keduanya terutama Flara. "Ditanya diam saja, apa yang mau di ambil?" Denan berjalan dan duduk di tepian ranjang. Memandang bergantian dua wanita yang ada di hadapannya. "Bukan apa-apa, Den. urusan perempuan. Masa kamu mau tahu?" Bu Salma yang menjawab. Denan menggangguk meskipun ada keraguan di wajahnya. "Kamu tadi ke sini naik apa, sih Fla?""Taksi online, kenapa?""Ya sudah nanti pulangnya aku antar. Masih lama ngobrolnya? udah malem, loh. Bukan ngusir tapi, kan kamu lagi hamil harus banyak istirahat. Nggak boleh capek-capek."Flara menyesalkan satu hal, kenapa bukan suaminya yang memberikan perhatian kecil itu. Perhatian yang seharusnya ia dapat dari suaminya malah ia dapatkan dari pria yang merusak rumah tangganya. Sifat Denan akhir-akhir ini membuat Flara menjadi bingung. Jika dulu Denan penuh denga
Semakin lama hujan yang mengguyur bukannya mereda justru semakin deras. Denan masih berada di rumah Flara saat petir mulai menyambar, ia ingat betul Flara takut dengan suara keras yang berasal dari langit Itu. Wajah takut berusaha disembunyikan oleh Flara. namun, Denan masih bisa melihat guratan takut dari wajahnya itu meskipun wanita itu berusaha untuk tidak menampakkannya. Denan bingung, ia ingin segera pulang karena ibunya sendirian di rumah, tapi ia juga tidak tega meninggalkan Flara sendiri di rumah sebesar ini. "Kamu nggak cari asisten rumah tangga, sih, Fla?" "Ya sebenarnya ini mau nyari, tapi bingung mau nyari di mana. Kamu, kan tahu aku gampang nggak percaya sama orang baru.""Aku cariin aja, ya nanti. Kalau suami kamu tanya, ya bilang aja kamu yang nyari. Kalau situasi kayak gini, kan nggak baik kalau kamu sendirian di rumah. Apalagi kamu juga hamil kalau ntar ada kenapa-napa gimana? Kamu juga nggak mungkin ngerawat rumah sebesar ini sendirian kamu, tuh harusnya banyak i
Zaki masih diam tak bersuara, jangankan untuk bersuara, untuk menelan ludahnya sendiri saja ia begitu kesulitan. Netranya masih sibuk menatap pria yang berstatus menjadi Ayah menantunya. Pria yang biasa bersikap sabar terhadapnya kini berubah menjadi garang dan terlihat begitu marah. Sorot matanya memancarkan amarah yang memuncak. "Siapa dia?" Pak Adhi menanyakan status Rania tapi matanya tidak lepas dari wajah Zaki. "Dia... Dia teman aku, Yah. Ya, hanya teman. Kebetulan kita nggak sengaja ketemu di sini tadi." Zaki menjawab dengan gelagapan dan sedikit terbata. "Teman suap-suapan?" tanya Pak Adhi santai namun penuh intimidasi. Hening.Pandangan mata Pak Adhi beralihpada Rania yang berdiri dengan ekspresi bingung. Menatapnya dari atas hingga bawah. Sungguh pria itu sangat tidak suka dengan penampilan Rania yang sedikit vulgar."Kamu siapa?" Pak Adhi bertanya dengan galak. "Saya Rania, Om.""Siapanya Zaki?" Rania tak langsung menjawab, ia menatap Zaki seolah meminta sebuah kata y
Mendengar teriakan Zaki refleks Denan berlari ke arah kamar mandi, ia meninggalkan ibunya yang juga sama terkejutnya. Namun beliau tak bisa melakukan apa-apa selain menunggu kedua anaknya, karena jangankan ikut mereka melihat apa yang terjadi, membawa kursi rodanya untuk maju saja beliau tak bisa melakukannya."Ada apa, Ki?" Mata Denan teralihkan pada sang Ayah yang sudah tergelak di lantai. "Kenapa diam saja? Siapkan mobil kita bawa ke rumah sakit biar aku yang bawa." Denan masuk ke kamar mandi dan mengangkat tubuh kurus Pak Burhan.Tak pernah ia sangka atau bahkan terbesit di kepalanya jika ia akan menggotong tubuh Pak Burhan dengan rasa khawatir yang seperti sekarang ini."Astaga, apa yang terjadi dengan ayahmu?"Denan tak sempat menjawab, ia harus cepat membawa ayahnya ke mobil untuk ia bawa ke rumah sakit."Aku bawa Ibu bentar." Denan kembali berlari ke dalam rumah setelah meletakkan ayahnya ke kursi penumpang bagian depan.Zaki memberanikan diri untuk mengecek nadi ayahnya. Sung
"Haruskah aku berdamai denganmu? Aku merasa ibuku bahagia saat mengajakku ke sini. Senyum yang puluhan tahun hilang akhirnya sering aku lihat belakangan ini. Ibu juga nggak pernah marah-marah ke aku hanya karena aku memaksakan diri untuk berbuat baik ke kalian. Mungkin saatnya aku membuka lembaran baru.""Dengan cara?""Mengubah Denan yang dulu. Yah, meskipun jujur saja aku berat melakukannya, aku akan lakukan demi Ibu. Hanya itu yang dia minta ke aku.""Kau masih berat memberi maaf pada Ayah?"Denan mengangguk. "Banyak hal menyakitkan yang aku lalui, aku berjuang sendirian untuk buat aku sembuh, aku punya orang tua lengkap, tapi rasanya tidak punya orang tua. Apa yang dilakukan Pak Burhan seakan membuat lukaku abadi. Tapi mau bagaimana lagi? Ibuku menuntutku untuk berlapang dada memberikan maaf, jadi meskipun lukaku akan menganga selamanya aku akan berusaha untuk lupa.""Lalu bagaimana denganku?""Sebenarnya aku masih sakit karena kau menikahi Flara, tapi, ya sudahlah lupakan saja. K
"Iya, aku ini memang mengharapkan maaf Denan, tapi jika memang kesalahan dan dosa aku terlalu besar baginya. Aku tidak akan mengharapkan itu lagi, yang penting Denan mau ketemu aku, itu sudah cukup." Pak Burhan menatap dalam anak keduanya itu. "Denan, tidak apa-apa kamu tidak menganggap Ayah adalah ayahmu, tapi setidaknya biarkan Ayah menjadi teman. Atau perlakukan Ayah seperti orang asing. Setidaknya, kamu pasti memanusiakan orang asing."Saking putus asanya Pak Burhan, beliau sampai rela dianggap orang asing agar Denan bisa bicara dengan ramah padanya. "Anak didikan Ibu pasti baik dan tidak akan membiarkan orang tuanya memohon secara terus menerus." Bu Salma mengatakan itu dengan penuh penekan sama tatapan yang menusuk. Denan sampai sedikit gugup melihat tatapan ibunya yang lain dari biasanya. Sepertinya Bu Salma benar-benar sudah tidak bisa memberikan toleransi pada sang anak. Akhirnya Denan memaksakan diri untuk berperilaku dan bersikap baik pada ayahnya. Dan keterpaksaan itu
"Kalau kamu nggak dianggap anak, kamu nggak akan bisa ketemu sama Ayah sekarang, kamu sudah di buang dan nggak akan tahu, kenal, apalagi ketemu sama Ayah. Nyatanya sekarang kamu masih bisa hidup sehat dan bebas ketemu sama ayah. Diakui, dianggap itu bukan hanya perkara kamu diperkenalkan sama publik atas semua orang, Den. Dengan membetikan kehidupan yang layak juga termasuk diakui." Zaki nampak lebih dewasa setelah setelah Roda Kehidupan membuatnya jungkir balik. "Nggk usah banyak komentar, nggak usah ngajarin aku kalau kau tidak pernah jadi aku.""Aku memang tidak pernah menjadi kamu. Tapi aku sekarang merasakan hal yang sama sakitnya seperti kamu meskipun dalam versi yang berbeda. Ayolah Denan, kita ini sama-sama saling tersakiti karena seseorang. Tapi tidak perlu kita bawa rasa sakit itu sampai ke masa depan, karena itu akan menggerogoti kebaikan dan hati kita sendiri.""Ibu bangga sama kamu, Zaki. kamu bisa berpikiran sepositif itu dengan kondisi kamu yang sekarang. Ibu bangga sa
"Kamu berskiap begini bisa membuat Ibu sehat memang?""Ya nggak juga, orang kayak gitu nggak pantas dimaafkan, Ibu. Kesalahannya udah berkerak.""Denan, Ibu kasih tahu, ya. Kamu udah terlalu lama tenggelam, Nak. Ayo kita buka lembaran baru sama Ibu. Kita damai dengan masa lalu. Ibu benar-benar akan merasa tenag dan damai kalau kamu mau dengerin kata Ibu. Pelan-pelan, Nak. Yang jadi korban nggak hanya kamu, Zaki juga. Setidaknya kamu damai sama adik kamu, Nak. Kalian saudara, kalau Ibu sama Ayah udah nggak ada, kalian harusnya saling jaga. Tidak bermusuhan seperti ini. Kamu hanya punya Zaki, begitu pula sebaliknya. Zaki malah hancur karirnya, kamu pun tahu. Sekarang dia jadi kerja apa adanya, kan? Dia jadi t8oang punggung untuk ayahnya yang sering sakit. Sedangkan kamu, kamu masih bisa bekerja dengan baik, tenang, kamu nggak perlu besok mikir mau makan apa, tidur nyenyak atau tidak, nggak pernah kesusahan. Kesusahan kita sudah berakhir di masa lalu. Sekarang mereka menerima karma dari
"Salma, kamu datang?" tanya Pak Burhan seakan tak percaya dengan apa yang beliau lihat. Zaki mendorong kursi roda Bu Salma agar lebih dekat dengan ayahnya. "Aku tinggal dulu, ya. Ada urusan sebentar." Zaki sengaja memberikan waktu pada mereka untuk bicara dari hati ke hati. Biar bagaimanapun status mereka masih suami istri meski tidak diakui negara."Bagaimana kabarmu?" Pak Burhan yang bertanya. "Alhamdulillah, baik. Aku dengar kamu sering sakit. Apa ada yang kamu pikirkan?""Tentu saja ada, banyak malah. Sejak kehidupan aku berantakan aku terpikir bahwa ini adalah hasil dari apa yang aku perbuat selama ini. Mumpung diberi kesempatan, aku ingin meminta maaf padamu dan Denan. Ngomong-ngomong ke mana dia? Tidak ikut denganmu? Dia belum mau menemui aku?""Kamu tahu sendir, kan Denan seperti apa anaknya? Dia yang keras kepala. Mana mungkin bisa memaafkan seseorang dengan begitu mudahnya. Kalau dia bisa memaafkan orang dengan mudah, hal yang terjadi akhir-akhir ini tidak akan pernah te
"Denan, kalau kamu tidak mau melakukannya demi Ayah, setidaknya lakukan ini demi Ibu. Penyesalan akan selalu datang terlambat, Ibu mohon sekali aja kamu temui Ayah. Kasih tahu kalau kamu maafin dia, setelah itu kamu boleh nggak ketemu sama dia lagi. Ibu janji nggak akan minta kamu untuk ketemu sama dia lagi setelah ini.""Kalau mau ke sana aku antar, tapi aku nggak mau nemuin." Denan lalu kembali keluar rumah. Padahal baru saja ia sampai di rumah setelah dari rumah Flara, namun hatinya yang suntuk membuatnya kembali keluar. Bu Salma menghela nafas panjang. Sudah menjadi kebiasaan Denan jika ia suntuk dengan keadaan, ia pasti akan keluar rumah melampiaskannya entah pergi ke mana. Selama ini Bu Salma tidak pernah tahu. "Itulah yang tidak Ibu sukai dari anak Ibu. Kalau keadaan nggak cocok sama hatinya ya itu, langsung pergi. Nanti pulang tengah malam, nggak tahu pergi ke mana. Tapi kamu nggak usah khawatir, Ibu secepatnya akan ke sana. Kalau Denan nggak mau, Ibu dulu yang akan ke sana.
Zaki menghabiskan waktu dengan Brianna selama satu jam lamanya. Karena mengingat bahwa ia keluar rumah bukan hanya untuk menemui anaknya. Ia juga harus menemui Bu Salma dan Denan untuk bertemu dengan ayahnya yang sedang lemah tak berdaya berada di rumah sakit. Hati dan hidup Zaki sebenarnya sudah hancur, ia sudah tidak tahu tujuannya untuk hidup itu sendiri apa, untuk siapa. Zaki benar-benar berada di posisi yang ia sendiri tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya dengan kata-kata. Namun Zaki berusaha untuk kuat, tegar, dan menampakkan wajah yang seakan hidupnya tidak ada beban. Ia harus tetap memakai topeng ketika berada di luar rumah. Ia tidak mau menunjukkan pada dunia bahwa ia sebenarnya sudah menjadi kepingan. Biarkan dirinya sendiri saja yang tahu betapa hancurnya seluruh kehidupan dan hatinya. Berangkat dari rumah Flara menuju rumah Bu Salma hanya memakan waktu sekitar lima belas menit saja. Zaki dengan mantap berjalan menuju rumah minimalis berlantai dua. Pintu terbuka beg
"Jadi yang selama ini yang aku lakukan tidak berarti untukmu?" "Aku nggak bilang begitu, Denan. Justru karena pengorbanan dan apa yang sudah kamu lakukan itu sangat berarti untukku. Itu sebabnya aku menjadikan kamu sebagai sahabatku. Aku ingin kita ini bisa bersama tanpa harus terikat dengan hubungan suami istri. Kalau kita bisa dekat dengan cara seperti itu, kenapa kita harus menikah? Sungguh, akan sama tidak baik untuk ke depannya kalau aku memilih kamu menjadi suamiku atau mempertahankan Zaki sebagai suamiku. Yang pertama kalian berdua pernah singgah di hidupku dan menyakitiku, meskipun kalian berdua sama-sama berubah dan berusaha untuk menjadi lebih baik, bukan berarti aku harus menerima kalian menjadi pasangan hidup, kan? Dan alasan ke dua. Aku nggak mau membuat hubungan kalian akan semakin berantakan. Okelah nggak apa-apa lah kalau kamu nggak mau damai sama Zaki. itu urusan kalian, tapi aku tidak mau kalau aku milih di antara kalian dan justru kalian akan semakin mengibarkan b