Langkah kakiku baru sampai di ruang tamu, tapi Tante Ema sudah kembali memanggilku. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini nada bicara Tante Ema dibuat lembut dan pelan. Sepertinya tanteku itu khawatir jika Aldo sampai mendengar karena posisi ruang tamu dan teras depan tidaklah terlalu jauh.
“Suguhkan ini untuk Aldo. Ingat, kalau kau memang menolak, beri kesempatan Aldo dan Vanya untuk lebih dekat,” pesan Tante Ema sembari menampilkan senyuman.
Senyum pembelaan untuk Vanya, begitulah aku menilainya. Aku tidak membantah, tapi juga tidak mengiyakan pesan Tante Ema. Sikapku sengaja aku buat datar. Berharap Tante Ema akan sadar bahwa sebenarnya aku enggan.
Lagkah kakiku kembali terayun menuju teras depan rumah sambil membawa setoples kue mawar dan segelas air mineral lengkap dengan sedotannya.
Seperti sebelum-sebelumnya, Aldo selalu menampilkan senyum ramah ketika menyambutku. Sayangnya, aku telah tahu bahwa senyuman itu palsu.
“Halo, Mika. Selamat malam,” sapa Aldo sembari menerima setoples kue mawar yang aku sodorkan.
“Selamat malam. Duduklah dan silakan dimakan kue mawarnya! Itu, sekalian minumnya habiskan biar tidak tersedak saat makan,” ujarku panjang lebar tanpa sungkan.
Sejak awal bertemu, yakni dua pekan lalu, aku sudah terbiasa berbicara panjang lebar kepada Aldo. Apa lagi tujuannya kalau bukan untuk mengakrabkan diri dengan lelaki yang menurut Tante Ema tertarik padaku.
Ya, aku mengenal Aldo dari Tante Ema sekitar sebulan lalu, terpaut beberapa hari sebelum pertengkaran hebat dengan adikku. Namun, aku baru mau bertemu dengan Aldo dua pekan lalu. Pertemuannya pun terbatas hanya di toko bunga yang aku kelola. Selebihnya, kami tidak pernah jalan-jalan keluar, makan bersama, apa lagi sampai kencan.
Ketika masa perkenalan yang semula aku anggap sungguhan, aku merasa nyaman karena Aldo tidak pernah menuntutku untuk ini dan itu. Topik bahasan yang kami pilih di setiap pertemuan juga lebih sering membahas tentang hobi.
Hanya sebatas itu sampai akhirnya Aldo mulai banyak bertanya tentang Vanya. Sejak saat itu rasa nyamanku berkurang. Aku menyimpulkan bahwa Aldo tidak pernah tertarik padaku. Dia mendekatiku hanya untuk mencari tahu segala hal tentang Vanya, adikku.
“Mika, kamu cantik sekali malam ini,” puji Aldo tiba-tiba usai menghabiskan sebutir kue mawar yang aku suguhkan.
“Terima kasih atas pujiannya. Tapi, benarkah aku cantik?” tanyaku dengan sengaja untuk memancing kalimat selanjutnya.
“Ya. Kamu cantik, Mika. Aura cantikmu terpancar natural meski ….”
“Meski tanpa lipstik?” sahutku dengan segera, memotong ucapan Aldo begitu saja.
Tampak Aldo menggelengkan kepala, lantas menampilkan senyuman ramah.
“Mika, bukan itu yang mau aku katakan.”
“Lalu, apa?”
“Aura cantikmu terpancar natural meski kamu tidak suka dandan,” imbuh Aldo dengan ringan kata dan ekspresi yang tetap ramah.
Omong kosong. Jujur saja, dadaku bergemuruh ketika mendengar ucapan Aldo. Perihal dandan yang semula menjadi perdebatan bersama Tante Ema dan Vanya di meja makan, kini kembali dibahas oleh Aldo. Wajar bila aku merasa sesak di dada karena sebal berkelanjutan.
“Mika, kamu kenapa? Apa ada ucapanku yang salah?” tanya Aldo yang pastinya sudah menangkap perubahan mimik wajahku.
“Ucapanmu tidak salah, Aldo. Aku memang jarang dandan, apa lagi memakai lipstik.”
Aku memilih membenarkan agar tidak terkesan terlalu menyudutkan. Lagi pula memang benar, aku jarang sekali dandan. Jadi, tidak ada yang salah dengan ucapan Aldo. Momennya saja yang kurang pas, sehingga hatiku memanas.
“Oh, ya. Aku punya hadiah untukmu. Semoga kamu suka,” ungkap Aldo tiba-tiba yang seketika itu mengubah topik bicara.
Aldo menyodorkan paper bag berukuran kecil. Entah apa isi di dalamnya. Aku berharap bukan sesuatu yang bisa membuatku kembali dipenuhi amarah.
Aku ambil hadiahku, tapi tidak langsung melihat isi paper bag-nya. Satu hal yang kini begitu membuatku penasaran dan ingin segera mendapat jawaban. Yakni, tentang alamat palsu dan fakta tentang Aldo yang ternyata tidak tersesat jalan.
“Aldo, aku lupa bertanya padamu. Apa kamu kesulitan menemukan rumahku?” tanyaku sambil menggenggam erat ujung paper bag yang berisi hadiah dari Aldo.
“Awalnya iya. Untungnya Tante Ema segera mengirimiku pesan.”
“Pesan apa?” tanyaku yang sudah semakin penasaran. Aku khawatir Tante Ema menjelaskan yang macam-macam.
“Tante Ema bilang, kamu salah kirim pesan. Lalu, aku dikirimi alamat yang benar. Beruntungnya lagi, tempatku tersesat tidak jauh dari rumahmu ini.”
Penjelasan Aldo membuatku sedikit lega. Aku kira Tante Ema juga akan menceritakan perdebatan kecil di ruang makan. Syukurlah karena yang dikirimkan hanya pesan alamat yang benar.
“Aku … minta maaf tentang alamat yang aku kirimkan padamu,” ucapku tanpa membeberkan alasan yang sebenarnya.
“Tidak masalah. Aku pun kadang sering salah mengirim pesan kalau sedang kebingungan. Pasti kamu gerogi, ya, karena aku akan datang bertamu?”
Entah harus bagaimana aku menyikapi ucapan Aldo. Ingin senang, tapi yang aku rasakan tidaklah demikian. Ingin marah, tapi Aldo belum tahu bahwa aku sudah mengetahui niatan terselubungnya untuk mendekati Vanya.
“Boleh aku intip hadiahku?” tanyaku yang akhirnya memilih untuk mengalihkan topik pembicaraan.
“Silakan. Semoga kamu menyukainya, ya. Aku yakin sekali, begitu kamu memakainya, pasti aura kecantikanmu semakin bertambah.”
Deg!
Baru saja Aldo selesai berucap, dadaku kembali bergemuruh hebat. Seketika rasa kesal dalam diriku bertambah seiring dengan jenis hadiah yang kini sudah tertangkap bola mata.
“Lipstik?” ucapku lirih sembari memegang hadiahku.
“Bagaimana? Kamu suka? Aku yakin sekali kamu akan terlihat berkali-kali lipat lebih cantik kalau memakai lipstik. Seperti adikmu, Vanya.”
Deg!
Kenapa harus dibandingkan lagi dengan Vanya? Iya, dia memang lebih terlihat menarik karena sering tampil cantik dengan lipstik. Tapi, tidakkah lelaki di hadapanku ini tahu perasaanku? Bisakah dia membuatku merasa cantik tanpa menyamakan apa lagi sampai membandingkan diriku dengan adikku?
Aku rasa Aldo tidak akan bisa seperti itu karena yang sedari awal dia incar adalah Vanya, bukan aku. Sedari awal dia hanya tertarik pada Vanya, bukan aku.
“Mika, ada apa denganmu? Kamu terlihat sedang menahan sesuatu?” tanya Aldo ketika mendapati aku menarik nafas dalam lantas menghembuskannya dengan kasar.
“Iya. Aku sedang kesal!” sahutku ketus.
“Kesal kenapa? Apa ada kata-kataku yang menyinggungmu?”
“Iya. Kata-katamu menyinggungku! Hadiahmu ini juga menyinggungku!”
Nada bicaraku meninggi karena tidak lagi bisa menahan emosi.
“Maaf, Mika. Bagaimana bisa hadiah ini menyinggungmu?”
Sebenarnya aku enggan menjelaskan, karena prasangka orang siapa yang tahu. Sejauh ini, begitu aku mencoba memberi penjelasan, seperti pada Tante Ema ataupun Vanya, prasangka yang aku dapatkan justru membuatku semakin tersudutkan.
Oleh mereka, aku diaggap iri dengan adikku sendiri. Sungguh, aku sama sekali tidak iri. Aku hanya sebal karena terus disindir dengan menjadikan lipstik sebagai pembanding.
“Kenapa diam? Coba jelaskan salahku di bagian mana?” tanya Aldo dengan mimik wajah serius.
“Niatmu yang salah. Caramu pun salah, Aldo. Sekarang, jujurlah padaku! Kamu sama sekali tidak tertarik padaku, kan? Vanyalah yang kamu incar, bukan aku. Benar begitu?”
Aku memberondong tanya kepada Aldo. Tak lagi aku pedulikan jika nanti Tante Ema akan memarahiku habis-habisan. Aku harus menyudahi semuanya. Sungguh, aku tidak ingin menjumpai adanya suatu drama dalam hal cinta. Aldo akan segera aku lepas begitu dia mengakui niat terselebungnya. Namun, kenapa Aldo belum juga membuka suara?
Keadaan benar-benar tidak pernah bisa aku duga. Aldo terdiam bukan karena memikirkan jawaban atas pertanyaanku, melainkan karena ada adikku berdiri di ambang pintu. “Kakak ketus benar, sih, sama Kak Aldo!” gerutu Vanya yang sepertinya sudah banyak mendengarkan obrolanku dengan Aldo.“Kamu nguping, ya?” tanyaku blak-blakan.“Iya. Aku memang menguping.”Entah apa yang ada di pikiran Vanya kali ini. Apa iya dia mau balas dendam atas kejadian di bulan lalu? Tapi, mana mungkin? Adikku itu bukanlah tipe pendendam. Dia hanya ketus dan lebih suka blak-blakan menyindirku sejak sebulan lalu. Mungkinkah Tante Ema yang menyuruhnya?Pertanyaan itu terbersit begitu saja di benakku. Aku curiga kepada Tante Ema. Lekas kuedarkan pandangan menuju dalam rumah, tapi tidak kujumpai sosoknya di dalam sana.“Untuk apa kamu menguping pembicaraanku dan Aldo?” tanyaku pada adikku.“Sengaja, buat jaga-jaga seandainya Kak Aldo jadi korban kegalakan Kak Mika.”“Inisiatifmu atau kamu disuruh?” tanyaku lagi, memas
Semalam, aku putuskan untuk tidak terbawa arus perasaan. Buat apa menjadi orang lain, di saat orang lain begitu ingin berada di posisiku? Pikiran itulah yang semalam berhasil membuatku lebih tenang, lantas aku pun tertidur lelap hingga pagi menjelang. Aku adalah seorang pebisnis muda yang bisa dikatakan cukup berhasil mengelola toko bunga yang aku rintis sejak tiga tahun lalu. Saat ini aku memiliki dua orang karyawan serta mitra kerja dari beberapa kota. Perihal fisik, ya, aku cantik. Bukan bermaksud ke-PD-an, tapi memang itulah yang kerap orang katakan. Orang bilang, hanya satu kekuranganku, yakni jarang terlihat dandan khususnya memakai lipstik dalam keseharian. “Kak Mika mau berangkat ke toko bunga pukul berapa?” tanya Vanya dengan senyum ceria. Tanpa aku bertanya pun sudah dapat kutebak jawabannya. Perubahan sikap yang mendadak ramah di pagi ini terjadi lantaran Vanya telah kembali mendapat seorang kekasih. “Seperti biasa. Pukul setengah delapan pagi. Kamu mau mencoba cari p
Tubuhku terpaku, sementara pandangan mataku tetap tertuju pada Tante Ema dan Om Aldi. Ya, pria paruh baya yang masih duduk santai di sofa tunggu itu lebih pantas aku juluki om-om.“Gimana, Al? Apa kalian sudah saling mengenal?” tanya Tante Ema kepada Om Aldi.Kudapati Om Aldi tidak menjawab. Akan tetapi, pandangan matanya tiba-tiba saja tertuju padaku. Secepat kilat, kuubah perhatianku menuju arah lainnya. Aku sungguh tidak ingin melihat kedipan genit seperti sebelumnya. Lantas, ah, sepertinya firasatku memang benar tentang Tante Ema yang akan memperkenalkan Om Aldi padaku.“Mika,” panggil Tante Ema tiba-tiba.Mau tidak mau aku harus membalikkan badan dan melihat ke arah Tante Ema.“Ke mari sebentar!” titah tanteku.Sebenarnya aku enggan, tapi aku tidak ingin membuat kegaduhan. Aku tahu betul watak Tante Ema. Meski sekarang ini aku sudah berani membela diri, tapi adanya perang kata benar-benar harus aku hindari.“Iya, Tante. Ada apa?” tanyaku dengan mimik wajah biasa.“Kenalkan. Ini n
Semua mata tertuju pada sang lelaki berkacamata. Kehadirannya yang tak disangka benar-benar mencipta aksi heroik yang teramat nyata. “Lepaskan tanganku!” seru Tante Ema sembari menghempaskan tangannya dengan kasar hingga terlepas. “Tangan Anda sudah terlepas. Itu artinya dia bebas!” tegas sang lelaki sembari menunjuk ke arahku. Wajah Tante Ema tampak merah padam. Amarahnya membuncah lantaran lelaki berkacamata itu memberiku pembelaan. “Berani-beraninya kau membela dia, ha? Siapa kau?” tanya Tante Ema seraya meninggikan suara, bahkan bola matanya pun melebar dengan disengaja. “Saya hanya orang asing yang kebetulan melihat adegan perundungan,” ungkap sang pria dengan masih menampilkan keberaniannya kepada Tante Ema. “Perundungan katamu? Dia ini keponakanku! Mana mungkin aku tega melakukan hal merugikan seperti itu!” ucap Tante Ema sembari makin meninggikan suara. Ingin rasanya aku menyuarakan protesku atas jawaban Tante Ema. Tidak tega katanya? Lalu, apa yang baru saja hendak Tant
Fakta tentang Putra yang telah memiliki kekasih, membuatku patah hati. Perasaan indah itu aku lambungkan sendiri, lantas aku pun terjatuh seorang diri. Sekuat tenaga aku mencoba tetap berdiri tegak sembari menyembunyikan mimik wajah kecewa. Buket bunga mawar merah yang telah jadi itu terus aku pegang sambil menampilkan senyuman palsu. “Wahai hati, tenanglah!” seruku dalam hati. Tidak butuh waktu lama bagi Putra untuk segera mengakhiri telepon dengan kekasihnya. Hanya lima menit saja. Tapi, waktu lima menit itu bagiku terasa sewindu. Bagaimana tidak terasa sewindu kala hatiku merasakan kekecewaan, pikiranku tak karuan, tapi aku harus tetap terlihat tegar. Lelah nian mengusahakan untuk bertahan di saat setiap kalimat yang aku dengar dari Putra tersemat kata sayang untuk kekasihnya. “Semangat!” ucap Putra tiba-tiba. “Eh?” Aku yang tak paham justru menampilkan mimik wajah heran. Semangat? Semangat untukku atau untuk siapa? Apa iya Putra benar-benar cenayang? Kenapa dia bisa tahu k
Bukan hanya aku yang terheran, Tante Ema pun demikian. Sementara Vanya, adikku itu masih saja menampilkan mimik wajah kecewa. Kedua telapak tangannya juga tampak mengepal sabagai tanda adanya gemuruh rasa kesal. “Vanya, jangan bercanda!” seru Tante Ema yang kalimatnya masih mengandung unsur ramah. Perlakuannya benar-benar berbeda ketika tadi Tante Ema menuduhku. “Aku tidak sedang bercanda! Aku kecewa! Kecewa pada kalian berdua!” sahut Vanya yang samakin lama semakin meninggikan suaranya. “Vanya, Sayang. Tenang dulu, dong! Ceritakan baik-baik apa yang sebenarnya telah terjadi,” ucap Tante Ema yang justru nada bicaranya semakin ramah, seolah memaklumi Vanya. Oh Tuhan, ingin rasanya aku cemburu dengan perlakuan berbeda yang kini terpampang nyata di hadapanku. Kenapa Tante Ema begitu baik pada Vanya? Bahkan, ketika Vanya mengaku berbuat salah pun masih saja dimaklumi olehnya? Lalu, bagaimana dengan aku di sini? Bukankah aku juga keponakannya? Kenapa Tante Ema memberiku perlakuan yang
Sungguh baru kali ini aku melihat Tante Ema membentak Vanya. Terkejut? Sudah pasti iya. Bukan hanya aku saja yang terkejut, Vanya sampai tersentak kaget juga. “T-tante bilang aku bodd*oh?” tanya Vanya dengan setengah terbata. “Iya. Kau tidak salah dengar. Mencintai lelaki itu boleh saja, tapi jangan sampai buta karenanya!” tegas Tante Ema menasihati Vanya dengan nada meninggi yang biasa ditujukan padaku. Aku melihat perubahan ekspresi adikku itu. Agaknya dia belum terbiasa dengan sikap Tante Ema yang demikian. Kalau aku … ah, jangan ditanya lagi. Sekarang aku sudah jadi seberani ini lantaran telah fasih. “Sekarang kau malah diam saja. Sudah paham?” Sekali lagi Tante Ema bertanya dengan nada yang dibuat meninggi. Sungguh, ini baru pertama kalinya bagiku melihat Vanya dibentak-bentak Tante Ema. Adikku itu terlihat tak berdaya, buktinya tadi sampai terbata dan kini diam saja. Lebih tak terduga lagi, satu anggukan juga diberikan olehnya. Syukurlah jika Vanya telah memahami. Hatiku le
Beberapa detik lalu aku biasa saja ketika Erika bilang putus pada Putra. Ya, karena memang aku merasa tidak bersalah dan yang dilihat oleh kekasih Putra hanya salah paham. Kini, aku putuskan untuk mengubah sikap begitu ada yang melayangkan tuduhan secara terang-terangan di hadapanku. Sebal, kesal, dan geregetan, itulah yang kini aku rasakan. Entah sejak kapan emosiku jadi mudah tersulut. Rasanya akhir-akhir ini diriku mudah sekali emosi. Padahal tidak sedang PMS. Apa iya aku sudah lelah bersikap baik? Kalau dipikir-pikir, aku jarang mengalah, bahkan jarang pula memendam rasa tak suka. Seperti saat ini, aku luapkan kekesalanku pada lelaki berkumis tipis yang seenaknya saja menuduhku selingkuh dengan Putra. “Kau, jangan asal tuduh, ya! Jaga mulutmu baik-baik!” tegasku sembari menampilkan mimik wajah galak. “Eh, galak juga ternyata,” ucap lelaki berkumis tipis sembari mulai memasuki area toko sepatu Putra. Aku melupakan sesuatu. Segera aku balikkan tubuh hingga terlihatlah Putra yang
Langkah kaki Putra terayun maju hingga lebih dekat ke arahku. Kini, jarak kami hanya terpaut setengah meter saja. Dari jarak sedekat ini aku bisa melihat indahnya sorot mata Putra yang terbingkai kacamata.“Mika, aku mengenalmu sebagai sosok wanita yang penuh luka di hatimu. Ditambah lagi, aku sudah melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana adik dan tantemu itu memperlakukanmu.”Ada jeda sebentar lantaran bulir air mata yang tak sanggup kutahan. Ya, aku menangis. Gara-gara ucapan Putra yang benar-benar tak terbantahkan. Benar apa yang Putra katakan. Aku penuh luka di hatiku lantaran perasaanku sering tersakiti akibat sikap pilih kasih. Hatiku pun sering terlukai akibat tutur kata dari adikku sendiri. Tante dan adikku, mereka berdua bukanlah orang jauh. Mereka saudara dekat dan begitu aku kasihi. Nyatanya, yang terkasihlah yang lebih sering melukai hatiku ini. “Menangislah dulu jika kamu ingin menangis. Tuntaskan tangismu, Mika. Jika perlu, kamu boleh bersandar di bahuku meski m
“Lipstik? Untuk apa kakak tanya lipstik segala? Mau coba pakai lipstik juga? Percuma, Kak. Kak Mika tidak akan pernah lebih cantik dibandingkan aku dan Tante Ema!”Pahit sekali kata-kata adikku. Tidakkah dia menyadari bahwa kata-katanya itu telah melukaiku? Cantik, lipstik, ah! Aku sungguh tak lagi peduli dengan itu. Yang aku sayangnya kali ini hanya satu, yakni sikap adikku.“Vanya, sebenarnya apa salahku hingga kau jadi sebenci ini?” tanyaku dengan lebih mencoba menurunkan intonasi.“Oh, kakak masih tanya salah kakak di mana? Lipstik, Kak. Kakak salah karena tidak memakai lipstik,” terang Vanya sembari kembali menyedekapkan tangannya.“Omong kosong! Perjelas alasanmu, Vanya! Jangan bawa-bawa lipstik di saat seperti ini!”Yang terakhir itu aku setengah membentak hingga Vanya pun terhenyak. Alhasil, sempat terjadi jeda beberapa detik lamanya yang membuat kami berdua sama-sama membungkam kata.“Katakanlah alasan yang sebenarnya!” desakku.“Baik. Akan kukatakan. Sejujurnya aku masih sak
“Nathan!” panggilku dengan segera mencegah Nathan untuk melangkah lebih jauh.Berhasil. Nathan menghentikan langkahnya, lantas kembali menoleh ke arahku.“Jangan memanggil Putra! Kumohon!” pintaku penuh harap.“Kenapa? Bukankah tadi kamu sangat ingin tahu alasannya?”“Iya, sih. Tapi ….”Aku pun sebenarnya bingung dengan diriku. Di satu sisi sangat ingin tahu, tapi di sisi lainnya lagi enggan bertemu.Agaknya Nathan memahamiku. Dia tersenyum, lantas memintaku untuk tenang.“Tenanglah, Mika! Jika kamu masih belum ingin bertemu dengan Kak Putra, maka aku pun tidak akan memaksa.”Ah, syukurlah! Nathan sungguh pengertian. Kalau begini dia jadi serupa malaikat pembagi kebaikan.“Tapi, bolehkah aku bertanya sesuatu?” tanya Nathan tiba-tiba.“Silakan saja jika ingin bertanya.”Lebih dulu aku mendapati senyum yang mengembang di wajah Nathan. Entah kenapa dua makhluk tampan penghuni ruko sepatu itu hobi sekali mengembangkan senyuman.“Kenapa diam?” tanyaku sekaligus sebagai kode agar Nathan lek
Aku terbangun saat matahari belum muncul. Tidurku begitu nyenyak usai mandi air hangat sebelum tidur. Aku cukup bersyukur, tidur nyenyakku mampu membuatku terlupa sejenak dengan huru-hara kehidupan. Semalam, aku batalkan niatan untuk menghubungi Putra. Kumatikan telponku pula demi mendapat rasa nyaman sepanjang malam. Sempat aku abaikan pula perasaan menyesal yang menggelayut pikiran, hingga di pagi ini pun aku kembali kepikiran. “Putra, maafkan aku. Semalam itu aku seolah tengah mempermainkanmu. Mau jadi pacar pura-pura, tapi justru menolak saat kamu benar-benar menawarkan cinta,” ucapku sembari menatap ke arah langit-langit kamar hotel. Usai mandi, aku bingung mencari pakaian ganti. Semalam itu memang dadakan sekali hingga aku sama sekali tidak memiliki persiapan untuk pergi. Terpaksa aku hidupkan kembali ponselku demi meminta bantuan dari kedua karyawan di toko bungaku. Ya, niat awalku seperti itu. Nyatanya, pesan lain yang masuk ke ponselku justru mengalihkan perhatianku. Ada
Bagiku, Putra adalah sosok lelaki yang berhasil membuatku nyaman dalam waktu singkat. Bahkan, hatiku telah terjerat di awal pertemuan. Mungkin, diriku seolah terlalu cepat menjatuhkan perasaan. Karena, siapa pula yang dapat mendustai gejolak cinta yang hadirnya saja tiada bisa disangka-sangka. Dalam kondisi yang demikian, ketika tawaran cinta itu datang, pastilah akan aku iyakan meski hanya berpura-pura. Tapi, kenapa harus datang ke rumah? Aku sedang bermasalah dengan Vanya dan Tante Ema. “Putra, apa kamu lupa kalau aku sedang bertengkar dengan mereka yang ada di rumah?” tanyaku sembari menatap Putra dengan sendu. Kudapati Putra terdiam sembari menunjukkan perubahan mimik wajah. Dia tampak merasa bersalah hingga menunjukkan tatapan sendu yang serupa denganku. “Maaf, Mika. Aku melupakan yang satu itu.” Senyumku kubuat merekah, lantas kuhembuskan nafas perlahan hingga membuat hatiku sedikit lega. Ada satu keputusan yang berusaha kuubah. “Tak apa jika kamu lupa. Mungkin, tadi kamu
Aku adalah perempuan yang mudah sekali penasaran. Begitu terbersit satu tanda tanya dalam pikiran, segera saja aku utarakan. Apa lagi, aku dan Putra dapat dibilang cukup akrab meski baru mengenal. “Putra, apa semua pujian darimu itu hanya untuk menghiburku?” tanyaku sembari menoleh demi bisa menatap bola mata Putra dengan lebih jelas. Putra memang balas menatapku, tapi tak kudapati mulutnya berucap untuk menjawab pertanyaanku. Lagi-lagi yang dia suguhkan adalah senyum manis yang tak pernah gagal membuat dadaku berdebar-debar. “Kamu … kenapa senyum-senyum begitu, sih?” tanyaku sembari mencebik. “Kamu sendiri kenapa begitu bibirnya?” Putra balik bertanya. “Ya habisnya kamu bukannya menjawab pertanyaanku malah senyum-senyum begitu.” Kudapati Putra tertawa ringan, lantas merogoh saku jaketnya. Bola mataku terus memperhatikan hingga akhirnya aku bisa melihat sebuah benda pipih canggih milik Putra, yakni ponselnya. “Mika, coba kamu foto selfie pakai ponselku,” pinta Putra tiba-tiba.
Bulir bening mengalir deras membasahi pipiku kala motor maticku kembali melaju. Tangisku pecah bukan karena keputusanku meninggalkan rumah. Bulir bening itu tumpah karena baik Vanya maupun Tante Ema sama sekali tidak ada yang mencegah kepergianku dari rumah. “Kenapa mereka begitu tidak menyukaiku? Apa iya hanya gara-gara aku tak sama seperti mereka? Apa iya hanya gara-gara aku tak pakai lipstik seperti yang sering mereka ucapkan padaku? Benarkah hanya gara-gara itu?” tanyaku pada diriku sendiri sembari tetap melajukan motorku. Tentu saja aku tidak mendapat jawaban atas semua yang baru saja aku tanyakan. Memangnya siapa yang akan menjawab? Tante Ema dan Vanya hanya bisa terus melaknat. Kutepikan motorku di area taman kota. Kuusap air mataku lebih dulu sebelum akhirnya aku menyendiri di sebuah bangku taman yang sepi. Tepat di depanku ada air mancur yang indah, tapi keindahannya sama sekali tidak bisa mengobati hatiku yang tengah terluka. “Sebelum ini Tante Ema dan Vanya memang sering
Entah sejak kapan aku jadi nyaman duduk bersama Putra dan Nathan. Entah sejak kapan pula tawaku jadi begitu lepas ketika Nathan membuat candaan. Aku tak tahu pastinya kapan. Namun, malam ini aku jadi enggan untuk pulang. Usai perdebatan dengan Vanya sore tadi, aku urung pulang ke rumah demi menghargai segelas es jeruk. Dua karyawanku telah pamit pulang, sedangkan tulisan di toko bunga telah aku ganti menjadi tutup. Lantas, aku pun mengekor di belakang Putra menuju ruko sepatu miliknya. Ada banyak hal yang kami obrolkan hingga es jeruk di wadahku tak lagi tersisa. Malam juga telah menyapa. “Jadi, roda sepedamu masih tetap empat sampai kau kelas empat?” tanya Putra kepada Nathan. “Iya, Kak. Aku beneran takut jatuh waktu itu,” aku Nathan disusul tawa panjang. Sejauh ini yang kami obrolkan adalah tentang masa kecil. Baik Putra ataupun Nathan sepertinya memang sengaja memilih random topik obrolan yang bisa membuatku tertawa. Buktinya sedari tadi aku tak henti-hentinya tertawa dengan pe
Vanya yang bertanya, tapi justru aku yang malu mendengar pertanyaan adikku itu. Bisa-bisanya dia bertanya status Nathan dan Putra dengan terang-terangan. Jujur, di mataku dia terlihat kecentilan. “Vanya, tunjukkan sopan santunmu! Jaga sikap!” desisku lirih pada adikku. Teguranku itu sengaja aku pelankan agar Nathan dan Putra tidak mendengar. Nyatanya, Vanya justru mengulang kalimat yang aku ucapkan. “Apa? Tunjukkan sopan santunmu? Maksud Kak Mika aku tidak sopan?” tanya Vanya sembari memasang wajah sebal ke arahku. Akan sangat lebih membuat malu bila aku menanggapi adikku itu dengan sikap kekanakan. Alhasil, aku pun hanya tersenyum kikuk sekaligus menyiratkan kode penuh arti melalui kedipan mata. Sayangnya, Vanya tidak memahaminya. “Apa’an, sih, Kak Mika kedip-kedip nggak jelas begitu? Kelilipan? Ngomong saja kalau kalau mau menegurku! Jangan pakai kode mata begitu! Kak Mika jadi terlihat gaje, alias nggak jelas!” “Cukup, Vanya!” tegurku lebih tegas. “Apa? Kak Mika mau marah?”