Fakta tentang Putra yang telah memiliki kekasih, membuatku patah hati. Perasaan indah itu aku lambungkan sendiri, lantas aku pun terjatuh seorang diri.
Sekuat tenaga aku mencoba tetap berdiri tegak sembari menyembunyikan mimik wajah kecewa. Buket bunga mawar merah yang telah jadi itu terus aku pegang sambil menampilkan senyuman palsu.
“Wahai hati, tenanglah!” seruku dalam hati.
Tidak butuh waktu lama bagi Putra untuk segera mengakhiri telepon dengan kekasihnya. Hanya lima menit saja. Tapi, waktu lima menit itu bagiku terasa sewindu.
Bagaimana tidak terasa sewindu kala hatiku merasakan kekecewaan, pikiranku tak karuan, tapi aku harus tetap terlihat tegar. Lelah nian mengusahakan untuk bertahan di saat setiap kalimat yang aku dengar dari Putra tersemat kata sayang untuk kekasihnya.
“Semangat!” ucap Putra tiba-tiba.
“Eh?” Aku yang tak paham justru menampilkan mimik wajah heran.
Semangat? Semangat untukku atau untuk siapa? Apa iya Putra benar-benar cenayang? Kenapa dia bisa tahu kalau aku sangat butuh semangat usai patah hati yang kini terasa sedap.
Ya. Rasanya begitu sedap, nikmat. Perasaan manis dari sebuah cinta, lantas bercampur dengan pahitnya hati yang patah. Ibarat secangkir kopi yang tercampur dengan gula, ah, rasa-rasanya hanya hati yang bisa mendefinisikan rasanya. Sayangnya, semua ini bukan tentang kopi.
“Semangat. Tuliskan satu kata itu di kartu ucapannya, ya,” pinta Putra dengan ramah.
“Oh. Oke. Tunggu sebentar, ya. Aku tuliskan dulu sambil kuberi tempelan bunga kering,” ungkapku yang sekali lagi menampilkan senyuman palsu.
Aku undur diri sebentar menuju etalase pajang. Sebuah bolpoin aku ambil, lantas mulai menuliskan sebuah kata yang diminta. Kata semangat, tapi aku tidak sedang bersemangat. Ekspresi di wajahku lekas kuubah masam untuk beberapa waktu, mumpung tidak ada yang sedang melihatku.
“Sudah selesai. Semoga suka ya,” ucapku ramah sekaligus lebih menampilkan senyum sumringah di tengah hatiku yang patah.
“Wah, keren! Berapa harganya?” tanya Putra yang seketika itu langsung mengeluarkan dompet dari saku celana.
“Gratis,” putusku yang semula sama sekali tidak kepikiran akan berkata seperti itu.
“Jangan, dong! Nanti kamu rugi.”
“Hadiah perkenalan dari toko bungaku. Ke depan, jangan sungkan datang lagi, ya.”
Senyum yang sebelumnya aku sunggingkan lekas aku ganti menjadi tawa ringan. Tawa ringan dariku itulah yang tampaknya lebih mencairkan suasana hingga Putra pun lebih menampilkan senyum manisnya.
Ya, benar-benar senyuman yang terlihat manis. Akan tetapi, senyuman itu justru membuat hatiku teriris. Tawa yang aku buat, sebenarnya hanyalah obat. Sayangnya obat itu tidak akan manjur dalam waktu dekat.
Putra undur diri usai menerima buket bunga. Bola mataku terus menatap ke arah lelaki berkacamata itu hingga punggungnya tak lagi terlihat.
“Mbak Mika, dia tetangga baru ruko sepatu di sebelah, ya?” tanya Devi. Devi dan Desi, dua karyawanku itu usianya jauh lebih muda dariku.
“Iya. Namanya Putra,” ungkapku sederhana tanpa menambahkan apa pun juga.
“Ganteng banget, Mbak. Nggak terlihat seperti artis, sih, tapi manis,” imbuh Desi sembari menunjukkan sikap heboh sendiri.
“Sst. Jangan sampai kalian baper sama dia, ya. Sudah punya kekasih,” ungkapku berterus terang supaya tidak ada dari dua karyawanku itu yang melambungkan harapan.
“Tapi, baru kekasih, kan, Mbak? Bukan istri. Jadi ….”
“No-no-no! Kalian jangan berpikiran yang macam-macam. Yuk, kita makan saja! Aku beli nasi pecel buat kita bertiga!” sahutku memotong ucapan Devi.
“Wah! Mbak Mika baik bener. Yuk, Mbak!”
“Makasih ya, Mbak.”
“Kembali kasih.”
Siang hari telah terlewati. Sore pun menjelang dan terasa cepat sekali. Di balik perasaan cinta yang aku lambungkan pagi tadi, yang telah berujung patahnya hati, kini justru telah menyisakan pelajaran berharga untukku.
Beruntungnya diriku bisa langsung mengetahui fakta tentang Putra yang memiliki kekasih. Coba kalau aku baru tahu sepekan lagi, sebulan lagi, apa lagi sampai setahun dari hari ini. Pastilah rasa kecewanya akan lebih sulit melebur.
Tatkala senja sudah mulai merona, saat itulah aku kembali menapakkan kakiku di rumah. Hatiku lebih dulu aku buat tenang sembari mengedarkan pandangan.
Rumahku tampak sepi. Mungkinkah Tante Ema dan Vanya masih di luar rumah? Tapi, ke mana?
Rumah yang aku tempati ini adalah rumah dengan sertifikat tanah dan bangunan atas namaku. Mamalah yang mengubah atas namaku sebagai hadiah ulang tahunku yang ke tujuh belas. Kala itu aku masih tidak tahu apa-apa dan menganggap semuanya tampak biasa. Begitu usiaku telah semakin dewasa, barulah aku menyadari pentingnya sebuah nama.
Namaku yang terbubuh dalam sertifikat rumah itulah yang lebih banyak mengontrol amarah Tante Ema. Tanteku itu sering meluapkan nasihatnya, tapi tak bisa sampai berlebihan karena aku memiliki hak penuh atas tempat tinggal.
Tante Ema hanya menumpang sejak sepuluh tahun lalu, ketika dia ditinggal selingkuh. Sejak saat itulah Tante Ema berstatus janda anak satu, tapi sang anak lebih memilih ikut ayahnya.
“Semoga saja Tante Ema lupa pada kejadian tadi,” harapku sambil terus melangkah menuju kamarku.
Kejutan!
Begitu pintu kamarku terbuka, tampaklah kondisi kamarku yang berantakan. Bed cover tempat tidurku tampak lusuh kecoklatan. Bantal guling tergeletak di lantai. Gumpalan sampah kertas yang semula berada dalam tempat sampah di kamarku, semuanya tersebar di area lantai dan sedikit di atas mejaku.
“Tega sekali Tante Ema!” desisku melayangkan tuduhan pada tanteku.
Siapa lagi yang bisa aku tuduh selain tanteku itu? Vanya tidak mungkin melakukannya karena sepagi tadi dia menunjukkan sikap bahagia. Hanya Tante Ema yang hampir saja melayangkan tamparannya dan berhasil digagalkan oleh Putra.
“Semoga Tante Ema puas hanya dengan membuat kamarku berantakan,” ucapku sembari mulai merapikan kamarku kembali.
Butuh waktu sekitar tiga puluh menit lamanya hingga kamarku kembali rapi seperti semula. Akan tetapi, tak lama setelahnya tiba-tiba saja terdengar teriakan dari arah kamar Tante Ema.
Aku bergegas menuju ke sana, ke kamar Tante Ema. Betapa bola mataku seketika melebar begitu tahu kondisi kamar Tante Ema yang berantakan.
“Mika!” seru Tante Ema dengan lantang begitu mendapati kehadiranku.
“Tante, kenapa bisa berantakan seperti ini? Tadi itu kamarku juga ….”
“Kau pasti pelakunya!” sahut Tante Ema, memotong kalimatku.
“Bukan aku pelakunya! Sungguh!” Aku membela diriku karena memang bukan aku.
Lagi pula, apa untungnya bagiku membuat kamar Tante Ema berantakan? Justru Tante Emalah yang semula aku tuduh memberantakan isi kamarku.
“Omong kosong! Kau pasti marah pada tante! Iya, kan? Mau balas dendam kau? Ngaku!” desak Tante Ema dengan mimik wajah yang benar-benar tidak ramah.
“Sungguh bukan aku, Tante. Lagi pula, kenapa aku harus balas dendam sementara statusku adalah korban?” Aku membela diriku dengan tanpa sungkan.
Agaknya Tante Ema tidak memahami kalimatku. Dia terus menatap galak tanpa menyahuti kata-kataku.
“Kamarku juga berantakan,” ungkapku kemudian.
“Jangan pura-pura kau! Sedang main drama kau, ya? Ngaku!” desak tanteku.
Apa lagi yang harus aku akui, sih? Ah! Sungguh menyebalkan jika berurusan dengan Tante Ema. Selalu saja berlebihan jika itu menyangkut tentangku. Coba saja jika Vanya yang berbuat salah, pasti perlakuannya akan sangat jauh berbeda.
“Maaf, Tante. Aku sedang tidak ingin berdebat. Bukan aku pelakunya, karena kamarku juga berantakan. Terserah Tante Ema mau percaya atau tidak.”
“Sekarang coba kau pikir, Mika. Kalau bukan kamu pelakunya? Siapa lagi coba?”
“Aku! Akulah pelakunya!” sahut Vanya tiba-tiba sembari menunjukkan ekspresi kecewa.
Benarkah Vanya pelakunya? Tapi, kenapa?
Silakan tinggalkan jejak komentar agar author bersemangat melanjutkan bab novel ini. Ikuti juga - FB author : Bintang Aeri -
Bukan hanya aku yang terheran, Tante Ema pun demikian. Sementara Vanya, adikku itu masih saja menampilkan mimik wajah kecewa. Kedua telapak tangannya juga tampak mengepal sabagai tanda adanya gemuruh rasa kesal. “Vanya, jangan bercanda!” seru Tante Ema yang kalimatnya masih mengandung unsur ramah. Perlakuannya benar-benar berbeda ketika tadi Tante Ema menuduhku. “Aku tidak sedang bercanda! Aku kecewa! Kecewa pada kalian berdua!” sahut Vanya yang samakin lama semakin meninggikan suaranya. “Vanya, Sayang. Tenang dulu, dong! Ceritakan baik-baik apa yang sebenarnya telah terjadi,” ucap Tante Ema yang justru nada bicaranya semakin ramah, seolah memaklumi Vanya. Oh Tuhan, ingin rasanya aku cemburu dengan perlakuan berbeda yang kini terpampang nyata di hadapanku. Kenapa Tante Ema begitu baik pada Vanya? Bahkan, ketika Vanya mengaku berbuat salah pun masih saja dimaklumi olehnya? Lalu, bagaimana dengan aku di sini? Bukankah aku juga keponakannya? Kenapa Tante Ema memberiku perlakuan yang
Sungguh baru kali ini aku melihat Tante Ema membentak Vanya. Terkejut? Sudah pasti iya. Bukan hanya aku saja yang terkejut, Vanya sampai tersentak kaget juga. “T-tante bilang aku bodd*oh?” tanya Vanya dengan setengah terbata. “Iya. Kau tidak salah dengar. Mencintai lelaki itu boleh saja, tapi jangan sampai buta karenanya!” tegas Tante Ema menasihati Vanya dengan nada meninggi yang biasa ditujukan padaku. Aku melihat perubahan ekspresi adikku itu. Agaknya dia belum terbiasa dengan sikap Tante Ema yang demikian. Kalau aku … ah, jangan ditanya lagi. Sekarang aku sudah jadi seberani ini lantaran telah fasih. “Sekarang kau malah diam saja. Sudah paham?” Sekali lagi Tante Ema bertanya dengan nada yang dibuat meninggi. Sungguh, ini baru pertama kalinya bagiku melihat Vanya dibentak-bentak Tante Ema. Adikku itu terlihat tak berdaya, buktinya tadi sampai terbata dan kini diam saja. Lebih tak terduga lagi, satu anggukan juga diberikan olehnya. Syukurlah jika Vanya telah memahami. Hatiku le
Beberapa detik lalu aku biasa saja ketika Erika bilang putus pada Putra. Ya, karena memang aku merasa tidak bersalah dan yang dilihat oleh kekasih Putra hanya salah paham. Kini, aku putuskan untuk mengubah sikap begitu ada yang melayangkan tuduhan secara terang-terangan di hadapanku. Sebal, kesal, dan geregetan, itulah yang kini aku rasakan. Entah sejak kapan emosiku jadi mudah tersulut. Rasanya akhir-akhir ini diriku mudah sekali emosi. Padahal tidak sedang PMS. Apa iya aku sudah lelah bersikap baik? Kalau dipikir-pikir, aku jarang mengalah, bahkan jarang pula memendam rasa tak suka. Seperti saat ini, aku luapkan kekesalanku pada lelaki berkumis tipis yang seenaknya saja menuduhku selingkuh dengan Putra. “Kau, jangan asal tuduh, ya! Jaga mulutmu baik-baik!” tegasku sembari menampilkan mimik wajah galak. “Eh, galak juga ternyata,” ucap lelaki berkumis tipis sembari mulai memasuki area toko sepatu Putra. Aku melupakan sesuatu. Segera aku balikkan tubuh hingga terlihatlah Putra yang
Aku penasaran, tapi rasa-rasanya tidak memiliki hak untuk bisa mendapat lebih banyak penjelasan. Nathan putus dengan kekasihnya gegara lipstik, itu bukan urusanku meski sebenarnya aku ingin tahu. Ingin tahu? Ya, karena alasannya sungguh menyinggungku. Dua lelaki tampan di depanku itu pastilah tidak akan tahu tentang apa yang saat ini aku rasakan.Gara-gara tak pakai lipstik aku sering disindir tidak laku-laku oleh adik dan tanteku. Lantas, sindiran itulah yang hingga detik ini mudah sekali mempengaruhi suasana hatiku.“Mika, kamu melamun?” tanya Putra seraya menegurku yang tampak diam dan terus menatap ke arah lantai ruko.“Em, sepertinya aku mau kembali ke toko bunga,” ucapku seraya menggugurkan rasa penasaran yang sempat membuncah.“Maksudmu, toko bunga di sebelah itu milikmu?” tanya Nathan yang sepertinya belum paham juga meski sebelumnya sudah diberitahukan oleh Putra.“Iya. Itu toko bungaku. Mampirlah jika mau,” ucapku sembari mengembangkan senyuman.Lelaki berkumis tipis di dep
Vanya yang bertanya, tapi justru aku yang malu mendengar pertanyaan adikku itu. Bisa-bisanya dia bertanya status Nathan dan Putra dengan terang-terangan. Jujur, di mataku dia terlihat kecentilan. “Vanya, tunjukkan sopan santunmu! Jaga sikap!” desisku lirih pada adikku. Teguranku itu sengaja aku pelankan agar Nathan dan Putra tidak mendengar. Nyatanya, Vanya justru mengulang kalimat yang aku ucapkan. “Apa? Tunjukkan sopan santunmu? Maksud Kak Mika aku tidak sopan?” tanya Vanya sembari memasang wajah sebal ke arahku. Akan sangat lebih membuat malu bila aku menanggapi adikku itu dengan sikap kekanakan. Alhasil, aku pun hanya tersenyum kikuk sekaligus menyiratkan kode penuh arti melalui kedipan mata. Sayangnya, Vanya tidak memahaminya. “Apa’an, sih, Kak Mika kedip-kedip nggak jelas begitu? Kelilipan? Ngomong saja kalau kalau mau menegurku! Jangan pakai kode mata begitu! Kak Mika jadi terlihat gaje, alias nggak jelas!” “Cukup, Vanya!” tegurku lebih tegas. “Apa? Kak Mika mau marah?”
Entah sejak kapan aku jadi nyaman duduk bersama Putra dan Nathan. Entah sejak kapan pula tawaku jadi begitu lepas ketika Nathan membuat candaan. Aku tak tahu pastinya kapan. Namun, malam ini aku jadi enggan untuk pulang. Usai perdebatan dengan Vanya sore tadi, aku urung pulang ke rumah demi menghargai segelas es jeruk. Dua karyawanku telah pamit pulang, sedangkan tulisan di toko bunga telah aku ganti menjadi tutup. Lantas, aku pun mengekor di belakang Putra menuju ruko sepatu miliknya. Ada banyak hal yang kami obrolkan hingga es jeruk di wadahku tak lagi tersisa. Malam juga telah menyapa. “Jadi, roda sepedamu masih tetap empat sampai kau kelas empat?” tanya Putra kepada Nathan. “Iya, Kak. Aku beneran takut jatuh waktu itu,” aku Nathan disusul tawa panjang. Sejauh ini yang kami obrolkan adalah tentang masa kecil. Baik Putra ataupun Nathan sepertinya memang sengaja memilih random topik obrolan yang bisa membuatku tertawa. Buktinya sedari tadi aku tak henti-hentinya tertawa dengan pe
Bulir bening mengalir deras membasahi pipiku kala motor maticku kembali melaju. Tangisku pecah bukan karena keputusanku meninggalkan rumah. Bulir bening itu tumpah karena baik Vanya maupun Tante Ema sama sekali tidak ada yang mencegah kepergianku dari rumah. “Kenapa mereka begitu tidak menyukaiku? Apa iya hanya gara-gara aku tak sama seperti mereka? Apa iya hanya gara-gara aku tak pakai lipstik seperti yang sering mereka ucapkan padaku? Benarkah hanya gara-gara itu?” tanyaku pada diriku sendiri sembari tetap melajukan motorku. Tentu saja aku tidak mendapat jawaban atas semua yang baru saja aku tanyakan. Memangnya siapa yang akan menjawab? Tante Ema dan Vanya hanya bisa terus melaknat. Kutepikan motorku di area taman kota. Kuusap air mataku lebih dulu sebelum akhirnya aku menyendiri di sebuah bangku taman yang sepi. Tepat di depanku ada air mancur yang indah, tapi keindahannya sama sekali tidak bisa mengobati hatiku yang tengah terluka. “Sebelum ini Tante Ema dan Vanya memang sering
Aku adalah perempuan yang mudah sekali penasaran. Begitu terbersit satu tanda tanya dalam pikiran, segera saja aku utarakan. Apa lagi, aku dan Putra dapat dibilang cukup akrab meski baru mengenal. “Putra, apa semua pujian darimu itu hanya untuk menghiburku?” tanyaku sembari menoleh demi bisa menatap bola mata Putra dengan lebih jelas. Putra memang balas menatapku, tapi tak kudapati mulutnya berucap untuk menjawab pertanyaanku. Lagi-lagi yang dia suguhkan adalah senyum manis yang tak pernah gagal membuat dadaku berdebar-debar. “Kamu … kenapa senyum-senyum begitu, sih?” tanyaku sembari mencebik. “Kamu sendiri kenapa begitu bibirnya?” Putra balik bertanya. “Ya habisnya kamu bukannya menjawab pertanyaanku malah senyum-senyum begitu.” Kudapati Putra tertawa ringan, lantas merogoh saku jaketnya. Bola mataku terus memperhatikan hingga akhirnya aku bisa melihat sebuah benda pipih canggih milik Putra, yakni ponselnya. “Mika, coba kamu foto selfie pakai ponselku,” pinta Putra tiba-tiba.
Langkah kaki Putra terayun maju hingga lebih dekat ke arahku. Kini, jarak kami hanya terpaut setengah meter saja. Dari jarak sedekat ini aku bisa melihat indahnya sorot mata Putra yang terbingkai kacamata.“Mika, aku mengenalmu sebagai sosok wanita yang penuh luka di hatimu. Ditambah lagi, aku sudah melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana adik dan tantemu itu memperlakukanmu.”Ada jeda sebentar lantaran bulir air mata yang tak sanggup kutahan. Ya, aku menangis. Gara-gara ucapan Putra yang benar-benar tak terbantahkan. Benar apa yang Putra katakan. Aku penuh luka di hatiku lantaran perasaanku sering tersakiti akibat sikap pilih kasih. Hatiku pun sering terlukai akibat tutur kata dari adikku sendiri. Tante dan adikku, mereka berdua bukanlah orang jauh. Mereka saudara dekat dan begitu aku kasihi. Nyatanya, yang terkasihlah yang lebih sering melukai hatiku ini. “Menangislah dulu jika kamu ingin menangis. Tuntaskan tangismu, Mika. Jika perlu, kamu boleh bersandar di bahuku meski m
“Lipstik? Untuk apa kakak tanya lipstik segala? Mau coba pakai lipstik juga? Percuma, Kak. Kak Mika tidak akan pernah lebih cantik dibandingkan aku dan Tante Ema!”Pahit sekali kata-kata adikku. Tidakkah dia menyadari bahwa kata-katanya itu telah melukaiku? Cantik, lipstik, ah! Aku sungguh tak lagi peduli dengan itu. Yang aku sayangnya kali ini hanya satu, yakni sikap adikku.“Vanya, sebenarnya apa salahku hingga kau jadi sebenci ini?” tanyaku dengan lebih mencoba menurunkan intonasi.“Oh, kakak masih tanya salah kakak di mana? Lipstik, Kak. Kakak salah karena tidak memakai lipstik,” terang Vanya sembari kembali menyedekapkan tangannya.“Omong kosong! Perjelas alasanmu, Vanya! Jangan bawa-bawa lipstik di saat seperti ini!”Yang terakhir itu aku setengah membentak hingga Vanya pun terhenyak. Alhasil, sempat terjadi jeda beberapa detik lamanya yang membuat kami berdua sama-sama membungkam kata.“Katakanlah alasan yang sebenarnya!” desakku.“Baik. Akan kukatakan. Sejujurnya aku masih sak
“Nathan!” panggilku dengan segera mencegah Nathan untuk melangkah lebih jauh.Berhasil. Nathan menghentikan langkahnya, lantas kembali menoleh ke arahku.“Jangan memanggil Putra! Kumohon!” pintaku penuh harap.“Kenapa? Bukankah tadi kamu sangat ingin tahu alasannya?”“Iya, sih. Tapi ….”Aku pun sebenarnya bingung dengan diriku. Di satu sisi sangat ingin tahu, tapi di sisi lainnya lagi enggan bertemu.Agaknya Nathan memahamiku. Dia tersenyum, lantas memintaku untuk tenang.“Tenanglah, Mika! Jika kamu masih belum ingin bertemu dengan Kak Putra, maka aku pun tidak akan memaksa.”Ah, syukurlah! Nathan sungguh pengertian. Kalau begini dia jadi serupa malaikat pembagi kebaikan.“Tapi, bolehkah aku bertanya sesuatu?” tanya Nathan tiba-tiba.“Silakan saja jika ingin bertanya.”Lebih dulu aku mendapati senyum yang mengembang di wajah Nathan. Entah kenapa dua makhluk tampan penghuni ruko sepatu itu hobi sekali mengembangkan senyuman.“Kenapa diam?” tanyaku sekaligus sebagai kode agar Nathan lek
Aku terbangun saat matahari belum muncul. Tidurku begitu nyenyak usai mandi air hangat sebelum tidur. Aku cukup bersyukur, tidur nyenyakku mampu membuatku terlupa sejenak dengan huru-hara kehidupan. Semalam, aku batalkan niatan untuk menghubungi Putra. Kumatikan telponku pula demi mendapat rasa nyaman sepanjang malam. Sempat aku abaikan pula perasaan menyesal yang menggelayut pikiran, hingga di pagi ini pun aku kembali kepikiran. “Putra, maafkan aku. Semalam itu aku seolah tengah mempermainkanmu. Mau jadi pacar pura-pura, tapi justru menolak saat kamu benar-benar menawarkan cinta,” ucapku sembari menatap ke arah langit-langit kamar hotel. Usai mandi, aku bingung mencari pakaian ganti. Semalam itu memang dadakan sekali hingga aku sama sekali tidak memiliki persiapan untuk pergi. Terpaksa aku hidupkan kembali ponselku demi meminta bantuan dari kedua karyawan di toko bungaku. Ya, niat awalku seperti itu. Nyatanya, pesan lain yang masuk ke ponselku justru mengalihkan perhatianku. Ada
Bagiku, Putra adalah sosok lelaki yang berhasil membuatku nyaman dalam waktu singkat. Bahkan, hatiku telah terjerat di awal pertemuan. Mungkin, diriku seolah terlalu cepat menjatuhkan perasaan. Karena, siapa pula yang dapat mendustai gejolak cinta yang hadirnya saja tiada bisa disangka-sangka. Dalam kondisi yang demikian, ketika tawaran cinta itu datang, pastilah akan aku iyakan meski hanya berpura-pura. Tapi, kenapa harus datang ke rumah? Aku sedang bermasalah dengan Vanya dan Tante Ema. “Putra, apa kamu lupa kalau aku sedang bertengkar dengan mereka yang ada di rumah?” tanyaku sembari menatap Putra dengan sendu. Kudapati Putra terdiam sembari menunjukkan perubahan mimik wajah. Dia tampak merasa bersalah hingga menunjukkan tatapan sendu yang serupa denganku. “Maaf, Mika. Aku melupakan yang satu itu.” Senyumku kubuat merekah, lantas kuhembuskan nafas perlahan hingga membuat hatiku sedikit lega. Ada satu keputusan yang berusaha kuubah. “Tak apa jika kamu lupa. Mungkin, tadi kamu
Aku adalah perempuan yang mudah sekali penasaran. Begitu terbersit satu tanda tanya dalam pikiran, segera saja aku utarakan. Apa lagi, aku dan Putra dapat dibilang cukup akrab meski baru mengenal. “Putra, apa semua pujian darimu itu hanya untuk menghiburku?” tanyaku sembari menoleh demi bisa menatap bola mata Putra dengan lebih jelas. Putra memang balas menatapku, tapi tak kudapati mulutnya berucap untuk menjawab pertanyaanku. Lagi-lagi yang dia suguhkan adalah senyum manis yang tak pernah gagal membuat dadaku berdebar-debar. “Kamu … kenapa senyum-senyum begitu, sih?” tanyaku sembari mencebik. “Kamu sendiri kenapa begitu bibirnya?” Putra balik bertanya. “Ya habisnya kamu bukannya menjawab pertanyaanku malah senyum-senyum begitu.” Kudapati Putra tertawa ringan, lantas merogoh saku jaketnya. Bola mataku terus memperhatikan hingga akhirnya aku bisa melihat sebuah benda pipih canggih milik Putra, yakni ponselnya. “Mika, coba kamu foto selfie pakai ponselku,” pinta Putra tiba-tiba.
Bulir bening mengalir deras membasahi pipiku kala motor maticku kembali melaju. Tangisku pecah bukan karena keputusanku meninggalkan rumah. Bulir bening itu tumpah karena baik Vanya maupun Tante Ema sama sekali tidak ada yang mencegah kepergianku dari rumah. “Kenapa mereka begitu tidak menyukaiku? Apa iya hanya gara-gara aku tak sama seperti mereka? Apa iya hanya gara-gara aku tak pakai lipstik seperti yang sering mereka ucapkan padaku? Benarkah hanya gara-gara itu?” tanyaku pada diriku sendiri sembari tetap melajukan motorku. Tentu saja aku tidak mendapat jawaban atas semua yang baru saja aku tanyakan. Memangnya siapa yang akan menjawab? Tante Ema dan Vanya hanya bisa terus melaknat. Kutepikan motorku di area taman kota. Kuusap air mataku lebih dulu sebelum akhirnya aku menyendiri di sebuah bangku taman yang sepi. Tepat di depanku ada air mancur yang indah, tapi keindahannya sama sekali tidak bisa mengobati hatiku yang tengah terluka. “Sebelum ini Tante Ema dan Vanya memang sering
Entah sejak kapan aku jadi nyaman duduk bersama Putra dan Nathan. Entah sejak kapan pula tawaku jadi begitu lepas ketika Nathan membuat candaan. Aku tak tahu pastinya kapan. Namun, malam ini aku jadi enggan untuk pulang. Usai perdebatan dengan Vanya sore tadi, aku urung pulang ke rumah demi menghargai segelas es jeruk. Dua karyawanku telah pamit pulang, sedangkan tulisan di toko bunga telah aku ganti menjadi tutup. Lantas, aku pun mengekor di belakang Putra menuju ruko sepatu miliknya. Ada banyak hal yang kami obrolkan hingga es jeruk di wadahku tak lagi tersisa. Malam juga telah menyapa. “Jadi, roda sepedamu masih tetap empat sampai kau kelas empat?” tanya Putra kepada Nathan. “Iya, Kak. Aku beneran takut jatuh waktu itu,” aku Nathan disusul tawa panjang. Sejauh ini yang kami obrolkan adalah tentang masa kecil. Baik Putra ataupun Nathan sepertinya memang sengaja memilih random topik obrolan yang bisa membuatku tertawa. Buktinya sedari tadi aku tak henti-hentinya tertawa dengan pe
Vanya yang bertanya, tapi justru aku yang malu mendengar pertanyaan adikku itu. Bisa-bisanya dia bertanya status Nathan dan Putra dengan terang-terangan. Jujur, di mataku dia terlihat kecentilan. “Vanya, tunjukkan sopan santunmu! Jaga sikap!” desisku lirih pada adikku. Teguranku itu sengaja aku pelankan agar Nathan dan Putra tidak mendengar. Nyatanya, Vanya justru mengulang kalimat yang aku ucapkan. “Apa? Tunjukkan sopan santunmu? Maksud Kak Mika aku tidak sopan?” tanya Vanya sembari memasang wajah sebal ke arahku. Akan sangat lebih membuat malu bila aku menanggapi adikku itu dengan sikap kekanakan. Alhasil, aku pun hanya tersenyum kikuk sekaligus menyiratkan kode penuh arti melalui kedipan mata. Sayangnya, Vanya tidak memahaminya. “Apa’an, sih, Kak Mika kedip-kedip nggak jelas begitu? Kelilipan? Ngomong saja kalau kalau mau menegurku! Jangan pakai kode mata begitu! Kak Mika jadi terlihat gaje, alias nggak jelas!” “Cukup, Vanya!” tegurku lebih tegas. “Apa? Kak Mika mau marah?”