Semalam, aku putuskan untuk tidak terbawa arus perasaan. Buat apa menjadi orang lain, di saat orang lain begitu ingin berada di posisiku? Pikiran itulah yang semalam berhasil membuatku lebih tenang, lantas aku pun tertidur lelap hingga pagi menjelang.
Aku adalah seorang pebisnis muda yang bisa dikatakan cukup berhasil mengelola toko bunga yang aku rintis sejak tiga tahun lalu. Saat ini aku memiliki dua orang karyawan serta mitra kerja dari beberapa kota.
Perihal fisik, ya, aku cantik. Bukan bermaksud ke-PD-an, tapi memang itulah yang kerap orang katakan. Orang bilang, hanya satu kekuranganku, yakni jarang terlihat dandan khususnya memakai lipstik dalam keseharian.
“Kak Mika mau berangkat ke toko bunga pukul berapa?” tanya Vanya dengan senyum ceria.
Tanpa aku bertanya pun sudah dapat kutebak jawabannya. Perubahan sikap yang mendadak ramah di pagi ini terjadi lantaran Vanya telah kembali mendapat seorang kekasih.
“Seperti biasa. Pukul setengah delapan pagi. Kamu mau mencoba cari pekerjaan lagi?” Aku bertanya dengan santai seolah semalam tidak terjadi apa-apa.
“Em, gimana ya, Kak? Kak Aldo bilang, aku tidak perlu kerja. Cukup dia saja yang bekerja,” ungkap Vanya sembari menampilkan wajah yang lebih sumringah dibanding sebelumnya.
Aku maklumi karena adikku itu pastilah tengah berbunga-bunga di dalam hatinya. Tidak sepertiku yang semalam justru menumpahkan air mata.
“Sebentar, memangnya Aldo bilang akan segera menikahimu?” tanyaku penasaran karena selama berkenalan denganku, lelaki itu sama sekali tidak pernah membahas perihal pernikahan.
“Sempat, dong. Kak Aldo bilang akan segera menikahiku.”
“Kapan tepatnya?”
“Entahlah. Kak Aldo tidak bilang. Tapi, pasti segera,” ungkap Vanya dengan begitu yakin.
Keyakinan Vanya berbanding terbalik dengan keyakinanku. Entah kenapa aku justru meragukan ucapan Aldo.
Segera, kata itu memiliki banyak definisi. Bisa seminggu, sebulan, atau bahkan setahun lagi. Aku tidak mau melihat adikku bucin berlebihan tanpa ada kepastian ikatan. Apa lagi, telah terucap sebuah larangan untuk mencari pekerjaan.
“Sambil menunggu kepastian dari Aldo, sebaiknya kamu cari kerja. Kalau mau, bantulah kakak di toko bunga,” saranku dengan lebih dulu menimbang sisi baiknya.
“Tidak mau! Aku mau menuruti kata-kata calon suamiku!” tegas Vanya yang kini justru menampilkan mimik wajah kesal seperti semalam.
Aku enggan berdebat lagi pagi ini. Cukup tadi malam saja, dan tidak ingin terulang lagi.
“Baiklah. Terserah kamu saja. Kakak mau bersiap-siap dulu,” putusku.
“Oke, Kak. Semangat kerja, ya.”
Wajah sumringah yang kembali menghiasi wajah adikku hanya kupandang sekilas tanpa berniat kubalas. Aku bergegas menuju kamar, lalu bersiap dengan rutinitas pekerjaan.
Tepat di pukul setengah delapan pagi, aku sudah berada di depan toko bunga. Disusul tak lama setelahnya dua karyawanku datang juga. Seperti biasa, mereka mempersiapkan toko buka sementara aku menuju seberang jalan untuk membeli sarapan.
Ya, aku jarang sekali sarapan di rumah. Tante Ema pun lebih sering membeli lauk jadi daripada memasak. Sedangkan Vanya, ah, aku tidak bisa berharap banyak darinya meski sudah sering aku beri nasihat.
“Neng Mika pesan seperti biasanya?” tanya sang penjual.
“Iya. Nasi pecel tanpa dadar jagung. Tiga bungkus ya, Bu. Tambah rempeyek kacangnya juga.”
“Oke, Neng.”
Biasanya karyawan toko bunga milikku membawa bekal untuk makan siang. Khusus untuk hari ini akan kuajak mereka sarapan. Aku ingat pesan mama dulu. Jika hati tengah dilanda kegalauan, maka obati dengan banyak bersedekah dan menebar kebaikan.
Oh, aku kembali teringat dengan mama. Aku benar-benar merindukannya. Tapi, apalah daya. Mama sudah tidak lagi memperdulikan aku dan Vanya semenjak berpisah dengan ayah enam tahun lalu.
Kutepis sejenak kerinduan pada mama ketika mendapati pesanan nasi pecelku jadi. Lekas kuayunkan langkah menuju toko bunga lagi. Akan tetapi, sarapanku harus tertunda karena ada yang datang, yakni seorang pria paruh baya yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Melihat dari ekspresi dua karyawanku, agaknya mereka belum pernah bertemu juga dengan sang pria.
Postur tubuh sang pria tinggi gagah. Tampaknya dia gemar berolahraga hingga lengan-lengannya terlihat kekar. Parasnya pun menurutku lumayan tampan.
“Selamat pagi. Saya ingin membeli buket bunga mawar putih,” pinta sang pria dengan nada bicara yang tegas. Mimik wajahnya pun terlihat tegas.
Bukan aku yang melayani, tapi salah satu dari dua karyawanku. Meski demikian, aku tetap menunda sarapan.
Sejenak mencermati obrolan yang sang pria buat dengan salah satu karyawanku, rupanya yang dipesan adalah buket sultan. Yakni, buket berukuran jumbo yang harganya bisa sampai ratusan ribu rupiah.
Rejeki di pagi hari, begitu pikirku. Lekas saja aku bantu dua karyawanku untuk menyiapkan buket bunga dengan segera. Ya, buket itu harus segera dieksekusi karena sang pemesan menunggu hingga jadi.
Mau bagaimana lagi. Pembeli adalah raja. Aku dan dua karyawanku tetap akan berusaha memberikan pelayanan terbaik perihal buket bunga yang dipesan oleh sang pria paruh baya.
Akan tetapi, suasana di sana berubah ketika aku menyadari gelagat aneh dari sang pria paruh baya. Firasatku kuat mengatakan ada yang tidak beres. Pasalnya, pria yang kini duduk di sofa tunggu itu terus memandangku sambil senyum-senyum tanpa sebab.
“Sst. Apa ada sesuatu di wajahku?” tanyaku setengah berbisik kepada salah satu karyawan.
“Tidak ada, kok, Mbak. Mbak Mika tetap cantik seperti biasanya.”
Jawaban itu sudah cukup bagiku. Lantas, apakah yang membuat pria paruh baya itu terus melihat ke arahku?
Tak butuh waktu lama hingga aku mengetahui jawabannya. Alasannya terkuak melalui obrolan keras via telepon. Aku mendengar sendiri ketika pria itu menelpon entah siapa yang ada di seberang sana. Bukan hanya aku yang mendengar, dua karyawanku pun demikian.
“Mbak Mika, ternyata pria itu duda,” celetuk salah satu karyawanku sembari memelankan suaranya.
“Duda haus cinta, Mbak. Hati-hati, ah. Dari tadi Mbak Mika dilihatin terus sama dia,” bisiknya lagi sembari memintaku berhati-hati.
Sungguh, fakta ini membuatku tidak nyaman. Apa lagi, tatapan matanya semakin intens tertuju ke arahku. Sempat kudapati pula salah satu matanya berkedip genit.
Aku tergoda? Tentu saja tidak. Penampilan si pria paruh baya kurang lebih sama seperti ayahku. Aku yakin usianya pun tak jauh beda dengan ayah.
Lantas, di tengah pengerjaan buket bunga pesanan, datanglah Tante Ema. Sungguh, tanteku itu sangat jarang mengunjungi toko bungaku kalau tidak benar-benar ada perlu.
Aku beranjak sebentar, berniat menghampiri Tante Ema yang baru saja masuk ke dalam toko. Akan tetapi, perhatian Tante Ema tidak tertuju padaku. Langkah kaki tanteku itu justru terayun menuju pria paruh baya di sofa tunggu.
“Hai, Aldi. Apa kabar?” sapa Tante Ema.
Aku terus memperhatikan. Tapi, tunggu dulu! Aldo, Aldi. Namanya serupa, tapi tak sama. Akan tetapi, ini bukan tentang nama, tapi tentang firasatku yang tiba-tiba.
“Jangan bilang kalau Tante Ema berniat mengenalkan pria itu kepadaku!” tebakku dalam hati.
Tubuhku terpaku, sementara pandangan mataku tetap tertuju pada Tante Ema dan Om Aldi. Ya, pria paruh baya yang masih duduk santai di sofa tunggu itu lebih pantas aku juluki om-om.“Gimana, Al? Apa kalian sudah saling mengenal?” tanya Tante Ema kepada Om Aldi.Kudapati Om Aldi tidak menjawab. Akan tetapi, pandangan matanya tiba-tiba saja tertuju padaku. Secepat kilat, kuubah perhatianku menuju arah lainnya. Aku sungguh tidak ingin melihat kedipan genit seperti sebelumnya. Lantas, ah, sepertinya firasatku memang benar tentang Tante Ema yang akan memperkenalkan Om Aldi padaku.“Mika,” panggil Tante Ema tiba-tiba.Mau tidak mau aku harus membalikkan badan dan melihat ke arah Tante Ema.“Ke mari sebentar!” titah tanteku.Sebenarnya aku enggan, tapi aku tidak ingin membuat kegaduhan. Aku tahu betul watak Tante Ema. Meski sekarang ini aku sudah berani membela diri, tapi adanya perang kata benar-benar harus aku hindari.“Iya, Tante. Ada apa?” tanyaku dengan mimik wajah biasa.“Kenalkan. Ini n
Semua mata tertuju pada sang lelaki berkacamata. Kehadirannya yang tak disangka benar-benar mencipta aksi heroik yang teramat nyata. “Lepaskan tanganku!” seru Tante Ema sembari menghempaskan tangannya dengan kasar hingga terlepas. “Tangan Anda sudah terlepas. Itu artinya dia bebas!” tegas sang lelaki sembari menunjuk ke arahku. Wajah Tante Ema tampak merah padam. Amarahnya membuncah lantaran lelaki berkacamata itu memberiku pembelaan. “Berani-beraninya kau membela dia, ha? Siapa kau?” tanya Tante Ema seraya meninggikan suara, bahkan bola matanya pun melebar dengan disengaja. “Saya hanya orang asing yang kebetulan melihat adegan perundungan,” ungkap sang pria dengan masih menampilkan keberaniannya kepada Tante Ema. “Perundungan katamu? Dia ini keponakanku! Mana mungkin aku tega melakukan hal merugikan seperti itu!” ucap Tante Ema sembari makin meninggikan suara. Ingin rasanya aku menyuarakan protesku atas jawaban Tante Ema. Tidak tega katanya? Lalu, apa yang baru saja hendak Tant
Fakta tentang Putra yang telah memiliki kekasih, membuatku patah hati. Perasaan indah itu aku lambungkan sendiri, lantas aku pun terjatuh seorang diri. Sekuat tenaga aku mencoba tetap berdiri tegak sembari menyembunyikan mimik wajah kecewa. Buket bunga mawar merah yang telah jadi itu terus aku pegang sambil menampilkan senyuman palsu. “Wahai hati, tenanglah!” seruku dalam hati. Tidak butuh waktu lama bagi Putra untuk segera mengakhiri telepon dengan kekasihnya. Hanya lima menit saja. Tapi, waktu lima menit itu bagiku terasa sewindu. Bagaimana tidak terasa sewindu kala hatiku merasakan kekecewaan, pikiranku tak karuan, tapi aku harus tetap terlihat tegar. Lelah nian mengusahakan untuk bertahan di saat setiap kalimat yang aku dengar dari Putra tersemat kata sayang untuk kekasihnya. “Semangat!” ucap Putra tiba-tiba. “Eh?” Aku yang tak paham justru menampilkan mimik wajah heran. Semangat? Semangat untukku atau untuk siapa? Apa iya Putra benar-benar cenayang? Kenapa dia bisa tahu k
Bukan hanya aku yang terheran, Tante Ema pun demikian. Sementara Vanya, adikku itu masih saja menampilkan mimik wajah kecewa. Kedua telapak tangannya juga tampak mengepal sabagai tanda adanya gemuruh rasa kesal. “Vanya, jangan bercanda!” seru Tante Ema yang kalimatnya masih mengandung unsur ramah. Perlakuannya benar-benar berbeda ketika tadi Tante Ema menuduhku. “Aku tidak sedang bercanda! Aku kecewa! Kecewa pada kalian berdua!” sahut Vanya yang samakin lama semakin meninggikan suaranya. “Vanya, Sayang. Tenang dulu, dong! Ceritakan baik-baik apa yang sebenarnya telah terjadi,” ucap Tante Ema yang justru nada bicaranya semakin ramah, seolah memaklumi Vanya. Oh Tuhan, ingin rasanya aku cemburu dengan perlakuan berbeda yang kini terpampang nyata di hadapanku. Kenapa Tante Ema begitu baik pada Vanya? Bahkan, ketika Vanya mengaku berbuat salah pun masih saja dimaklumi olehnya? Lalu, bagaimana dengan aku di sini? Bukankah aku juga keponakannya? Kenapa Tante Ema memberiku perlakuan yang
Sungguh baru kali ini aku melihat Tante Ema membentak Vanya. Terkejut? Sudah pasti iya. Bukan hanya aku saja yang terkejut, Vanya sampai tersentak kaget juga. “T-tante bilang aku bodd*oh?” tanya Vanya dengan setengah terbata. “Iya. Kau tidak salah dengar. Mencintai lelaki itu boleh saja, tapi jangan sampai buta karenanya!” tegas Tante Ema menasihati Vanya dengan nada meninggi yang biasa ditujukan padaku. Aku melihat perubahan ekspresi adikku itu. Agaknya dia belum terbiasa dengan sikap Tante Ema yang demikian. Kalau aku … ah, jangan ditanya lagi. Sekarang aku sudah jadi seberani ini lantaran telah fasih. “Sekarang kau malah diam saja. Sudah paham?” Sekali lagi Tante Ema bertanya dengan nada yang dibuat meninggi. Sungguh, ini baru pertama kalinya bagiku melihat Vanya dibentak-bentak Tante Ema. Adikku itu terlihat tak berdaya, buktinya tadi sampai terbata dan kini diam saja. Lebih tak terduga lagi, satu anggukan juga diberikan olehnya. Syukurlah jika Vanya telah memahami. Hatiku le
Beberapa detik lalu aku biasa saja ketika Erika bilang putus pada Putra. Ya, karena memang aku merasa tidak bersalah dan yang dilihat oleh kekasih Putra hanya salah paham. Kini, aku putuskan untuk mengubah sikap begitu ada yang melayangkan tuduhan secara terang-terangan di hadapanku. Sebal, kesal, dan geregetan, itulah yang kini aku rasakan. Entah sejak kapan emosiku jadi mudah tersulut. Rasanya akhir-akhir ini diriku mudah sekali emosi. Padahal tidak sedang PMS. Apa iya aku sudah lelah bersikap baik? Kalau dipikir-pikir, aku jarang mengalah, bahkan jarang pula memendam rasa tak suka. Seperti saat ini, aku luapkan kekesalanku pada lelaki berkumis tipis yang seenaknya saja menuduhku selingkuh dengan Putra. “Kau, jangan asal tuduh, ya! Jaga mulutmu baik-baik!” tegasku sembari menampilkan mimik wajah galak. “Eh, galak juga ternyata,” ucap lelaki berkumis tipis sembari mulai memasuki area toko sepatu Putra. Aku melupakan sesuatu. Segera aku balikkan tubuh hingga terlihatlah Putra yang
Aku penasaran, tapi rasa-rasanya tidak memiliki hak untuk bisa mendapat lebih banyak penjelasan. Nathan putus dengan kekasihnya gegara lipstik, itu bukan urusanku meski sebenarnya aku ingin tahu. Ingin tahu? Ya, karena alasannya sungguh menyinggungku. Dua lelaki tampan di depanku itu pastilah tidak akan tahu tentang apa yang saat ini aku rasakan.Gara-gara tak pakai lipstik aku sering disindir tidak laku-laku oleh adik dan tanteku. Lantas, sindiran itulah yang hingga detik ini mudah sekali mempengaruhi suasana hatiku.“Mika, kamu melamun?” tanya Putra seraya menegurku yang tampak diam dan terus menatap ke arah lantai ruko.“Em, sepertinya aku mau kembali ke toko bunga,” ucapku seraya menggugurkan rasa penasaran yang sempat membuncah.“Maksudmu, toko bunga di sebelah itu milikmu?” tanya Nathan yang sepertinya belum paham juga meski sebelumnya sudah diberitahukan oleh Putra.“Iya. Itu toko bungaku. Mampirlah jika mau,” ucapku sembari mengembangkan senyuman.Lelaki berkumis tipis di dep
Vanya yang bertanya, tapi justru aku yang malu mendengar pertanyaan adikku itu. Bisa-bisanya dia bertanya status Nathan dan Putra dengan terang-terangan. Jujur, di mataku dia terlihat kecentilan. “Vanya, tunjukkan sopan santunmu! Jaga sikap!” desisku lirih pada adikku. Teguranku itu sengaja aku pelankan agar Nathan dan Putra tidak mendengar. Nyatanya, Vanya justru mengulang kalimat yang aku ucapkan. “Apa? Tunjukkan sopan santunmu? Maksud Kak Mika aku tidak sopan?” tanya Vanya sembari memasang wajah sebal ke arahku. Akan sangat lebih membuat malu bila aku menanggapi adikku itu dengan sikap kekanakan. Alhasil, aku pun hanya tersenyum kikuk sekaligus menyiratkan kode penuh arti melalui kedipan mata. Sayangnya, Vanya tidak memahaminya. “Apa’an, sih, Kak Mika kedip-kedip nggak jelas begitu? Kelilipan? Ngomong saja kalau kalau mau menegurku! Jangan pakai kode mata begitu! Kak Mika jadi terlihat gaje, alias nggak jelas!” “Cukup, Vanya!” tegurku lebih tegas. “Apa? Kak Mika mau marah?”
Langkah kaki Putra terayun maju hingga lebih dekat ke arahku. Kini, jarak kami hanya terpaut setengah meter saja. Dari jarak sedekat ini aku bisa melihat indahnya sorot mata Putra yang terbingkai kacamata.“Mika, aku mengenalmu sebagai sosok wanita yang penuh luka di hatimu. Ditambah lagi, aku sudah melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana adik dan tantemu itu memperlakukanmu.”Ada jeda sebentar lantaran bulir air mata yang tak sanggup kutahan. Ya, aku menangis. Gara-gara ucapan Putra yang benar-benar tak terbantahkan. Benar apa yang Putra katakan. Aku penuh luka di hatiku lantaran perasaanku sering tersakiti akibat sikap pilih kasih. Hatiku pun sering terlukai akibat tutur kata dari adikku sendiri. Tante dan adikku, mereka berdua bukanlah orang jauh. Mereka saudara dekat dan begitu aku kasihi. Nyatanya, yang terkasihlah yang lebih sering melukai hatiku ini. “Menangislah dulu jika kamu ingin menangis. Tuntaskan tangismu, Mika. Jika perlu, kamu boleh bersandar di bahuku meski m
“Lipstik? Untuk apa kakak tanya lipstik segala? Mau coba pakai lipstik juga? Percuma, Kak. Kak Mika tidak akan pernah lebih cantik dibandingkan aku dan Tante Ema!”Pahit sekali kata-kata adikku. Tidakkah dia menyadari bahwa kata-katanya itu telah melukaiku? Cantik, lipstik, ah! Aku sungguh tak lagi peduli dengan itu. Yang aku sayangnya kali ini hanya satu, yakni sikap adikku.“Vanya, sebenarnya apa salahku hingga kau jadi sebenci ini?” tanyaku dengan lebih mencoba menurunkan intonasi.“Oh, kakak masih tanya salah kakak di mana? Lipstik, Kak. Kakak salah karena tidak memakai lipstik,” terang Vanya sembari kembali menyedekapkan tangannya.“Omong kosong! Perjelas alasanmu, Vanya! Jangan bawa-bawa lipstik di saat seperti ini!”Yang terakhir itu aku setengah membentak hingga Vanya pun terhenyak. Alhasil, sempat terjadi jeda beberapa detik lamanya yang membuat kami berdua sama-sama membungkam kata.“Katakanlah alasan yang sebenarnya!” desakku.“Baik. Akan kukatakan. Sejujurnya aku masih sak
“Nathan!” panggilku dengan segera mencegah Nathan untuk melangkah lebih jauh.Berhasil. Nathan menghentikan langkahnya, lantas kembali menoleh ke arahku.“Jangan memanggil Putra! Kumohon!” pintaku penuh harap.“Kenapa? Bukankah tadi kamu sangat ingin tahu alasannya?”“Iya, sih. Tapi ….”Aku pun sebenarnya bingung dengan diriku. Di satu sisi sangat ingin tahu, tapi di sisi lainnya lagi enggan bertemu.Agaknya Nathan memahamiku. Dia tersenyum, lantas memintaku untuk tenang.“Tenanglah, Mika! Jika kamu masih belum ingin bertemu dengan Kak Putra, maka aku pun tidak akan memaksa.”Ah, syukurlah! Nathan sungguh pengertian. Kalau begini dia jadi serupa malaikat pembagi kebaikan.“Tapi, bolehkah aku bertanya sesuatu?” tanya Nathan tiba-tiba.“Silakan saja jika ingin bertanya.”Lebih dulu aku mendapati senyum yang mengembang di wajah Nathan. Entah kenapa dua makhluk tampan penghuni ruko sepatu itu hobi sekali mengembangkan senyuman.“Kenapa diam?” tanyaku sekaligus sebagai kode agar Nathan lek
Aku terbangun saat matahari belum muncul. Tidurku begitu nyenyak usai mandi air hangat sebelum tidur. Aku cukup bersyukur, tidur nyenyakku mampu membuatku terlupa sejenak dengan huru-hara kehidupan. Semalam, aku batalkan niatan untuk menghubungi Putra. Kumatikan telponku pula demi mendapat rasa nyaman sepanjang malam. Sempat aku abaikan pula perasaan menyesal yang menggelayut pikiran, hingga di pagi ini pun aku kembali kepikiran. “Putra, maafkan aku. Semalam itu aku seolah tengah mempermainkanmu. Mau jadi pacar pura-pura, tapi justru menolak saat kamu benar-benar menawarkan cinta,” ucapku sembari menatap ke arah langit-langit kamar hotel. Usai mandi, aku bingung mencari pakaian ganti. Semalam itu memang dadakan sekali hingga aku sama sekali tidak memiliki persiapan untuk pergi. Terpaksa aku hidupkan kembali ponselku demi meminta bantuan dari kedua karyawan di toko bungaku. Ya, niat awalku seperti itu. Nyatanya, pesan lain yang masuk ke ponselku justru mengalihkan perhatianku. Ada
Bagiku, Putra adalah sosok lelaki yang berhasil membuatku nyaman dalam waktu singkat. Bahkan, hatiku telah terjerat di awal pertemuan. Mungkin, diriku seolah terlalu cepat menjatuhkan perasaan. Karena, siapa pula yang dapat mendustai gejolak cinta yang hadirnya saja tiada bisa disangka-sangka. Dalam kondisi yang demikian, ketika tawaran cinta itu datang, pastilah akan aku iyakan meski hanya berpura-pura. Tapi, kenapa harus datang ke rumah? Aku sedang bermasalah dengan Vanya dan Tante Ema. “Putra, apa kamu lupa kalau aku sedang bertengkar dengan mereka yang ada di rumah?” tanyaku sembari menatap Putra dengan sendu. Kudapati Putra terdiam sembari menunjukkan perubahan mimik wajah. Dia tampak merasa bersalah hingga menunjukkan tatapan sendu yang serupa denganku. “Maaf, Mika. Aku melupakan yang satu itu.” Senyumku kubuat merekah, lantas kuhembuskan nafas perlahan hingga membuat hatiku sedikit lega. Ada satu keputusan yang berusaha kuubah. “Tak apa jika kamu lupa. Mungkin, tadi kamu
Aku adalah perempuan yang mudah sekali penasaran. Begitu terbersit satu tanda tanya dalam pikiran, segera saja aku utarakan. Apa lagi, aku dan Putra dapat dibilang cukup akrab meski baru mengenal. “Putra, apa semua pujian darimu itu hanya untuk menghiburku?” tanyaku sembari menoleh demi bisa menatap bola mata Putra dengan lebih jelas. Putra memang balas menatapku, tapi tak kudapati mulutnya berucap untuk menjawab pertanyaanku. Lagi-lagi yang dia suguhkan adalah senyum manis yang tak pernah gagal membuat dadaku berdebar-debar. “Kamu … kenapa senyum-senyum begitu, sih?” tanyaku sembari mencebik. “Kamu sendiri kenapa begitu bibirnya?” Putra balik bertanya. “Ya habisnya kamu bukannya menjawab pertanyaanku malah senyum-senyum begitu.” Kudapati Putra tertawa ringan, lantas merogoh saku jaketnya. Bola mataku terus memperhatikan hingga akhirnya aku bisa melihat sebuah benda pipih canggih milik Putra, yakni ponselnya. “Mika, coba kamu foto selfie pakai ponselku,” pinta Putra tiba-tiba.
Bulir bening mengalir deras membasahi pipiku kala motor maticku kembali melaju. Tangisku pecah bukan karena keputusanku meninggalkan rumah. Bulir bening itu tumpah karena baik Vanya maupun Tante Ema sama sekali tidak ada yang mencegah kepergianku dari rumah. “Kenapa mereka begitu tidak menyukaiku? Apa iya hanya gara-gara aku tak sama seperti mereka? Apa iya hanya gara-gara aku tak pakai lipstik seperti yang sering mereka ucapkan padaku? Benarkah hanya gara-gara itu?” tanyaku pada diriku sendiri sembari tetap melajukan motorku. Tentu saja aku tidak mendapat jawaban atas semua yang baru saja aku tanyakan. Memangnya siapa yang akan menjawab? Tante Ema dan Vanya hanya bisa terus melaknat. Kutepikan motorku di area taman kota. Kuusap air mataku lebih dulu sebelum akhirnya aku menyendiri di sebuah bangku taman yang sepi. Tepat di depanku ada air mancur yang indah, tapi keindahannya sama sekali tidak bisa mengobati hatiku yang tengah terluka. “Sebelum ini Tante Ema dan Vanya memang sering
Entah sejak kapan aku jadi nyaman duduk bersama Putra dan Nathan. Entah sejak kapan pula tawaku jadi begitu lepas ketika Nathan membuat candaan. Aku tak tahu pastinya kapan. Namun, malam ini aku jadi enggan untuk pulang. Usai perdebatan dengan Vanya sore tadi, aku urung pulang ke rumah demi menghargai segelas es jeruk. Dua karyawanku telah pamit pulang, sedangkan tulisan di toko bunga telah aku ganti menjadi tutup. Lantas, aku pun mengekor di belakang Putra menuju ruko sepatu miliknya. Ada banyak hal yang kami obrolkan hingga es jeruk di wadahku tak lagi tersisa. Malam juga telah menyapa. “Jadi, roda sepedamu masih tetap empat sampai kau kelas empat?” tanya Putra kepada Nathan. “Iya, Kak. Aku beneran takut jatuh waktu itu,” aku Nathan disusul tawa panjang. Sejauh ini yang kami obrolkan adalah tentang masa kecil. Baik Putra ataupun Nathan sepertinya memang sengaja memilih random topik obrolan yang bisa membuatku tertawa. Buktinya sedari tadi aku tak henti-hentinya tertawa dengan pe
Vanya yang bertanya, tapi justru aku yang malu mendengar pertanyaan adikku itu. Bisa-bisanya dia bertanya status Nathan dan Putra dengan terang-terangan. Jujur, di mataku dia terlihat kecentilan. “Vanya, tunjukkan sopan santunmu! Jaga sikap!” desisku lirih pada adikku. Teguranku itu sengaja aku pelankan agar Nathan dan Putra tidak mendengar. Nyatanya, Vanya justru mengulang kalimat yang aku ucapkan. “Apa? Tunjukkan sopan santunmu? Maksud Kak Mika aku tidak sopan?” tanya Vanya sembari memasang wajah sebal ke arahku. Akan sangat lebih membuat malu bila aku menanggapi adikku itu dengan sikap kekanakan. Alhasil, aku pun hanya tersenyum kikuk sekaligus menyiratkan kode penuh arti melalui kedipan mata. Sayangnya, Vanya tidak memahaminya. “Apa’an, sih, Kak Mika kedip-kedip nggak jelas begitu? Kelilipan? Ngomong saja kalau kalau mau menegurku! Jangan pakai kode mata begitu! Kak Mika jadi terlihat gaje, alias nggak jelas!” “Cukup, Vanya!” tegurku lebih tegas. “Apa? Kak Mika mau marah?”