Anang
***"Buang tatapanmu itu! Jangan pernah tatapi istriku seperti itu. Sekali ada niat menyakiti istriku, itu artinya dirimu akan lebih cepat membusuk di jerurji besi!"Kini Yoga yang mengeluarkan uneg-uneg terhadap tatapanku pada istrinya itu. Dasar orang sok kaya dan sok benar."Biarkan dia, Mas. Sebentar lagi juga yang ia tatapi itu hanya besi-besi yang menjulang sebagai pembatas. Dia tak bisa lagi ke mana-mana." Maya meminta Yoga untuk membiarkanku begini. Tapi ucapannya itu malah membuatku semakin murka."Selamat siang!"Tiba-tiba datang lagi seorang pria. Ternyata dia adalah pengacaraku. Dia sigap datang kemari untuk membelaku saat ini."Selamat siang? Apakah Anda ada kepentingan dengan kasus ini?" Polisi bertanya.Kini pengacara malah melirik Yoga dengan tatapan yang lumayan kaget. "Saya, saya memang dipanggil ke sini oleh klien saya Pak Anang, Pak Polisi."BagusPoV Bu Hesti (ibu Anang)***"Bu, tolongin aku, Bu. Tolong Ibu cari pengacara yang terhandal." Putraku Anang ditarik paksa oleh petugas kepolisian. Mereka tak ada rasa ibanya sekali memisahkan anak dan ibunya."Baik, kamu tunggu dulu di sini tenang. Ibu harus pulang dulu, Ibu tak mau rumah kita diambil!" jawabku dengan pikiran terus berkecimpung pada rumah yang katanya akan kena sita perusahaaan untuk membayar semua kerugian.Aku segera bergegas meninggalkan Anang di kantor polisi. Ini bukan hal yang baik bagi keluarga kami. Bisa-bisanya ada orang yang berani menjebloskan anakku ke jeruji besi. Kata Anang, yang melakukan ini semua adalah Maya dan suaminya itu. Benar-benar kurang ajar sekali.Namaku Hesti Widuri, Ibu dari dua anak yang dimana putriku satu lagi sedang duduk di bangku kuliah. Dia kuliah di luar kota di sebuah kampus yang lumayan bagus. Saat ini putriku itu sewa kos di sana.Sekarang keadaan sedang gawat. Kalau sampai Anang benar-benar di penjara, bagaimana biaya kuliah
Hesti***Aku terus merajuk, "tak bisa, ini rumah saya dan anak saya. Tak bisa Anda semena-mena mengambilnya."Bibi saat ini sepertinya gemetaran menahan tubuhku yang kembali bangkit berusaha mengusir mereka."Mohon maaf, Bu, silahkan segera angkat kaki atau kami akan berlaku kasar."Biadab sekali mereka, bisa-bisanya menindas orang yang lemah."Kalian akan saya laporkan ke aparat sekitar!" ancamku."Silahkan, Bu, kami membawa bukti surat penyitaan rumah ini. Jadi, silahkan kemasi barang-barang kalian dan pergi!"Nadanya di akhir penuh dengan penekanan sekali."Bu, saya sudah bereskan pakaian semuanya ke koper. Termasuk pakaian Neng Mira dan Den Anang."Bibi malah membuatku semakin kesal."Apa yang Bibi lakukan? Ini rumah saya! Tak ada yang berhak lakukan hal itu!" bentakku padanya."Silahkan cepat segera angkat kaki, Bu. Kami akan ambil alih hunian ini." Mereka terus menggertakku."Tak bisa!" Aku kekeh."Baiklah, kami akan usir Ibu dengan cara kasar!" "Pak, jangan, Pak!" Bibi berusa
*Mohon maaf, bab sebelumnya tertukar. Ini adalah bab sebelumnya, dan dua bab sebelumnya bisa dibaca setelah ini****Anang***Saat ini aku tidak bisa berbuat banyak. Apapun yang kukeluhkan dan yang aku jelaskan sama sekali tak digubris. Saat ini posisiku telah dimasukkan ke dalam sel bersama orang-orang yang tak berguna. Harkh!"Ini semua gara-gara kalian!" bentakku keras pada mereka yang kini berada satu sel denganku."Heh, Pak! Bapak tak bisa salahkan kami ya! Semua ini gara-gara Bapak!"Deg!Dua bola mataku melebar mendengar kalimat yang terucap dari anak buahku. Beraninya mereka. Apa mereka bosan hidup?Yang bicara lantang itu kudekati dengan mimik wajah super geram karena dia sudah berani menghadangku dengan lontaran kalimat barusan."Berani kau bicara begitu, hah?" bentakku kasar sembari kuraih kerah bajunya menatapi bola matanya nanar.Dia malah mencengkeram rahang menahan emosi. Yang lain kulihat ada yang serba salah ada juga yang ketakutan.Harkh!Kuhempas dia dengan kasar s
PoV Sindy***"Sudah selesai, Mbak. Penghuni rumah itu sudah pergi semuanya. Rumah itu sudah kosong.""Mereka percaya?""Tentu saja, Mbak. Meskipun kami tidak memberikan surat dari pengadilan, karena mereka juga tidak bertanya.""Hahaha. Bagus. Sekarang saya berada di perjalanan ke luar negeri. Jangan hubungi saya dan bayaran kalian telah saya transfer.""Tapi, Mbak, kalau kami tertangkap bagaimana?" "Santai, yang ada juga mereka akan berterima kasih karena sebelum disita oleh pihak berwenang, rumah itu sudah kosong duluan. Lagipula, aku hanya niat menyingkirkan orang-orang di rumah itu saja. Rumahnya masih ada 'kan?" "Tapi, Mbak, tetap saja kita pasti kena. Kan tanpa ada kewenangan.""Halah, kalian diam saja. Kalian santai saja. Ini ibaratnya prank saja. Lagipula, mereka nggak bakalan lapor ke pengadilan, toh mereka
PoV Maya***"Mas, Mas, stop deh sebentar. Itu lihat taksi di depan mobil kita, yang keluar kayak mantan mertuaku dan asisten rumah tangganya. Tapi mereka bawa koper gitu. Itu depan hotel 'kan?"Netraku mengarah ke arah depan dengan teliti melihat mantan mertua turun dari taksi. "Masak sih?" Mas Yoga heran. Ia pun sejenak meminggirkan kendaraan supaya tak halangi kendaraan lain."Iya, Mas. Itu mereka bawa koper sama tas. Sama si bibi juga. Kenapa ya, Mas? Mereka menginap di hotel itu? Tapi rumah mereka tak begitu jauh dari sini!" Aku terus berkomentar sembari menatap ke arah yang masih sama.Aku baru saja menemani Mas Yoga menemui kolega bisnisnya. Kebetulan sekali lewat ke arah sini dan melihat mereka."Oh ya, Mas, apa mungkin rumah Mas Anang sudah disita hingga mereka sepertinya pindah gitu." "Tak mungkin lah, Sayang, maksudanya memang pasti akan tersita. Tapi 'kan bel
Maya***Alih-alih menegur balik, Ibu malah mengajak bibi untuk bergegas. Masih ada raut wajah malu tersirat di paras Ibu. Sepertinya ia malu dengan tuduhannya selama ini terhadap Mas Yoga."Tante tunggu!" Mas Yoga kini yang mencegah Ibu."Ada apa?" Dia akhirnya menanggapi."Maaf, Bu, boleh kita bicara sebentar di sana." Mas Yoga meminta ijin lalu menunjuk ke arah sofa yang tersedia di loby hotel."Ada apa? Seenaknya minta-minta ke saya. Kamu senang sudah buat saya terusir dari rumah?" celetuk Ibu dengan nada super kesal. Sedangkan bibi yang masih setia mendampingi Ibu hanya menunduk."Itu yang ingin saya bicarakan. Mari, Bu!"Dengan santun Mas Yoga mengajak Bu Hesti untuk bicara dengannya."Mau bicara apa? Kalau kamu mau kembalikan aset anak saya, baru saya akan setuju bicara dengan kamu." Ibu saat ini malah terbawa emosi."Oke, oke kita bicarakan ya, Bu. Mari kita duduk dulu, Bu."Dengan
PoV Risma***"Mas, kapan kamu naik jabatan? Masih aja jadi OB, gaji juga gak seberapa."Pagi hari aku menggerutu kepada Mas Diwan. Aku malah merasa bosan karena punya suami bekerja hanya menjadi tukang bersih-bersih. Keren saja namanya Cleaning service, tapi artinya tukang bersih-bersih. "Naik jabatan gimana? Jadi kepala OB? Aku kerja juga baru beberapa mingguan, udah mau naik jabatan aja. Kamu gila." Dia protes sembari membenarkan kerah pakaian."Iya, Mas, aku gila sejak melihat si Maya ternyata menikah dengan orang tajir super melintir. Lebih gilanya lagi, dia menikah dengan bos besarmu. Kalau saja aku tak tebal muka, mungkin saat bertemu si Maya beberapa hari yang lalu aku sudah melipir, Mas. Aku udah bangga-banggain kamu jadi karyawan di perusahaan, eh, malah kena jidadku sendiri, kamu cuma OB di kantor cabangnya. Asem 'kan, Mas!"Sembari meremas baju yang baru sel
Risma***Untuk mempermalukannya, aku ada ide untuk ikut masuk ke dalam rumah. Pura-pura mengiba dan empati untuk cari perhatian. Kasihan, dasar orang aneh, punya menantu kaya kok masih pinjam uang.Semua barang-barang dikeluarkan dan entah akan diangkut ke mana. Sepertinya akan di bawa ke pegadaian. Hihi.Saat aku ikut masuk ke rumah ibu si Maya, anehnya aku melihat ada di Maya dan ibunya di dalam dengan wajah yang biasa saja. Bahkan mereka seperti senyam-senyum. Orang gila, barang diangkut malah sok sumringah."Eh, Risma, ngapain di sana? Masuk!" Teg!Maya dan ibunya melihat aku yang berdiri di ambang pintu rumah mereka. Sepertinya aku harus mulai berakting. Sebenarnya mules perut kalau melihat si Maya, tapi sepertinya memang ada sebuah kejadian aneh, jadi aku harus pura-pura mengiba."Ya ampun, Bu, Maya. Aku maaf gak bisa bantu-bantu angkatin barangnya ya. Aku juga turut prihatin."