PoV Sindy
***"Sudah selesai, Mbak. Penghuni rumah itu sudah pergi semuanya. Rumah itu sudah kosong.""Mereka percaya?""Tentu saja, Mbak. Meskipun kami tidak memberikan surat dari pengadilan, karena mereka juga tidak bertanya.""Hahaha. Bagus. Sekarang saya berada di perjalanan ke luar negeri. Jangan hubungi saya dan bayaran kalian telah saya transfer.""Tapi, Mbak, kalau kami tertangkap bagaimana?""Santai, yang ada juga mereka akan berterima kasih karena sebelum disita oleh pihak berwenang, rumah itu sudah kosong duluan. Lagipula, aku hanya niat menyingkirkan orang-orang di rumah itu saja. Rumahnya masih ada 'kan?""Tapi, Mbak, tetap saja kita pasti kena. Kan tanpa ada kewenangan.""Halah, kalian diam saja. Kalian santai saja. Ini ibaratnya prank saja. Lagipula, mereka nggak bakalan lapor ke pengadilan, toh merekaPoV Maya***"Mas, Mas, stop deh sebentar. Itu lihat taksi di depan mobil kita, yang keluar kayak mantan mertuaku dan asisten rumah tangganya. Tapi mereka bawa koper gitu. Itu depan hotel 'kan?"Netraku mengarah ke arah depan dengan teliti melihat mantan mertua turun dari taksi. "Masak sih?" Mas Yoga heran. Ia pun sejenak meminggirkan kendaraan supaya tak halangi kendaraan lain."Iya, Mas. Itu mereka bawa koper sama tas. Sama si bibi juga. Kenapa ya, Mas? Mereka menginap di hotel itu? Tapi rumah mereka tak begitu jauh dari sini!" Aku terus berkomentar sembari menatap ke arah yang masih sama.Aku baru saja menemani Mas Yoga menemui kolega bisnisnya. Kebetulan sekali lewat ke arah sini dan melihat mereka."Oh ya, Mas, apa mungkin rumah Mas Anang sudah disita hingga mereka sepertinya pindah gitu." "Tak mungkin lah, Sayang, maksudanya memang pasti akan tersita. Tapi 'kan bel
Maya***Alih-alih menegur balik, Ibu malah mengajak bibi untuk bergegas. Masih ada raut wajah malu tersirat di paras Ibu. Sepertinya ia malu dengan tuduhannya selama ini terhadap Mas Yoga."Tante tunggu!" Mas Yoga kini yang mencegah Ibu."Ada apa?" Dia akhirnya menanggapi."Maaf, Bu, boleh kita bicara sebentar di sana." Mas Yoga meminta ijin lalu menunjuk ke arah sofa yang tersedia di loby hotel."Ada apa? Seenaknya minta-minta ke saya. Kamu senang sudah buat saya terusir dari rumah?" celetuk Ibu dengan nada super kesal. Sedangkan bibi yang masih setia mendampingi Ibu hanya menunduk."Itu yang ingin saya bicarakan. Mari, Bu!"Dengan santun Mas Yoga mengajak Bu Hesti untuk bicara dengannya."Mau bicara apa? Kalau kamu mau kembalikan aset anak saya, baru saya akan setuju bicara dengan kamu." Ibu saat ini malah terbawa emosi."Oke, oke kita bicarakan ya, Bu. Mari kita duduk dulu, Bu."Dengan
PoV Risma***"Mas, kapan kamu naik jabatan? Masih aja jadi OB, gaji juga gak seberapa."Pagi hari aku menggerutu kepada Mas Diwan. Aku malah merasa bosan karena punya suami bekerja hanya menjadi tukang bersih-bersih. Keren saja namanya Cleaning service, tapi artinya tukang bersih-bersih. "Naik jabatan gimana? Jadi kepala OB? Aku kerja juga baru beberapa mingguan, udah mau naik jabatan aja. Kamu gila." Dia protes sembari membenarkan kerah pakaian."Iya, Mas, aku gila sejak melihat si Maya ternyata menikah dengan orang tajir super melintir. Lebih gilanya lagi, dia menikah dengan bos besarmu. Kalau saja aku tak tebal muka, mungkin saat bertemu si Maya beberapa hari yang lalu aku sudah melipir, Mas. Aku udah bangga-banggain kamu jadi karyawan di perusahaan, eh, malah kena jidadku sendiri, kamu cuma OB di kantor cabangnya. Asem 'kan, Mas!"Sembari meremas baju yang baru sel
Risma***Untuk mempermalukannya, aku ada ide untuk ikut masuk ke dalam rumah. Pura-pura mengiba dan empati untuk cari perhatian. Kasihan, dasar orang aneh, punya menantu kaya kok masih pinjam uang.Semua barang-barang dikeluarkan dan entah akan diangkut ke mana. Sepertinya akan di bawa ke pegadaian. Hihi.Saat aku ikut masuk ke rumah ibu si Maya, anehnya aku melihat ada di Maya dan ibunya di dalam dengan wajah yang biasa saja. Bahkan mereka seperti senyam-senyum. Orang gila, barang diangkut malah sok sumringah."Eh, Risma, ngapain di sana? Masuk!" Teg!Maya dan ibunya melihat aku yang berdiri di ambang pintu rumah mereka. Sepertinya aku harus mulai berakting. Sebenarnya mules perut kalau melihat si Maya, tapi sepertinya memang ada sebuah kejadian aneh, jadi aku harus pura-pura mengiba."Ya ampun, Bu, Maya. Aku maaf gak bisa bantu-bantu angkatin barangnya ya. Aku juga turut prihatin."
Maya***"Awas ya kamu, May! Suamimu selingkuh baru tahu rasa! Aku dengar dia itu bujang, nikah sama janda kayak kamu. Mungkin untuk asisten di rumah ya? Kasihan! Bentar lagi juga nangis darah diselingkuhi!" Risma benar-benar mulutnya itu tak sekolah. Tak ada adab sekali saat bicara. Tapi, sedikit-sedikit dia perlu diberi pelajaran supaya tak seenaknya saja.Aku memperlihatkan mimik wajah biasa saja, menyeringai lalu bicara. "Oh, terima kasih karena kamu sudah mengingatkan ya, Risma. Tapi, soal aku dijadikan pembantu, sepertinya enggak ya. Asisten rumah tangga di rumahku lebih dari lima orang. Malah, enggak ada bagian untukku beres-beres sedikitpun. Aku hanya disuruh belanja, belanja, main, liburan, ya begitulah, Ris, mungkin dugaan kamu meleset." Dengan nada pelan super standar aku menjelaskan kekeliruannya terhadap dugaan buruk terhadapku. Sepertinya saat ini dia terpukau dengan emosinya.
PoV Maya***"Iya, Mbak, saya mau bawa ibu mertua saya dulu. Rumah ini akan di renovasi, jadi ibu sementara akan tinggal di rumah kami." Mas Yoga menanggapi Risma seperti benar saja. Dia tak tahu bagaimana wanita itu."Oh begitu. Aduh, Mas ini ya sudah tampan, baik, perhatian sama mertua. Suami idaman benget. Ih!"Keningku mengernyit heran melihat tingkah Risma. Aku tahu, dia sedang cari perhatian pada suamiku. Baiklah, lihat, sejauh mana dia akan melangkah."Terima kasih, Mbak. Tentu saya harus bisa membahagiakan orang tua istri saya, karena beliau telah rela menyerahkan putrinya yang cantik dan terbaik. Seorang wanita yang telah membuat beliau bangga karena pencapaian karirnya. Tentunya merenovasi rumah ini tak seberapa dibanding keridhoannya membiarkan saya bersanding dengan putrinya yang sekarang telah jadi istri saya."Jleb!Seketika liurku terteguk malu mendengar jawaban Mas Yoga terhadap pernya
Anang***Aku telah melapor pada pihak berwenang atas penyitaan rumah yang tanpa ada putusan dari pengadilan. Kupikir yang melakukan itu benar-benar perusahaan si Yoga seenaknya, ternyata setelah mendengar dari mulut pengacara, yang lakukan itu si Sindy. Dia sekarang masih ada di luar negeri kemungkinan jalan-jalan bersama pria lain. Aku sudah menduga, dia bukan wanita yang setia.Ibuku saat itu tak tahu apapun. Ia langsung saja pergi meninggalkan rumah tanpa bertanya banyak atau curiga. Dasar Ibu, anaknya saja baru ditahan, masak iya rumah langsung disita. Tapi itu kelakuan si Sindy, dia pasti dendam padaku. Dasar wanita bod*h, dia sepertinya ingin merasakan mendekam di dalam sel tahanan sepertiku saat ini.Sidang pertama telah aku lalui. Sialnya, lancar sekali. Pengacara tak bisa melakukan apapun karena memang bukti-bukti konkrit sekali. Tak ada yang bisa dibuat berdalih, hanya pembelaan kecil tak berarti saja.Lukma
Anang***"Kenapa melotot?" Dia menegurku dengan nada menakutkan. Sepertinya santapannya hari ini adalah aku. Yang lain tak digubris."Saya gak percaya Abang dikurung empat kali bolak-balik. Pembunuhan itu dikurungnya lama. Masak usia Abang segini sudah empat kali." Aku coba buka suara supaya tak terlihat seperti bajingan yang mentalnya ibarat tempe basi.Dia malah terkekeh lalu tertawa. "Hahahaha. Hahahaha. Kalian ingin tahu usiaku? Usiaku sekarang delapan puluh tahun!"Aku dan mereka semua tersentak kaget mendengar lelucon si pria itu. Masak iya usianya 80 tahun? "Alah, gak mungkin!" Aku menanggapi. Yang lain hanya diam sembari bisik-bisik."Kalian pasti tak percaya padaku. Rahasia awet muda ini, karena aku suka minum darah segar. Darah manusia-manusia bajingan yang segar. Hahaha."Jleb!"Kedua bola mataku melebar tak percaya. Mana ada manusia makan darah sesamanya." Bat