Anang
***"Pokoknya ya, Mas, pesta pernikahan kita harus lebih mewah, aku nggak mau tahu. Aku kesel, Mas, aku kesel!"Di kejauhan sana lewat jaringan seluler Sindy nyerocos hebat tentang kekecewaannya tak bisa membuat Maya malu, malah kami yang mati kutu saat itu. Memang, itu semua di luar nalar kami."Kamu itu gak bisa nungtut begitu. Pesta itu terlalu mewah. Mau miskin karena habis buat pesta hah?" jawabku kesal. Dia memang banyak nungtut, tak seperti Maya dulu.Sejak beberapa hari yang lalu melihat Maya dan si Yoga itu menikah, tidur pun rasanya tak nyenyak. Makan tak enak, napas pun seakan ada limitnya. Hal ini juga dirasakan oleh Ibuku. Dia teramat kecewa atas apa yang tersuguh di pesta itu. Niat untuk mempermalukan malah hanya bisa mematung karena syok berat. Alhasil, kami pulang dengan raut wajah super malu."Lah, kamu juga GM, Mas. Uangmu pasti banyak 'kan? Kamu jugAnang***Tidak, jangan sampai yang ambil alih saham perusahaan ini …"Sut! Ada apa?" Kutanya salah seorang bawahanku.Dia merendahkan pandangan lalu menjawab, "belum tahu, Pak. Sepertinya kita akan punya bosa baru tapi."Jleb!Banyak investor yang menanam saham di perusahaan ini. Jangan sampai orang yang membuatku murka malah berjaya. Aku tak mau mendengarnya.Namun, belum juga aku bicara lagi, bos sudah membuka acara kumpul bersama ini dengan penuh kekecewaan. Teg!Kedua bola mataku juga kini melebar kala melihat si Yoga datang dan berdiri di samping Pak Bos. Apa jangan-jangan …Kuteguk liur beberapa kali sembari menahan napas. Apa maksudnya semua ini?"Saya meminta maaf atas segala kekurangan dan kekhilafan saya selama ini selama memimpin perusahaan ini. Jujur, saya sudah tak berdaya lagi untuk kendarai perusahaaan ini karena saya terpaksa ha
Anang***"Ehm, hati-hati, kayaknya bakal ada perombakan kabinet. Yang kerjanya malas-malasan siap ditendang!" celetuk karib kerjaku di kantor.Saat ini aku benar-benar kesal. Ini sudah bukan lagi sekalas marah, tapi sudah naik level murka."Pak Sandy sudah siap-siap belum?" kelakarku padanya."Siap-siap gimana? Kerjaan saya selama ini baik-baik saja. Jauh dari kegelapan. Santai saja." Dia menanggapi.Aku takut kalau sampai kasus manajer Halilintar Corps itu merembet kepadaku. Tapi tidak mungkin, perusahaaan supplier saja tak mampu mendeteksi. Lagipula, ada orang dalam di KPK yang bisa aku kerjakan. Pengacara juga sudah siap siaga."Pak Anang kenapa? Sepertinya sedang kebingungan begitu? Gimana, sekarang bosnya suami mantan istri. Haha!" Yang lain malah menertawakanku. Kami sekarang sedang berada di kafe menikmati makan siang."Sudah, jan
Anang***"Aku akan bawa lagi semua barang yang udah pernah aku kasih sama dia, termasuk mobil! Enak saja dia!" kesalku melirik ke arah dinding dengan pikiran hanya tertuju pada kesialan."Ya sudah, kamu segeralah bawa mobil itu dari si Sindy, mau enaknya saja dia. Putus memang lebih baik, kamu harus dapatkan pria mapan seperti suami si Maya. Masak kamu kalah sama mantan istri kamu yang tak ada guna itu!" Ibu juga mendukung supaya aku putus dengan Sindy. Ide-ide dari orang terdekat memang harus ditampung. Antara mendekati wanita kaya, atau mendekati Maya untuk merusak rumah tangganya. ***Malam harinya.Ponselku berdenting di pukul sepuluh malam. Baru saja akan tidur, malah nada dering datang mengganggu. Padahal aku sudah pakai piyama siap-siap untuk mimpi indah walaupun hari-hari belakangan suram sekali.Setelah kulihat layar, ada nomor baru yang tak kukenali. Dari siapa?
Maya***"Sayang, kita makan di sini aja ya?" ucap suamiku di saat kami jalan keluar untuk menikmati makan siang. "Iya, di mana pun makan itu sama aja, Mas.""Oke, kamu pesan dulu ya, aku mau ke toilet dulu. Tunggu ya.""Iya, silahkan!" jawabku. Dia pun segera bergegas ke arah toilet mungkin, karena aku tak tahu jalan ke arah toilet ke mana di kafe ini. Arya ada les di hari Sabtu ini. Putraku itu ternyata menggemari olahraga futsal, jadi hari ini dia aku masukkan ke kelas futsal. Maksudnya bukan aku, tapi ayah barunya yang menghubungi rekannya untuk masukkan Arya ke kelas futsal sejak dini.Pelayan sudah menghampiri, aku mulai memesan tak lupa untuk Mas Yoga pula. Dia itu ternyata tak ada alergi makanan apapun. Jadi kalau di rumah, masak apapun tak ada yang dilarang."Ditunggu ya, Mbak," pinta pelayan dengan ramah. A
Maya***Sepertinya dua orang pria tinggi besar berpakaian setelan serba hitam itu adalah petugas dari kepolisian. "Mas, kayaknya polisi deh," komentarku."Sepertinya iya. Ya sudah, biarkan saja." Aku jadi malu pada Mas Yoga. Memang benar, ya sudah, biarkan saja. Untuk apa aku urusi dia."Apa salah saya, Pak?" Terdengar Mas Anang berdalih."Silahkan ikut kami," kata seorang petugas, "borgol, Pak!" Beliau juga meminta seorang di sampingnya untuk borgol Mas Anang. Kenapa dia?Wajah Mas Anang terlihat panik sekali. Seluruh pengunjung kafe menjadikan dia dan petugas menjadi pusat perhatian. Sepertinya dia akan dimintai pertanggungjawaban."Sayang, kamu ingin tahu kenapa dia ditangkap?" Tiba-tiba Mas Yoga bertanya. Apa dia tahu sesuatu?Kami berdua melirik ke arah pintu dan Mas Anang diseret oleh pihak berwajib."Kamu tahu sesuatu, Mas?" tanyaku pen
Maya***Sepertinya ada sebuah wadah di tengah kuenya. Seperti sebuah kotak. Jangan-jangan …"Mas, ini ada apanya ih?" Aku sudah mengulum senyum. Jangan-jangan dia memberiku kejutan berupa perhiasan? Astaghfirullah, apa yang aku pikirkan?Dia malah terus melempar senyum. "Coba ambil!" titahnya.Dengan raut wajah heran, aku pun mulai menyingkirkan pisau pemotong kue lalu mengambil kotak kecil itu. Setelah kubuka, yang nampak di dalamnya adalah sebuah kunci.Tegh!"Kunci?" heranku meliriknya."Ehem.""Kunci apa, Mas?" Sepertinya bukan kunci mobil. Lebih mirip kunci sebuah hunian."Itu kunci apartemen dari aku buat kamu. Kamu dulu pernah berkomentar 'enak ya kalau punya apartemen di atas, bisa lihat seluruh penjuru kota seujung pandangan kita', begitu 'kan?"Bola mataku tiba-tiba melebar kaget.Mas Yoga ambil kunci dari
Anang***"Ada apa ini? Apa salah saya?" "Silahkan Anda jelaskan di kantor polisi!"Degh!Aku malah menduga kalau anak buahku gagal melenyapkan semua bukti-bukti. Atau ada apa ini?Maya dan suaminya saat ini melihatku yang sedang diseret anggota kepolisian. Benar-benar memalukan!"Tapi, Pak, saya gak tahu apa-apa, Pak! Bapak ini menangkap saya dalam rangka apa?"Jantungku sudah berdegup tak nyaman. Tak ada angin tak ada hujan, kenapa ada polisi datang secara tiba-tiba bahkan ini di kafe. Dari mana mereka tahu aku ada di sini?"Anda jelaskan saja nanti di kantor polisi!"Aku terus dipaksa untuk dibawa masuk ke mobil menyeramkan. Kendaraan yang digunakan hanya untuk membawa orang-orang yang sudah melanggar hukum.Maya dan suaminya sama sekali tak ingin tahu soal ini. Mereka hanya mel
Anang***"Buang tatapanmu itu! Jangan pernah tatapi istriku seperti itu. Sekali ada niat menyakiti istriku, itu artinya dirimu akan lebih cepat membusuk di jerurji besi!"Kini Yoga yang mengeluarkan uneg-uneg terhadap tatapanku pada istrinya itu. Dasar orang sok kaya dan sok benar."Biarkan dia, Mas. Sebentar lagi juga yang ia tatapi itu hanya besi-besi yang menjulang sebagai pembatas. Dia tak bisa lagi ke mana-mana." Maya meminta Yoga untuk membiarkanku begini. Tapi ucapannya itu malah membuatku semakin murka."Selamat siang!"Tiba-tiba datang lagi seorang pria. Ternyata dia adalah pengacaraku. Dia sigap datang kemari untuk membelaku saat ini. "Selamat siang? Apakah Anda ada kepentingan dengan kasus ini?" Polisi bertanya.Kini pengacara malah melirik Yoga dengan tatapan yang lumayan kaget. "Saya, saya memang dipanggil ke sini oleh klien saya Pak Anang, Pak Polisi."Bagus