Anang
***"Aku akan bawa lagi semua barang yang udah pernah aku kasih sama dia, termasuk mobil! Enak saja dia!" kesalku melirik ke arah dinding dengan pikiran hanya tertuju pada kesialan."Ya sudah, kamu segeralah bawa mobil itu dari si Sindy, mau enaknya saja dia. Putus memang lebih baik, kamu harus dapatkan pria mapan seperti suami si Maya. Masak kamu kalah sama mantan istri kamu yang tak ada guna itu!"Ibu juga mendukung supaya aku putus dengan Sindy. Ide-ide dari orang terdekat memang harus ditampung. Antara mendekati wanita kaya, atau mendekati Maya untuk merusak rumah tangganya.***Malam harinya.Ponselku berdenting di pukul sepuluh malam. Baru saja akan tidur, malah nada dering datang mengganggu. Padahal aku sudah pakai piyama siap-siap untuk mimpi indah walaupun hari-hari belakangan suram sekali.Setelah kulihat layar, ada nomor baru yang tak kukenali. Dari siapa?Maya***"Sayang, kita makan di sini aja ya?" ucap suamiku di saat kami jalan keluar untuk menikmati makan siang. "Iya, di mana pun makan itu sama aja, Mas.""Oke, kamu pesan dulu ya, aku mau ke toilet dulu. Tunggu ya.""Iya, silahkan!" jawabku. Dia pun segera bergegas ke arah toilet mungkin, karena aku tak tahu jalan ke arah toilet ke mana di kafe ini. Arya ada les di hari Sabtu ini. Putraku itu ternyata menggemari olahraga futsal, jadi hari ini dia aku masukkan ke kelas futsal. Maksudnya bukan aku, tapi ayah barunya yang menghubungi rekannya untuk masukkan Arya ke kelas futsal sejak dini.Pelayan sudah menghampiri, aku mulai memesan tak lupa untuk Mas Yoga pula. Dia itu ternyata tak ada alergi makanan apapun. Jadi kalau di rumah, masak apapun tak ada yang dilarang."Ditunggu ya, Mbak," pinta pelayan dengan ramah. A
Maya***Sepertinya dua orang pria tinggi besar berpakaian setelan serba hitam itu adalah petugas dari kepolisian. "Mas, kayaknya polisi deh," komentarku."Sepertinya iya. Ya sudah, biarkan saja." Aku jadi malu pada Mas Yoga. Memang benar, ya sudah, biarkan saja. Untuk apa aku urusi dia."Apa salah saya, Pak?" Terdengar Mas Anang berdalih."Silahkan ikut kami," kata seorang petugas, "borgol, Pak!" Beliau juga meminta seorang di sampingnya untuk borgol Mas Anang. Kenapa dia?Wajah Mas Anang terlihat panik sekali. Seluruh pengunjung kafe menjadikan dia dan petugas menjadi pusat perhatian. Sepertinya dia akan dimintai pertanggungjawaban."Sayang, kamu ingin tahu kenapa dia ditangkap?" Tiba-tiba Mas Yoga bertanya. Apa dia tahu sesuatu?Kami berdua melirik ke arah pintu dan Mas Anang diseret oleh pihak berwajib."Kamu tahu sesuatu, Mas?" tanyaku pen
Maya***Sepertinya ada sebuah wadah di tengah kuenya. Seperti sebuah kotak. Jangan-jangan …"Mas, ini ada apanya ih?" Aku sudah mengulum senyum. Jangan-jangan dia memberiku kejutan berupa perhiasan? Astaghfirullah, apa yang aku pikirkan?Dia malah terus melempar senyum. "Coba ambil!" titahnya.Dengan raut wajah heran, aku pun mulai menyingkirkan pisau pemotong kue lalu mengambil kotak kecil itu. Setelah kubuka, yang nampak di dalamnya adalah sebuah kunci.Tegh!"Kunci?" heranku meliriknya."Ehem.""Kunci apa, Mas?" Sepertinya bukan kunci mobil. Lebih mirip kunci sebuah hunian."Itu kunci apartemen dari aku buat kamu. Kamu dulu pernah berkomentar 'enak ya kalau punya apartemen di atas, bisa lihat seluruh penjuru kota seujung pandangan kita', begitu 'kan?"Bola mataku tiba-tiba melebar kaget.Mas Yoga ambil kunci dari
Anang***"Ada apa ini? Apa salah saya?" "Silahkan Anda jelaskan di kantor polisi!"Degh!Aku malah menduga kalau anak buahku gagal melenyapkan semua bukti-bukti. Atau ada apa ini?Maya dan suaminya saat ini melihatku yang sedang diseret anggota kepolisian. Benar-benar memalukan!"Tapi, Pak, saya gak tahu apa-apa, Pak! Bapak ini menangkap saya dalam rangka apa?"Jantungku sudah berdegup tak nyaman. Tak ada angin tak ada hujan, kenapa ada polisi datang secara tiba-tiba bahkan ini di kafe. Dari mana mereka tahu aku ada di sini?"Anda jelaskan saja nanti di kantor polisi!"Aku terus dipaksa untuk dibawa masuk ke mobil menyeramkan. Kendaraan yang digunakan hanya untuk membawa orang-orang yang sudah melanggar hukum.Maya dan suaminya sama sekali tak ingin tahu soal ini. Mereka hanya mel
Anang***"Buang tatapanmu itu! Jangan pernah tatapi istriku seperti itu. Sekali ada niat menyakiti istriku, itu artinya dirimu akan lebih cepat membusuk di jerurji besi!"Kini Yoga yang mengeluarkan uneg-uneg terhadap tatapanku pada istrinya itu. Dasar orang sok kaya dan sok benar."Biarkan dia, Mas. Sebentar lagi juga yang ia tatapi itu hanya besi-besi yang menjulang sebagai pembatas. Dia tak bisa lagi ke mana-mana." Maya meminta Yoga untuk membiarkanku begini. Tapi ucapannya itu malah membuatku semakin murka."Selamat siang!"Tiba-tiba datang lagi seorang pria. Ternyata dia adalah pengacaraku. Dia sigap datang kemari untuk membelaku saat ini. "Selamat siang? Apakah Anda ada kepentingan dengan kasus ini?" Polisi bertanya.Kini pengacara malah melirik Yoga dengan tatapan yang lumayan kaget. "Saya, saya memang dipanggil ke sini oleh klien saya Pak Anang, Pak Polisi."Bagus
PoV Bu Hesti (ibu Anang)***"Bu, tolongin aku, Bu. Tolong Ibu cari pengacara yang terhandal." Putraku Anang ditarik paksa oleh petugas kepolisian. Mereka tak ada rasa ibanya sekali memisahkan anak dan ibunya."Baik, kamu tunggu dulu di sini tenang. Ibu harus pulang dulu, Ibu tak mau rumah kita diambil!" jawabku dengan pikiran terus berkecimpung pada rumah yang katanya akan kena sita perusahaaan untuk membayar semua kerugian.Aku segera bergegas meninggalkan Anang di kantor polisi. Ini bukan hal yang baik bagi keluarga kami. Bisa-bisanya ada orang yang berani menjebloskan anakku ke jeruji besi. Kata Anang, yang melakukan ini semua adalah Maya dan suaminya itu. Benar-benar kurang ajar sekali.Namaku Hesti Widuri, Ibu dari dua anak yang dimana putriku satu lagi sedang duduk di bangku kuliah. Dia kuliah di luar kota di sebuah kampus yang lumayan bagus. Saat ini putriku itu sewa kos di sana.Sekarang keadaan sedang gawat. Kalau sampai Anang benar-benar di penjara, bagaimana biaya kuliah
Hesti***Aku terus merajuk, "tak bisa, ini rumah saya dan anak saya. Tak bisa Anda semena-mena mengambilnya."Bibi saat ini sepertinya gemetaran menahan tubuhku yang kembali bangkit berusaha mengusir mereka."Mohon maaf, Bu, silahkan segera angkat kaki atau kami akan berlaku kasar."Biadab sekali mereka, bisa-bisanya menindas orang yang lemah."Kalian akan saya laporkan ke aparat sekitar!" ancamku."Silahkan, Bu, kami membawa bukti surat penyitaan rumah ini. Jadi, silahkan kemasi barang-barang kalian dan pergi!"Nadanya di akhir penuh dengan penekanan sekali."Bu, saya sudah bereskan pakaian semuanya ke koper. Termasuk pakaian Neng Mira dan Den Anang."Bibi malah membuatku semakin kesal."Apa yang Bibi lakukan? Ini rumah saya! Tak ada yang berhak lakukan hal itu!" bentakku padanya."Silahkan cepat segera angkat kaki, Bu. Kami akan ambil alih hunian ini." Mereka terus menggertakku."Tak bisa!" Aku kekeh."Baiklah, kami akan usir Ibu dengan cara kasar!" "Pak, jangan, Pak!" Bibi berusa
*Mohon maaf, bab sebelumnya tertukar. Ini adalah bab sebelumnya, dan dua bab sebelumnya bisa dibaca setelah ini****Anang***Saat ini aku tidak bisa berbuat banyak. Apapun yang kukeluhkan dan yang aku jelaskan sama sekali tak digubris. Saat ini posisiku telah dimasukkan ke dalam sel bersama orang-orang yang tak berguna. Harkh!"Ini semua gara-gara kalian!" bentakku keras pada mereka yang kini berada satu sel denganku."Heh, Pak! Bapak tak bisa salahkan kami ya! Semua ini gara-gara Bapak!"Deg!Dua bola mataku melebar mendengar kalimat yang terucap dari anak buahku. Beraninya mereka. Apa mereka bosan hidup?Yang bicara lantang itu kudekati dengan mimik wajah super geram karena dia sudah berani menghadangku dengan lontaran kalimat barusan."Berani kau bicara begitu, hah?" bentakku kasar sembari kuraih kerah bajunya menatapi bola matanya nanar.Dia malah mencengkeram rahang menahan emosi. Yang lain kulihat ada yang serba salah ada juga yang ketakutan.Harkh!Kuhempas dia dengan kasar s