Maya
***Aduh, aku malah gerogi seperti ini.Mas Yoga semakin mendekati tubuhku yang masih mengenakan handuk kimono plus handuk di kepala untuk keringkan rambut."Kamu wangi sekali," ucapnya manja membuat bulu kudukku tanpa permisi kembali berdiri.Mendengar bisikkan yang ia dekatkan ke telinga membuatku merasa terseret arus gelora cinta yang membara. Kedua kelopak mata ini hanya mampu memejamkan mata membayangkan hal-hal yang indah.Malam ini, pertama kalinya jemari Mas Yoga merayap tubuhku mulai dari arah bahu dan berakhir di dada.Ia dekatkan kembali bibirnya ke telingaku."Kalau begitu aku mandi dulu ya?" ucapnya lembut membuat napasku sesak sendiri. Berkali-kali aku mangangkat dada mengatur napas sembari memejamkan mata untuk menetralisir rasa candu.Aku pun manggut-manggut saat ia bilang hendak bersihkan badan terlebih dahulu.Terlihat dari cermin ia seYoga***"Selamat pagi, Sayang?"Pagi hari selalu kuawali dengan penuh kesegaran dan kebugaran. Hari ke-3 dimana aku telah sah menjadi seorang suami dari wanita yang telah kupilih."Pagi juga, Mas." Istriku melempar senyum indahnya.Kukecup pucuk kening istri yang sudah terlihat cantik sembari mempersiapkan sarapan untuk kami sekeluarga. Aku, dia, dan juga Arya. Sebenarnya ada bibi di sini, tapi sepertinya dia yang berusaha siapkan. Pakaiaannya juga sudah rapi setelan ngantor."Pagi anak Ayah yang tampan!" Tak lupa pula kusapa si kecil Arya yang telah duduk manis menunggu diriku usai berpakaian rapi hendak pergi ke kantor. Ini adalah hari pertama lagi aku masuk kerja."Pagi juga, Ayah!" Arya menjawab dengan gembira. Kuusap kepalanya lalu bokong ini pun kubawa duduk di kursi meja makan.Arya kuminta memanggilku ayah saja supaya berbeda. Karena sebutan 'papa' itu hanya untuk Mas Anang--mantan suami istriku, yaitu papa kandung Arya.Kami belum berangkat berbulan madu ke tempat yang dii
Yoga***"Mas, kok kamu ke sini?" tanya istri kala kuantar dia sampai ke ruangannya."Ya aku antar lah, Sayang. Oh ya, ternyata benar tetangga kamu itu kerja di perusahaan cabang kita. Dia seorang cleaning service yang baru masuk beberapa minggu yang lalu.""Hemh? Maksudnya Mas Diwan? Suaminya Risma?" Dia heran."Ya, namanya Diwan 'kan? Menurut HRD begitu."Dia pun manggut-manggut seperti masih memendam keheranan. Tak kusangka sekarang kami telah menjadi suami istri. Berangkat kerja sama-sama, sampai tidur pun sekarang bersama."Mas, kok lihat aku begitu?" ujarnya setelah duduk, karena aku memang menatapnya tanpa henti sembari membayangkan bagaimana hari-hari akan selalu kami lewati bersama."Emang tak boleh?" jawabku sembari memainkan alis hingga ia tersipu malu.Semoga saja dia selalu ada dan selalu menemaniku di saat roda kami tak lagi di atas. Karena sejatinya roda itu berputar. Mungkin saja esok atau nanti kita tak bisa lagi menikmati keindahan dunia dalam bentuk harta dan tahta
Anang***"Pokoknya ya, Mas, pesta pernikahan kita harus lebih mewah, aku nggak mau tahu. Aku kesel, Mas, aku kesel!" Di kejauhan sana lewat jaringan seluler Sindy nyerocos hebat tentang kekecewaannya tak bisa membuat Maya malu, malah kami yang mati kutu saat itu. Memang, itu semua di luar nalar kami."Kamu itu gak bisa nungtut begitu. Pesta itu terlalu mewah. Mau miskin karena habis buat pesta hah?" jawabku kesal. Dia memang banyak nungtut, tak seperti Maya dulu.Sejak beberapa hari yang lalu melihat Maya dan si Yoga itu menikah, tidur pun rasanya tak nyenyak. Makan tak enak, napas pun seakan ada limitnya. Hal ini juga dirasakan oleh Ibuku. Dia teramat kecewa atas apa yang tersuguh di pesta itu. Niat untuk mempermalukan malah hanya bisa mematung karena syok berat. Alhasil, kami pulang dengan raut wajah super malu. "Lah, kamu juga GM, Mas. Uangmu pasti banyak 'kan? Kamu jug
Anang***Tidak, jangan sampai yang ambil alih saham perusahaan ini …"Sut! Ada apa?" Kutanya salah seorang bawahanku.Dia merendahkan pandangan lalu menjawab, "belum tahu, Pak. Sepertinya kita akan punya bosa baru tapi."Jleb!Banyak investor yang menanam saham di perusahaan ini. Jangan sampai orang yang membuatku murka malah berjaya. Aku tak mau mendengarnya.Namun, belum juga aku bicara lagi, bos sudah membuka acara kumpul bersama ini dengan penuh kekecewaan. Teg!Kedua bola mataku juga kini melebar kala melihat si Yoga datang dan berdiri di samping Pak Bos. Apa jangan-jangan …Kuteguk liur beberapa kali sembari menahan napas. Apa maksudnya semua ini?"Saya meminta maaf atas segala kekurangan dan kekhilafan saya selama ini selama memimpin perusahaan ini. Jujur, saya sudah tak berdaya lagi untuk kendarai perusahaaan ini karena saya terpaksa ha
Anang***"Ehm, hati-hati, kayaknya bakal ada perombakan kabinet. Yang kerjanya malas-malasan siap ditendang!" celetuk karib kerjaku di kantor.Saat ini aku benar-benar kesal. Ini sudah bukan lagi sekalas marah, tapi sudah naik level murka."Pak Sandy sudah siap-siap belum?" kelakarku padanya."Siap-siap gimana? Kerjaan saya selama ini baik-baik saja. Jauh dari kegelapan. Santai saja." Dia menanggapi.Aku takut kalau sampai kasus manajer Halilintar Corps itu merembet kepadaku. Tapi tidak mungkin, perusahaaan supplier saja tak mampu mendeteksi. Lagipula, ada orang dalam di KPK yang bisa aku kerjakan. Pengacara juga sudah siap siaga."Pak Anang kenapa? Sepertinya sedang kebingungan begitu? Gimana, sekarang bosnya suami mantan istri. Haha!" Yang lain malah menertawakanku. Kami sekarang sedang berada di kafe menikmati makan siang."Sudah, jan
Anang***"Aku akan bawa lagi semua barang yang udah pernah aku kasih sama dia, termasuk mobil! Enak saja dia!" kesalku melirik ke arah dinding dengan pikiran hanya tertuju pada kesialan."Ya sudah, kamu segeralah bawa mobil itu dari si Sindy, mau enaknya saja dia. Putus memang lebih baik, kamu harus dapatkan pria mapan seperti suami si Maya. Masak kamu kalah sama mantan istri kamu yang tak ada guna itu!" Ibu juga mendukung supaya aku putus dengan Sindy. Ide-ide dari orang terdekat memang harus ditampung. Antara mendekati wanita kaya, atau mendekati Maya untuk merusak rumah tangganya. ***Malam harinya.Ponselku berdenting di pukul sepuluh malam. Baru saja akan tidur, malah nada dering datang mengganggu. Padahal aku sudah pakai piyama siap-siap untuk mimpi indah walaupun hari-hari belakangan suram sekali.Setelah kulihat layar, ada nomor baru yang tak kukenali. Dari siapa?
Maya***"Sayang, kita makan di sini aja ya?" ucap suamiku di saat kami jalan keluar untuk menikmati makan siang. "Iya, di mana pun makan itu sama aja, Mas.""Oke, kamu pesan dulu ya, aku mau ke toilet dulu. Tunggu ya.""Iya, silahkan!" jawabku. Dia pun segera bergegas ke arah toilet mungkin, karena aku tak tahu jalan ke arah toilet ke mana di kafe ini. Arya ada les di hari Sabtu ini. Putraku itu ternyata menggemari olahraga futsal, jadi hari ini dia aku masukkan ke kelas futsal. Maksudnya bukan aku, tapi ayah barunya yang menghubungi rekannya untuk masukkan Arya ke kelas futsal sejak dini.Pelayan sudah menghampiri, aku mulai memesan tak lupa untuk Mas Yoga pula. Dia itu ternyata tak ada alergi makanan apapun. Jadi kalau di rumah, masak apapun tak ada yang dilarang."Ditunggu ya, Mbak," pinta pelayan dengan ramah. A
Maya***Sepertinya dua orang pria tinggi besar berpakaian setelan serba hitam itu adalah petugas dari kepolisian. "Mas, kayaknya polisi deh," komentarku."Sepertinya iya. Ya sudah, biarkan saja." Aku jadi malu pada Mas Yoga. Memang benar, ya sudah, biarkan saja. Untuk apa aku urusi dia."Apa salah saya, Pak?" Terdengar Mas Anang berdalih."Silahkan ikut kami," kata seorang petugas, "borgol, Pak!" Beliau juga meminta seorang di sampingnya untuk borgol Mas Anang. Kenapa dia?Wajah Mas Anang terlihat panik sekali. Seluruh pengunjung kafe menjadikan dia dan petugas menjadi pusat perhatian. Sepertinya dia akan dimintai pertanggungjawaban."Sayang, kamu ingin tahu kenapa dia ditangkap?" Tiba-tiba Mas Yoga bertanya. Apa dia tahu sesuatu?Kami berdua melirik ke arah pintu dan Mas Anang diseret oleh pihak berwajib."Kamu tahu sesuatu, Mas?" tanyaku pen