Malam itu, setelah makan malam yang penuh makna, Alena merasa seperti ada sesuatu yang berubah, meskipun belum bisa ia definisikan dengan jelas. Suasana antara dirinya dan Adrian begitu berbeda dari pertemuan-pertemuan sebelumnya. Bukan hanya percakapan mereka yang lebih dalam, tetapi juga energi yang terasa mengalir di antara mereka—energi yang terasa asing namun menggoda.Alena berjalan pulang dengan langkah lambat, pikirannya terombang-ambing. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan yang tumbuh di dalam hatinya. Seiring dengan setiap kata yang diucapkan Adrian, ia semakin merasa tersentuh, seolah pria itu mulai melihat sisi lain dalam dirinya—sisi yang jarang ia tunjukkan pada orang lain. Ia selalu berusaha menjaga batas, menjaga jarak antara dirinya dan Adrian, tetapi semakin ia berusaha menahannya, semakin ia merasa ketegangan emosional yang tak terelakkan.Pikiran-pikiran itu terus berputar di benaknya. Apakah yang ia rasakan ini hanya ketertarikan biasa? Ataukah ini adalah sesuatu y
Alena terjaga tengah malam, matanya terbuka lebar, memandang langit-langit kamar dengan perasaan yang berat. Suara detakan jam dinding yang terdengar di ruang tamu menjadi satu-satunya suara yang mengisi keheningan malam. Pikirannya berputar-putar, mencakar hatinya dengan kebimbangan yang semakin menyesakkan. Di satu sisi, ada Reno—suami yang telah bersamanya melewati banyak hal, yang selalu memberikan dukungan dan kasih sayang. Namun di sisi lain, ada Adrian—sosok yang begitu memikat dan kompleks, seorang atasan yang mulai menunjukkan perhatian lebih, yang membuatnya merasa dihargai dan diperhatikan dengan cara yang berbeda.Kebingungannya semakin parah sejak makan malam dengan Adrian beberapa malam yang lalu. Walaupun ia berusaha keras untuk tidak membiarkan perasaan itu berkembang, ada sesuatu dalam dirinya yang mulai tumbuh. Ketika Adrian berbicara dengan cara yang lebih pribadi, ketika dia menunjukkan sisi lembut dan rentannya, Alena merasa seperti ia baru saja melihat sisi lain
Alena merasa ada yang berbeda dalam sikap Adrian setelah makan malam itu. Meski mereka masih berinteraksi dalam konteks pekerjaan, ada nuansa baru yang sulit diabaikan. Adrian, yang selama ini terkenal dengan sikap profesionalnya yang sangat tegas dan kadang terkesan dingin, kini tampak lebih santai dan memperlihatkan perhatian yang lebih kecil namun bermakna.Di pagi hari, saat Alena tiba di kantor, Adrian menyapanya dengan senyum yang lebih hangat daripada biasanya. "Selamat pagi, Alena. Sudah sarapan?" tanyanya sambil melirik layar komputernya.Alena sempat terdiam sejenak. Pertanyaan itu terdengar sederhana, tetapi ada sesuatu yang berbeda—ada perhatian yang lebih pribadi di baliknya. Ia tersenyum ragu, "Pagi, Pak Adrian. Belum, baru saja sampai."Adrian mengangguk, terlihat sedikit lebih rileks dari biasanya. "Jangan lupa makan, ya. Kerja jangan sampai lupa kesehatan."Alena hanya mengangguk, mencoba menjaga jarak meskipun ada rasa hangat yang mulai tumbuh di hatinya. Ia berusaha
Rapat internal itu berjalan seperti biasa, dengan Adrian memimpin diskusi tentang beberapa proyek perusahaan yang sedang berlangsung. Suasana profesional itu tiba-tiba berubah saat Adrian secara tidak sengaja membagikan cerita pribadi yang mengejutkan semua orang di ruangan. Semua mata tertuju pada Adrian, yang biasanya sangat terjaga dan tidak pernah mengungkapkan apa pun yang bersifat pribadi."Sebagai pemimpin, kadang saya merasa seolah-olah beban ini lebih berat daripada yang terlihat di luar," ujar Adrian tanpa sengaja, menanggapi sebuah pertanyaan dari salah satu tim yang meminta klarifikasi tentang arah perusahaan. "Tapi, saya rasa ini adalah bagian dari apa yang harus saya tanggung, terutama dengan ekspektasi keluarga yang selalu ada di belakang saya. Tidak mudah, tapi saya berusaha menjalani semuanya dengan cara terbaik."Suasana dalam ruangan mendadak hening. Semua orang yang hadir mulai saling pandang, terkejut dengan pengungkapan tersebut. Bahkan Alena, yang sudah lama bek
Malam itu, kantor terasa lebih sunyi daripada biasanya. Lampu-lampu neon yang biasa menyinari ruangan kini seolah menciptakan atmosfer yang lebih intim, dengan hanya suara ketikan keyboard dan gelegar layar komputer yang terdengar. Alena dan Adrian duduk berhadapan di ruang kerja, menyelesaikan laporan terakhir yang harus diserahkan ke klien esok pagi. Mereka telah bekerja hampir sepanjang hari, dan meskipun kelelahan mulai menghampiri, mereka tetap fokus pada tugas-tugas yang ada.Namun, di tengah keheningan yang semakin mendalam, Adrian menutup laptopnya lebih cepat dari yang Alena perkirakan. Ia berdiri dan menyentuh bahu Alena, memberi isyarat agar ia mengikuti."Yuk, kita istirahat sebentar," ujar Adrian dengan nada yang lebih santai dari biasanya, meskipun masih ada sedikit beban di wajahnya.Alena memandang Adrian sejenak. Ini terasa aneh—karena biasanya ia jarang melihat Adrian mengajak orang lain untuk beristirahat di luar pekerjaan. Tapi dengan sedikit ragu, Alena mengikuti
Hari itu dimulai seperti biasa, dengan rapat yang padat dan tenggat waktu yang menunggu untuk diselesaikan. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam suasana kantor. Meskipun hari masih pagi, ada rasa tenang yang melingkupi Alena. Ia merasa lebih ringan, meskipun pekerjaannya masih menumpuk di meja.Alena sedang duduk di mejanya, menatap layar komputer yang penuh dengan email dan laporan yang harus segera diselesaikan. Tiba-tiba, seorang asisten datang dengan secangkir kopi yang masih mengepul. Alena menatapnya, bingung.“Ini untuk Anda, dari Pak Adrian,” ujar asisten itu sambil meletakkan kopi di meja Alena. “Ada catatan juga.”Alena mengambil secangkir kopi tersebut dan membaca catatan singkat yang terlipat di atasnya. Dengan tulisan tangan yang rapi, catatan itu bertuliskan:"Jangan terlalu memaksakan diri."Alena merasa terkejut. Ini bukan sekadar catatan biasa—ada sesuatu yang lembut dan perhatian dalam kata-kata itu. Meskipun sederhana, pesan tersebut terasa begitu pribadi. Adrian,
Hari-hari berlalu dengan Alena merasa terjebak dalam pusaran perasaan yang semakin rumit. Setiap kali ia berinteraksi dengan Adrian, ia merasa ada ketegangan yang tidak bisa dihindari. Adrian yang dulunya selalu terlihat begitu tegas dan profesional, kini menunjukkan sisi lain yang lebih lembut dan perhatian—sisi yang membuat Alena bingung dan meragukan niatnya.Alena sering kali merenung tentang perubahan ini. Apakah perhatian Adrian yang semakin jelas adalah tanda bahwa ia mulai melihatnya sebagai lebih dari sekadar bawahan? Apakah semua itu hanya strategi untuk mempertahankan produktivitasnya, ataukah ada sesuatu yang lebih pribadi di baliknya? Setiap senyuman kecil, setiap pertanyaan yang lebih dalam tentang kehidupannya, semakin membuat Alena merasa cemas.Di sisi lain, ia merasa terperangkap dalam dua dunia yang saling bertentangan. Di rumah, Reno semakin memperhatikan jarangnya Alena berada di rumah, dan kecemburuannya semakin jelas terlihat. Alena tahu bahwa meskipun ia mencob
Beberapa minggu setelah makan malam yang penuh ketegangan, Adrian semakin terbuka dalam menunjukkan perhatian kepada Alena. Tidak hanya di ruang rapat atau saat ada proyek besar yang harus diselesaikan, tetapi juga dalam momen-momen kecil yang selama ini tak pernah ada di antara mereka. Setiap kali mereka bertemu di kantor, ada sesuatu yang berbeda dalam cara Adrian berbicara kepadanya—lebih hangat, lebih pribadi, seolah-olah mereka sudah melewati batas profesionalisme yang sebelumnya begitu jelas.Di acara-acara bisnis, di mana mereka biasanya bersikap sangat formal, kini Alena merasa bahwa Adrian lebih memperhatikannya. Ia selalu berada di sampingnya, berbicara dengannya lebih sering dibandingkan dengan rekan lainnya. Hal ini membuat banyak orang di sekitar mereka mulai memperhatikan perubahan yang mencolok.Vanessa, rekan kerja yang sejak awal tidak pernah suka pada Alena, mulai memperhatikan setiap gerakan mereka. Dari cara Adrian memperhatikan Alena saat berbicara, hingga seberap
Malam itu, udara di sekitar restoran Italia klasik terasa begitu berat. Alena menggenggam gelas wine-nya, mencoba meredakan getaran halus pada tangannya. Cahaya lilin di meja menyinari wajahnya yang tampak lelah, bayangan keraguan terpantul di antara bayangan api yang bergoyang.Sebenarnya, sudah berpekan-pekan ia hidup dalam ketegangan yang mencekam. Setiap gerak-gerik Reno yang mencoba menyelidiki masa lalunya, setiap pertanyaan Adrian yang menusuk ke dalam lapisan terdalam perasaannya, semua terasa seperti jaring yang perlahan-lahan menciutkan ruang geraknya.Adrian duduk di hadapannya, tampan dengan kemeja abu-abu yang rapi. Tatapannya tajam namun lembut, seolah-olah ia bisa membaca setiap pikiran tersembunyi di balik topeng yang Alena kenakan selama ini."Kamu sudah memesan risotto jamur?" tanya Adrian, memecah keheningan yang mencekam.Alena tersenyum tipis. "Sudah. Kamu tahu aku selalu suka masakan Italia."Mereka berbincang tentang pekerjaan awalnya. Proyek besar yang tengah m
Alena menatap layar laptop dengan pandangan kosong. Presentasi yang seharusnya dia selesaikan sejak dua jam lalu masih terbuka pada slide yang sama. Pikirannya tak bisa fokus; bayang-bayang wajah Reno yang curiga dan tatapan Adrian yang penuh harap silih berganti memenuhi benaknya."Alena?"Suara Mira, rekan kerjanya, menyadarkan Alena dari lamunan."Ya? Maaf, aku sedang—""Melamun," potong Mira sambil tersenyum. "Aku memanggilmu tiga kali."Alena menghela napas, menutup laptopnya. "Hari yang panjang.""Kau oke? Belakangan ini kau sering terlihat... tidak di sini.""Aku baik-baik saja," Alena memaksakan senyum, jawaban otomatis yang belakangan ini terlalu sering dia ucapkan.Mira melirik jam dinding. "Sudah jam enam. Pulang?""Kau duluan saja. Aku masih harus menyelesaikan slide presentasi."Setelah Mira pergi, Alena memeriksa ponselnya. Dua pesa
Reno menatap layar komputernya tanpa benar-benar melihat. Pikirannya melayang jauh, kembali pada percakapan dengan Alena semalam. Bagaimana air mata wanita itu mengalir saat dia mengungkapkan rencananya untuk melamar. Bagaimana Alena tidak mampu menjawab pertanyaan sederhana tentang perasaannya."Reno? Reno!"Suara keras menyadarkannya. Bayu, rekan kerjanya, berdiri di depan mejanya dengan tumpukan dokumen."Maaf, Bay. Ada apa?" Reno mengusap wajahnya, berusaha kembali fokus."Ini laporan untuk meeting besok. Kau oke? Wajahmu seperti orang yang tidak tidur seminggu."Reno tersenyum lemah. "Hampir benar. Ada... masalah pribadi."Bayu menarik kursi, duduk di hadapan Reno. "Alena?"Reno mengangguk pelan. "Bagaimana kau tahu?""Kawan, wajahmu seperti buku terbuka," Bayu tertawa kecil. "Ada apa? Kalian bertengkar?"Reno terdiam sejenak, menimbang apakah sebaiknya dia membicarakan hal ini. Tapi beban di dadanya terasa terlalu
Cahaya temaram restoran menyinari wajah Reno yang terlihat lebih kaku dari biasanya. Suasana restoran Italia yang biasanya menjadi favorit mereka kini terasa mencekam. Alunan musik klasik yang lembut di latar belakang bahkan tidak mampu melunakkan ketegangan yang menggantung di antara mereka.Alena mengaduk pasta di hadapannya tanpa minat. Sudah hampir lima belas menit mereka duduk dalam diam. Reno sesekali melirik Alena, sementara wanita itu terus menghindari tatapannya."Kamu tidak menyentuh makananmu," ucap Reno akhirnya, memecah keheningan.Alena mengangkat wajahnya, mencoba tersenyum. "Aku tidak terlalu lapar.""Kamu yang memilih restoran ini." Reno meletakkan garpunya perlahan. "Kamu yang bilang ingin pasta carbonara mereka. Tapi sekarang kamu bahkan tidak menyentuhnya."Alena menghela napas. "Maaf. Hari ini melelahkan.""Sudah berapa lama kita seperti ini, Len?" tanya Reno tiba-tiba. Matanya menatap Alena dalam-dalam. "Berapa lama kit
Reno mengaduk kopinya tanpa semangat. Matanya tak lepas dari pemandangan di sudut kantin kantor. Alena dan Adrian. Mereka duduk berhadapan, terlalu dekat untuk sekadar rekan kerja. Tawa Alena terdengar renyah—tawa yang sudah jarang Reno dengar belakangan ini. "Mereka cuma rekan kerja," gumam Reno pada dirinya sendiri, berusaha menenangkan pikiran yang mulai liar. Namun, matanya menangkap sesuatu yang berbeda. Cara Alena menatap Adrian, cara jemarinya gugup memainkan sedotan minumannya, cara dia menunduk saat Adrian membisikkan sesuatu. Reno tahu gelagat itu. Lima tahun bersama Alena membuatnya hafal setiap bahasa tubuhnya. Ponsel Reno bergetar. Pesan dari klien yang harus segera ditanggapi. Dengan enggan, dia beranjak dari kantin, melemparkan pandangan terakhir ke arah meja Alena. Tepat saat itu, mata mereka bertemu. Alena tersentak, seolah tertangkap basah. Waj
"Salah paham? Semua orang di kantormu membicarakan hubunganmu dengan Adrian, dan kau bilang aku salah paham?""Mereka hanya iri karena karirku maju dengan cepat!""Karena bosmu memberikan perhatian khusus, tentu saja!" balas Reno sarkastik.Alena menggelengkan kepala, air matanya mulai jatuh. "Aku tidak percaya kau mempertanyakan integritas profesionalku. Kau pikir aku tidur dengan bosku untuk naik jabatan?"Kata-kata itu menggantung di udara, berat dengan implikasi yang tidak pernah Reno ucapkan tapi jelas terpikir olehnya. Ia terdiam, terkejut dengan arah pembicaraan mereka."Lena, aku tidak—""Tidak usah disangkal. Itu yang kau pikirkan, kan?" Alena menyeka air matanya dengan kasar. "Itu sebabnya kau menyelidikiku seperti detektif. Itu sebabnya kau bertanya pada orang-orang di kantorku tentang aku. Kau tidak percaya padaku!""Bagaimana aku bisa percaya jika kau terus menyembunyikan hal-hal dariku?" Reno berusaha mengendalikan
Reno memandangi layar ponselnya, jemarinya mengetuk-ngetuk meja kafe dengan gelisah. Ia telah menunggu selama lima belas menit, dan kesabarannya mulai menipis. Hujan rintik-rintik di luar menambah kegelisahan yang sudah menggerogoti pikirannya selama berminggu-minggu."Maaf, aku terlambat," ucap Bima, teman kuliahnya dulu yang kini bekerja di departemen IT di perusahaan tempat Alena bekerja. Pria berkacamata itu melepas jaket yang basah oleh air hujan dan duduk di hadapan Reno."Tidak masalah," jawab Reno, meski nadanya kontradiktif dengan kata-katanya. "Terima kasih sudah mau bertemu."Bima memesan kopi pada pelayan yang lewat, lalu menatap Reno dengan sorot mata penasaran. "Jadi, ada apa sampai harus bertemu mendadak begini? Tidak biasanya kau menghubungiku."Reno menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian. "Ini tentang Alena.""Pacarmu? Ada apa dengannya?""Kau bekerja di perusahaan yang sama, kan? Aku ingin tanya... apa kau mende
Alena menatap email di layar komputernya dengan jantung berdebar. Pesan singkat dari Adrian, memintanya datang ke ruangan direktur pukul dua siang. Tidak ada penjelasan, tidak ada agenda meeting yang terlampir. Hanya permintaan untuk bertemu empat mata.Sejak insiden Reno datang ke kantor minggu lalu, Alena sengaja mengurangi interaksi dengan Adrian. Pertemuan langsung dibatasi pada rapat tim, diskusi pekerjaan selalu dilakukan dengan kehadiran orang lain. Strategi yang bisa mengurangi gosip, sekaligus menjaga jarak profesional dengan Adrian—setidaknya itu yang ia katakan pada dirinya sendiri.Namun kini, saat jarum jam menunjukkan pukul dua kurang lima menit, Alena tidak bisa mengabaikan kegugupan yang melandanya. Ia merapikan dokumen di mejanya, mengambil notes kecil—setidaknya untuk memberi kesan ini adalah pertemuan formal—lalu berjalan menuju ruangan Adrian di ujung koridor."Masuk," suara Adrian terdenga
Alena merasakan tatapan-tatapan itu bahkan sebelum ia melangkahkan kaki ke ruang pantry. Pembicaraan yang tiba-tiba terhenti ketika ia masuk, lalu dilanjutkan dengan bisikan-bisikan pelan—semua itu menjadi rutinitas barunya selama seminggu terakhir."Pagi," sapanya pada sekelompok kecil staf yang sedang berkumpul di meja. Beberapa hanya tersenyum tipis, sementara yang lain mengangguk singkat. Sari, staf bagian keuangan yang biasanya ramah, kini hanya melirik sekilas sebelum kembali sibuk dengan kopinya.Alena mengambil cangkir dan menyeduh kopi dalam diam. Telinganya menangkap potongan percakapan yang sengaja dipelankan."...kemarin mereka makan malam berdua lagi...""...katanya sampai jam sebelas malam masih di restoran itu...""...jelas dia naik jabatan karena itu..."Tangannya sedikit gemetar saat menuangkan kopi, membuat beberapa tetes tumpah di meja. Ia cepat-cepat membersihkannya dengan tisu."Hai, butuh bantuan?"