Alena menatap keluar jendela kantornya, memperhatikan bagaimana awan berarak perlahan di langit Jakarta yang kelabu. Entah mengapa pemandangan itu terasa seperti cerminan hidupnya saat ini—terombang-ambing tanpa arah yang jelas. Ia menarik napas panjang dan memejamkan mata sejenak."Kamu tidak perlu lembur hari ini." Suara Adrian membuyarkan lamunannya. Pria itu berdiri di ambang pintu dengan senyum yang terlalu mudah dibaca. "Aku sudah menyuruh tim lain untuk menyelesaikan laporan kuartal yang seharusnya jadi tugasmu."Alena memaksakan senyum. "Terima kasih, tapi aku bisa menyelesaikannya sendiri.""Aku tahu kamu bisa." Adrian melangkah masuk dan duduk di tepi meja Alena. Terlalu dekat untuk sebuah percakapan profesional. "Tapi aku tidak mau kamu terlalu lelah. Ada masalah dengan proyek Meikarta yang perlu kita diskusikan... mungkin sambil makan malam?"Lagi-lagi, Alena merasakan perutnya seolah jatuh. Ini sudah kesekian kalinya Adrian menciptakan situasi yang membuatnya sulit menola
Langit Jakarta masih menyisakan semburat jingga ketika Alena membereskan mejanya. Suasana kantor sudah sepi, hanya tersisa beberapa karyawan yang masih menyelesaikan pekerjaan mereka. Alena sengaja mengulur waktu hingga Adrian meninggalkan gedung lebih dulu. Belakangan ini, pertemuannya dengan pria itu selalu membuatnya merasa tegang—seolah berjalan di atas medan ranjau.Ponselnya bergetar—pesan dari Adrian. "Sudah selesai meeting dengan tim desain? Bagaimana hasilnya?"Alena membaca pesan itu tanpa membalasnya. Ia butuh ruang, butuh waktu untuk menyusun ulang batasan-batasan yang semakin kabur. Ia memasukkan ponselnya ke dalam tas dan bergegas keluar dari kantor.Di perjalanan pulang, Alena merasakan ketenangan yang sudah lama tidak ia rasakan. Langit yang mulai gelap dan lampu-lampu jalan yang menyala satu per satu terasa menenangkan. Ia memutuskan untuk menghubungi Reno."Hei," suara Reno terdengar hangat seperti biasa. "Baru selesai kerja?""Ya," Alena tersenyum mendengar suaranya
Aroma kopi mahal menguar di café eksklusif kawasan SCBD. Sophia menyesap americano-nya perlahan, matanya yang tajam mengawasi pria berpenampilan rapi di hadapannya yang sedang meneliti foto-foto di layar kamera."Ini tidak cukup meyakinkan," ujar Daniel Pratama, wartawan senior di tabloid Jakarta Insider. "Mereka hanya terlihat seperti dua rekan kerja yang sedang makan siang."Sophia tersenyum tipis. "Itu karena kamu belum melihat detailnya, Daniel." Ia mendekat, jari lentiknya dengan kuku merah menyala menunjuk pada detail di salah satu foto. "Lihat cara Adrian menatapnya. Lalu tangan mereka—hampir bersentuhan. Dan ini—" ia menunjuk foto lain, "—mereka di restoran mewah pada jam makan malam, jauh dari kantor. Bukan sekadar rekan kerja."Daniel menaikkan alisnya. "Tetap saja, ini belum cukup untuk artikel bombastis yang kamu inginkan. Tabloid kami memang suka gosip, tapi kami tetap butuh bukti yang lebih kuat."Sophia menghela napas panjang, kemudian menyesap kopinya lagi. Sudah tiga
Alena menggeser layar ponselnya dengan jari-jari gemetar. Setiap artikel yang muncul membuat jantungnya seolah jatuh semakin dalam ke dasar perutnya. Bagaimana bisa kehidupannya berubah drastis dalam hitungan jam?"CEO Muda Tertangkap Dekat dengan Karyawan Wanita, Hubungan Profesional atau Skandal?" "Cinta Terlarang di Ruang Rapat: Kisah Roman CEO dan Bawahannya" "Skandal Kantor: Bukti Foto Kemesraan Bos dan Karyawan"Mata Alena terasa panas. Beberapa foto yang menyertai artikel-artikel tersebut memang autentik—dirinya dan Reyhan sedang berjalan keluar dari kafe, sesekali tertawa dalam percakapan. Tapi konteksnya telah sepenuhnya diputarbalikkan. Semua pertemuan profesional mereka kini ditafsirkan dengan lensa gosip murahan.Ponselnya bergetar lagi. Kali ini sebuah pesan dari Sarah, rekan kerjanya: "Alena, kau sudah lihat artikel-artikel itu? Semua orang di kantor membicarakannya."Alena melempar ponselnya ke sofa. Apartemennya yang biasanya terasa seperti tempat perlindungan kini ter
Adrian duduk di ruang konferensi dengan lima anggota tim hubungan masyarakat terbaiknya. Semalaman ia nyaris tidak tidur, merangkai strategi untuk menangani krisis yang mengancam tidak hanya reputasi perusahaan, tetapi juga karier seorang karyawan berbakat. Wajahnya menunjukkan ketegasan yang jarang terlihat, bahkan oleh mereka yang telah lama bekerja dengannya."Kita perlu mengendalikan narasi ini sekarang," ucapnya dengan nada tenang namun penuh otoritas. "Setiap menit yang berlalu tanpa tanggapan kita adalah satu menit terlalu lama."Diana Farrell, kepala departemen PR, mengangguk sambil mengetikkan sesuatu di laptopnya. "Kami sudah mengidentifikasi dua belas outlet media utama yang memuat artikel dengan tone paling provokatif. Lima di antaranya bersedia untuk segera berbicara dengan kita.""Bagus," Adrian mengetuk meja dengan jarinya. "Aku ingin berbicara langsung dengan editor mereka, bukan hanya mengirimkan pernyataan tertulis. Dan untuk media yang menolak? Kita akan mengirimkan
Ruang rapat di lantai 30 gedung pencakar langit itu terasa mencekam. Sinar mentari pagi yang menerobos masuk dari jendela-jendela besar seakan tak mampu mencerahkan suasana yang berat. Adrian duduk di ujung meja oval besar, menghadapi delapan wajah pemegang saham senior yang tampak tidak senang. Sekilas, tampak senyum tipis di sudut bibir Sophia, yang duduk di sisi kanan meja, meskipun ekspresi wajahnya dibuat serius.Bernard Hawkins, pemegang saham tertua dan paling konservatif, berdeham keras. "Kurasa kita semua sudah membaca berita-berita yang beredar minggu ini," ia membuka pembicaraan, tatapannya tajam menusuk Adrian. "Meskipun upaya klarifikasi telah dilakukan, citra perusahaan kita tetap terguncang.""Laporan tim PR menunjukkan bahwa sebenarnya dampak medianya sudah berkurang signifikan," Adrian berusaha menjawab dengan tenang, menunjukkan grafik yang telah disiapkannya. "Lihat di sini, pemberitaan negatif turun 60% dalam tiga hari terakhir."Margaret Lowe, wanita paruh baya ya
Di pagi yang cerah, sinar matahari menyelinap melalui tirai tipis di dapur kecil mereka. Aroma kopi yang baru diseduh memenuhi ruangan, berpadu dengan suara gesekan spatula Alena yang sibuk memasak telur dadar untuk sarapan mereka. Reno, dengan rambut acak-acakan, duduk di meja makan sambil membaca koran usang yang ia dapatkan dari tetangga.“Makanannya hampir siap, ya,” kata Alena sambil menoleh ke arah Reno. Wajahnya yang berseri-seri adalah hal pertama yang membuat Reno merasa harinya akan baik-baik saja.“Kalau kamu yang masak, apa pun bakal terasa enak,” balas Reno sambil menyeringai, mencoba mencairkan suasana.Mereka duduk bersama di meja makan kecil itu, menikmati sarapan sambil berbicara tentang rencana sehari-hari. Reno berbagi tentang tugasnya di kantor, yang mulai terasa berat akibat tekanan dari atasannya. Alena mendengarkan dengan penuh perhatian, menggenggam tangan Reno untuk menenangkan kegelisahannya.Namun, ada sesuatu yang tak diucapkan Reno. Perusahaan tempat ia be
Pagi yang lain datang dengan ritme yang sama di rumah kecil Reno dan Alena. Reno, dengan kemeja biru pudar yang menjadi seragam kerjanya, bersiap untuk menghadapi hari yang penuh tantangan di pabrik. Sementara itu, Alena berdiri di ambang pintu, mengawasinya pergi sambil membawa bekal sederhana yang ia siapkan dengan cinta.“Semangat, ya. Jangan lupa makan siang,” ucap Alena sebelum Reno melangkah keluar.“Pasti. Kamu juga jangan terlalu capek,” jawab Reno sambil tersenyum tipis.Setelah Reno pergi, Alena kembali ke dalam rumah dan mulai mengatur jadwal harinya. Meski statusnya sebagai ibu rumah tangga sering kali dianggap sederhana, hari-hari Alena diisi dengan pekerjaan yang tak kalah melelahkan. Ia harus memastikan rumah mereka tetap rapi, makanan selalu tersedia, dan juga menyelesaikan kerajinan tangan yang menjadi sumber tambahan penghasilan mereka.Reno di PabrikDi pabr
Ruang rapat di lantai 30 gedung pencakar langit itu terasa mencekam. Sinar mentari pagi yang menerobos masuk dari jendela-jendela besar seakan tak mampu mencerahkan suasana yang berat. Adrian duduk di ujung meja oval besar, menghadapi delapan wajah pemegang saham senior yang tampak tidak senang. Sekilas, tampak senyum tipis di sudut bibir Sophia, yang duduk di sisi kanan meja, meskipun ekspresi wajahnya dibuat serius.Bernard Hawkins, pemegang saham tertua dan paling konservatif, berdeham keras. "Kurasa kita semua sudah membaca berita-berita yang beredar minggu ini," ia membuka pembicaraan, tatapannya tajam menusuk Adrian. "Meskipun upaya klarifikasi telah dilakukan, citra perusahaan kita tetap terguncang.""Laporan tim PR menunjukkan bahwa sebenarnya dampak medianya sudah berkurang signifikan," Adrian berusaha menjawab dengan tenang, menunjukkan grafik yang telah disiapkannya. "Lihat di sini, pemberitaan negatif turun 60% dalam tiga hari terakhir."Margaret Lowe, wanita paruh baya ya
Adrian duduk di ruang konferensi dengan lima anggota tim hubungan masyarakat terbaiknya. Semalaman ia nyaris tidak tidur, merangkai strategi untuk menangani krisis yang mengancam tidak hanya reputasi perusahaan, tetapi juga karier seorang karyawan berbakat. Wajahnya menunjukkan ketegasan yang jarang terlihat, bahkan oleh mereka yang telah lama bekerja dengannya."Kita perlu mengendalikan narasi ini sekarang," ucapnya dengan nada tenang namun penuh otoritas. "Setiap menit yang berlalu tanpa tanggapan kita adalah satu menit terlalu lama."Diana Farrell, kepala departemen PR, mengangguk sambil mengetikkan sesuatu di laptopnya. "Kami sudah mengidentifikasi dua belas outlet media utama yang memuat artikel dengan tone paling provokatif. Lima di antaranya bersedia untuk segera berbicara dengan kita.""Bagus," Adrian mengetuk meja dengan jarinya. "Aku ingin berbicara langsung dengan editor mereka, bukan hanya mengirimkan pernyataan tertulis. Dan untuk media yang menolak? Kita akan mengirimkan
Alena menggeser layar ponselnya dengan jari-jari gemetar. Setiap artikel yang muncul membuat jantungnya seolah jatuh semakin dalam ke dasar perutnya. Bagaimana bisa kehidupannya berubah drastis dalam hitungan jam?"CEO Muda Tertangkap Dekat dengan Karyawan Wanita, Hubungan Profesional atau Skandal?" "Cinta Terlarang di Ruang Rapat: Kisah Roman CEO dan Bawahannya" "Skandal Kantor: Bukti Foto Kemesraan Bos dan Karyawan"Mata Alena terasa panas. Beberapa foto yang menyertai artikel-artikel tersebut memang autentik—dirinya dan Reyhan sedang berjalan keluar dari kafe, sesekali tertawa dalam percakapan. Tapi konteksnya telah sepenuhnya diputarbalikkan. Semua pertemuan profesional mereka kini ditafsirkan dengan lensa gosip murahan.Ponselnya bergetar lagi. Kali ini sebuah pesan dari Sarah, rekan kerjanya: "Alena, kau sudah lihat artikel-artikel itu? Semua orang di kantor membicarakannya."Alena melempar ponselnya ke sofa. Apartemennya yang biasanya terasa seperti tempat perlindungan kini ter
Aroma kopi mahal menguar di café eksklusif kawasan SCBD. Sophia menyesap americano-nya perlahan, matanya yang tajam mengawasi pria berpenampilan rapi di hadapannya yang sedang meneliti foto-foto di layar kamera."Ini tidak cukup meyakinkan," ujar Daniel Pratama, wartawan senior di tabloid Jakarta Insider. "Mereka hanya terlihat seperti dua rekan kerja yang sedang makan siang."Sophia tersenyum tipis. "Itu karena kamu belum melihat detailnya, Daniel." Ia mendekat, jari lentiknya dengan kuku merah menyala menunjuk pada detail di salah satu foto. "Lihat cara Adrian menatapnya. Lalu tangan mereka—hampir bersentuhan. Dan ini—" ia menunjuk foto lain, "—mereka di restoran mewah pada jam makan malam, jauh dari kantor. Bukan sekadar rekan kerja."Daniel menaikkan alisnya. "Tetap saja, ini belum cukup untuk artikel bombastis yang kamu inginkan. Tabloid kami memang suka gosip, tapi kami tetap butuh bukti yang lebih kuat."Sophia menghela napas panjang, kemudian menyesap kopinya lagi. Sudah tiga
Langit Jakarta masih menyisakan semburat jingga ketika Alena membereskan mejanya. Suasana kantor sudah sepi, hanya tersisa beberapa karyawan yang masih menyelesaikan pekerjaan mereka. Alena sengaja mengulur waktu hingga Adrian meninggalkan gedung lebih dulu. Belakangan ini, pertemuannya dengan pria itu selalu membuatnya merasa tegang—seolah berjalan di atas medan ranjau.Ponselnya bergetar—pesan dari Adrian. "Sudah selesai meeting dengan tim desain? Bagaimana hasilnya?"Alena membaca pesan itu tanpa membalasnya. Ia butuh ruang, butuh waktu untuk menyusun ulang batasan-batasan yang semakin kabur. Ia memasukkan ponselnya ke dalam tas dan bergegas keluar dari kantor.Di perjalanan pulang, Alena merasakan ketenangan yang sudah lama tidak ia rasakan. Langit yang mulai gelap dan lampu-lampu jalan yang menyala satu per satu terasa menenangkan. Ia memutuskan untuk menghubungi Reno."Hei," suara Reno terdengar hangat seperti biasa. "Baru selesai kerja?""Ya," Alena tersenyum mendengar suaranya
Alena menatap keluar jendela kantornya, memperhatikan bagaimana awan berarak perlahan di langit Jakarta yang kelabu. Entah mengapa pemandangan itu terasa seperti cerminan hidupnya saat ini—terombang-ambing tanpa arah yang jelas. Ia menarik napas panjang dan memejamkan mata sejenak."Kamu tidak perlu lembur hari ini." Suara Adrian membuyarkan lamunannya. Pria itu berdiri di ambang pintu dengan senyum yang terlalu mudah dibaca. "Aku sudah menyuruh tim lain untuk menyelesaikan laporan kuartal yang seharusnya jadi tugasmu."Alena memaksakan senyum. "Terima kasih, tapi aku bisa menyelesaikannya sendiri.""Aku tahu kamu bisa." Adrian melangkah masuk dan duduk di tepi meja Alena. Terlalu dekat untuk sebuah percakapan profesional. "Tapi aku tidak mau kamu terlalu lelah. Ada masalah dengan proyek Meikarta yang perlu kita diskusikan... mungkin sambil makan malam?"Lagi-lagi, Alena merasakan perutnya seolah jatuh. Ini sudah kesekian kalinya Adrian menciptakan situasi yang membuatnya sulit menola
Musim hujan di Jakarta membawa perubahan yang signifikan, tidak hanya pada jalanan yang sering tergenang, tetapi juga pada dinamika hubungan Alena dan Adrian. Dua minggu telah berlalu sejak malam itu—malam ketika Adrian membuka diri dan menunjukkan sisi rapuhnya. Sejak saat itu, ada pergeseran yang nyata dalam interaksi mereka.Alena menatap tumpukan dokumen di mejanya dengan mata lelah. Jam di dinding kantornya menunjukkan pukul sembilan malam, dan ia masih terjebak dengan laporan keuangan yang harus diselesaikan. Ponselnya bergetar untuk kesepuluh kalinya dalam satu jam—semua pesan dari Adrian.Sudah selesai? Aku menunggumu di penthouse. Katakan pada Hendro untuk menggantikanmu jika masih lama.Alena menghela napas panjang. Dulu, perhatian Adrian membuatnya merasa istimewa. Sekarang, ia mulai merasa seperti terjerat dalam jaring emas yang indah namun mencekik."Belum pulang, Len?" Suara Dina, rekan kerjanya, mengejutkan Alena."Masih ada beberapa hal yang harus kuselesaikan," jawab
Malam semakin larut. Di luar jendela besar penthouse, gemerlap Jakarta terlihat seperti hamparan permata yang berkilauan dalam kegelapan. Adrian duduk di sofa panjang, bersandar dengan posisi yang jarang Alena lihat—bahu sedikit lunglai dan tatapan menerawang. Gelas whisky masih tergenggam di tangannya, setengah kosong, sementara botolnya kini telah habis.Alena memperhatikan setiap detail perubahan pada pria yang biasanya tampil sempurna ini. Rambut hitam yang biasanya tersisir rapi kini jatuh berantakan menutupi sebagian dahinya. Garis-garis lelah di wajahnya yang biasanya tersembunyi di balik ekspresi tegas kini terekspos jelas di bawah cahaya lampu yang temaram."Kau tidak perlu tinggal kalau tidak ingin," ucap Adrian, memecah keheningan. "Aku baik-baik saja."Alena tersenyum tipis. "Kita berdua tahu itu tidak benar."Adrian menghela napas panjang, lalu meletakkan gelasnya di meja. "Maaf, aku tidak bermaksud mengacaukan malammu dengan drama pribadiku.""Tidak apa-apa," jawab Alena
Alena menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih. Tiga jam berlalu sejak konfrontasinya dengan Reno, tetapi jantungnya masih berdebar kencang. Kata-kata pria itu terus terngiang di telinganya."Kau pikir Adrian benar-benar peduli padamu? Kau hanya mainan baginya, Alena. Seperti semua perempuan sebelummu."Alena memijat pelipisnya yang berdenyut. Ia sudah mencoba segalanya untuk mengalihkan pikirannya—membaca buku, menonton film, bahkan mencoba memasak meskipun dapur bukanlah wilayah keahliannya. Namun, tidak ada yang berhasil. Pikirannya selalu kembali pada Adrian, pada hubungan mereka yang rumit, dan pada semua keputusan yang telah ia ambil dalam beberapa bulan terakhir.Dulu, hidupnya sederhana namun teratur. Sebagai karyawan biasa di perusahaan multinasional, Alena menjalani rutinitas yang hampir sama setiap harinya. Bangun pagi, berangkat kerja, menyelesaikan tugas, pulang, dan sesekali bertemu teman. Tetapi semua berubah sejak Adrian Raditya masuk ke kehidupannya. CEO tam