"Sudah diputuskan."
Ardiwira menarik napas panjang sejenak lalu mengembuskannya perlahan. Ruangan keluarga itu dipenuhi aura menegangkan sejak satu jam yang lalu. Ada lebih dari lima anggota keluarga berkumpul dengan raut wajah sulit diartikan.Amira duduk tak jauh dari tempat Ardiwira berbicara saat ini. Tangannya mengepal di atas lututnya yang rapat dengan punggung sedikit membungkuk. Jantungnya berdetak kencang menunggu hasil perundingan keluarga besar Winata tadi malam."Jangan mengulur waktu. Semua sudah penasaran," protes Sonia, istri Ardiwira yang sedang berdiri tegap di depan sana."Baiklah. Sesuai dengan wasiat dari mendiang tuan El Pasha, beliau menuliskan surat berharga yang menyatakan bahwa cucu pertama keluarga Winata harus menikah dengan cucu pertama keluarga El Pasha. Oleh sebab itu, maka rencana pernikahan Keenandra dan Amira resmi dibatalkan."Jantung Amira serasa turun dari tempatnya. Kenyataan pahit harus diterimanya saat jati dirinya terkuak di depan publik jika dirinya bukanlah anak kandung keluarga Ardiwira Winata. Termasuk pengumuman surat wasiat yang menurutnya tak adil.Keenandra yang sejak tadi hanya berdiam diri mendengarkan ocehan mereka ikut merasakan ketidakadilan yang diterima Amira dan dirinya.Tak tahan dengan ketidakadilan itu, ia pun berdiri dari tempatnya. "Apa!!"Sorot matanya tajam mengarah pada Ardiwira yang masih berdiri di tempatnya. Jarinya menunjuk ke segala arah, menuding tiap-tiap manusia yang hadir di tempat itu. "Aku tidak menerima hasil perundingan ini!""Tidak bisa, ini sudah wasiat dari mendiang kakek." Marina, ibu Keenandra ikut berdiri dari kursinya lalu menarik tangannya dan mengajaknya duduk kembali. "Tenanglah, sayang.""Ma, Keenan sangat mencintai Amira. Keenan bahkan tidak kenal sama sekali dengan wanita itu," protesnya menunjuk ke arah Aletta yang duduk dekat Sonia, istri Ardiwira."Keenan, kamu harus menuruti perintah kakek. Kalau tidak, keluarga kita akan menanggung akibatnya." Marina coba menenangkan putranya dengan mengusap perlahan lengannya. "Mama tahu ini berat, tapi ini semua atas kesepakatan semua pihak.""Cucu wanita pertama keluarga Winata adalah Aletta bukan Amira. Kau harus menerima kenyataan ini, Keenandra." Bara El Pasha bersuara menjawab kalimat protes dari mulut anaknya.Amira diam, menundukkan wajahnya yang sejak tadi telah berubah sendu. Tanpa ada suara, ia menangis dalam diam. Lututnya bergetar menahan pilu mendengar rencana pernikahan kekasihnya dan Aletta, adik angkatnya. Entah, ia harus menerima atau tidak. Jikalau ia menolak pun, rencana itu akan tetap terlaksana.Keenandra menoleh ke arah Amira yang tak melayangkan protes sedikitpun. Kekasihnya itu mungkin saja bingung harus bereaksi seperti apa. Ia tak bisa melawan, kekuatannya kecil. Bahkan untuk mengeluarkan suara, mungkin ia akan dibungkam oleh mereka yang berkuasa.Tanpa berkata apapun, Keenandra menarik tangan Amira hingga tersentak dan hampir terjatuh. Amira membelalakkan matanya berusaha menarik tangannya lagi."Ayo kita pergi dari sini." Keenandra nekat mengajak Amira pergi dari rumah itu. Tangan Amira digenggamnya erat, tak peduli pergelangan tangannya memerah. Ia berjalan cepat menyeret tangan Amira hingga langkahnya terseok-seok."Keenan, berhenti!" Marina berlari mengejar Keenandra yang terus berjalan menuju mobilnya yang terparkir di halaman rumah."Masuk!" Keenandra memaksa Amira masuk ke dalam mobilnya. Amira hanya berdiri di depan pintu dan itu membuat kemarahan Keenandra meluap. "Masuk, Amira! Jangan buat aku marah.""Lepaskan! Lepaskan aku, Keenan!" teriak Amira memohon. "Ibumu berteriak." "Aku tidak peduli. Cepat masuk!"Takut, Amira pun masuk ke dalam mobil dengan perasaan bercampur aduk. Di satu sisi ia tak tega melihat Marina berteriak di luar jendela mobil tapi di sisi lain, Keenandra telah membuat nyalinya menciut. Mata merah pria itu, serta gertakan yang tadi dilayangkan padanya, membuat dirinya terpaksa menuruti keinginan pria itu."Keenandra, berhenti!" Marina terus berteriak dari luar jendela mobil. Tak peduli, Keenandra menyalakan mesin mobil dan berlalu pergi dari rumah itu hilang menuju jalan besar.***Keenandra menghentikan mobilnya tepat di basement apartemen pribadinya. Lagi-lagi ia menarik tangan Amira dan kembali berjalan cepat menuju lift pribadi menuju ke unit apartemennya.Amira sebenarnya takut dengan perubahan wajah Keenandra yang semakin menyeramkan. Namun apa daya, tangannya digenggam erat seolah tak ingin dilepaskan."Masuk!" perintahnya."K-keenan. A-aku...""Jangan buat aku marah, Amira." Keenandra memaksa Amira masuk ke dalam apartemennya. Setelah Amira masuk, satu kakinya menendang pintu hingga tertutup.Amira terlonjak kaget mendengar pintu ruangan apartemen ditutup kasar oleh Keenandra. Matanya membola melihat sosok yang berdiri di depan pintu dengan aura hitam dan tatapan menusuk. Berkali-kali Amira menelan salivanya, takut pada sosok itu."K-keenan. Apa maksud kamu membawa aku kemari?" suara Amira terdengar mengiba. Keenandra kembali menarik tangan Amira dan menyeretnya hingga ke kamar tidur lalu menghempaskan tubuh mungil itu ke atas ranjang. "K-keenan. Ini bukan seperti kamu yang biasanya. A-aku mau pergi dari sini."Keenan dengan cepat mengunci pintu kamarnya. Perlahan berjalan menuju ranjang tempat Amira terduduk dan memojokkannya hingga diam tak berkutik. Menatap mata Keenandra yang seakan berkobar dengan amarahnya yang dalam, Amira hanya bisa merapalkan doa dalam hati.Rasanya, Amira ingin kabur dari hadapan sosok itu dan meminta bantuan. Namun sayang usahanya sia-sia karena Keenandra semakin membuat tubuhnya terpojok."Amira, aku mencintaimu. Aku tidak bisa menikah dengan wanita lain.""Tapi mereka tak bisa mengubah semuanya. Ini sudah takdir. Pergilah, aku relakan kamu dengannya.""Semudah itu? Kamu menyerah semudah itu?" Keenandra semakin mendesak Amira, merapatkan tubuhnya hingga kekasihnya terperangkap di sudut dekat meja samping ranjang."Keenan, aku tahu di mana posisiku. Aku—"Keenandra mengangkat wajah Amira hingga berhadapan dengannya. Nafasnya menyapu setiap inci kulit Amira karena jarak yang terlalu dekat. Kesempatan ini digunakan oleh pria itu untuk lebih mendekatkan lagi wajahnya hingga bersentuhan.Keendra menciumnya. Mencium bibir Amira dan melumatnya."Aku mencintaimu, Amira.""Lepaskan aku, Keenan. Kita harus berpisah." Amira mendorong dada Keenandra yang membuatnya sesak. Pria itu tak peduli. Ia semakin memojokkan Amira dan dengan satu tangannya ia berhasil membuat kekasihnya terhempas ke tengah ranjang."Berpisah? Secepat itu berpisah? Aku tidak mau, Amira."Keenandra menarik kaki Amira hingga mendekat padanya. Amira melawannya dengan memberikan satu tendangan pada kaki Keenandra tapi itu tak cukup kuat. Keenandra malah terkekeh melihat reaksi kekasihnya."Kamu, jangan gila Keenan!" Amira ketakutan. Keenandra tampak berbeda malam ini. "Jangan mendekat!" teriaknya."Amira, bagaimana kalau kita buat jalan pintas sebelum aku menikah dengannya?" Keenandra menyeringai."Apa maksudmu?" Amira semakin ketakutan dengan perubahan wajah Keenandra yang semakin aneh."Kamu akan tahu nanti."Keenandra mendekat, tangannya mencengkram bahu Amira memaksakan sebuah ciuman yang teramat kasar. Ciuman yang menuntut dan penuh nafsu. Tak pernah Amira merasakan hal ini sebelumnya, ini yang pertama kali Keenandra lakukan padanya."Lepas!" Amira melawan. Ia berusaha melepaskan tangan Keenandra yang masih mencengkeram bahunya. Namun tak disangka, tangan itu berpindah ke belakang kepalanya dan kini menekan bibirnya untuk memperdalam ciuman. "Ummpphh..."Amira seharusnya melawan lagi, berteriak dan menolak perlakuan Keenandra. Namun yang dilakukan oleh tubuhnya adalah kebalikannya. Bibirnya mendesah lirih menikmati ciuman itu dan tergeletak pasrah tak berdaya.Keenandra mengambil kesempatan itu dengan melucuti cepat pakaian yang dikenakan Amira hingga tak bersisa. Dengusan napas penuh nafsu terdengar di telinga Amira saat Keenandra mendekat dan berbisik."Amira, aku mencintaimu. Maaf, aku harus melakukan ini padamu."Amira merasakan lembutnya sentuhan Keenandra, rasanya seperti melayang. Ia bahkan tak bisa menghitung seberapa banyak dirinya merapalkan nama kekasihnya itu. Keenandra semakin bersemangat mencumbui Amira hingga keduanya hanyut terbawa kenikmatan yang sulit diucapkan.Di saat Amira mulai terbawa sentuhan Keenandra, gadis itu tanpa sadar mendongak dan mendesahkan nama Keenandra yang terus menerus mengecupi lehernya."Ahh..Keenan..""Kamu tahu, mengapa aku terus mempertahankanmu?" Amira menggelengkan kepalanya sambil menahan nyeri yang tiba-tiba menyergapnya. "Karena kamu berbeda. Aku bisa terus jatuh cinta padamu setiap hari."Keenandra menurunkan sedikit tubuhnya. Lututnya bertumpu pada sisian ranjang. Tak lupa ia mengangkat tubuh Amira dengan satu tangannya dan memindahkannya di tengah dengan satu bantal bertumpu pada punggungnya."Apa yang kamu inginkan setelah melakukan semua ini padaku?" lirih Amira. Keenandra tak begitu menghiraukan, ia sibuk mencari posisi yang nyaman di atas tubuh Amira. "Eungh...kenapa kamu melakukan ini padaku! Mengapa?""Karena aku takut kehilanganmu. Dengan cara ini, aku masih bisa mengikatmu.""Aku tidak mau! Lepaskan aku!" teriak Amira meraung-raung."Tidak Amira. Aku akan berhenti setelah kamu berhasil mengandung anakku."Amira memukul dada Keenandra yang semakin menghentakkan tubuhnya lebih keras. "Lepaskan aku! Aku tidak mau!""Kamu harus mau sayang. Kamu harus mau," paksa Keenandra."Aku tidak...Mmphh..""Maafkan aku Amira. Aku janji, tak akan pergi darimu."Kain halus berbalut manik berkilauan bagai kristal itu terpasang apik di tubuh Aletta, adik Amira yang akan menikah dengan salah satu pria terbaik di kota ini. Pria yang telah lama menjadi kekasih Amira dan kini harus tersematkan namanya di atas kertas bersanding dengan Aletta. Pria itu bernama Keenandra. Pria yang telah menemani Amira selama tujuh tahun terakhir. Ia tak direstui menikah dengan Amira karena satu hal yang membuatnya tak bisa menerima kenyataan itu hingga hari ini. Amira bukanlah anak kandung pasangan Ardiwira dan Sonia. Kenyataan pahit itu diperparah dengan kehadiran Andrinof, kakak sepupunya yang ternyata mencintai Amira. Hari ini, hari bahagia pernikahan Keenandra dan Aleeta dan Amira datang sebagai tamu bukan sebagai keluarga pendamping. "Mira, nanti kamu masuk lewat pintu belakang ya. Om sama tante akan lewat gapura depan. Awas, jangan lewat di sebelah sana," Sonia dengan gaya khasnya memberi peringatan pada Amira. Wanita cantik itu hanya menunduk dan menganggu
Menyesal, Keenandra menyesal telah meninggalkan Amira yang membutuhkannya saat itu. Mengapa pula ia langsung terlibat dalam perjodohan yang seharusnya tak terjadi di kehidupannya. Melihat kesedihan di wajah Amira tadi, ia yakin bahwa wanita yang dicintainya itu masih sangat mengharapkan dirinya. Takdir begitu bodoh telah menghancurkan semua yang ia miliki. Pukul sebelas malam, Keenandra baru masuk ke dalam kamar tidur menyusul Aletta yang telah lebih dulu masuk. Tak ada yang istimewa, Keenandra hanya melihat ruangan putih yang telah dihias dengan bunga dan wewangian parfum yang menusuk hidung. Begitu ia masuk, Aletta yang sejak tadi bersembunyi di balik pintu kamar mandi tiba-tiba datang dan melonjak memeluk pinggang Keenandra dari belakang. Bibirnya tersenyum. Sedikit berjinjit, ia berbisik di telinga Keenandra. "Sayang, aku sudah tunggu dari tadi. Kamu lama banget. Aku—" "Panggil aku kak." Keenandra melepas tangan yang melilit pinggangnya, menghempasnya ke bawah. "Kita tidak pe
Pukul sepuluh pagi, Keenandra sudah berada di kantornya setelah berdebat cukup panjang dengan Aletta yang marah saat dirinya menyinggung tentang hubungannya dengan Amira. Istrinya itu terus saja memaksa dirinya untuk menerima kenyataan jika tak seharusnya ada nama orang lain hadir dalam pernikahan mereka. Tak ingin melewatkan waktu berharganya, Keenandra memilih menyibukkan dirinya dengan bekerja. Sebelum ia memulainya, seseorang yang tak diharapkan muncul membuang sia-sia eksistensinya di dunia pekerjaan. "Pertemuan dengan estetique group tidak dibatalkan kan?" tanyanya tanpa basa-basi ataupun ucapan selamat pagi. Seseorang yang tak diharapkan itu duduk di kursi putar tepat di depan Keenandra yang masih sibuk membuka surelnya. "Jangan karena masalah pribadi, jadinya—" "Aku cukup profesional, Andrinof Sebastian." Keenandra menggertak pria itu, pria yang tak disukainya sejak kedatangannya enam bulan yang lalu. Andrinof menyeringai puas. Selama ini, ia paling senang dalam urusan men
Berapa aku harus membayar?” ketus Amira. Andrinof menggelengkan kepalanya. Tersenyum perlahan lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam dompetnya. Sebuah kertas persegi empat berbentuk seperti kartu. Amira kembali mengernyitkan dahinya. Satu lembar kartu nama ia pegang dan ia baca. Amira menggumam pelan menyebutkan nama lengkap Andrinof. “Andrinof Sebastian, wakil direktur SUN TV. Ingin mengajukan kerjasama? Tapi sepertinya anda salah sasaran.” Andrinof tertawa. Terburu ia meneguk lemon tea dan menelan semua makanan yang ia kunyah. “Aku ada tampang marketing? Aku kasih kartu nama ini supaya kamu bisa tahu siapa aku dan pekerjaan aku. Ah, sorry aku manggilnya aku-kamu,” tutur Andrinof. Amira merapatkan bibirnya, berpikir sejenak maksud ucapan Andrinof yang seakan ingin sekali dikenal olehnya. “Jangan judes gitu dong. Senyum, lebih cantik.” Andrinof menarik pinggiran bibir Amira hingga naik beberapa senti. Amira menepis tangan Andrinof lalu memasukkan kartu nama itu ke dalam dompetnya. “M
Keenandra membanting kasar pintu mobil, meluapkan segala amarah yang menerpa dirinya di hari ini. Kesal dan emosinya yang meluap seakan tak cukup untuk menambal masalah yang merundungnya dari hari ke hari. Senyumnya hilang. Tepat saat ia memasuki kamar tidurnya hingga Aletta yang sedang duduk merias diri ikut terjungkal dari kursinya karena ulah sang suami. “Kak Keenan sudah pulang?” tanya Aletta Ia melepas masker di wajahnya lalu terburu menghampiri suaminya yang berdiri di depan lemari pakaian miliknya. “Siapkan air hangat. Aku mau mandi,” ujarnya ketus. Aletta mengangguk. Ia pun berlari memasuki kamar mandi dan segera menyiapkan bak mandi untuk suaminya. Ini sudah tugas Aletta setiap hari sebagai istri yang baik. Namun belum sampai lima menit, Keenandra berteriak hingga Aletta hampir terjungkal kembali. “Cepat!! Aku mau mandi.” “Iya, sebentar.” Aletta menjawab teriakan Keenandra. Tak sabar, ia memaksakan dirinya sendiri masuk ke dalam kamar mandi dengan keadaan bertelanjang dada
Andrinof tersenyum bahagia melihat balasan pesan dari Aletta yang baru saja diterimanya. Dirinya seperti tertimpa durian yang amat sangat besar. Kali ini bukan buah, melainkan jalan menuju kehidupan cinta yang lebih cerah, pikir Andrinof. "Sedang apa kau?" Andrinof terkesiap mendengar suara berat Keenandra yang baru saja masuk ke dalam ruangan besarnya. Cepat-cepat ia menyembunyikan ponselnya ke dalam laci meja lalu tersenyum lebar yang mengundang kecurigaan dari Keenandra. "Aku butuh daftar siapa saja yang akan datang meeting bersama estetique kosmetik besok." Andrinof mengernyitkan dahinya. Seketika tangannya sibuk membuka notebook yang bertuliskan jadwal pertemuan selanjutnya dengan salah satu tekanan bisnis mereka. "Bukannya lusa?" tanya Andrinof memastikan. Ia masih mencari jadwal penting untuk pertemuan yang Keenandra bicarakan. "Jadwalnya dimajukan. Ini sangat urgent." "Siapa yang berani memajukan jadwalnya?" tanya Andrinof dengan alis yang menukik tajam. "Sekretaris Amir
Amira menggerutu cantik di pagi hari yang seharusnya membuatnya tertawa. Tidak, ini sulit. Cuaca pagi hari yang terlihat muram membuatnya resah karena harus bergelut dengan waktu agar tak terjebak macaetnya Jakarta. Tapi, membayangkan itu semua ia harus menghela napas kuat-kuat karena ia paling benci dengan kemacetan. Ingin sekali Amira menundukkan dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang empuk miliknya sambil menikmati film romantis sepanjang hari. Hanya saja, alarm dan panggilan dari sekretarisnya memaksanya bangkit dari sana untuk memulai aktivitas rutinnya. “Pukul berapa pertemuan dengan TV SUN?” teriak Amira menjawab panggilan dari loudspeaker ponsel yang sengaja ia setting. Omong-omong, ia sedang mandi saat ini. “Pukul satu siang. Mereka tetap memaksa perpanjangan kontrak dengan kita kali ini,” jawab sekretaris cantik Amira yang bernama Citra. Sekretaris yang merangkap asisten pribadinya juga. “Apa alasannya?” tanya Amira.Tangannya sibuk mengoleskan krim pelembab di seluruh t
Pertemuan siang itu berjalan dengan lancar. Pihak Amira dan pihak Keenandra selaku salah satu klien penting yang sering memakai jasa dan produk milik perusahaan Amira, terus memaksa si pemilik menandatangani kontrak yang seharusnya berakhir tiga bulan lagi. Entah apa yang pria itu inginkan, ia malah sengaja meminta hak eksklusif khusus untuk perusahaannya. "Bukankah sepuluh tahun itu termasuk kontrak jangka panjang? Setahu saya, kita semua sudah sepakat mengakhiri kontrak di tahun kelima lalu—" "Tidak!" Keenandra menghentikan pertanyaan yang diajukan oleh Amira. Seluruh peserta rapat tiba-tiba membungkam mulutnya, terasa seperti seseorang sedang mengkomandoi mereka tanpa aba-aba. Suara Keenandra terasa mengintimidasi. Amira tak bisa berkata apa-apa setelah mendengarnya. Seakan semua harus disetujuinya tanpa perlu membantah. "Apa-apaan ini?" gumam Andrinof berbisik pada asistennya yang berada di sampingnya. "Saya yang memutuskan semua perihal kontrak kerja sama. Anda sebagai pemil
"Dia pikir dia siapa?" Anna memukul meja kayu di ruangan kerja Bara setelah diusir oleh Keenandra dari ruangannya. Matanya memerah marah dengan emosi yang hampir saja tak bisa dikendalikannya. Niatnya untuk mendekati mantan kekasihnya hilang dalam sekejap karena kata-kata kasar pria itu. "Ternyata dia makin jauh sekarang. Aku pikir, dia hanya singgah sementara lalu akan kembali padaku." Anna memejamkan mata sambil berjalan mengitari ruangan kerja itu. Kepalanya berpikir banyak hal dan cara agar Keenandra mau menerima kehadirannya lagi. Dulu, Keenandra adalah satu-satunya pria yang mau berteman dengannya saat masih sekolah. Dia adalah pria yang selalu memberikan tangannya untuk diraih saat sedang ada masalah. Namun, semenjak orangtuanya tahu tentang hubungan mereka dan mengancam masa depan, mereka pun berpisah. Anna tak tahu apa yang terjadi di tahun berikutnya. Sejak mereka putus, Anna memilih menyingkir dari hidup Keenandra dan tak menunjukkan wajahnya lagi. "Apa yang harus kul
Berita kebahagiaan pasangan Keenandra dan Amira tersebar luas di media. Setelah hampir satu bulan merahasiakan peristiwa percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh Aletta, kini mereka siap untuk mempublikasikan semuanya tanpa perantara siapapun. Keenandra duduk tegap diantara banyak media yang hadir. Matanya menatap satu kamera yang mengarahkannya untuk berbicara sesuai dengan yang ingin dibicarakan. "Hari ini, saya ingin menyampaikan kebenaran berita yang telah simpang siur di berbagai media dan pembicaraan dari mulut ke mulut. Mengenai rumor jika istri saya adalah perebut suami orang, itu tidak benar. Saya dan mantan istri menikah karena sebuah perjanjian." Keenandra menarik napas panjang sejenak lalu melanjutkan lagi kalimatnya. "Ketika saya menemukan jika surat perjanjian itu palsu, saya langsung menceraikannya. Sebelum saya menikah, saya sudah bertunangan dengan Amira dan gagal karena perjanjian palsu itu. Jadi, sudah selayaknya saya kembali kepadany
Sejak menghindar dari kejaran Maya, hidup Citra menjadi sedikit tenang sekarang. Tak ada lagi yang mengusiknya hingga menjelang pernikahannya bulan depan. Mungkin saja wanita itu memilih menghindarinya juga karena ancaman dari Sam beberapa waktu lalu. Maya adalah tipe wanita yang tak takut dengan apapun, kecuali kakeknya. Sam mengatakan, dirinya akan mengadu pada kakek Maya jika terus menerus menganggu kehidupannya. Namun, semuanya tak bertahan lama. Maya tiba-tiba saja muncul di kantor Amira dengan senyuman lebarnya. "Hai, Citra," sapanya dari jauh. Citra terdiam, hanya membalas sapaannya dengan lambaian tangannya. "Kita makan siang di luar. Aku mau ajak kamu ke resto yang dulu pernah kamu rekomendasikan." 'Kapan aku rekomendasi resto?' pikir Citra dalam hati. "Ehm, aku mau makan siang sama mas Sam," tolak Citra. "Yah, sayang sekali. Tapi, aku enggak masalah kok makan bersama kalian," ujar Maya tanpa malu-malu. "Tapi mas Sam akan marah. Sebaiknya mbak Maya jangan ikut bersama
Bukan Maya namanya jika menyerah begitu saja. Setelah ditolak mentah-mentah oleh Citra, dia bukannya pergi dari kehidupan wanita itu. Maya malah semakin gencar mendekati bahkan melebihi intensitas kedekatannya dengan Sam sebagai kekasihnya. Citra tak bisa berkutik jika sudah berhadapan dengan Maya. Semua kalimat penolakannya selalu berhasil dihempaskan oleh wanita itu. Saat Citra berpura-pura sedang sakit, Maya datang ke rumahnya. Hal itu membuat Citra risih hingga membuatnya terpaksa menginap di apartemen milik Sam untuk sementara. "Maya tak akan tahu apartemen ini kan?" tanya Citra yang dijawab anggukan oleh Sam. Citra bisa menghela napas lega. Pengawasan di apartemen mewah milik Sam sedikit membuatnya aman. Tak bisa sembarang orang masuk. Sam hanya memberikan kartu tanda pemilik pada Citra sekalian dengan kodenya. "Kamu harus tegas. Bilang saja kalau kamu akan menikah bulan depan," ujar Sam kesal. "Aku sudah tegas. Kurang tegas apalagi aku,
"Amira!" Seseorang muncul dari balik pintu kamar lalu berlari menghampiri Amira yang sedang berbincang serius dengan Keenandra. Matanya terbelalak kaget, bibirnya menganga heran. Maya, wanita yang baru saja datang itu memang tak pernah bertemu dengan Amira selama lebih dari lima tahun sejak kepergiannya ke Kanada bersama Sam. "Masih ingat sama aku?" Amira melengos tak mau menatap Maya yang sejak tadi terkekeh melihat reaksi sahabatnya itu. "Aduh, ada yang marah sama aku nih." Maya mengambil duduk dekat Amira, menepuk-nepuk tangannya dengan lembut. "Maaf ya, aku tuh sedikit sibuk beberapa tahun ini. Kamu tahu kan, aku dan—" matanya melirik ke arah Sam yang sedang duduk di sofa tengah. Maya dan Sam memang tak pernah membicarakan pernikahan mereka. Bahkan tak mengundang semua sahabat dekat mereka di Jakarta. Ini semua karena memang pernikahan mereka adalah pernikahan yang dipaksakan. Maya tak masalah, toh dia juga tak peduli dengan semua itu. Nam
Setelah selesai berbulan madu dan menikmati keindahan Jepang, Andrinof dan Natalia langsung datang menjenguk Amira yang masih berada di rumah sakit. Menyusul kemudian Andrew dan Karina serta ibu mertua Amira yang juga baru pulang dari luar negeri. Mereka semua ramai-ramai mengunjungi cucu pertama keluarga Bara El Pasha yang telah dinantikan kelahirannya. Pasangan Andrinof dan Natalia membawa pakaian bayi yang sudah mereka pesan jauh-jauh hari, keluarga Andrew membawakan pakaian untuk Amira dan perlengkapan untuk pendukung asi. Sedangkan nyonya Marina membawakan vitamin dan jamu-jamuan tradisional untuk membantu memulihkan kesehatan. Mereka bergerombol masuk ke dalam ruangan VIP yang kini sudah penuh sesak. Semuanya antri ingin melihat cucu keluarga Bara El Pasha yang katanya tampan melebihi ayahnya. Itu kata Sam di grup keluarga. "Tampannya. Mirip kakeknya saat masih kecil," celetuk Marina. "Memangnya mama pernah lihat kakek masih kecil?" cibi
Amira tak dapat menahan kegembiraannya tatkala bertemu dengan putra pertamanya yang kini tengah berada di dalam gendongannya. Tubuh mungil selembut kapas itu tertidur. Wajahnya sangat tampan, putih bersih dengan hidung mancung yang diwarisi dari ayahnya. Kata Keenandra, saat matanya terbuka terlihat mirip sekali dengannya. Amira sangat senang. Setidaknya, ada satu kemiripan di wajah putranya itu walau hanya matanya saja. "Tampan ya. Mirip kamu semuanya," ujar Amira yang kini mencebikkan bibirnya. Sedikit kesal tapi ia senang. Keenandra tertawa lalu mencubit bibir istrinya yang menyenangkan itu. "Kalau mau yang mirip kamu, bikin lagi satu," celetuknya yang seketika mendapatkan cubitan di pinggang dari Amira. "Ngomongnya. Aku belum sembuh ya." "Nanti dong. Kalau si adek udah satu atau dua tahun." Amira tak menanggapinya. Namun ucapan Keenandra ada benarnya juga. Umur mereka tak lagi muda, tidak ada salahnya untuk kejar memiliki keturun
"Lepaskan! Lepaskan aku!" Aletta berteriak dari balik jeruji penjara yang kini membatasi ruang gerak-geriknya. Satu jam lalu, ia dinyatakan bersalah atas tuduhan perencanaan pembunuhan yang hampir membuat nyawa Amira melayang. "Lepaskan aku!" "Heh! Diam lo!" Aletta yang tadi berteriak nyaring seketika terdiam. Suara yang menggelegar baru saja, berasal dari belakang punggungnya. Perlahan ia menoleh, memperhatikan seseorang yang kini berdiri tegap sambil berkacak pinggang menatap padanya. Aletta meneguk salivanya. Nyalinya yang tinggi saat berada di luar penjara tiba-tiba hilang dalam sekejap mata. "Lu mantan artis yang enggak laku itu kan?" orang itu berjalan menghampiri Aletta. Besar dan tinggi bagaikan tiang, melebihi tinggi Aletta. "Kenapa masuk penjara lo?" "I-itu. Karena..." Aletta tergagap. Bibirnya bergetar ketakutan. Sudut matanya basah, rasanya ia ingin sekali menangis yang keras saat ini. "Kalau ditanya,
Tepat tiga hari setelah kejadian, polisi akhirnya turun tangan untuk menangkap Aletta di rumahnya. Saat siang hari Sonia baru saja selesai membereskan kekacauan yang disebabkan oleh amukan Aletta, kedatangan polisi ke rumahnya membuat segalanya kembali kacau. Matanya terbelalak melihat surat penangkapan yang diberikan oleh polisi. Tidak, ia tak percaya jika anaknya terlibat kasus pembunuhan berencana yang membuat nyawa Amira hampir melayang. "Anak saya tidak mungkin seperti itu, Pak. Anak saya selalu di rumah." Sonia mencegah pihak kepolisian masuk ke dalam rumahnya. Sonia tak ingin anaknya ditangkap. Aletta anak yang baik, itu pikirnya. "Silakan dibuktikan di kantor polisi dengan keterangan yang diberikan." Sonia menghalangi dengan merentangkan tangannya, ia tak rela anaknya dibawa oleh mereka. "Ibu, jangan menghalangi tugas kepolisian. Kalau ibu menghalangi, ibu bisa terkena pasal oleh kami karena menyembunyikan pelaku kejahatan." Sonia meng