Kain halus berbalut manik berkilauan bagai kristal itu terpasang apik di tubuh Aletta, adik Amira yang akan menikah dengan salah satu pria terbaik di kota ini. Pria yang telah lama menjadi kekasih Amira dan kini harus tersematkan namanya di atas kertas bersanding dengan Aletta.
Pria itu bernama Keenandra. Pria yang telah menemani Amira selama tujuh tahun terakhir. Ia tak direstui menikah dengan Amira karena satu hal yang membuatnya tak bisa menerima kenyataan itu hingga hari ini. Amira bukanlah anak kandung pasangan Ardiwira dan Sonia.Kenyataan pahit itu diperparah dengan kehadiran Andrinof, kakak sepupunya yang ternyata mencintai Amira.Hari ini, hari bahagia pernikahan Keenandra dan Aleeta dan Amira datang sebagai tamu bukan sebagai keluarga pendamping."Mira, nanti kamu masuk lewat pintu belakang ya. Om sama tante akan lewat gapura depan. Awas, jangan lewat di sebelah sana," Sonia dengan gaya khasnya memberi peringatan pada Amira. Wanita cantik itu hanya menunduk dan mengangguk pelan.Sejak pengakuan keluarga Ardiwira tentang status dirinya yang hanya anak angkat, kini Amira harus mau memanggilnya dengan cara berbeda.Amira berdiri menepuk kedua telapak tangannya menyingkirkan debu yang sekiranya melekat disana. Senyumnya mengembang rapuh diantara seribu bahasa yang harusnya terucap.“Pukul berapa resepsinya?” tanya Amira pelan. Aleeta menggedikkan bahunya. Kepalanya menoleh ke belakang.Sorot matanya mengatakan jika ia menyuruh Amira menanyakan pada pria yang berdiri di belakang dekat pintu masuk. Pria yang berdiri tegap memakai tuxedo hitam dan tatanan rambut yang dibentuk hingga memperlihatkan dahi putihnya. Pria yang hanya berdiri tanpa ekspresi di wajahnya.Amira tak melanjutkan lagi keingintahuannya. Ia lebih baik bertanya pada pengatur acara daripada harus bertanya pada pria tadi. Amira pun berbalik lalu dengan sigap membereskan alat makeup yang tadi dipakai untuk merias. Aleeta berjalan pelan mendekati Amira. Ia memeluk kakaknya dari belakang dan berbisik pelan di telinganya. “Terima kasih, Amira. Terima kasih atas semuanya.”"Aleeta, kita ke depan sebentar untuk foto," ajak Sonia. Aleeta melepaskan pelukan lalu berjalan meninggalkan ruangan menyisakan pria yang sedari tadi hanya memandang kosong pada sudut ruangan dan berpaling pada sosok Amira.Pria itu menghela napas panjang berharap Amira mendengarnya lalu bertanya padanya. Ternyata, tidak. Wanita itu terlihat sibuk membuka ponselnya lalu membalas chat yang sepertinya terabaikan sejak beberapa jam yang lalu.“Aku berharap, kita akan seperti dulu lagi,” ucap pria itu memecah keheningan. Amira menoleh mengabaikan ponsel yang menyala notifikasinya. Matanya bergerak ke segala arah memastikan agar si pria tak membahas lebih jauh. Ia ingin sekali terlihat tak peduli. Tak peduli dengan ucapan pria tinggi di depannya.“Aku masih mengharapkanmu, Amira.” pria itu berucap lagi. Tanpa menunggu jawaban lagi dari Amira, sosok itu pergi meninggalkan wanita yang berprofesi sebagai penata rias itu.Tangannya bergetar, menunduk perlahan. Satu dua tetes airmata jatuh menjalari pipinya. Bola matanya memerah tak lama hidungnya pun mulai sesak. Air mata yang jatuh itu mulai membuat sedikit demi sedikit wajahnya berubah sendu.Ia pikir dengan merelakan pria tadi bersama adik tirinya, hidupnya akan bahagia. Ternyata tidak. Ia melakukan hal yang salah. Hidupnya kacau, hidupnya berubah. Sejak enam bulan lalu, ia melepas mantan kekasihnya demi adik angkatnya yang juga mencintainya.Rintihan dan air mata yang hadir setiap malam, tak mampu menggoyahkan keinginannya untuk melepas mantan kekasihnya. Sesak selalu hadir setiap kali ia memandang wajah sendunya. Wajah sendu yang selalu menemani harinya selama tujuh tahun belakangan.Amira mengusak airmatanya lalu menaburkan kembali bedak tipis di wajah cantiknya. Hari ini hari istimewa Aleeta dan ia tak ingin wajah penuh kesedihan itu ia tunjukkan. Senyum pun mengembang di bibir tipis Amira. Senyum penuh semangat yang akan mengubah segala pemikirannya mulai detik ini juga.“Aku akan melupakannya.”Amira berjalan masuk kedalam ruangan besar tempat berlangsungnya acara istimewa itu. Ruangan penuh hiasan cantik warna warni dengan bunga rose yang tertata apik di kanan dan kiri ruangan. Sejauh mata memandang, Amira dibuat terpesona dan takjub dengan apa yang ia lihat saat ini. Aleeta seorang wanita yang perfeksionis yang mempersiapkan semuanya dengan matang.Amira masih ingat dulu saat ia dan Aleeta masih remaja, Aleeta pernah berkata bahwa ia menginginkan pesta pernikahannya dirayakan secara besar-besaran. Pesta ala putri kerajaan dengan banyak hiasan bunga dan aksesoris mewah. Menurutnya, pesta pernikahan harus dirayakan hanya satu kali seumur hidup dan itu harus meriah agar bisa dikenang. Amira tersenyum miris jika mengingat perkataan Aleeta saat itu."Semuanya sudah siap kan? Ayo, rombongan pengantin bersiap masuk dari arah depan." terdengar suara Sonia, ibu angkat Amira yang berteriak dari arah pintu masuk calon pengantin. Amira menyingkir dan masuk melewati pintu tamu yang ada di samping ruangan dekat pelaminan.Lima langkah mendekati arah pelaminan, Amira menghentikan langkahnya. Dadanya kembali sesak melihat sepasang pengantin yang berdiri di depannya saling melayangkan tatapan mesra dan senyuman manis saat beberapa orang menyalaminya. Tidak hanya itu saja, si mempelai pria juga terlihat beberapa kali mengenggam tangan Aleeta erat seolah tak ingin lepas.Amira menarik napas panjang lalu mengembusnya perlahan. Ia berusaha menyingkirkan segala kenangan dan perasaannya pada sang mantan kekasih dan ia pun kembali melanjutkan langkahnya diiringi dengan senyuman manis yang ia tebar ke segala arah.“Selamat menempuh hidup baru. Aku turut bahagia,” ucap Amira datar. Aleeta memeluk kakak angkatnya dan menepuk punggungnya perlahan sambil mengusapnya.Bisa Amira dengarkan suara isakan Aleeta di balik pelukan erat itu. “Jangan nangis, nanti luntur.” Amira berkelakar.Keduanya terkekeh. Aleeta meninju pelan lengan Amira membuat wanita itu tertawa lepas. Keduanya saling melemparkan senyuman lalu berpamitan. Amira tak berkata banyak pada mantan kekasihnya yang sedari tadi diam-diam memandangi tingkahnya dan Aleeta.“Thanks, kak Amira. Aku banyak berterima kasih sama kamu. Besok aku dan kak Keenan berangkat bulan madu ke Bali. Aku berharap kamu mau mengantar kami ke bandara,” pinta Aleeta dengan nada memelas. Amira melirik sekilas pada mantan kekasihnya. Ia sempat melihat mata yang memohon padanya, mata yang ia pandangi terakhir kali sebelum akhirnya mereka berpisah.“Aku tak bisa pastikan. Nanti aku hubungi lagi,” janji Amira. Aleeta memekik kegirangan. Ia kembali memeluk Amira dan mengucapkan kata yang sama di telinganya ‘terima kasih’.Amira tak ingin berlama-lama di pelaminan. Rasanya terlalu sesak jika ia masih tetap bertahan disana. Ia pun segera menuruni tangga pelaminan lalu meneruskan langkahnya menuju area hidangan. Tampak gadis itu memilah apa yang hendak ia makan.Tangannya menyusuri nampan yang berisi makanan yang ia sukai. Wajahnya pun terlihat sumringah sat matanya bertatapan dengan barisan dimsum yang tertata rapi. “Wah, dimsum,” gumamnya pelan.Tangan mungilnya menjapit satu buah dimsum namun tiba-tiba seseorang mendorong pelan dirinya ke arah samping sambil menyambar kasar penjapit di tangan Amira. Tak terima penjapitnya diambil paksa, Amira mendelik dan menyambar kembali penjapitnya lalu mendorong orang tersebut. Tak lupa ia menginjak juga kakinya hingga orang itu mengaduh kesakitan. Tak merasa bersalah, Amira dengan santai menaruh tiga potong dimsum beserta saus ke atas piring yang ia bawa.“Hei, tanggung jawab!!” teriaknya, orang yang tadi diinjak kakinya oleh Amira. Ternyata, ia adalah seorang pria berperawakan tinggi dengan wajah yang cukup tampan menggoda. Pria yang terlihat seperti seorang playboy sedang mencari mangsa.Karena merasa dipanggil, Amira pun menoleh. “Kamu memanggil aku?” tanya Amira. Satu jarinya diarahkan ke dada menunjuk dirinya sendiri.Si pria yang tadi memanggil tiba-tiba saja merasa membeku di tempatnya. Ia terpana memandang wajah cantik Amira yang seakan memaksanya untuk terus menatapnya. Tangan pria itu terulur mengajak Amira berkenalan. Wajah yang semula kaku dan kasar berubah menjadi hangat dan lembut.“Kenalkan, namaku Andrinof. Boleh tahu siapa nama kamu?”“Untuk apa?” tanya Amira ketus.“Siapa tahu kita bisa lebih dekat lagi setelah hari ini,” jawab Andrinof dengan percaya diri. Amira pun membalas uluran tangan Alvian yang mengajaknya berkenalan.“Namaku Amira. Senang berkenalan dengan kamu.”Amira pun pergi tanpa banyak tanya lagi. Sementara Andrinof masih membeku di tempat, tak sadar jika wanita yang ia ajak berkenalan tadi sudah menghilang dari hadapannya. Seulas senyum terhampar apik di bibirnya yang terus menggumam pelan menyebut nama Amira.Tanpa Amira ketahui, dari ujung pelaminan sana Keenandra menatap penuh emosi ke arah mereka. Hatinya bergejolak marah melihat kedekatan Amira dan sepupunya."Tidak, aku tak akan biarkan itu terjadi," bisiknya dalam hati.Menyesal, Keenandra menyesal telah meninggalkan Amira yang membutuhkannya saat itu. Mengapa pula ia langsung terlibat dalam perjodohan yang seharusnya tak terjadi di kehidupannya. Melihat kesedihan di wajah Amira tadi, ia yakin bahwa wanita yang dicintainya itu masih sangat mengharapkan dirinya. Takdir begitu bodoh telah menghancurkan semua yang ia miliki. Pukul sebelas malam, Keenandra baru masuk ke dalam kamar tidur menyusul Aletta yang telah lebih dulu masuk. Tak ada yang istimewa, Keenandra hanya melihat ruangan putih yang telah dihias dengan bunga dan wewangian parfum yang menusuk hidung. Begitu ia masuk, Aletta yang sejak tadi bersembunyi di balik pintu kamar mandi tiba-tiba datang dan melonjak memeluk pinggang Keenandra dari belakang. Bibirnya tersenyum. Sedikit berjinjit, ia berbisik di telinga Keenandra. "Sayang, aku sudah tunggu dari tadi. Kamu lama banget. Aku—" "Panggil aku kak." Keenandra melepas tangan yang melilit pinggangnya, menghempasnya ke bawah. "Kita tidak pe
Pukul sepuluh pagi, Keenandra sudah berada di kantornya setelah berdebat cukup panjang dengan Aletta yang marah saat dirinya menyinggung tentang hubungannya dengan Amira. Istrinya itu terus saja memaksa dirinya untuk menerima kenyataan jika tak seharusnya ada nama orang lain hadir dalam pernikahan mereka. Tak ingin melewatkan waktu berharganya, Keenandra memilih menyibukkan dirinya dengan bekerja. Sebelum ia memulainya, seseorang yang tak diharapkan muncul membuang sia-sia eksistensinya di dunia pekerjaan. "Pertemuan dengan estetique group tidak dibatalkan kan?" tanyanya tanpa basa-basi ataupun ucapan selamat pagi. Seseorang yang tak diharapkan itu duduk di kursi putar tepat di depan Keenandra yang masih sibuk membuka surelnya. "Jangan karena masalah pribadi, jadinya—" "Aku cukup profesional, Andrinof Sebastian." Keenandra menggertak pria itu, pria yang tak disukainya sejak kedatangannya enam bulan yang lalu. Andrinof menyeringai puas. Selama ini, ia paling senang dalam urusan men
Berapa aku harus membayar?” ketus Amira. Andrinof menggelengkan kepalanya. Tersenyum perlahan lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam dompetnya. Sebuah kertas persegi empat berbentuk seperti kartu. Amira kembali mengernyitkan dahinya. Satu lembar kartu nama ia pegang dan ia baca. Amira menggumam pelan menyebutkan nama lengkap Andrinof. “Andrinof Sebastian, wakil direktur SUN TV. Ingin mengajukan kerjasama? Tapi sepertinya anda salah sasaran.” Andrinof tertawa. Terburu ia meneguk lemon tea dan menelan semua makanan yang ia kunyah. “Aku ada tampang marketing? Aku kasih kartu nama ini supaya kamu bisa tahu siapa aku dan pekerjaan aku. Ah, sorry aku manggilnya aku-kamu,” tutur Andrinof. Amira merapatkan bibirnya, berpikir sejenak maksud ucapan Andrinof yang seakan ingin sekali dikenal olehnya. “Jangan judes gitu dong. Senyum, lebih cantik.” Andrinof menarik pinggiran bibir Amira hingga naik beberapa senti. Amira menepis tangan Andrinof lalu memasukkan kartu nama itu ke dalam dompetnya. “M
Keenandra membanting kasar pintu mobil, meluapkan segala amarah yang menerpa dirinya di hari ini. Kesal dan emosinya yang meluap seakan tak cukup untuk menambal masalah yang merundungnya dari hari ke hari. Senyumnya hilang. Tepat saat ia memasuki kamar tidurnya hingga Aletta yang sedang duduk merias diri ikut terjungkal dari kursinya karena ulah sang suami. “Kak Keenan sudah pulang?” tanya Aletta Ia melepas masker di wajahnya lalu terburu menghampiri suaminya yang berdiri di depan lemari pakaian miliknya. “Siapkan air hangat. Aku mau mandi,” ujarnya ketus. Aletta mengangguk. Ia pun berlari memasuki kamar mandi dan segera menyiapkan bak mandi untuk suaminya. Ini sudah tugas Aletta setiap hari sebagai istri yang baik. Namun belum sampai lima menit, Keenandra berteriak hingga Aletta hampir terjungkal kembali. “Cepat!! Aku mau mandi.” “Iya, sebentar.” Aletta menjawab teriakan Keenandra. Tak sabar, ia memaksakan dirinya sendiri masuk ke dalam kamar mandi dengan keadaan bertelanjang dada
Andrinof tersenyum bahagia melihat balasan pesan dari Aletta yang baru saja diterimanya. Dirinya seperti tertimpa durian yang amat sangat besar. Kali ini bukan buah, melainkan jalan menuju kehidupan cinta yang lebih cerah, pikir Andrinof. "Sedang apa kau?" Andrinof terkesiap mendengar suara berat Keenandra yang baru saja masuk ke dalam ruangan besarnya. Cepat-cepat ia menyembunyikan ponselnya ke dalam laci meja lalu tersenyum lebar yang mengundang kecurigaan dari Keenandra. "Aku butuh daftar siapa saja yang akan datang meeting bersama estetique kosmetik besok." Andrinof mengernyitkan dahinya. Seketika tangannya sibuk membuka notebook yang bertuliskan jadwal pertemuan selanjutnya dengan salah satu tekanan bisnis mereka. "Bukannya lusa?" tanya Andrinof memastikan. Ia masih mencari jadwal penting untuk pertemuan yang Keenandra bicarakan. "Jadwalnya dimajukan. Ini sangat urgent." "Siapa yang berani memajukan jadwalnya?" tanya Andrinof dengan alis yang menukik tajam. "Sekretaris Amir
Amira menggerutu cantik di pagi hari yang seharusnya membuatnya tertawa. Tidak, ini sulit. Cuaca pagi hari yang terlihat muram membuatnya resah karena harus bergelut dengan waktu agar tak terjebak macaetnya Jakarta. Tapi, membayangkan itu semua ia harus menghela napas kuat-kuat karena ia paling benci dengan kemacetan. Ingin sekali Amira menundukkan dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang empuk miliknya sambil menikmati film romantis sepanjang hari. Hanya saja, alarm dan panggilan dari sekretarisnya memaksanya bangkit dari sana untuk memulai aktivitas rutinnya. “Pukul berapa pertemuan dengan TV SUN?” teriak Amira menjawab panggilan dari loudspeaker ponsel yang sengaja ia setting. Omong-omong, ia sedang mandi saat ini. “Pukul satu siang. Mereka tetap memaksa perpanjangan kontrak dengan kita kali ini,” jawab sekretaris cantik Amira yang bernama Citra. Sekretaris yang merangkap asisten pribadinya juga. “Apa alasannya?” tanya Amira.Tangannya sibuk mengoleskan krim pelembab di seluruh t
Pertemuan siang itu berjalan dengan lancar. Pihak Amira dan pihak Keenandra selaku salah satu klien penting yang sering memakai jasa dan produk milik perusahaan Amira, terus memaksa si pemilik menandatangani kontrak yang seharusnya berakhir tiga bulan lagi. Entah apa yang pria itu inginkan, ia malah sengaja meminta hak eksklusif khusus untuk perusahaannya. "Bukankah sepuluh tahun itu termasuk kontrak jangka panjang? Setahu saya, kita semua sudah sepakat mengakhiri kontrak di tahun kelima lalu—" "Tidak!" Keenandra menghentikan pertanyaan yang diajukan oleh Amira. Seluruh peserta rapat tiba-tiba membungkam mulutnya, terasa seperti seseorang sedang mengkomandoi mereka tanpa aba-aba. Suara Keenandra terasa mengintimidasi. Amira tak bisa berkata apa-apa setelah mendengarnya. Seakan semua harus disetujuinya tanpa perlu membantah. "Apa-apaan ini?" gumam Andrinof berbisik pada asistennya yang berada di sampingnya. "Saya yang memutuskan semua perihal kontrak kerja sama. Anda sebagai pemil
Amira tak dapat menyembunyikan rasa kantuknya akibat malam panjangnya yang berakhir panas di atas ranjang bersama Keenandra. Pria itu berhasil memaksanya setelah mengantarkannya pulang dari kantor. Seolah tak ada kepuasan, Keenandra terus menerus memaksa Amira melayani nafsunya semalam penuh. Akibatnya, kini Amira harus absen kerja. Kepalanya pening, tulang di sekujur tubuhnya pun terasa nyeri. Satu jam yang lalu Keenandra izin pulang ke rumah setelah mendapatkan sarapan paginya. Tinggallah Amira yang masih bermalas-malasan di atas sofa ruang tengah sambil menggenggam makanan ringan yang tadi ia ambil dari dapur. Sedang asiknya menonton film kesukaan, atensinya teralihkan oleh suara bel pintu. Jelas ini bukan Keenandra ataupun Citra sekretarisnya. Amira pun beranjak sambil berteriak dari dalam rumah. "Ya, sebentar." "Selamat pagi, kak Amira." sapaan lembut menyapa indera pendengaran Amira. Bibirnya pun menyunggingkan senyum menawan untuk tamu yang menyapanya di pagi ini. "Boleh ak
"Dia pikir dia siapa?" Anna memukul meja kayu di ruangan kerja Bara setelah diusir oleh Keenandra dari ruangannya. Matanya memerah marah dengan emosi yang hampir saja tak bisa dikendalikannya. Niatnya untuk mendekati mantan kekasihnya hilang dalam sekejap karena kata-kata kasar pria itu. "Ternyata dia makin jauh sekarang. Aku pikir, dia hanya singgah sementara lalu akan kembali padaku." Anna memejamkan mata sambil berjalan mengitari ruangan kerja itu. Kepalanya berpikir banyak hal dan cara agar Keenandra mau menerima kehadirannya lagi. Dulu, Keenandra adalah satu-satunya pria yang mau berteman dengannya saat masih sekolah. Dia adalah pria yang selalu memberikan tangannya untuk diraih saat sedang ada masalah. Namun, semenjak orangtuanya tahu tentang hubungan mereka dan mengancam masa depan, mereka pun berpisah. Anna tak tahu apa yang terjadi di tahun berikutnya. Sejak mereka putus, Anna memilih menyingkir dari hidup Keenandra dan tak menunjukkan wajahnya lagi. "Apa yang harus kul
Berita kebahagiaan pasangan Keenandra dan Amira tersebar luas di media. Setelah hampir satu bulan merahasiakan peristiwa percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh Aletta, kini mereka siap untuk mempublikasikan semuanya tanpa perantara siapapun. Keenandra duduk tegap diantara banyak media yang hadir. Matanya menatap satu kamera yang mengarahkannya untuk berbicara sesuai dengan yang ingin dibicarakan. "Hari ini, saya ingin menyampaikan kebenaran berita yang telah simpang siur di berbagai media dan pembicaraan dari mulut ke mulut. Mengenai rumor jika istri saya adalah perebut suami orang, itu tidak benar. Saya dan mantan istri menikah karena sebuah perjanjian." Keenandra menarik napas panjang sejenak lalu melanjutkan lagi kalimatnya. "Ketika saya menemukan jika surat perjanjian itu palsu, saya langsung menceraikannya. Sebelum saya menikah, saya sudah bertunangan dengan Amira dan gagal karena perjanjian palsu itu. Jadi, sudah selayaknya saya kembali kepadany
Sejak menghindar dari kejaran Maya, hidup Citra menjadi sedikit tenang sekarang. Tak ada lagi yang mengusiknya hingga menjelang pernikahannya bulan depan. Mungkin saja wanita itu memilih menghindarinya juga karena ancaman dari Sam beberapa waktu lalu. Maya adalah tipe wanita yang tak takut dengan apapun, kecuali kakeknya. Sam mengatakan, dirinya akan mengadu pada kakek Maya jika terus menerus menganggu kehidupannya. Namun, semuanya tak bertahan lama. Maya tiba-tiba saja muncul di kantor Amira dengan senyuman lebarnya. "Hai, Citra," sapanya dari jauh. Citra terdiam, hanya membalas sapaannya dengan lambaian tangannya. "Kita makan siang di luar. Aku mau ajak kamu ke resto yang dulu pernah kamu rekomendasikan." 'Kapan aku rekomendasi resto?' pikir Citra dalam hati. "Ehm, aku mau makan siang sama mas Sam," tolak Citra. "Yah, sayang sekali. Tapi, aku enggak masalah kok makan bersama kalian," ujar Maya tanpa malu-malu. "Tapi mas Sam akan marah. Sebaiknya mbak Maya jangan ikut bersama
Bukan Maya namanya jika menyerah begitu saja. Setelah ditolak mentah-mentah oleh Citra, dia bukannya pergi dari kehidupan wanita itu. Maya malah semakin gencar mendekati bahkan melebihi intensitas kedekatannya dengan Sam sebagai kekasihnya. Citra tak bisa berkutik jika sudah berhadapan dengan Maya. Semua kalimat penolakannya selalu berhasil dihempaskan oleh wanita itu. Saat Citra berpura-pura sedang sakit, Maya datang ke rumahnya. Hal itu membuat Citra risih hingga membuatnya terpaksa menginap di apartemen milik Sam untuk sementara. "Maya tak akan tahu apartemen ini kan?" tanya Citra yang dijawab anggukan oleh Sam. Citra bisa menghela napas lega. Pengawasan di apartemen mewah milik Sam sedikit membuatnya aman. Tak bisa sembarang orang masuk. Sam hanya memberikan kartu tanda pemilik pada Citra sekalian dengan kodenya. "Kamu harus tegas. Bilang saja kalau kamu akan menikah bulan depan," ujar Sam kesal. "Aku sudah tegas. Kurang tegas apalagi aku,
"Amira!" Seseorang muncul dari balik pintu kamar lalu berlari menghampiri Amira yang sedang berbincang serius dengan Keenandra. Matanya terbelalak kaget, bibirnya menganga heran. Maya, wanita yang baru saja datang itu memang tak pernah bertemu dengan Amira selama lebih dari lima tahun sejak kepergiannya ke Kanada bersama Sam. "Masih ingat sama aku?" Amira melengos tak mau menatap Maya yang sejak tadi terkekeh melihat reaksi sahabatnya itu. "Aduh, ada yang marah sama aku nih." Maya mengambil duduk dekat Amira, menepuk-nepuk tangannya dengan lembut. "Maaf ya, aku tuh sedikit sibuk beberapa tahun ini. Kamu tahu kan, aku dan—" matanya melirik ke arah Sam yang sedang duduk di sofa tengah. Maya dan Sam memang tak pernah membicarakan pernikahan mereka. Bahkan tak mengundang semua sahabat dekat mereka di Jakarta. Ini semua karena memang pernikahan mereka adalah pernikahan yang dipaksakan. Maya tak masalah, toh dia juga tak peduli dengan semua itu. Nam
Setelah selesai berbulan madu dan menikmati keindahan Jepang, Andrinof dan Natalia langsung datang menjenguk Amira yang masih berada di rumah sakit. Menyusul kemudian Andrew dan Karina serta ibu mertua Amira yang juga baru pulang dari luar negeri. Mereka semua ramai-ramai mengunjungi cucu pertama keluarga Bara El Pasha yang telah dinantikan kelahirannya. Pasangan Andrinof dan Natalia membawa pakaian bayi yang sudah mereka pesan jauh-jauh hari, keluarga Andrew membawakan pakaian untuk Amira dan perlengkapan untuk pendukung asi. Sedangkan nyonya Marina membawakan vitamin dan jamu-jamuan tradisional untuk membantu memulihkan kesehatan. Mereka bergerombol masuk ke dalam ruangan VIP yang kini sudah penuh sesak. Semuanya antri ingin melihat cucu keluarga Bara El Pasha yang katanya tampan melebihi ayahnya. Itu kata Sam di grup keluarga. "Tampannya. Mirip kakeknya saat masih kecil," celetuk Marina. "Memangnya mama pernah lihat kakek masih kecil?" cibi
Amira tak dapat menahan kegembiraannya tatkala bertemu dengan putra pertamanya yang kini tengah berada di dalam gendongannya. Tubuh mungil selembut kapas itu tertidur. Wajahnya sangat tampan, putih bersih dengan hidung mancung yang diwarisi dari ayahnya. Kata Keenandra, saat matanya terbuka terlihat mirip sekali dengannya. Amira sangat senang. Setidaknya, ada satu kemiripan di wajah putranya itu walau hanya matanya saja. "Tampan ya. Mirip kamu semuanya," ujar Amira yang kini mencebikkan bibirnya. Sedikit kesal tapi ia senang. Keenandra tertawa lalu mencubit bibir istrinya yang menyenangkan itu. "Kalau mau yang mirip kamu, bikin lagi satu," celetuknya yang seketika mendapatkan cubitan di pinggang dari Amira. "Ngomongnya. Aku belum sembuh ya." "Nanti dong. Kalau si adek udah satu atau dua tahun." Amira tak menanggapinya. Namun ucapan Keenandra ada benarnya juga. Umur mereka tak lagi muda, tidak ada salahnya untuk kejar memiliki keturun
"Lepaskan! Lepaskan aku!" Aletta berteriak dari balik jeruji penjara yang kini membatasi ruang gerak-geriknya. Satu jam lalu, ia dinyatakan bersalah atas tuduhan perencanaan pembunuhan yang hampir membuat nyawa Amira melayang. "Lepaskan aku!" "Heh! Diam lo!" Aletta yang tadi berteriak nyaring seketika terdiam. Suara yang menggelegar baru saja, berasal dari belakang punggungnya. Perlahan ia menoleh, memperhatikan seseorang yang kini berdiri tegap sambil berkacak pinggang menatap padanya. Aletta meneguk salivanya. Nyalinya yang tinggi saat berada di luar penjara tiba-tiba hilang dalam sekejap mata. "Lu mantan artis yang enggak laku itu kan?" orang itu berjalan menghampiri Aletta. Besar dan tinggi bagaikan tiang, melebihi tinggi Aletta. "Kenapa masuk penjara lo?" "I-itu. Karena..." Aletta tergagap. Bibirnya bergetar ketakutan. Sudut matanya basah, rasanya ia ingin sekali menangis yang keras saat ini. "Kalau ditanya,
Tepat tiga hari setelah kejadian, polisi akhirnya turun tangan untuk menangkap Aletta di rumahnya. Saat siang hari Sonia baru saja selesai membereskan kekacauan yang disebabkan oleh amukan Aletta, kedatangan polisi ke rumahnya membuat segalanya kembali kacau. Matanya terbelalak melihat surat penangkapan yang diberikan oleh polisi. Tidak, ia tak percaya jika anaknya terlibat kasus pembunuhan berencana yang membuat nyawa Amira hampir melayang. "Anak saya tidak mungkin seperti itu, Pak. Anak saya selalu di rumah." Sonia mencegah pihak kepolisian masuk ke dalam rumahnya. Sonia tak ingin anaknya ditangkap. Aletta anak yang baik, itu pikirnya. "Silakan dibuktikan di kantor polisi dengan keterangan yang diberikan." Sonia menghalangi dengan merentangkan tangannya, ia tak rela anaknya dibawa oleh mereka. "Ibu, jangan menghalangi tugas kepolisian. Kalau ibu menghalangi, ibu bisa terkena pasal oleh kami karena menyembunyikan pelaku kejahatan." Sonia meng