Menyesal, Keenandra menyesal telah meninggalkan Amira yang membutuhkannya saat itu. Mengapa pula ia langsung terlibat dalam perjodohan yang seharusnya tak terjadi di kehidupannya. Melihat kesedihan di wajah Amira tadi, ia yakin bahwa wanita yang dicintainya itu masih sangat mengharapkan dirinya.
Takdir begitu bodoh telah menghancurkan semua yang ia miliki.Pukul sebelas malam, Keenandra baru masuk ke dalam kamar tidur menyusul Aletta yang telah lebih dulu masuk. Tak ada yang istimewa, Keenandra hanya melihat ruangan putih yang telah dihias dengan bunga dan wewangian parfum yang menusuk hidung.Begitu ia masuk, Aletta yang sejak tadi bersembunyi di balik pintu kamar mandi tiba-tiba datang dan melonjak memeluk pinggang Keenandra dari belakang.Bibirnya tersenyum. Sedikit berjinjit, ia berbisik di telinga Keenandra. "Sayang, aku sudah tunggu dari tadi. Kamu lama banget. Aku—""Panggil aku kak." Keenandra melepas tangan yang melilit pinggangnya, menghempasnya ke bawah. "Kita tidak pernah terikat dengan rasa sayang sebelumnya. Jadi, jangan harap panggilan itu akan jadi panggilan keseharian kita.""Kenapa?" Aletta menunduk sedih. "Bukankah kita telah menjadi pasangan? Itu kan berarti berbagi kasih sayang. Kita kan—""Kita? Hanya kamu."Keenandra merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Belum sempat ia melepas jas dan kemeja pengantinnya, rasa lelah telah memburunya.Aletta yang tak peduli dengan rasa kecewanya membungkukkan badannya membuka sepatu dan segala barang yang melekat di tubuh suaminya. Namun, saat ia akan melepas ikat pinggangnya, suara mendesah terdengar lirih keluar dari bibir Keenandra."Amira..." ucapnya lirih.Aletta terdiam sejenak. Nama Amira rupanya telah menjadi nama kesayangan di hidup Keenandra. Sepertinya begitu sulit untuk dihilangkan secepat mungkin."Kak, kak Keenan." Aletta menepuk bahu suaminya. Tak bergeming, ia menarik kaki sebelah kiri yang menjuntai agar naik ke atas ranjang. Kaki Keenandra sangat berat, hingga Aletta yang mendorongnya terengah-engah dan tak sengaja tangannya menepuk bagian tubuh Keenandra yang sensitif."Unghh..." Keenandra melenguh. Saat ia merasa ada seseorang yang menyentuh bagian tubuh itu, matanya terbuka dengan senyum melingkar di bibirnya. "Amira? Kamu disini sayang?"Aletta terdiam membeku di tempatnya. Apa yang baru saja terlontar dari mulut suaminya adalah kenyataan pahit di malam pertama pernikahan mereka. "A-amira? Aku Aletta, istri kak Keenan." Tak peduli dengan apa yang diucapkan oleh Aletta, Keenandra menarik tangan mungil istrinya itu hingga terjatuh di atas dadanya. Keenandra mengusap wajah cantik Aletta hingga senyum di bibirnya merekah."Amira, aku merindukanmu." Keenandra berbalik, merebahkan tubuh Aletta perlahan di atas ranjang lalu mendekapnya. Aletta terasa sesak, tubuh Keenandra yang besar mengukungnya dari atas. "Amira, jangan tinggalkan aku."Keenandra terus mengucap nama Amira, bahkan saat mereka saling berpagutan mesra selalu saja nama itu yang diucapkan olehnya. Disela ciuman yang dilakukan Keenandra, ia sempat berbisik di telinga Aletta dengan sangat lembut. "Aku masih mencintaimu, Amira."Setetes air mata meleleh hingga jatuh ke pipi Aletta. Di mata Keenandra, sosoknya masih belum bisa menggantikan Amira. Suaminya itu masih terus membayangkan nama mantan kekasihnya."Kak Keenan...""Mari kita bercinta hingga pagi Amira."***Keenandra membuka satu persatu pakaian yang melekat di tubuhnya, begitu pun dengan Aletta. Kini keduanya sudah sama tak mengenakan selembar kain pun di tubuh mereka.Keenandra menatap sendu wajah Aletta, jarinya yang besar menelusuri setiap inci wajah itu. Wajah cantik yang baru ia lihat sedekat ini tanpa berkedip. Jarinya terus turun hingga akhirnya berhenti di satu titik yang membuat napas Aletta tersengal. Keenandra tanpa aba-aba tetiba mengecup dan menggigit dadanya."Arrghh..." Aletta menggeram tertahan. Titik itu membuat seluruh syaraf di tubuhnya merespon dengan cepat. Rasanya bagai candu, ia menagih ingin Keenandra terus menyentuhnya."Kamu cantik," bisik Keenandra di telinganya."Kak Keenan..." Aletta melenguh. Rupanya ia menginginkan lebih dari sekedar kecupan dan gigitan yang memabukkan itu.Keenandra tak berhenti sampai disitu. Sambil terus mengecupi bibir manis istrinya, tangannya tak berhenti meraba dan menyentuh bagian tubuh sensitif Aletta lainnya."Bagaimana rasanya? Hmm..." Aletta tak langsung merespon. Dua jari Keenandra bermain-main di pusat tubuhnya hingga dirinya terbuai. Wajah Aletta memerah, ia malu melihat Keenandra terus menerus memainkan jarinya disana."Kak Keenan, aku—"Keenandra merapatkan tubuhnya, menindih tubuh mungil Aletta dan menahan tangannya di samping bahu istrinya. Kaki Aletta ditinggikan dan kembali tanpa aba-aba, ia menghujamkan sesuatu di bawah tubuhnya. Menekan lebih dalam hingga membuat Aletta memejamkan matanya."Aarghh..." Keenandra terus bergerak sambil menggeram penuh nikmat. Aletta terus memejamkan matanya menahan rasa gejolak yang sama dengan Keenandra.Lima belas menit berlalu, Keenandra akhirnya melepaskan kenikmatan yang ia rasakan tertahan di tubuhnya. Matanya terpejam dan tubuhnya bergetar mengeratkan kakinya yang menjepit erat tubuh Aletta."Uhhmm.." Aletta menghela nafas lega. Keenandra telah selesai dengan pelepasannya walau ia tak terlalu menikmatinya."Amira, i love you."Brukk..Keenandra pun ambruk dan tertidur di samping Aletta yang masih menahan nyeri."Amira?"***Tubuh lelah Aletta setelah berhubungan intim semalam membuat dirinya terlambat bangun pagi ini. Saat terik matahari masuk ke celah jendela kamarnya, ia terperanjat memaksa bangun walau seluruh tubuhnya masih terasa kaku.Perlahan setelah membuka matanya, ia terduduk sejenak di atas ranjang dengan punggung bersandar ke dinding. Tangannya meraba bagian tubuh yang tertutupi selimut tebal, ingatannya pun melayang beberapa jam ke belakang. Ternyata, yang semalam itu bukanlah mimpi. Ia dan Keenandra bercinta hingga pagi dan baru terlelap menjelang subuh."Semalam nyata?" gumamnya.Ah, Aletta ingat. Saat dirinya tengah membuka pakaian Keenandra, suaminya itu sempat menyebutkan nama Amira dalam keadaan mata setengah terbuka. Keenandra sepertinya tak melihat dengan jelas siapa yang tengah diajaknya berhubungan intim."Amira ahh..." Keenandra terus menyebutkan nama Amira. "You are so beautiful."Hanya itu yang teringat di dalam kepala Aletta karena detik selanjutnya, ia tak mengingat apapun."Eunghh...sudah pagi?" Keenandra terbangun. Satu dua detik ia tersadar, ia baru teringat sesuatu setelah melihat pakaiannya yang berserakan di lantai. Sedikit mengintip dari balik selimut, ia pun sepenuhnya sadar. "Semalam, apa yang terjadi?""K-kita—""Kamu sengaja kan?" tuduh Keenandra tiba-tiba. Jari telunjuknya menuding ke arah Aletta yang masih terdiam di tempatnya. Aletta mengerutkan dahinya. "Ternyata kamu memanfaatkan kelemahanku untuk kepuasan sendiri.""Apa maksud kamu?" Aletta terburu-buru mengenakan pakaiannya yang terserak di atas ranjang lalu mengejar suaminya yang lebih dulu masuk ke dalam kamar mandi. "Kak Keenan. Apa maksud kamu?"BrakkKeenandra menutup pintu kamar mandi dengan kencang hingga suaranya terdengar keluar ruangan. Aletta yang berdiri di depannya hampir saja terjatuh, beruntung tangannya berpegangan pada tepian dinding."Apa maksud kamu berkata seperti itu kak? Kita ini suami istri, wajar saja jika melakukan hubungan intim setelah menikah. Tidak ada kesalahan di dalamnya," teriak Aletta mendebat Keenandra yang tengah membersihkan tubuh.Suara air terdengar jelas. Pastinya suara Aletta tak sampai hingga ke dalam. Kembali, tetes air mata jatuh mengalir di pipinya. Rasanya sakit, seperti kehadirannya tak dikehendaki oleh suaminya.Aletta menangis. Lelah, tubuhnya merosot dan kini teronggok di samping pintu kamar mandi. Ia tak tahu apa yang terjadi dengan pernikahannya yang masih berumur satu hari. Keenandra telah mencampakkannya dalam satu malam.KlekkAletta bangkit dari duduknya. Tangannya mengusap kasar wajah yang berhiaskan air mata tadi. Senyum terpaksa pun menguar dari bibirnya, menyambut suaminya yang baru saja keluar dari kamar mandi."Mau kubuatkan sarapan?" Keenandra tak menjawab. Matanya hanya menatap datar Aletta, menelusuri penampilannya dari atas hingga ke bawah. "A-aku mandi dulu.""Aletta, anggap saja yang tadi malam adalah kesalahanku. Jangan dimasukkan perasaan," ucap Keenandra ketus.Aletta membalikkan tubuhnya yang selangkah lagi masuk ke dalam kamar mandi. "Apa maksudmu? Kejadian tadi malam?""Iya, anggap saja itu kesalahanku.""Tapi kita sudah menikah. Kita sah sebagai suami istri. Kejadian tadi malam bukanlah kejadian yang patut disesali." Aletta meledak. Entahlah, karena apa dia merasa perlu meluapkan semuanya pada suaminya saat ini."Iya kita sah. Tapi perasaanku tak pernah berubah. Aku, masih menginginkan Amira.""Tapi aku istrimu, kak. Tak bisakah kamu menghargai aku?""Menghargai kamu? Ya, aku menghargai kamu dengan batasan tertentu. Cepat mandi, siapkan aku sarapan."Keenandra keluar dari kamarnya setelah selesai berganti pakaian. Tak ada ciuman hangat, tak ada sambutan selamat pagi, tak ada kata-kata menenangkan untuk Aletta. Ia membiarkan istrinya berdiri membatu terdiam di depan kamar mandi dengan linangan air mata."Ternyata, ia masih mencintai Amira."Pukul sepuluh pagi, Keenandra sudah berada di kantornya setelah berdebat cukup panjang dengan Aletta yang marah saat dirinya menyinggung tentang hubungannya dengan Amira. Istrinya itu terus saja memaksa dirinya untuk menerima kenyataan jika tak seharusnya ada nama orang lain hadir dalam pernikahan mereka. Tak ingin melewatkan waktu berharganya, Keenandra memilih menyibukkan dirinya dengan bekerja. Sebelum ia memulainya, seseorang yang tak diharapkan muncul membuang sia-sia eksistensinya di dunia pekerjaan. "Pertemuan dengan estetique group tidak dibatalkan kan?" tanyanya tanpa basa-basi ataupun ucapan selamat pagi. Seseorang yang tak diharapkan itu duduk di kursi putar tepat di depan Keenandra yang masih sibuk membuka surelnya. "Jangan karena masalah pribadi, jadinya—" "Aku cukup profesional, Andrinof Sebastian." Keenandra menggertak pria itu, pria yang tak disukainya sejak kedatangannya enam bulan yang lalu. Andrinof menyeringai puas. Selama ini, ia paling senang dalam urusan men
Berapa aku harus membayar?” ketus Amira. Andrinof menggelengkan kepalanya. Tersenyum perlahan lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam dompetnya. Sebuah kertas persegi empat berbentuk seperti kartu. Amira kembali mengernyitkan dahinya. Satu lembar kartu nama ia pegang dan ia baca. Amira menggumam pelan menyebutkan nama lengkap Andrinof. “Andrinof Sebastian, wakil direktur SUN TV. Ingin mengajukan kerjasama? Tapi sepertinya anda salah sasaran.” Andrinof tertawa. Terburu ia meneguk lemon tea dan menelan semua makanan yang ia kunyah. “Aku ada tampang marketing? Aku kasih kartu nama ini supaya kamu bisa tahu siapa aku dan pekerjaan aku. Ah, sorry aku manggilnya aku-kamu,” tutur Andrinof. Amira merapatkan bibirnya, berpikir sejenak maksud ucapan Andrinof yang seakan ingin sekali dikenal olehnya. “Jangan judes gitu dong. Senyum, lebih cantik.” Andrinof menarik pinggiran bibir Amira hingga naik beberapa senti. Amira menepis tangan Andrinof lalu memasukkan kartu nama itu ke dalam dompetnya. “M
Keenandra membanting kasar pintu mobil, meluapkan segala amarah yang menerpa dirinya di hari ini. Kesal dan emosinya yang meluap seakan tak cukup untuk menambal masalah yang merundungnya dari hari ke hari. Senyumnya hilang. Tepat saat ia memasuki kamar tidurnya hingga Aletta yang sedang duduk merias diri ikut terjungkal dari kursinya karena ulah sang suami. “Kak Keenan sudah pulang?” tanya Aletta Ia melepas masker di wajahnya lalu terburu menghampiri suaminya yang berdiri di depan lemari pakaian miliknya. “Siapkan air hangat. Aku mau mandi,” ujarnya ketus. Aletta mengangguk. Ia pun berlari memasuki kamar mandi dan segera menyiapkan bak mandi untuk suaminya. Ini sudah tugas Aletta setiap hari sebagai istri yang baik. Namun belum sampai lima menit, Keenandra berteriak hingga Aletta hampir terjungkal kembali. “Cepat!! Aku mau mandi.” “Iya, sebentar.” Aletta menjawab teriakan Keenandra. Tak sabar, ia memaksakan dirinya sendiri masuk ke dalam kamar mandi dengan keadaan bertelanjang dada
Andrinof tersenyum bahagia melihat balasan pesan dari Aletta yang baru saja diterimanya. Dirinya seperti tertimpa durian yang amat sangat besar. Kali ini bukan buah, melainkan jalan menuju kehidupan cinta yang lebih cerah, pikir Andrinof. "Sedang apa kau?" Andrinof terkesiap mendengar suara berat Keenandra yang baru saja masuk ke dalam ruangan besarnya. Cepat-cepat ia menyembunyikan ponselnya ke dalam laci meja lalu tersenyum lebar yang mengundang kecurigaan dari Keenandra. "Aku butuh daftar siapa saja yang akan datang meeting bersama estetique kosmetik besok." Andrinof mengernyitkan dahinya. Seketika tangannya sibuk membuka notebook yang bertuliskan jadwal pertemuan selanjutnya dengan salah satu tekanan bisnis mereka. "Bukannya lusa?" tanya Andrinof memastikan. Ia masih mencari jadwal penting untuk pertemuan yang Keenandra bicarakan. "Jadwalnya dimajukan. Ini sangat urgent." "Siapa yang berani memajukan jadwalnya?" tanya Andrinof dengan alis yang menukik tajam. "Sekretaris Amir
Amira menggerutu cantik di pagi hari yang seharusnya membuatnya tertawa. Tidak, ini sulit. Cuaca pagi hari yang terlihat muram membuatnya resah karena harus bergelut dengan waktu agar tak terjebak macaetnya Jakarta. Tapi, membayangkan itu semua ia harus menghela napas kuat-kuat karena ia paling benci dengan kemacetan. Ingin sekali Amira menundukkan dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang empuk miliknya sambil menikmati film romantis sepanjang hari. Hanya saja, alarm dan panggilan dari sekretarisnya memaksanya bangkit dari sana untuk memulai aktivitas rutinnya. “Pukul berapa pertemuan dengan TV SUN?” teriak Amira menjawab panggilan dari loudspeaker ponsel yang sengaja ia setting. Omong-omong, ia sedang mandi saat ini. “Pukul satu siang. Mereka tetap memaksa perpanjangan kontrak dengan kita kali ini,” jawab sekretaris cantik Amira yang bernama Citra. Sekretaris yang merangkap asisten pribadinya juga. “Apa alasannya?” tanya Amira.Tangannya sibuk mengoleskan krim pelembab di seluruh t
Pertemuan siang itu berjalan dengan lancar. Pihak Amira dan pihak Keenandra selaku salah satu klien penting yang sering memakai jasa dan produk milik perusahaan Amira, terus memaksa si pemilik menandatangani kontrak yang seharusnya berakhir tiga bulan lagi. Entah apa yang pria itu inginkan, ia malah sengaja meminta hak eksklusif khusus untuk perusahaannya. "Bukankah sepuluh tahun itu termasuk kontrak jangka panjang? Setahu saya, kita semua sudah sepakat mengakhiri kontrak di tahun kelima lalu—" "Tidak!" Keenandra menghentikan pertanyaan yang diajukan oleh Amira. Seluruh peserta rapat tiba-tiba membungkam mulutnya, terasa seperti seseorang sedang mengkomandoi mereka tanpa aba-aba. Suara Keenandra terasa mengintimidasi. Amira tak bisa berkata apa-apa setelah mendengarnya. Seakan semua harus disetujuinya tanpa perlu membantah. "Apa-apaan ini?" gumam Andrinof berbisik pada asistennya yang berada di sampingnya. "Saya yang memutuskan semua perihal kontrak kerja sama. Anda sebagai pemil
Amira tak dapat menyembunyikan rasa kantuknya akibat malam panjangnya yang berakhir panas di atas ranjang bersama Keenandra. Pria itu berhasil memaksanya setelah mengantarkannya pulang dari kantor. Seolah tak ada kepuasan, Keenandra terus menerus memaksa Amira melayani nafsunya semalam penuh. Akibatnya, kini Amira harus absen kerja. Kepalanya pening, tulang di sekujur tubuhnya pun terasa nyeri. Satu jam yang lalu Keenandra izin pulang ke rumah setelah mendapatkan sarapan paginya. Tinggallah Amira yang masih bermalas-malasan di atas sofa ruang tengah sambil menggenggam makanan ringan yang tadi ia ambil dari dapur. Sedang asiknya menonton film kesukaan, atensinya teralihkan oleh suara bel pintu. Jelas ini bukan Keenandra ataupun Citra sekretarisnya. Amira pun beranjak sambil berteriak dari dalam rumah. "Ya, sebentar." "Selamat pagi, kak Amira." sapaan lembut menyapa indera pendengaran Amira. Bibirnya pun menyunggingkan senyum menawan untuk tamu yang menyapanya di pagi ini. "Boleh ak
Amira berencana mengambil mobilnya hari ini ke bengkel langganannya. Kebetulan sekali dirinya mengambil cuti hari ini dan hari pun cerah. Amira berdiri di dekat kompleks perumahannya yang sepi, menunggu taksi online yang lewat karena jarak dari dalam hingga ke jalan raya cukup jauh. Sambil menunggu, ia membuka ponselnya. Ada sebuah surel masuk, tepatnya sebuah undangan pertemuan. Tinn tinn Sebuah mobil berhenti tepat di depan Amira. Wanita itu membuka kacamata hitamnya lalu melirik ke bawah, bagian plat. Ah, nomornya sama. Ia pun langsung masuk tanpa bertanya lagi. "Ke bengkel sesuai map ya," perintahnya tanpa ragu. Ia tak menoleh sedikitpun ke arah supir. Tangannya sibuk membalas pesan yang masuk ke surel pribadinya. Amira tak sadar jika seseorang di sebelahnya alias sang supir taksi tersenyum sambil mengikik geli melihat dirinya. Amira mengernyitkan dahinya lalu menoleh ke arah si supir taksi yang tadi mengikik geli. “Kamu?” tunjuk Amira pada sosok di sebelahnya. Bibirnya terb
"Dia pikir dia siapa?" Anna memukul meja kayu di ruangan kerja Bara setelah diusir oleh Keenandra dari ruangannya. Matanya memerah marah dengan emosi yang hampir saja tak bisa dikendalikannya. Niatnya untuk mendekati mantan kekasihnya hilang dalam sekejap karena kata-kata kasar pria itu. "Ternyata dia makin jauh sekarang. Aku pikir, dia hanya singgah sementara lalu akan kembali padaku." Anna memejamkan mata sambil berjalan mengitari ruangan kerja itu. Kepalanya berpikir banyak hal dan cara agar Keenandra mau menerima kehadirannya lagi. Dulu, Keenandra adalah satu-satunya pria yang mau berteman dengannya saat masih sekolah. Dia adalah pria yang selalu memberikan tangannya untuk diraih saat sedang ada masalah. Namun, semenjak orangtuanya tahu tentang hubungan mereka dan mengancam masa depan, mereka pun berpisah. Anna tak tahu apa yang terjadi di tahun berikutnya. Sejak mereka putus, Anna memilih menyingkir dari hidup Keenandra dan tak menunjukkan wajahnya lagi. "Apa yang harus kul
Berita kebahagiaan pasangan Keenandra dan Amira tersebar luas di media. Setelah hampir satu bulan merahasiakan peristiwa percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh Aletta, kini mereka siap untuk mempublikasikan semuanya tanpa perantara siapapun. Keenandra duduk tegap diantara banyak media yang hadir. Matanya menatap satu kamera yang mengarahkannya untuk berbicara sesuai dengan yang ingin dibicarakan. "Hari ini, saya ingin menyampaikan kebenaran berita yang telah simpang siur di berbagai media dan pembicaraan dari mulut ke mulut. Mengenai rumor jika istri saya adalah perebut suami orang, itu tidak benar. Saya dan mantan istri menikah karena sebuah perjanjian." Keenandra menarik napas panjang sejenak lalu melanjutkan lagi kalimatnya. "Ketika saya menemukan jika surat perjanjian itu palsu, saya langsung menceraikannya. Sebelum saya menikah, saya sudah bertunangan dengan Amira dan gagal karena perjanjian palsu itu. Jadi, sudah selayaknya saya kembali kepadany
Sejak menghindar dari kejaran Maya, hidup Citra menjadi sedikit tenang sekarang. Tak ada lagi yang mengusiknya hingga menjelang pernikahannya bulan depan. Mungkin saja wanita itu memilih menghindarinya juga karena ancaman dari Sam beberapa waktu lalu. Maya adalah tipe wanita yang tak takut dengan apapun, kecuali kakeknya. Sam mengatakan, dirinya akan mengadu pada kakek Maya jika terus menerus menganggu kehidupannya. Namun, semuanya tak bertahan lama. Maya tiba-tiba saja muncul di kantor Amira dengan senyuman lebarnya. "Hai, Citra," sapanya dari jauh. Citra terdiam, hanya membalas sapaannya dengan lambaian tangannya. "Kita makan siang di luar. Aku mau ajak kamu ke resto yang dulu pernah kamu rekomendasikan." 'Kapan aku rekomendasi resto?' pikir Citra dalam hati. "Ehm, aku mau makan siang sama mas Sam," tolak Citra. "Yah, sayang sekali. Tapi, aku enggak masalah kok makan bersama kalian," ujar Maya tanpa malu-malu. "Tapi mas Sam akan marah. Sebaiknya mbak Maya jangan ikut bersama
Bukan Maya namanya jika menyerah begitu saja. Setelah ditolak mentah-mentah oleh Citra, dia bukannya pergi dari kehidupan wanita itu. Maya malah semakin gencar mendekati bahkan melebihi intensitas kedekatannya dengan Sam sebagai kekasihnya. Citra tak bisa berkutik jika sudah berhadapan dengan Maya. Semua kalimat penolakannya selalu berhasil dihempaskan oleh wanita itu. Saat Citra berpura-pura sedang sakit, Maya datang ke rumahnya. Hal itu membuat Citra risih hingga membuatnya terpaksa menginap di apartemen milik Sam untuk sementara. "Maya tak akan tahu apartemen ini kan?" tanya Citra yang dijawab anggukan oleh Sam. Citra bisa menghela napas lega. Pengawasan di apartemen mewah milik Sam sedikit membuatnya aman. Tak bisa sembarang orang masuk. Sam hanya memberikan kartu tanda pemilik pada Citra sekalian dengan kodenya. "Kamu harus tegas. Bilang saja kalau kamu akan menikah bulan depan," ujar Sam kesal. "Aku sudah tegas. Kurang tegas apalagi aku,
"Amira!" Seseorang muncul dari balik pintu kamar lalu berlari menghampiri Amira yang sedang berbincang serius dengan Keenandra. Matanya terbelalak kaget, bibirnya menganga heran. Maya, wanita yang baru saja datang itu memang tak pernah bertemu dengan Amira selama lebih dari lima tahun sejak kepergiannya ke Kanada bersama Sam. "Masih ingat sama aku?" Amira melengos tak mau menatap Maya yang sejak tadi terkekeh melihat reaksi sahabatnya itu. "Aduh, ada yang marah sama aku nih." Maya mengambil duduk dekat Amira, menepuk-nepuk tangannya dengan lembut. "Maaf ya, aku tuh sedikit sibuk beberapa tahun ini. Kamu tahu kan, aku dan—" matanya melirik ke arah Sam yang sedang duduk di sofa tengah. Maya dan Sam memang tak pernah membicarakan pernikahan mereka. Bahkan tak mengundang semua sahabat dekat mereka di Jakarta. Ini semua karena memang pernikahan mereka adalah pernikahan yang dipaksakan. Maya tak masalah, toh dia juga tak peduli dengan semua itu. Nam
Setelah selesai berbulan madu dan menikmati keindahan Jepang, Andrinof dan Natalia langsung datang menjenguk Amira yang masih berada di rumah sakit. Menyusul kemudian Andrew dan Karina serta ibu mertua Amira yang juga baru pulang dari luar negeri. Mereka semua ramai-ramai mengunjungi cucu pertama keluarga Bara El Pasha yang telah dinantikan kelahirannya. Pasangan Andrinof dan Natalia membawa pakaian bayi yang sudah mereka pesan jauh-jauh hari, keluarga Andrew membawakan pakaian untuk Amira dan perlengkapan untuk pendukung asi. Sedangkan nyonya Marina membawakan vitamin dan jamu-jamuan tradisional untuk membantu memulihkan kesehatan. Mereka bergerombol masuk ke dalam ruangan VIP yang kini sudah penuh sesak. Semuanya antri ingin melihat cucu keluarga Bara El Pasha yang katanya tampan melebihi ayahnya. Itu kata Sam di grup keluarga. "Tampannya. Mirip kakeknya saat masih kecil," celetuk Marina. "Memangnya mama pernah lihat kakek masih kecil?" cibi
Amira tak dapat menahan kegembiraannya tatkala bertemu dengan putra pertamanya yang kini tengah berada di dalam gendongannya. Tubuh mungil selembut kapas itu tertidur. Wajahnya sangat tampan, putih bersih dengan hidung mancung yang diwarisi dari ayahnya. Kata Keenandra, saat matanya terbuka terlihat mirip sekali dengannya. Amira sangat senang. Setidaknya, ada satu kemiripan di wajah putranya itu walau hanya matanya saja. "Tampan ya. Mirip kamu semuanya," ujar Amira yang kini mencebikkan bibirnya. Sedikit kesal tapi ia senang. Keenandra tertawa lalu mencubit bibir istrinya yang menyenangkan itu. "Kalau mau yang mirip kamu, bikin lagi satu," celetuknya yang seketika mendapatkan cubitan di pinggang dari Amira. "Ngomongnya. Aku belum sembuh ya." "Nanti dong. Kalau si adek udah satu atau dua tahun." Amira tak menanggapinya. Namun ucapan Keenandra ada benarnya juga. Umur mereka tak lagi muda, tidak ada salahnya untuk kejar memiliki keturun
"Lepaskan! Lepaskan aku!" Aletta berteriak dari balik jeruji penjara yang kini membatasi ruang gerak-geriknya. Satu jam lalu, ia dinyatakan bersalah atas tuduhan perencanaan pembunuhan yang hampir membuat nyawa Amira melayang. "Lepaskan aku!" "Heh! Diam lo!" Aletta yang tadi berteriak nyaring seketika terdiam. Suara yang menggelegar baru saja, berasal dari belakang punggungnya. Perlahan ia menoleh, memperhatikan seseorang yang kini berdiri tegap sambil berkacak pinggang menatap padanya. Aletta meneguk salivanya. Nyalinya yang tinggi saat berada di luar penjara tiba-tiba hilang dalam sekejap mata. "Lu mantan artis yang enggak laku itu kan?" orang itu berjalan menghampiri Aletta. Besar dan tinggi bagaikan tiang, melebihi tinggi Aletta. "Kenapa masuk penjara lo?" "I-itu. Karena..." Aletta tergagap. Bibirnya bergetar ketakutan. Sudut matanya basah, rasanya ia ingin sekali menangis yang keras saat ini. "Kalau ditanya,
Tepat tiga hari setelah kejadian, polisi akhirnya turun tangan untuk menangkap Aletta di rumahnya. Saat siang hari Sonia baru saja selesai membereskan kekacauan yang disebabkan oleh amukan Aletta, kedatangan polisi ke rumahnya membuat segalanya kembali kacau. Matanya terbelalak melihat surat penangkapan yang diberikan oleh polisi. Tidak, ia tak percaya jika anaknya terlibat kasus pembunuhan berencana yang membuat nyawa Amira hampir melayang. "Anak saya tidak mungkin seperti itu, Pak. Anak saya selalu di rumah." Sonia mencegah pihak kepolisian masuk ke dalam rumahnya. Sonia tak ingin anaknya ditangkap. Aletta anak yang baik, itu pikirnya. "Silakan dibuktikan di kantor polisi dengan keterangan yang diberikan." Sonia menghalangi dengan merentangkan tangannya, ia tak rela anaknya dibawa oleh mereka. "Ibu, jangan menghalangi tugas kepolisian. Kalau ibu menghalangi, ibu bisa terkena pasal oleh kami karena menyembunyikan pelaku kejahatan." Sonia meng